Pendahuluan
Ratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) menegaskan komitmen Indonesia dalam mendukung upaya global untuk menanggulangi dampak perubahan iklim. Salah satu langkah strategis yang diambil Pemerintah Indonesia adalah melalui upaya transisi energi dengan menggencarkan penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (“EBT”) untuk berangsur-angsur mulai menggantikan sumber energi konvensional dalam memenuhi kebutuhan energi nasional.
Definisi EBT tercantum pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU Energi”). Pasal 1 angka 4 dan 5 UU Energi mendefinisikan Energi Baru sebagai energi yang dihasilkan dari sumber energi baru, yakni sumber yang dapat diolah melalui teknologi baru, baik yang bersumber dari energi terbarukan maupun energi tak terbarukan. Contoh sumber energi ini meliputi nuklir, hidrogen, gas metana dari batu bara (coal bed methane), batu bara yang telah dicairkan (liquified coal), serta batu bara yang telah digaskan (gasified coal).1 Sementara itu, definisi Energi Terbarukan dijelaskan dalam Pasal 6 dan 7 UU Energi sebagai energi yang berasal dari sumber daya yang dapat diperbarui, yaitu sumber energi yang tetap tersedia secara berkelanjutan apabila dikelola dengan baik. Contohnya meliputi panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu antar lapisan laut.2
Lebih lanjut, dalam upaya memanfaatkan EBT sebagai sumber energi nasional, utamanya sebagai salah satu sumber utama sektor ketenagalistrikan, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, sebagaimana terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (“UU Ketenagalistrikan”) telah mengamanatkan agar sumber energi primer3 harus dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan kebijakan energi nasional untuk memastikan ketersediaan tenaga listrik yang berkelanjutan. Kemudian, pemanfaatan sumber energi primer tersebut diutamakan pada energi baru dan energi terbarukan.4 Artinya, Pemerintah sejak tahun 2009 sudah menargetkan secara jangka panjang untuk menggunakan EBT sebagai salah satu sumber energi nasional, yang potensi, regulasi serta realisasinya akan dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya.
Pembahasan
Potensi Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan
Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia memiliki sumber daya energi yang melimpah, termasuk salah satunya adalah EBT. EBT merupakan sumber daya yang sangat potensial di Indonesia namun potensinya masih belum dimanfaatkan dengan baik. Potensi total energi terbarukan untuk pembangkit listrik mencapai 3.687 Giga Watt (“GW”). Namun, hingga tahun 2022, pemanfaatannya baru mencapai sekitar 0,3% atau 12,6 GW.5 Potensi dari berbagai jenis energi terbarukan dapat dijabarkan sebagai berikut.
Untuk energi dari arus laut, data dari Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi menunjukkan potensi arus laut Indonesia mencapai 63 GW, dengan potensi terbesar di Bali dan Maluku masing-masing sebesar 9 GW, serta di Nusa Tenggara Barat sebesar 8,1 GW. Lebih lanjut, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi sebesar 23 GW, terbesar kedua di dunia. Namun, dari total potensi tersebut, baru sekitar 10% atau 2,3 GW yang dimanfaatkan.6
Potensi bioenergi di Indonesia mencapai 57 Giga Watt electrical (“GWe”) , terdiri dari biomassa sebesar 52,1 GWe, Palm Oil Mill Effluent (Limbah Cair Kelapa Sawit) 1,3 GWe, sampah 1,4 GWe, dan biogas 2,3 GWe. Untuk energi bayu/angin, data potensi energi bayu meningkat dari 60,6 GW menjadi 154,9 GW, terutama karena penambahan data potensi bayu lepas pantai (offshore), dengan potensi terbesar di kawasan timur Indonesia seperti Maluku dan Papua.7
Potensi energi hidro juga mengalami pembaruan pada 2021, dari 75 GW menjadi 95 GW. Potensi terbesar berada di Papua (34,6%) dan Kalimantan Utara (23,3%). Terakhir, sebagai negara tropis, Indonesia memiliki potensi energi surya yang besar. Berdasarkan pembaruan data pada 2021, total potensi energi surya mencapai 3.294,4 GW. Provinsi dengan potensi terbesar adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Riau, dan Sumatera Selatan.8
Kerangka Hukum Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia
Pengaturan mengenai EBT diatur lebih lanjut pada Kebijakan Energi Nasional (“KEN”), yang mengatur ketersediaan energi, prioritas pengembangan energi, pemanfaatan sumber daya energi, dan cadangan penyangga energi nasional.9 KEN kemudian akan menjadi dasar dalam penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (“RUEN”), yang disusun oleh pemerintah pusat.10 RUEN kemudian akan menjadi acuan atas penyusunan Rencana Umum Energi Daerah (“RUED”), yang disusun oleh pemerintah daerah.11 RUEN dan RUED merupakan penjabaran dari KEN yang akan membahas lebih lanjut mengenai visi-misi, tujuan, serta rincian detail kebijakan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan pada KEN.
