Irwansyah D. Mahendra

Asas pencemar membayar merupakan landasan penting dalam Hukum Lingkungan, memastikan bahwa pihak yang bertanggung jawab atas pencemaran menanggung biaya kerusakan lingkungan.

Ganti Rugi Lingkungan Sebagai Perwujudan Dari Asas Pencemar Membayar

Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh suatu pihak sejatinya telah mencederai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dimiliki tiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.  Kemudian berangkat dari hal tersebut, timbu pertanyaan mendasar: bagaimana hukum menata tanggung jawab pihak yang menyebabkan kerusakan tersebut?

Salah satu instrumen yang digunakan adalah ganti rugi lingkungan, yaitu mekanisme hukum untuk menuntut kompensasi atas kerugian akibat pencemaran atau kerusakan lingkungan terhadap pihak yang menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan tersebut.

 

“Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan adalah pelanggaran terhadap hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945”

Hukum Indonesia telah mengatur ganti rugi lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana terakhir kali diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“UU PPLH”). Landasan normatif ganti rugi lingkungan terdapat dalam Pasal 87 ayat (1) UU PPLH yang mengatur bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Penjelasan Pasal 87 ayat (1) UU PPLH menjelaskan bahwa ganti rugi lingkungan merupakan realisasi dari asas pencemar pembayar sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf j UU PPLH.

Artikel ini akan membahas tinjauan regulasi dan penerapan ganti rugi lingkungan dalam kaitannya dengan hak gugat yang dimiliki pemerintah terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Artikel ini tidak membahas aspek perbuatan melawan hukum dalam suatu gugatan ganti rugi lingkungan dan bukti-bukti di dalamnya.

pencemaran lingkungan

Hak Gugat Pemerintah Terhadap Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup

Pasal 90 ayat (1) UU PPLH mengatur bahwa instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Kemudian dalam Pasal 31 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup (”Perma Perkara Lingkungan Hidup”) mengatur bahwa instansi pemerintah pusat dan instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan/atau tindakan tertentu, baik secara sendiri maupun bersama-sama dan apabila gugatan a quo diajukan oleh salah satu instansi baik pemerintah pusat ataupun daerah, tidak menjadikan gugatan tersebut kurang pihak.

Kerugian Lingkungan Hidup

 

“Kerugian lingkungan hidup didefinisikan sebagai kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat”

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup (“Permen Kerugian Lingkungan”) hadir sebagai ejawantah dari Pasal 90 ayat (2) UU PPLH yang mengamanatkan pembentukan peraturan menteri untuk mengatur lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup.  Permen Kerugian Lingkungan memberikan pedoman bagi instansi pemerintah pusat dan instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dalam menentukan kerugian lingkungan hidup dan melakukan penghitungan besarnya kerugian lingkungan hidup.

UU PPLH dan Permen Kerugian Lingkungan mendefinisikan kerugian lingkungan hidup sebagai kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat.

Baca Juga: Penerapan Tanggung Jawab Mutlak dalam Perkara Lingkungan Hidup

Pasal 3 dan Bab II Lampiran II Permen Kerugian Lingkungan mengatur jenis kerugian lingkungan hidup yang meliputi:

  • kerugian karena dilampauinya baku mutu lingkungan hidup sebagai akibat tidak dilaksanakannya seluruh atau sebagian kewajiban pengolahan air limbah, emisi, dan/atau pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun;
  • kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup, meliputi biaya: verifikasi lapangan, analisa laboratorium, ahli dan pengawasan pelaksanaan pembayaran kerugian lingkungan hidup;
  • kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup;
    biaya ganti rugi untuk jenis kerugian ini meliputi:
    • biaya penanggulangan;
      Pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, suatu tindakan seketika perlu diambil untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang terjadi agar pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dapat dihentikan dan tidak menjadi semakin parah. Tindakan ini dapat dilakukan oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan, dan/atau oleh pemerintah. Apabila pemerintah yang melakukan tindakan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan telah mengeluarkan biaya untuk tindakan tersebut, jumlah seluruh biaya tersebut harus 8 diganti oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
    • biaya pemulihan
      Lingkungan hidup yang tercemar dan/atau rusak harus dipulihkan dan sedapat mungkin kembali seperti keadaan semula, sebelum terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Tindakan pemulihan lingkungan hidup ini berlaku bagi lingkungan hidup publik yang menjadi hak dan wewenang pemerintah serta lingkungan masyarakat yang mencakup hak dan wewenang perorangan maupun kelompok orang. Apabila pihak penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan/atau perorangan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup merasa tidak mampu melaksanakan kewajiban pemulihan lingkungan hidup, sehingga wajib untuk membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada pemerintah dengan ketentuan bahwa Pemerintah atau pemerintah daerah yang akan melaksanakan tugas pemulihan kondisi lingkungan hidup.
  • kerugian ekosistem;
    Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan memiliki dampak yang luas hingga dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem. Sebagai contoh, dalam kasus kebakaran hutan maka kerugian ekosistem yang dialami meliputi hilangnya kapasitas hutan untuk menampung air, menahan erosi, mencegah sedimentasi, hilangnya habitat untuk, keanekaragaman hayati, dsb. Kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dicontohkan sebelumnya dihitung nilainya sesuai dengan derajat kerusakannya serta lamanya semua kerusakan itu berlangsung.
  • kerugian ekonomi.
    kerugian ekonomi dihitung berdasarkan dua parameter, yakni hilangnya umur pakai lahan/area yang tercemar atau rusak dan keuntungan yang hilang.

Pasal 4 dan 5 Permen Kerugian Lingkungan mengatur bahwa penghitungan kerugian lingkungan hidup wajib dilakukan oleh ahli dan didasarkan dari pedoman penghitungan kerugian lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Lampiran II Permen Kerugian Lingkungan.

 

“Besaran kerugian lingkungan hidup harus dihitung oleh ahli dan berpedoman pada Permen Kerugian Lingkungan”

Pencemar Membayar

Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup

Bab III Lampiran II Permen Kerugian Lingkungan menjelaskan metode serta komponen penghitungan ganti kerugian untuk masing-masing jenis kerugian sebagimana telah disebutkan sebelumnya, yang diatur sebagai berikut:

Kerugian karena dilampauinya baku mutu lingkungan hidup

Penghitungan kerugian lingkungan jenis ini dapat menggunakan tiga metode, yakni:

  • Akumulasi nilai unit pencemaran
    Metode ini didasarkan pada akumulasi nilai unit pencemaran setiap parameter limbah. Nilai unit pencemaran setiap parameter limbah dan basis biaya per unit pencemaran ditetapkan berdasarkan besaran dampak pencemaran pada lingkungan hidup dan kesehatan.
  • Biaya operasional
    Metode ini menggunakan biaya operasional per M3 limbah yang diolah dengan baik dan memenuhi baku mutu pada suatu industri sebagai pembanding bagi industri lain yang sejenis.
  • Prinsip biaya penuh
    Penghitungan menggunakan metode prinsip biaya penuh (meliputi biaya tenaga kerja, energi, bahan kimia, pemeliharaan dan depresiasi/amortisasi nilai investasi) terhadap fasilitas pengolahan limbah eksisting (dalam hal fasilitas pengolah limbah sudah dimiliki namun kapasitasnya terlalu kecil dan/atau salah pengoperasian dan/atau sengaja tidak dioperasikan) atau dipilih teknologi pengolah limbah baru sesuai dengan kebutuhan proses (dalam hal fasilitas pengolahan limbah belum dimiliki atau sudah dimiliki) agar memenuhi baku mutu limbah.

Kerugian untuk pengganti biaya verifikasi sengketa lingkungan, analisa laboratorium, ahli dan biaya pengawasan pembayaran kerugian lingkungan hidup

Biaya-biaya yang timbul dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan harus diganti oleh pihak yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan yang meliputi:

  • Biaya verifikasi sengketa lingkungan
    Biaya verifikasi sengketa lingkungan hidup adalah total pengeluaran riil untuk berbagai kegiatan yang meliputi tahap perencanaan; tahap pelaksanaan; dan evaluasi data & laporan periodik.
  • Biaya pengawasan
    Biaya pengawasan adalah total pengeluaran riil untuk berbagai kegiatan yang meliputi perencanaan pengawasan; pelaksanaan pengawasan; dan pemantauan hasil pelaksanaan pengawasan.

Kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup

  • Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
    Besaran biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang harus diganti tergantung pada besarnya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang sedang terjadi dan berupa biaya riil yang dikeluarkan.
  • Biaya pemulihan lingkungan hidup
    Biaya pemulihan merupakan segala biaya yang dikeluarkan untuk memulihkan kondisi lingkungan hidup kembali seperti sebelum terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan.
    Komponen biaya pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran lingkungan dihitung per jenis media meliputi:
    • biaya clean-up/pemulihan terhadap tanah meliputi:
      • bioremediasi (bioremediation);
      • bioventing;
      • landfarming;
      • landspreading;
      • soil vapor extraction;
      • natural attenuation dan monitoring.
    • biaya clean-up/pemulihan terhadap air tanah meliputi:
      • air sparging;
      • bioremediasi (bioremediation);
      • natural attenuation dan monitoring;
      • pumping dan treatment.

    Komponen biaya pemulihan lingkungan hidup akibat kerusakan lingkungan meliputi:

    1. biaya pengadaan bahan pengganti ekosistem yang rusak (biaya riil);
    2. biaya revegetasi;
    3. biaya pembangunan reservoir;
    4. biaya pendaur ulang unsur hara;
    5. biaya pengurai limbah;
    6. biaya keanekaragaman hayati;
    7. biaya sumberdaya genetik;
    8. biaya pelepasan karbon (carbon release);
    9. biaya perosot karbon (carbon reduction).

Masing-masing komponen dihitung berdasarkan rumus yang telah ditentukan dalam Lampiran II Permen Kerugian Lingkungan. Kemudian hasil dari 9 komponen tersebut ditambahkan sehingga dapat diketahui besaran dari biaya pemulihan lingkungan hidup.

Baca Juga: Carbon Capture and Storage dan Carbon Capture, Utilization and Storage: Potensi dan Regulasi di Indonesia

Kerugian ekosistem

Berikut komponen-komponen yang dihitung untuk mendapatkan nilai kerugian ekosistem:

  • biaya memulihkan fungsi tata air;
  • biaya pembuatan reservoir;
  • biaya pengaturan tata air;
  • biaya pengendalian erosi dan limpasan;
  • biaya pembentukan tanah;
  • biaya pendaur ulang unsur hara;
  • biaya pengurai limbah;
  • biaya keanekaragaman hayati;
  • biaya sumberdaya genetik;
  • biaya pelepasan karbon;
  • biaya erosi;
  • biaya pemulihan biodiversity.

Masing-masing komponen dihitung berdasarkan rumus yang telah ditentukan dalam Lampiran II Permen Kerugian Lingkungan. Kemudian hasil dari 12 komponen tersebut ditambahkan sehingga dapat diketahui nilai ganti rugi akibat kerusakan lingkungan.

Pasal 8 Permen Kerugian Lingkungan mengatur bahwa pembayaran kerugian lingkungan hidup oleh tergugat merupakan penerimaan negara bukan pajak dan wajib disetor ke kas negara.

 

“Pembayaran kerugian lingkungan hidup oleh tergugat merupakan penerimaan negara bukan pajak dan wajib disetor ke kas negara”

hukum lingkungan

Penerapan Biaya Ganti Rugi Lingkungan Berdasarkan Putusan Pengadilan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan v, PT Tiesico Cahaya Pertiwi, Putusan No. 44/Pdt.G/LH/2024/PN Jmb jo. Putusan No. 74/Pdt.Sus-LH/2025/PT JMB

Pada perkara antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (”KLHK”) selaku penggugat melawan PT Tiesico Cahaya Pertiwi (“PT TCP”) selaku tergugat, KLHK menggugat  PT TCP atas kebakaran lahan seluas 3.480 hektare di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Kebakaran lahan tersebut terjadi di areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Campuran (“IUPHHK-HTC”) yang dikuasai dan diusahakan oleh PT TCP.

Berdasarkan keterangan ahli yang ditunjuk KLHK dalam kaitannya dengan analisa dan pengamatan kerusakan lingkungan, kebakaran yang terjadi telah menyebabkan kerusakan tanah gambut karena telah masuk kriteria baku kerusakan (berdasarkan PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan, “PP Pengendalian Kerusakan/Pencemaran Lingkungan”) sehingga akan mengganggu keseimbangan ekosistem di kawasan hutan tersebut.

