Pendahuluan
Kegiatan usaha perasuransian di Indonesia diatur dalam berbagai sumber hukum. Sebagai perjanjian, perasuransian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”) pada Buku I Titel IX dan X, serta Buku II.1
Definisi asuransi pada KUHD dapat kita lihat pada Pasal 246 KUHD, yang pada intinya asuransi adalah perjanjian di mana penanggung, dengan menerima premi, memberikan ganti rugi kepada tertanggung atas kerugian, kerusakan, atau kegagalan memperoleh keuntungan akibat peristiwa yang tidak pasti.2 Asuransi atau persetujuan pertanggungan juga dikenal pada KUHPer, yang mengklasifikasikan asuransi sebagai salah satu persetujuan untung-untungan. Pasal 1774 KUHPer menyatakan bahwa perjanjian untung-untungan adalah suatu tindakan hukum yang mana hasilnya ditentukan oleh suatu peristiwa yang belum pasti terjadi.3
Salah satu prinsip yang terkenal pada hukum asuransi adalah Prinsip Utmost Good Faith atau itikad baik yang teramat baik. Prinsip ini terdapat pada Pasal 251 KUHD. Namun, terhadap pasal tersebut telah dilakukan uji materiil yang telah diputuskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) Nomor 83/PUU-XXII/2024.
Pemohon, Maribati Duha, mendalilkan bahwa Pasal 251 KUHD bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga melanggar hak-hak konstitusional Pemohon. Pemohon, sebagai ahli waris dari almarhum Sopan Santun Duha selaku penerima manfaat dari perjanjian asuransi, mendalilkan bahwa pasal ini memberikan ruang bagi perusahaan asuransi, seperti Prudential, untuk menghindari tanggung jawab pembayaran klaim melalui praktik underwriting (seleksi risiko) ulang yang dianggap merugikan tertanggung dan ahli waris. Hal ini dialami langsung oleh Pemohon, di mana Prudential belum membayarkan sisa manfaat asuransi sebesar Rp 510,5 juta kepada penerima manfaat setelah Sopan Santun Duha meninggal pada 7 Januari 2024. Pihak Prudential mengklaim ditemukan data atau rekam medis tertanggung yang belum disampaikan berdasarkan hasil underwriting ulang.4
MK kemudian melalui Putusan a quo mengabulkan untuk sebagian permohonan Pemohon, dengan menyatakan Pasal 251 KUHD inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung atau berdasarkan pengadilan”.5
Pembahasan
- Prinsip-Prinsip Penting Dalam Hukum Asuransi Indonesia
Salah satu ketentuan dan prinsip utama yang mendasari keberlakuan asuransi di Indonesia adalah Prinsip Utmost Good Faith atau Prinsip Itikad Baik Yang Teramat Baik. Prinsip ini adalah prinsip yang berlaku universal pada industri asuransi global, termasuk Indonesia. Prinsip ini tercantum pada Pasal 251 KUHD, yang berbunyi:“Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.”6Pelaksanaan prinsip ini mewajibkan tertanggung untuk memberikan informasi secara jelas dan teliti mengenai seluruh fakta penting terkait objek yang diasuransikan. Hal yang sama juga berlaku bagi perusahaan asuransi, yang harus menjelaskan dengan rinci risiko-risiko yang dijamin maupun yang dikecualikan, serta semua persyaratan dan ketentuan pertanggungan secara transparan dan akurat.7
Prinsip ini memiliki peran penting karena tertanggung umumnya memiliki pengetahuan lebih mendalam tentang objek yang akan diasuransikan dibandingkan penanggung, sementara besarnya premi sangat dipengaruhi oleh tingkat risiko. Oleh karena itu, kewajiban tertanggung untuk mengungkapkan fakta-fakta penting berlaku sejak tahap pembahasan perjanjian asuransi hingga kontrak asuransi disepakati.8 Namun, ketentuan Pasal 251 KUHD juga dianggap memberatkan tertanggung, terutama dalam dua hal, yaitu (i) ancaman batalnya asuransi terhadap tertanggung yang beritikad baik dan (ii) tidak adanya kesempatan bagi tertanggung untuk memperbaiki kekeliruan jika ia memberikan keterangan yang tidak akurat.9
