
Pengakuan Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”) dan Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (“Permendagri Masyarakat Hukum Adat”). Masyarakat hukum adat adalah warga negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara turun temurun sesuai dengan hukum adatnya di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal ulul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan memanfaatkan suatu wilayah tertentu secara turun temurun.
Pengakuan masyarakat hukum adat telah dinyatakan sebelumnya melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU PA”), yang pada dasarnya mengakui eksistensi hak masyarakat hukum adat, khususnya melalui pengakuan atas hak untuk melaksanakan hak ulayatnya.
Lebih tinggi dari peraturan-peraturan di atas, pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat pada dasarnya telah dinyatakan melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), yang menyatakan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, menandakan bahwa mereka juga memiliki kedudukan hukum yang diakui secara jelas di hadapan hukum. Sehingga, ketika terjadi suatu peristiwa hukum yang menyangkut mereka atau bahkan yang mengakibatkan kerugian, masyarakat hukum adat dapat menuntut haknya, baik melalui mekanisme pidana, perdata, ataupun dalam ranah tata usaha negara (“TUN”), yang sebagaimana akan menjadi fokus pembahasan dalam penulisan ini.
Ketika kedudukan hukum masyarakat hukum adat sudah jelas, aspek apa yang kemudian dapat berpotensi menjadi permasalahan dalam hal mereka mengajukan gugatan pada Pengadilan TUN (“PTUN”)?
“Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, menandakan bahwa mereka juga memiliki kedudukan hukum yang diakui secara jelas di hadapan hukum.”

Kedudukan Hukum Masyarakat Hukum Adat
Sama halnya dengan persoalan kedudukan penggugat dalam sengketa TUN pada umumnya, terkadang masih sulit untuk menentukan keberadaan kepentingan serta kepentingan yang seperti apa yang dapat menjadikan dasar hak gugat, sebagai kedudukan hukum untuk suatu masyarakat hukum adat dapat diakui di hadapan PTUN.
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa terkait kedudukan hukum masyarakat hukum adat, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur penetapan dan/atau pengukuhan masyarakat hukum adat secara hukum. Seperti dalam Pasal 234 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, yang mengatur terkait pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat dalam kawasan hutan yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, serta pengukuhan masyarakat hukum adat di luar kawasan hutan yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah atau keputusan gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (“UU Kehutanan”) melalui Pasal 67 ayat (2) juga mengatur bahwa pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sedangkan ketika melihat ketentuannya secara umum, Pasal 6 ayat (2) Permendagri Masyarakat Hukum Adat telah menyatakan, bahwa penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dilakukan oleh bupati/wali kota berdasarkan rekomendasi panitia masyarakat hukum adat dengan Keputusan Kepala Daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka kemudian dapat dipertanyakan, apakah setiap pihak yang mengklaim sebagai perwakilan masyarakat hukum adat bisa mengajukan gugatan? Untuk menganalisis persoalan ini lebih lanjut, akan kita bahas Putusan Nomor 248 K/TUN/2016 jo. 01/B/2016/PT.TUN.MKS jo. 22/G/2015/PTUN.Kdi.
Dalam kasus ini, Para Penggugat menyatakan sebagai pemangku adat masyarakat adat Saumolewa, Kabupaten Buton Selatan dan menggugat suatu Keputusan Kepala Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan tentang Pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) atas nama suatu perusahaan swasta.
Para Penggugat, yang menyatakan dalam kedudukannya untuk bertindak mewakili masyarakat adat Saumolewa yang berada di sekitar hutan secara turun-temurun, mendalilkan bahwa kepentingannya telah dirugikan oleh objek sengketa yang diterbitkan Tergugat di atas tanah adat dan hutan adat yang dikuasai oleh sebagian besar masyarakat adat.
Terhadap gugatan Para Penggugat tersebut, Para Tergugat dalam salah satu poin eksepsinya, pada pokoknya menyatakan bahwa Para Penggugat, sebagai masyarakat hukum adat, tidak memiliki kedudukan hukum yang jelas. Hal ini berdasarkan adanya fakta bahwa Para Penggugat bukan merupakan kelompok masyarakat hukum adat yang keberadaannya diakui melalui penetapan resmi dari pemerintah melalui suatu Surat Keputusan atau Peraturan Daerah. Terlebih lagi, Para Tergugat mendalilkan bahwa kedudukan Para Penggugat hanyalah sebatas klaim pribadi yang tidak berdasarkan hukum.
Pada pengadilan tingkat pertama, gugatan Para Penggugat dikabulkan. Judex Facti tingkat pertama melalui Putusan Nomor 22/G/2015/PTUN.Kdi, menyatakan bahwa Para Penggugat memang memiliki kepentingan dan demikian memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan, dengan mempertimbangkan, yaitu di antaranya:
- Majelis Hakim mendasarkan kebenaran Para Penggugat sebagai masyarakat hukum adat berdasarkan Surat Keterangan Lurah dan Ketua Lembaga Adat;
- Meskipun objek sengketa bukan ditujukan kepada Para Penggugat secara langsung, dan Para Penggugat merupakan pihak ketiga, Majelis Hakim berpendapat bahwa bukan berarti Para Penggugat tidak mempunyai kepentingan untuk mempermasalahkan objek sengketa, sebagaimana mereka tidak bisa lagi memanfaatkan kawasan tersebut;
- Serta sah pula kedudukan Para Penggugat untuk mewakili kepentingan masyarakat hukum adat di Kecamatan Saumolewa.
“Untuk menilai unsur “kepentingan” ini, maka keberadaan masyarakat hukum adat harus dibuktikan benar-benar ada dan telah diakui secara hukum.”
Meskipun begitu, putusan tersebut selanjutnya dibatalkan pada tingkat banding dan selanjutnya juga dikuatkan pada tingkat kasasi. Pada tingkat banding dalam Putusan Nomor 01/B/2016/PT.TUN.MKS, Judex Facti, dengan merujuk pada doktrin, mempertimbangkan bahwa kepentingan yang dilindungi hukum barulah ada, apabila kepentingan tersebut, jelas:
- Ada hubungannya dengan penggugat sendiri.
- Kepentingan itu harus bersifat pribadi.
- Kepentingan itu harus bersifat langsung.
- Kepentingan itu secara objektif dapat ditemukan, baik mengenai luas maupun intensitasnya.
Judex Facti pada tingkat banding kemudian menyatakan bahwa untuk menilai unsur “kepentingan” ini, maka keberadaan masyarakat hukum adat Saumolewa harus dibuktikan benar-benar ada dan telah diakui secara hukum.
Terkait hal ini, pengadilan pada tingkat banding maupun kasasi tidak membenarkan pertimbangan pada pengadilan tingkat pertama, yang menilai status kebenaran Para Penggugat sebagai masyarakat hukum adat hanya melalui Surat Keterangan Lurah dan Ketua Lembaga Adat. Mengingat objek sengketa berkaitan dengan kawasan kehutanan, demikian dengan merujuk Pasal 67 UU Kehutanan, Judex Facti pada tingkat banding dan Judex Juris pada pokoknya berpendapat bahwa untuk menilai kedudukan Para Penggugat sebagai masyarakat hukum adat tidak dapat dilakukan berdasarkan pada Surat Keterangan Lurah dan Ketua Lembaga Adat. Kedudukan hukum mereka barulah dapat diakui dan dapat mendapatkan hak-hak hukumnya apabila mereka telah dikukuhkan melalui Peraturan Daerah. Sehingga dalam hal ini, kedudukan hukum Para Penggugat pada saat diajukannya gugatan dinyatakan hanya bersifat sepihak dan masih memerlukan pengakuan lebih lanjut secara hukum.
Judex Juris menyatakan dalam Putusan No. 248 K/TUN/2016:
“bahwa Para Penggugat tidak dapat membuktikan bahwa dirinya adalah masyarakat hukum adat yang dirugikan kepentingannya dengan diterbitkannya objek sengketa. Dalil para Penggugat sebagai masyarakat hukum adat hanyalah pernyataan sepihak yang perlu pengakuan secara hukum melalui Peraturan Daerah sebagaimana ditentukan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.”
Berkaitan dengan yurisprudensi ini, maka, untuk menilai kebenaran atas keberadaan suatu masyarakat hukum adat, harus mengacu pada ketentuan dalam Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan, yang mengatur bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dalam Penjelasan Pasal 67 UU Kehutanan, dikatakan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur:
- Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban;
- Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
- Ada wilayah hukum adat yang jelas;
- Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
- Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Selanjutnya, dijelaskan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
“Meskipun pengakuan akan hak masyarakat hukum adat untuk mengajukan gugatan kepada PTUN, Pengadilan masih harus menilai kedudukan hukum mereka dengan perkara terkait.”