Salah satu target pemerintah terhadap penggunaan EBT tercantum pada Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 79/2014”). Pemerintah Indonesia menargetkan tercapainya bauran energi primer yang optimal, dengan EBT berperan minimal sebesar 23% dari bauran energi pada tahun 2025 dan sebesar 31% pada tahun 2050, sepanjang memenuhi keekonomiannya.12
Strategi-strategi kunci untuk mencapai target tersebut tercantum pada KEN, di antaranya yaitu pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan diversifikasi energi guna mendukung konservasi sumber daya energi dan meningkatkan ketahanan energi. Salah satu langkahnya yaitu percepatan penyediaan dan pemanfaatan berbagai jenis sumber EBT.13 Pemerintah juga melakukan intervensi terhadap harga energi, dengan menetapkan harga energi berdasarkan nilai keekonomian yang berkeadilan.14
Untuk mewujudkan harga energi tersebut, pemerintah juga diwajibkan untuk membangun pasar tenaga listrik dengan langkah-langkah seperti pengaturan harga energi primer tertentu (batu bara, gas, air, dan panas bumi) untuk pembangkit listrik serta penetapan tarif listrik secara progresif. Pemerintah juga menerapkan mekanisme feed-in tariff15 untuk menentukan harga jual energi terbarukan. Selain itu, pemerintah akan mengatur pasar energi terbarukan, termasuk menetapkan kuota minimum untuk tenaga listrik, bahan bakar cair, dan gas yang berasal dari sumber energi terbarukan.16
Dukungan pemerintah dalam pengembangan ekosistem EBT di Indonesia juga meliputi pemberian subsidi yang diberikan jika penerapan harga keekonomian yang berkeadilan tidak memungkinkan atau jika harga energi terbarukan lebih mahal dibandingkan energi berbasis bahan bakar minyak tanpa subsidi.17 Selain itu, pemerintah menyediakan insentif fiskal dan non fiskal untuk mendukung diversifikasi sumber energi serta pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan, khususnya untuk skala kecil dan daerah terpencil agar mampu bersaing dengan energi konvensional. Insentif juga diberikan kepada pihak swasta atau individu yang berinovasi dalam pengembangan teknologi inti di sektor energi baru dan terbarukan.18
Selain regulasi di atas, untuk mempercepat penggunaan energi terbarukan, utamanya di sektor ketenagalistrikan, Presiden Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik (“Perpres 112/2022”). Pasal 2 Perpres 112/2022 mengatur bahwa PT PLN (Persero) selaku Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan pengelolaan listrik di Indonesia, harus menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (“RUPTL”) dengan pertimbangan untuk:
- pengembangan energi terbarukan yang disesuaikan dengan target bauran energi yang didasarkan pada rencana umum ketenagalistrikan nasional;
- terciptanya keseimbangan antara penyediaan (supply) dan kebutuhan (demand); dan
- memastikan keekonomian pembangkit energi terbarukan.19
Dalam pelaksanaan RUPTL tersebut, PT PLN (Persero) juga diwajibkan untuk mengutamakan pembelian listrik dari pembangkit yang memanfaatkan sumber energi terbarukan. Selain itu, PLN harus mengoperasikan pembangkit energi terbarukan secara berkelanjutan, menyesuaikan dengan karakteristik sumber pembangkit serta kesiapan sistem kelistrikan setempat, terutama saat beban listrik rendah. PLN juga diwajibkan untuk mengembangkan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.20