Selain prinsip tersebut, hukum asuransi juga mengenal sejumlah prinsip fundamental lainnya, salah satunya adalah Prinsip Kepentingan yang Dapat Diasuransikan (Insurable Interest). Prinsip ini menyatakan bahwa tertanggung harus memiliki kepentingan finansial terhadap objek yang diasuransikan, yang berarti tertanggung akan mengalami kerugian keuangan jika terjadi musibah yang merusak atau menghancurkan objek tersebut.10 Selanjutnya, Prinsip Keseimbangan (Indemnity Principle), yang menyatakan bahwa penanggung wajib memberikan ganti rugi kepada tertanggung sesuai dengan besarnya kerugian yang dialami, berdasarkan nilai kerugian sesaat sebelum kejadian.11
Selain prinsip-prinsip di atas, terdapat juga Prinsip Subrogasi. Prinsip ini menyatakan bahwa dalam asuransi, setelah penanggung membayar ganti rugi kepada tertanggung, penanggung berhak mengambil alih hak tertanggung untuk menagih ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian tersebut.12 Kemudian, Prinsip Sebab Akibat, yang menyatakan bahwa penanggung harus terlebih dahulu mengidentifikasi penyebab utama yang memicu rangkaian peristiwa berkesinambungan hingga terjadinya musibah atau kecelakaan. Prinsip ini digunakan untuk menentukan tanggung jawab penanggung terhadap klaim yang diajukan.13
Kemudian, dari sisi Penanggung, terdapat suatu prinsip yang dikenal dengan Prinsip Mengenal Nasabah atau Know Your Customer. Keberlakuan prinsip ini dapat kita lihat pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, yang menyatakan bahwa Lembaga Keuangan Non Bank (termasuk perusahaan asuransi), wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah.14
Pengaplikasian prinsip ini melalui proses yang dikenal dengan Customer Due Diligence (“CDD”). Perusahaan asuransi sebagai salah satu penyedia jasa keuangan wajib melakukan prosedur CDD di antaranya pada saat melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah, perusahaan asuransi meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh calon nasabah, nasabah, atau pemilik manfaat, serta keadaan lainnya.15
- Putusan Terkait Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Prinsip Utmost Good Faith
Pada masa pemerintahan Belanda, telah ada yurisprudensi terkait Pasal 251 KUHD-Prinsip Utmost Good Faith dalam perkara antara D. Tilkema melawan De Bataafsche Verzekering Maatschappij N.V., yang dikenal dengan Arrest Tilkema’s Duim. Dalam putusannya, Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad – “H.R.”) memberikan interpretasi yang lebih lunak terhadap Pasal 251 KUHD.16
Putusan tersebut menyatakan bahwa meskipun perjanjian asuransi dapat batal demi hukum jika tertanggung menyembunyikan informasi, pembatalan tersebut hanya dapat dilakukan oleh hakim atas permohonan penanggung, khususnya jika tertanggung memberikan keterangan yang keliru atau tidak benar. Berdasarkan putusan ini, keterangan yang tidak akurat atau tidak benar tidak secara otomatis membatalkan perjanjian asuransi berdasarkan Pasal 251 KUHD. Selain itu, H.R. juga menegaskan bahwa Pasal 251 KUHD tidak dapat diterapkan jika tertanggung tidak memberitahukan informasi penting karena tidak mengetahui relevansinya, terutama jika penanggung tidak secara eksplisit meminta informasi tersebut.17
H.R. juga mengeluarkan putusan penting dalam perkara asuransi kebakaran antara X di Belgia dengan De Naamloze Vennootschap Goudse Verzekering Maatschappij N.V. di Amsterdam. Dalam putusan tersebut, H.R. menyatakan bahwa penting atau tidaknya keterangan yang diberikan oleh tertanggung, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 KUHD, harus dinilai berdasarkan pandangan seorang penanggung yang bijaksana. Artinya, penanggung tidak boleh secara berlebihan mencari-cari alasan untuk menyatakan informasi tersebut diperlukan, melainkan harus menilai relevansinya secara wajar dan proporsional.18
Di masa sekarang, dapat kita lihat pertimbangan hakim dalam memaknai keberlakuan Pasal 251 KUHD. Dalam perkara Nomor 70/Pdt.G/2023/PN Blg, Penggugat (sebagai Tertanggung) menggugat PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia terkait penolakan klaim asuransi jiwa atas meninggalnya Tertanggung. Tergugat menolak klaim dengan alasan berdasarkan Pasal 251 KUHD, Tertanggung memberikan informasi tidak benar terkait riwayat penyakitnya dalam formulir Surat Permintaan Asuransi Jiwa (SPAJ).19