Baca Juga: Perkara Lingkungan Hidup: PMH oleh Lembaga Negara dan/atau Pemerintah dalam Bencana Kabut Asap akibat Kebakaran Hutan

Dalam gugatannya, KLHK menyatakan bahwa PT TCP harus bertanggung jawab atas kerugian lingkungan hidup akibat kebakaran lahan yang terjadi di areal IUPHHK-HTC yang dikuasai dan diusahkan olehnya berdasarkan asas pencemar membayar dan ketentuan Pasal 87 UU PPLH.

KLHK menunjuk ahli untuk menghitung kerugian lingkungan hidup di areal bekas kebakaran tersebut serta komponen penghitungan yang digunakan oleh ahli seluruhnya merujuk kepada Permen Kerugian Lingkungan.

Komponen kerugian lingkungan hidup berdasarkan perhitungan ahli adalah sebagai berikut:

  • Kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebesar Rp130.907.800 (seratus tiga puluh juta sembilan ratus tujuh ribu delapan ratus Rupiah);
  • Kerusakan ekologi sebesar Rp257.303.490.000,00 (dua ratus lima puluh tujuh miliar tiga ratus tiga juta empat ratus sembilan puluh ribu Rupiah) yang terdiri dari:
    • Penyimpanan air sebesar Rp220.980.000.000 (dua ratus dua puluh miliar sembilan ratus delapan puluh juta Rupiah);
    • Pengaturan tata air sebesar Rp104.400.000 (seratus empat juta empat ratus ribu Rupiah);
    • Pengendalian erosi sebesar Rp4.263.000.000 (empat miliar dua ratus enam puluh tiga juta Rupiah);
    • Pembentuk tanah sebesar Rp174.000.000 (seratus tujuh puluh empat juta Rupiah);
    • Pendaur ulang unsur hara Rp16.042.800.000 (enam belas miliar empat puluh dua juta delapan ratus ribu Rupiah);
    • Pengurai limbah sebesar Rp1.513.800.000 (satu miliar lima ratus tiga belas juta delapan ratus ribu Rupiah);
    • Keanekaragaman hayati sebesar Rp9.396.000.000 (sembilan miliar tiga ratus sembilan puluh enam juta Rupiah);
    • Sumber daya genetik sebesar Rp1.426.800.000 (satu miliar empat ratus dua puluh enam juta delapan ratus ribu Rupiah);
    • Pelepasan karbon (carbon release) sebesar Rp1.409.400.000 (satu miliar empat ratus sembilan juta empat ratus ribu Rupiah);
    • Perosot karbon (carbon reduction) sebesar Rp493.290.000 (empat ratus sembilan puluh tiga juta dua ratus sembilan puluh ribu Rupiah).
  • Kerugian ekonomi sebesar Rp210.540.000.000 (dua ratus sepuluh miliar lima ratus empat puluh juta Rupiah).

Sehingga total kerugian lingkungan hidup yang berasal dari kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup, kerugian ekologi, dan kerugian ekonomi sebagaimana dituntut oleh KLHK adalah sebesar Rp467.974.397.800 (empat ratus enam puluh tujuh miliar sembilan ratus tujuh puluh empat juta tiga ratus sembilan puluh tujuh ribu delapan ratus Rupiah).

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa PT TCP telah melakukan perbuatan melawan hukum karena terbukti tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di area izin usahanya serta tidak melakukan kewajiban pelaporan hasil pemantauan terkait pencegahan kebakaran hutan dan lahan setiap 6 (enam) bulan sekali kepada instansi yang berwenang sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 13 Jo. 14 PP Pengendalian Kerusakan/Pencemaran Lingkungan, sehingga tergugat dinyatakan telah melakukan pembiaran terhadap kebakaran hutan dan lahan di area izin usahanya yang menimbulkan ancaman serius bagi kelestarian lingkungan hidup.