Dalam melakukan pembelian listrik, PT PLN (Persero) diwajibkan membeli listrik dari pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan, yang meliputi:
- Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi;
- Pembangkit Listrik Tenaga Air;
- Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik;
- Pembangkit Listrik Tenaga Bayu;
- Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa;
- Pembangkit Listrik Tenaga Biogas;
- Pembangkit Listrik Tenaga Energi Laut; dan
- Pembangkit Listrik Tenaga Bahan Bakar Nabati.21
Pembangkit listrik berbasis energi terbarukan ini dapat dibangun sepenuhnya oleh badan usaha atau sepenuhnya maupun sebagian oleh pemerintah. Pembelian listrik dari pembangkit-pembangkit tersebut harus mengacu pada RUPTL.22
Selain itu, untuk mempercepat progres penggunaan energi terbarukan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyusun peta jalan untuk mempercepat pengakhiran masa operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (“PLTU”), yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral. Peta jalan tersebut setidaknya mencakup pengurangan emisi gas rumah kaca dari PLTU, strategi percepatan pengakhiran operasional PLTU, serta keselarasan dengan berbagai kebijakan lainnya.23
Terakhir, pemberian insentif juga kembali diatur pada peraturan presiden ini. Dalam rangka mengembangkan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan, badan usaha berhak mendapatkan insentif, baik dalam bentuk fiskal maupun non fiskal.
Insentif fiskal tersebut meliputi fasilitas pajak penghasilan sesuai dengan peraturan perpajakan, pembebasan bea masuk impor dan/atau pajak dalam rangka impor, fasilitas pajak bumi dan bangunan, dukungan untuk pengembangan panas bumi, serta akses fasilitas pembiayaan dan/atau penjaminan melalui badan usaha milik negara yang ditugaskan pemerintah. Sementara itu, insentif non fiskal diberikan oleh Pemerintah Pusat dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.24
Realisasi Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia dan Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan
Meskipun Indonesia telah menetapkan proporsi minimal sebesar 23% dari bauran energi nasional untuk EBT pada tahun 2025, Indonesia hanya berhasil mencapai bauran EBT sebesar 13,1% pada tahun 2023 dalam pasokan energi primer.25 Angka ini jauh dari target 23% yang seharusnya dicapai pada tahun 2025 sesuai dengan KEN yang tercantum pada PP 79/2014. Terlepas dari hal tersebut, bauran energi yang diatur dalam PP 79/2014 kini sedang dalam revisi. Target bauran EBT untuk tahun 2025 direncanakan untuk diturunkan menjadi 17–19%, dengan target ambisius sebesar 70% pada tahun 2060.26 Mengingat kenyataan bahwa pemerintah saat ini kesulitan untuk mencapai target sebesar 23% pada 2025, maka dapat dibilang penambahan target bauran energi untuk EBT pada tahun 2060 sebesar minimal 70% merupakan tujuan jangka panjang yang kurang realistis untuk saat ini.