Majelis Hakim menilai bahwa Tergugat tidak memeriksa kebenaran data SPAJ tersebut dan setelah menerbitkan polis, juga tidak memeriksa kebenaran data selama berlakunya masa pertanggungan. Tergugat kemudian dinyatakan wanprestasi karena gagal memenuhi klaim dikarenakan tidak ada bukti medis yang mendukung alasan penolakan klaim asuransi Tertanggung. Hakim mengabulkan sebagian gugatan, dengan menyatakan perjanjian polis sah, dan memerintahkan pembayaran klaim sebesar Rp. 266 juta kepada Penggugat.20
Selain putusan di atas, berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”), tercatat bahwa pada tahun 2024 saja, terdapat 63 perkara terkait penanganan perkara litigasi oleh OJK. Topik persoalan klaim tersebut mayoritas terkait dengan penerapan Prinsip Utmost Good Faith. Terdapat beberapa perkara lain selain putusan di atas yang tercatat oleh OJK di antaranya, yaitu Perkara Nomor 2030/Pdt.G/2024/PA.JS yang menyatakan Penanggung telah melakukan wanprestasi dan dihukum membayar sisa kerugian materiil Tertanggung, Perkara Nomor 2306/Pdt.G/2024/PA.JS di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang juga menyatakan Penanggung wanprestasi dan dihukum membayar uang santunan asuransi berdasarkan polis asuransi, dan beberapa perkara lainnya.21
- Meninjau Dampak dari Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024 terhadap Industri Asuransi di Indonesia
Di Indonesia, ketentuan Pasal 251 KUHD telah lama menjadi perhatian publik, seperti yang tercermin dalam Simposium Hukum Asuransi Dalam Kenyataan dan Harapan yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya pada 20 Oktober 1987. Dalam simposium tersebut, banyak pendapat yang menganggap Pasal 251 terlalu memihak penanggung dan memberatkan tertanggung, sehingga diperlukan perlindungan yang lebih baik untuk tertanggung. Salah satu solusi yang diajukan adalah melalui perubahan undang-undang, dengan mengubah Pasal 251 KUHD agar penolakan klaim berdasarkan pasal tersebut harus diuji terhadap asas itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berlaku pada waktu pelaksanaan perjanjian asuransi.22
Setelah adanya Putusan ini, MK kemudian menegaskan bahwa prinsip itikad baik sempurna (utmost good faith) adalah syarat utama dalam perjanjian asuransi sebagai perlindungan hukum bagi penanggung dan tertanggung. Prinsip ini penting karena perjanjian asuransi bersifat khusus dan untung-untungan, yang bergantung pada peristiwa yang belum tentu terjadi. Untuk mencegah penyalahgunaan informasi dan ketidakseimbangan risiko, perlindungan bagi kedua pihak harus dijamin.23
MK menilai bahwa Pasal 251 KUHD berpotensi menimbulkan tafsiran yang beragam terkait syarat batalnya perjanjian asuransi akibat informasi yang disembunyikan oleh tertanggung, meskipun dengan itikad baik. MK melihat pasal ini tidak mengatur mekanisme pembatalan secara tegas, hanya menyebutkan akibat seperti pembatalan atau perubahan syarat. Ketidaktegasan ini mencederai prinsip keseimbangan hak dan kewajiban kedua pihak, sehingga tidak memenuhi asas keadilan dan kepastian hukum bagi tertanggung. Jika penanggung meragukan informasi tertanggung, mereka seharusnya lebih berhati-hati sebelum melanjutkan perjanjian, bukan menggunakan Pasal 251 sebagai alasan untuk menghindari kewajiban.24 Dengan demikian, MK menetapkan dalam membatalkan perjanjian penanggungan harus atas kesepakatan Penanggung dan Tertanggung atau berdasarkan suatu putusan pengadilan.25
Lebih lanjut, setelah adanya putusan ini, Wahyudin Rahman, Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi), menyatakan bahwa putusan MK ini berpotensi berdampak signifikan pada industri asuransi, khususnya terkait interpretasi pembatalan perjanjian asuransi yang dapat mempengaruhi underwriting dan manajemen risiko. Perusahaan asuransi perlu meninjau ulang syarat dan ketentuan polis, serta memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh MK. Selain itu, perusahaan harus melakukan pelatihan, memperbarui sistem, dan menyesuaikan kebijakan internal agar sesuai dengan keputusan MK. Perusahaan asuransi juga diharapkan mengembangkan metode evaluasi risiko lebih rinci dan membentuk tim hukum atau mediasi untuk menangani sengketa dengan efisien.26