Dalam kaitannya dengan penghitungan ganti rugi lingkungan, Majelis Hakim mengabulkan ganti kerugian yang harus dibayar oleh PT TCP untuk Kerusakan ekologi sebesar Rp257.303.490.000 (dua ratus lima puluh tujuh miliar tiga ratus tiga juta empat ratus sembilan puluh ribu Rupiah) dan  kerugian ekonomi sebesar Rp210.540.000.000,00 (dua ratus sepuluh miliar lima ratus empat puluh juta Rupiah. Majelis Hakim menyatakan bahwa perhitungan kerusakan ekologi dan kerugian ekonomi telah dilakukan oleh ahli yang ditunjuk KLHK sesuai dengan kaidah dan pedoman penghitungan kerugian lingkungan pada Permen Kerugian Lingkungan sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa ganti kerugian yang dituntut oleh KLHK beralasan hukum untuk dikabulkan.

Kemudian Majelis Hakim menolak tuntutan ganti rugi untuk kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebesar Rp130.907.800 (seratus tiga puluh juta sembilan ratus tujuh ribu delapan ratus Rupiah) dengan pertimbangan bahwa perhitungan tersebut tidak merincikan apa saja yang telah dikeluarkan dan juga tidak didukung dengan bukti kwitansi/invoice atas pengeluaran seperti biaya transportasi, jasa ahli, laboratorium dan lain sebagainya, maka Majelis Hakim menilai mengenai tuntutan ganti kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang diminta oleh KLHK tidak beralasan hukum dan harus dinyatakan ditolak.

Berangkat dari pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim tersebut, kerugian yang harus dibayar oleh PT TCP adalah sebesar Rp467.843.490.000,00 (empat ratus enam puluh tujuh miliar delapan ratus empat puluh tiga juta empat ratus sembilan puluh ribu Rupiah).

Majelis Hakim tingkat banding menguatkan putusan tingkat pertama yang menghukum PT TCP untuk mengganti kerugian lingkungan hidup sebagaimana disebutkan sebelumnya melalui Putusan No. 74/Pdt.Sus-LH/2025/PT JMB. Namun demikian, perkara ini masih dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT Putralirik Domas, Putusan No. 193/Pdt.G-LH/2020/PN Jkt.Utr jo. Putusan No. 200/PDT/2022/PT DKI jo. Putusan MA No. 3441 K/Pdt/2023 jo. Putusan MA No. 79 PK/Pdt/2025

Pada perkara antara KLHK selaku penggugat melawan PT Putralirik Domas (“PT PLD”) selaku tergugat, KLHK menggugat  PT PLD atas kebakaran lahan seluas 500 hektare di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Kebakaran lahan tersebut terjadi di areal lahan yang dikuasai tergugat untuk melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit.

Dalam gugatannya, KLHK menyatakan bahwa PT PLD harus bertanggung jawab atas kerugian lingkungan hidup akibat kebakaran lahan yang terjadi di areal perkebunan sawit yang dikuasai  yang dikuasai olehnya berdasarkan asas pencemar membayar dan ketentuan Pasal 87 UU PPLH.

Berdasarkan keterangan ahli yang ditunjuk KLHK dalam kaitannya dengan analisa dan pengamatan kerusakan lingkungan, kebakaran yang terjadi telah menyebabkan kerusakan tanah karena telah masuk kriteria baku kerusakan (berdasarkan PP Pengendalian Kerusakan/Pencemaran Lingkungan) sehingga akan mengganggu keseimbangan ekosistem di lahan bekas kebakaran tersebut.

KLHK menunjuk ahli untuk menghitung kerugian lingkungan hidup di areal bekas kebakaran tersebut serta komponen penghitungan yang digunakan oleh ahli seluruhnya merujuk kepada Permen Kerugian Lingkungan.