Selain itu, pada masing-masing sektor pengguna energi dapat dilihat masih terdapat ketergantungan yang besar pada penggunaan energi non EBT. Pada tahun 2023, penggunaan energi di sektor industri meningkat 9%, dengan dominasi batu bara sebesar 56,9% dan energi terbarukan hanya 6,52%. Emisi di sektor komersial dan rumah tangga juga meningkat akibat tingginya permintaan listrik, di mana 80% berasal dari bahan bakar fosil. Secara keseluruhan, bahan bakar fosil mendominasi 81% pembangkit listrik di Indonesia pada 2023, menghasilkan emisi sebesar 287 MtCO2e.27
Namun, setidaknya langkah positif dapat terlihat pada progres penyusunan RUED di 33 provinsi, di mana 45% provinsi menargetkan setidaknya 23% bauran energi terbarukan pada 2025. Namun, kemajuan antar provinsi sangat bervariasi. Beberapa provinsi seperti Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan telah melampaui target, sementara Aceh dan Nusa Tenggara Timur menghadapi kendala dalam hal kewenangan dan kapasitas fiskal.28 Untuk itu, RUED ini perlu dijalankan dengan baik untuk dapat mendukung pemerintah pusat dalam menjalankan program pemanfaatan EBT di tingkat nasional.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, diperlukan payung hukum yang lebih komprehensif, yang dapat menjadi landasan untuk merealisasikan target bauran energi terbarukan pada 2025 dan 2050. Untuk itu, pengesahan RUU Energi Baru dan Terbarukan (“RUU EBT”) sangat penting untuk disegerakan. RUU ini diperlukan untuk menciptakan kerangka hukum yang kuat dan komprehensif, untuk memberikan kepastian hukum, serta mendukung pengembangan energi terbarukan secara berkelanjutan dan adil.
Saat ini, regulasi mengenai energi terbarukan masih tersebar di berbagai aturan di bawah undang-undang, sehingga tidak dapat menjadi landasan hukum yang kuat. Kehadiran RUU ini juga diharapkan dapat memperkuat tata kelola, memberikan insentif, serta menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dengan substansi utama seperti transisi energi, peta jalan, perizinan usaha, pengembangan riset dan teknologi, insentif, dana EBT, serta partisipasi masyarakat, RUU EBT diharapkan menjadi regulasi komprehensif untuk mendukung pengembangan EBT di Indonesia secara berkelanjutan dan adil.29
Kesimpulan
Indonesia telah menunjukkan komitmennya dalam mendukung upaya global mengatasi perubahan iklim melalui ratifikasi Paris Agreement, dan salah satu implementasinya adalah dengan melakukan transisi energi menuju ke arah energi yang bersih dan dapat digunakan secara berkelanjutan. Meskipun memiliki potensi EBT yang besar, seperti energi surya, panas bumi, dan energi lainnya, pemanfaatan EBT masih sangat minim, dengan pemanfaatan energi terbarukan baru mencapai sekitar 0,3% dari total potensi 3.687 GW per tahun 2022.
Berbagai regulasi telah diterbitkan untuk mendorong pemanfaatan EBT, termasuk KEN yang menargetkan 23% bauran energi dari EBT pada 2025 dan 31% pada tahun 2060 serta disahkannya Perpres 112/2022 yang mempercepat pengembangan energi terbarukan pada sektor ketenagalistrikan. Namun, target ini masih sulit tercapai, mengingat bauran EBT pada 2023 baru mencapai 13,1%. Dengan adanya wacana revisi target bauran EBT menjadi 17–19% pada 2025 mengindikasikan perlunya strategi lain dalam mengatasi permasalahan ini.
Untuk mengatasi kendala seperti dominasi penggunaan energi konvensional, rendahnya investasi, dan disharmonisasi regulasi, diperlukan langkah konkret, termasuk percepatan pengesahan RUU EBT. RUU ini diharapkan dapat menciptakan kerangka hukum yang kuat dan komprehensif, memberikan insentif, memperkuat tata kelola, serta menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk pengembangan EBT yang berkelanjutan di Indonesia ke depannya.