Penutup
Putusan MK Nomor 83/PUU-XXII/2024 membawa perubahan signifikan terhadap keberlakuan Pasal 251 KUHD dalam praktik asuransi di Indonesia. Pasal tersebut sebelumnya mengatur bahwa perjanjian asuransi dapat batal jika tertanggung tidak mengungkapkan informasi tertentu, meskipun dengan itikad baik. Namun, MK menilai bahwa ketentuan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat digunakan secara tidak adil oleh perusahaan asuransi untuk menolak klaim tertanggung.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pembatalan perjanjian asuransi berdasarkan Pasal 251 KUHD hanya dapat dilakukan atas kesepakatan antara penanggung dan tertanggung atau melalui putusan pengadilan. MK menegaskan pentingnya prinsip utmost good faith sebagai landasan utama dalam hukum asuransi, dengan menekankan bahwa keseimbangan hak dan kewajiban antara penanggung dan tertanggung harus dijaga.
Sang Rafi Syuja
Referensi
Buku:
- Ganie, A. Junaedy. Hukum Asuransi Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).
- Rastuti, Tuti. Aspek Hukum Perjanjian Asuransi. (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2011).
- Sastrawidjaja, Man Suparman. Hukum Asuransi: Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, dan Usaha Perasuransian. (Bandung: Alumni, 2010).
Peraturan Perundang-Undangan:
- Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.
- Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.
- Kementerian Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, Pasal 2.
- Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8 Tahun 2023 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal di Sektor Jasa Keuangan, Pasal 19.
Putusan Pengadilan:
- Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024.
- Pengadilan Negeri Balige. Putusan Nomor 70/Pdt.G/2023/PN Blg.
Internet:
- Finansial. “Kasus Sengketa Klaim Asuransi Diprediksi Makin Banyak Usai Putusan MK.” Dapat diakses pada https://finansial.bisnis.com/read/20250104/215/1828860/kasus-sengketa-klaim-asuransi-diprediksi-makin-banyak-usai-putusan-mk/1.
- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. “Ahli Waris Asuransi Uji Materi KUHD.” Dapat diakses pada https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=21372&menu=2.
Sources
- A. Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 5.
- Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23, untuk selanjutnya disebut sebagai KUHD, Pasal 246.
- Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23, untuk selanjutnya disebut sebagai KUHPer, Pasal 1774.
- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Ahli Waris Asuransi Uji Materi KUHD,” dapat diakses pada https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=21372&menu=2.
- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024, hlm. 463.
- KUHD, Pasal 251.
- Tuti Rastuti, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2011), hlm. 49.
- Ibid.
- Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi: Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, dan Usaha Perasuransian, (Bandung: Alumni, 2010), hlm. 30.
- Rastuti, Aspek Hukum Perjanjian…, hlm. 48.
- Ibid, hlm. 50.
- Ibid, hlm. 52.
- Ibid.
- Kementerian Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, Pasal 2.
- Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8 Tahun 2023 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal di Sektor Jasa Keuangan, Pasal 19.
- Sastrawidjaja, Hukum Asuransi…, hlm. 32.
- Ibid.
- Ibid, hlm. 33.
- Pengadilan Negeri Balige, Putusan Nomor 70/Pdt.G/2023/PN Blg.
- Ibid.
- Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024, hlm. 164-167.
- Sastrawidjaja, Hukum Asuransi…, hlm. 34-35.
- Ibid, bagian pertimbangan 3.18, hlm. 460.
- Ibid, bagian pertimbangan 3.19, hlm. 460-461.
- Ibid, bagian pertimbangan 3.20, hlm. 462.
- Finansial, “Kasus Sengketa Klaim Asuransi Diprediksi Makin Banyak Usai Putusan MK,” dapat diakses pada https://finansial.bisnis.com/read/20250104/215/1828860/kasus-sengketa-klaim-asuransi-diprediksi-makin-banyak-usai-putusan-mk/1.