Penilaian Kedudukan Hukum Masyarakat Hukum Adat
Pada dasarnya, keberadaan masyarakat hukum adat memang diakui oleh negara, sebagaimana di antaranya dinyatakan dalam UUD 1945, UU PA, UU PPLH, UU Kehutanan, Permendagri Masyarakat Hukum Adat. Selain pengakuan tersebut, mereka juga diberikan hak-hak yang secara jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan dalam sengketa TUN. Namun, sebagaimana terlihat dalam yurisprudensi di atas, tidak semua pihak yang mengaku sebagai bagian dari suatu masyarakat hukum adat secara langsung akan memiliki kedudukan hukum dalam sengketa TUN.
Meskipun pengakuan akan hak masyarakat hukum adat untuk mengajukan gugatan kepada PTUN, Pengadilan masih harus menilai kedudukan hukum mereka dengan perkara terkait. Dengan demikian, semua gugatan yang diajukan oleh masyarakat hukum adat harus didukung oleh bukti-bukti, yang menunjukkan mereka memiliki kedudukan hukum yang jelas untuk bertindak sebagai pihak yang berkepentingan terhadap objek sengketa. Seperti pada yurisprudensi di atas, yang mengharuskan Para Penggugat, yang mendalilkan diri sebagai masyarakat hukum adat terdampak akibat objek sengketa, untuk memenuhi syarat-syarat prosedural tertentu terkait pengukuhan masyarakat hukum adat secara hukum yang diatur dalam Pasal 67 UU Kehutanan sebelum hak-hak mereka dapat diakui, dan untuk kemudian melaksanakan hak-hak mereka yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan terkait.
Author

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.
Co-authored by

Miskah Banafsaj is an intern at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Sources:
- 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.
- Law Number 32 of 2009 on Environmental Protection and Management.
- Law Number 5 of 1960 on Basic Agrarian Principles.
- Law Number 41 of 1999 on Forestry.
- Government Regulation Number 23 of 2021 on Forestry Management.
- Regulation of the Minister of Home Affairs Number 52 of 2014 on Guidelines for the Recognition and Protection of Customary Law Communities.
- Supreme Court Decision Number 248 K/TUN/2016.
- State Administrative High Court Decision Number 01/B/2016/PT.TUN.MKS.
- State Administrative Court Decision Number 22/G/2015/PTUN.Kdi.