Komponen kerugian lingkungan hidup berdasarkan perhitungan ahli adalah sebagai berikut:

  • Kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebesar Rp2.966.092.450 (dua milyar sembilan ratus enam puluh enam juta sembilan puluh dua ribu empat ratus lima puluh Rupiah) yang terdiri dari:
    • Biaya verifikasi sengketa lingkungan hidup yang meliputi biaya transportasi tim verifikasi, akomodasi, analisa laboratorium, dan biaya ahli sebesar Rp66.092.450 (enam puluh enam juta sembilan puluh dua ribu empat ratus lima puluh Rupiah);
    • Biaya pengawasan pemulihan lingkungan hidup meliputi biaya pengawasan dan biaya analisa laboratorium sebesar Rp2.900.000.000 (dua milyar sembilan ratus juta Rupiah).
  • Kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup dan/atau kerugian ekosistem sebesar Rp196.577.950.000 (seratus sembilan puluh enam milyar lima ratus tujuh puluh tujuh juta sembilan ratus lima puluh ribu Rupiah) yang terdiri dari:
  1. Kerusakan ekologi, meliputi:
    • Penyimpanan air sebesar Rp33.250.000.000 (tiga puluh tiga milyar dua ratus lima puluh juta Rupiah);
    • Pengaturan tata air sebesar Rp15.000.000 (lima belas juta Rupiah);
    • Pengendalian erosi sebesar Rp500.000 (enam ratus dua belas juta lima ratus ribu Rupiah);
    • Pembentuk tanah sebesar Rp25.000.000 (dua puluh lima juta Rupiah);
    • Pendaur ulang unsur hara Rp2.305.000.000 (dua milyar tiga ratus lima juta Rupiah) ;
    • Pengurai limbah sebesar Rp217.500.000 (dua ratus tujuh belas juta lima ratus ribu Rupiah);
    • Keanekaragaman hayati sebesar Rp1.350.000.000 (satu miliar tiga ratus lima puluh juta Rupiah);
    • Sumber daya genetik sebesar Rp205.000.000,- (dua ratus lima juta Rupiah);
    • Pelepasan karbon (carbon release) sebesar Rp202.500.000,- (dua ratus dua juta lima ratus ribu Rupiah);
    • Perosot karbon (carbon reduction) sebesar Rp70.875.000,- (tujuh puluh juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu ribu Rupiah).

    Total biaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti kerugian ekologis yang hilang terhadap 10 komponen di atas adalah sebesar Rp38.253.375.000 (tiga puluh delapan milyar dua ratus lima puluh tiga juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu Rupiah).

  2. Kerugian ekonomi berdasarkan hilangnya umur pakai lahan yang terbakar sebesar Rp15.973.700.000 (lima belas milyar Sembilan ratus tujuh puluh tiga juta tujuh ratus ribu Rupiah).
  3. Biaya pemulihan untuk pemulihan lahan seluas 500 hektare yang rusak karena pembakaran meliputi biaya pembelian kompos, biaya angkut, dan biaya penyebaran kompos di areal yang terbakar sebesar Rp122.000.000.000 (seratus dua puluh dua milyar Rupiah).
  4. Biaya untuk mengaktifkan fungsi ekologis yang hilang sebesar Rp4.350.875.000 (empat milyar tiga ratus lima puluh juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu Rupiah), yang terdiri dari biaya:
    • Pendaur ulang unsur hara;
    • Pengurai limbah;
    • Keanekaragaman hayati
    • Sumber daya genetik
    • Perosotan karbon
  5. Biaya pembangunan/perbaikan sistem hidrologi (water management) di lahan yang terbakar sebesar Rp6.000.000.000 (enam milyar Rupiah).
  6. Biaya revegetasi pada lahan yang terbakar sebesar Rp10.000.000.000,- (sepuluh milyar Rupiah).

Sehingga total kerugian lingkungan hidup yang berasal dari kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup dan/atau kerugian ekosistem, sebagaimana dituntut oleh KLHK adalah sebesar Rp199.544.042.450 (seratus sembilan puluh sembilan milyar lima ratus empat puluh empat juta empat puluh dua ribu empat ratus lima puluh Rupiah).

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa PT PLD telah melakukan perbuatan melawan hukum karena terbukti tidak mampu melakukan kewajibannya untuk mencegah terjadinya kebakaran dan terbukti melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum.