Sang Rafi Syuja
Referensi
- Buku
- Institute for Essential Services Reform. Indonesia’s Energy Transition at the Crossroads: A Pivotal Moment for Redefining the Future. (Jakarta: IESR, 2024).
- Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional. Outlook Energi Indonesia 2023. (Jakarta: Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional, 2023).
- Peraturan Perundang-Undangan
- Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
- Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan sebagaimana terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
- Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
- Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
- Internet
- Hukumonline. “Revisi Kebijakan Energi Nasional, Target Bauran Energi Jadi 70% pada Tahun 2060.” Dapat diakses pada https://pro.hukumonline.com/legal-intelligence/a/revisi-kebijakan-energi-nasional–target-bauran-energi-jadi-70-persen-pada-tahun-2060-lt6690eaf253bcd/.
- Hukumonline. “Urgensi Pengesahan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan.” Dapat diakses pada https://www.hukumonline.com/berita/a/urgensi-pengesahan-ruu-energi-baru-dan-energi-terbarukan-lt673ee1b7b2a1d/?page=2.
Sources
- Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, untuk selanjutnya disebut sebagai UU Energi, Pasal 1 angka 4 dan 5.
- UU Energi, Pasal 1 angka 6 dan 7.
- Energi Primer didefinisikan pada Pasal 1 angka 18 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, yaitu energi yang diberikan oleh alam dan belum mengalami proses pengolahan lebih lanjut.
- Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan sebagaimana terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, untuk selanjutnya disebut UU Listrik, Pasal 6 ayat (1) dan (2).
- Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional, Outlook Energi Indonesia 2023, (Jakarta: Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional, 2023), hlm. 13.
- Ibid, hlm. 13-14.
- Ibid, hlm. 15.
- Ibid, hlm. 16-17.
- UU Energi, Pasal 11 ayat (1).
- UU Energi, Pasal 17.
- UU Energi, Pasal 18.
- Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, untuk selanjutnya disebut PP 79/2014, Pasal 9.
- PP 79/2014, Pasal 18.
- PP 79/2014, Pasal 20 ayat (1).
- Menurut Penjelasan Pasal 20 ayat (4) huruf c PP 79/2014, yang dimaksud dengan “feed-in tariff” dalam ketentuan ini adalah suatu mekanisme kebijakan harga jual energi terbarukan yang dirancang untuk percepatan investasi teknologi energi terbarukan.
- PP 79/2014, Pasal 20 ayat (4) dan (5).
- PP 79/2014, Pasal 21.
- PP 79/2014, Pasal 22.
- Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, untuk selanjutnya disebut Perpres 112/2022, Pasal 2 ayat (1).
- Perpres 112/2022, Pasal 2 ayat (3).
- Perpres 112/2022, Pasal 4 ayat (2).
- Perpres 112/2022, Pasal 4 ayat (3) dan (4).
- Perpres 112/2022, Pasal 3 ayat (1) dan (3).
- Perpres 112/2022, Pasal 22.
- Institute for Essential Services Reform, Indonesia’s Energy Transition at the Crossroads: A Pivotal Moment for Redefining the Future, (Jakarta: IESR, 2024), hlm. 4.
- Hukumonline, “Revisi Kebijakan Energi Nasional, Target Bauran Energi Jadi 70% pada Tahun 2060,” dapat diakses pada https://pro.hukumonline.com/legal-intelligence/a/revisi-kebijakan-energi-nasional–target-bauran-energi-jadi-70-persen-pada-tahun-2060-lt6690eaf253bcd/, diakses pada 9 Desember 2024.
- Institute for Essential Services Reform, Indonesia’s Energy Transition…, hlm. 4-5.
- Ibid, hlm. 5-6.
- Hukumonline, “Urgensi Pengesahan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan,” dapat diakses pada https://www.hukumonline.com/berita/a/urgensi-pengesahan-ruu-energi-baru-dan-energi-terbarukan-lt673ee1b7b2a1d/?page=2, diakses pada 11 Desember 2024.