Majelis Hakim menyatakan bahwa nilai atau besaran kerugian yang diajukan KLHK sebesar Rp199.544.042.450 (seratus sembilan puluh sembilan milyar lima ratus empat puluh empat juta empat puluh dua ribu empat ratus lima puluh Rupiah) beralasan hukum dan permohonan ganti rugi sepatutnya dikabulkan karena perhitungan kerugian tersebut telah dilakukan oleh ahli yang ditunjuk KLHK sesuai dengan kaidah dan pedoman penghitungan kerugian lingkungan pada Permen Kerugian Lingkungan.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Tinggi hanya membatalkan gugatan provisi yang sebelumnya dikabulkan oleh Majelis Hakim tingkat pertama, namun tidak mengubah/membatalkan pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama mengenai eksepsi dan pokok perkara sehingga ganti rugi lingkungan tetap berlaku untuk PT PLD. Pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dan peninjauan kembali dari PT PLD.

kompensasi lingkungan

Permen Kerugian Lingkungan Sebagai Instrumen Baku Perhitungan Kerugian Lingkungan

 

“Preseden putusan pengadilan menunjukkan konsistensi hakim menjadikan Permen Kerugian Lingkungan sebagai instrumen baku perhitungan biaya ganti rugi lingkungan”

Berdasarkan kedua preseden tersebut, dapat disimpulkan bahwa sikap majelis hakim konsisten menjadikan Permen Kerugian Lingkungan sebagai acuan utama dalam perhitungan biaya ganti rugi lingkungan. Dalam perkara KLHK melawan PT PLD, Majelis Hakim mengabulkan seluruh biaya ganti rugi lingkungan yang diajukan oleh KLHK dengan pertimbangan bahwa nilai ganti rugi tersebut telah dihitung oleh ahli berdasarkan Permen Kerugian Lingkungan.

Dalam perkara KLHK melawan PT TCP, Majelis Hakim menolak sebagian tuntutan ganti rugi lingkungan yang diajukan KLHK, yakni pada pos kerugian terkait biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Pertimbangannya, perhitungan biaya tersebut tidak merinci secara jelas apa saja yang telah dikeluarkan serta tidak didukung bukti pendukung seperti kwitansi atau invoice atas pengeluaran biaya transportasi, jasa ahli, analisis laboratorium, dan lain-lain.

Penolakan tersebut dapat dipahami, terutama jika dibandingkan dengan perkara KLHK melawan PT PLD, di mana Majelis Hakim justru mengabulkan pos ganti rugi yang sama. Dalam kasus PLD, KLHK secara rinci menjelaskan bahwa biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa dialokasikan untuk:

  • biaya verifikasi, yang mencakup transportasi tim, akomodasi, analisis laboratorium, dan jasa ahli; dan
  • biaya pengawasan pemulihan lingkungan hidup, yang mencakup kegiatan pengawasan dan analisis laboratorium.

Rincian tersebut sejalan dengan Lampiran II Permen Kerugian Lingkungan, sehingga memberikan dasar yang cukup bagi Majelis Hakim untuk mengabulkan tuntutan tersebut.

Dengan demikian, sikap hakim terhadap Permen Kerugian Lingkungan sebagaimana dijelaskan sebelumnya memberikan afirmasi bahwa regulasi tersebut telah menjadi instrumen baku dalam penentuan ganti rugi lingkungan.


Author

Irwansyah D. Mahendra

Irwansyah Dhiaulhaq Mahendra is an Associate in Leks&Co. He obtained a law degree from Diponegoro University. He joined Leks&Co as an intern and then later on promoted as an Associate. At the firm, he is involved in real estate, general corporate/commercial, commercial dispute resolution, and construction.


Editor

Dr. Eddy Marek Leks

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of  BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Sources:
Law and Jurisprudence

  • Law No. 32 of 2009 on the Environmental Protection and Management, as lastly amended by Law No. 6 of 2023 on the Enactment of Government Regulation in Lieu of Law No. 2 of 2022 on Job Creation into Law
  • Minister of Environment Regulation No. 7 of 2014 concerning Environmental Losses Due to Environmental Pollution and/or Damage
  • Supreme Court Regulation Number 1 of 2023 concerning Guidelines for Adjudicating Environmental Cases
  • Supreme Court Decision 3441 K/Pdt/2023
  • Supreme Court Decision No. 79 PK/Pdt/2025
  • Decision No. 200/PDT/2022/PT DKI
  • Decision No. 74/Pdt.Sus-LH/2025/PT JMB
  • Decision No. 193/Pdt.G-LH/2020/PN Jkt.Utr
  • Decision No. 44/Pdt.G/LH/2024/PN Jmb