
Table of Contents
Kerangka Kerja yang Lebih Jelas untuk Kontrak Energi Terbarukan di Indonesia
Sebagai bentuk komitmen pemerintah Indonesia untuk mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan listrik, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Dari Pembangkit Tenaga Listrik Yang Memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan (“Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan”), yang mulai berlaku sejak 4 Maret 2025. Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan ini mengatur secara khusus pelaksanaan perjanjian jual beli tenaga listrik (“PJBL”) yang berasal dari sumber energi terbarukan antara Produsen Listrik Independen (Independent Power Producer – “IPP”) selaku penjual dan PT Perusahaan Listrik Negara (“PLN”) selaku pembeli. Sebelumnya ketentuan mengenai PJBL baik yang bersumber dari energi terbarukan maupun tidak, diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik sebagaimana terakhir diubah oleh Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 48 Tahun 2018 (“Permen ESDM 10/2017”).
Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan ini berlaku untuk setiap PJBL yang bersumber dari energi terbarukan yang dihasilkan melalui pembangkit listrik tenaga:
- panas bumi;
- air;
- surya fotovoltaik;
- bayu;
- biomassa;
- biogas;
- energi laut; dan
- bahan bakar nabati.
Selain itu pembangkit tenaga listrik berbasis sampah juga dikategorikan sebagai pembangkit listrik yang memanfaatkan energi terbarukan. Lebih lanjut, Pasal 4 Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan, PJBL yang memanfaatkan sumber energi terbarukan, harus paling sedikit memuat ketentuan mengenai:
- jangka waktu;
- hak dan kewajiban para pihak;
- alokasi risiko;
- jaminan pelaksanaan proyek;
- komisioning dan tanggal operasi komersial;
- sertifikasi instalasi tenaga listrik;
- transaksi jual beli tenaga listrik;
- pengendalian operasi sistem tenaga listrik;
- kinerja pembangkit tenaga listrik;
- pengakhiran PJBL;
- pengalihan hak;
- harga dan persyaratan penyesuaian harga;
- penyelesaian perselisihan;
- keadaan kahar;
- penggunaan produk dalam negeri;
- atribut lingkungan atau nilai ekonomi karbon;
- refinancing; dan
- bahasa

Poin Penting dalam Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan
- Skema PJBL Energi Terbarukan
Berdasarkan Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan, PJBL energi terbarukan dapat dilaksanakan melalui skema Membangun, Memiliki, dan Mengoperasikan (Build, Own, and Operate – “BOO”) atau skema pembangunan dan pengoperasian lainnya sesuai dengan kesepakatan para pihak. Sebelumnya skema PJBL berdasarkan Permen ESDM 10/2017 hanya dapat dilaksanakan dengan skema Membangun, Memiliki, Mengoperasikan, dan Mengalihkan (Build, Own Operate, and Transfer – “BOOT”). Ketentuan baru dalam Permen ESDM PJBL Terbarukan ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi IPP pada sektor energi terbarukan. Melalui skema BOO maka IPP energi terbarukan dimungkinkan untuk mempertahankan kepemilikan pembangkit listrik serta memperoleh pendapatan yang berkelanjutan.
“Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan membuka jalan bagi fleksibilitas skema BOO yang memungkinkan IPP mempertahankan kepemilikan pembangkit listrik dan pendapatan yang berkelanjutan”
- Jangka Waktu PJBL
Jangka waktu PJBL energi terbarukan dapat dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak terlaksananya tanggal beroperasinya pembangkit tenaga listrik secara komersial (Commercial Operation Date – “COD”) dan dapat diperpanjang. Dalam hal perpanjangan PJBL energi terbarukan, harga jual tenaga listrik mengacu pada harga patokan tertinggi setelah tahun ke-10 (staging 2). Sebelumnya berdasarkan Permen ESDM 10/2017 jangka waktu PJBL paling lama adalah 30 tahun sejak COD dan tidak dapat diperpanjang.
- Jaminan Pelaksanaan Proyek
Berdasarkan Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan jaminan pelaksanaan proyek harus diberikan oleh IPP kepada PLN maksimal 10% (sepuluh persen) dari total biaya proyek (project cost) pembangkit tenaga listrik. Jaminan pelaksanaan proyek dapat dibagi paling banyak dalam 3 (tiga) tahapan dokumen jaminan pelaksanaan yang mekanisme pembagian dan pencairannya ditetapkan dalam PJBL energi terbarukan. Sebelumnya Permen ESDM 10/2017 tidak menetapkan nilai maksimal jaminan pelaksanaan proyek yang harus diberikan IPP kepada PLN. - Keterlambatan Pelaksanaan COD berdasarkan PJBL
- Keterlambatan yang Disebabkan oleh IPP
Dalam hal terjadi keterlambatan pelaksanaan COD yang telah disepakati dalam PJBL yang disebabkan oleh IPP dikarenakan pembangkit IPP tidak dalam kondisi deemed commissioning, maka IPP akan dikenai liquidated damages. Deemed commissioning merupakan suatu keadaan ketika pembangkit listrik milik IPP dianggap telah melaksanakan pengujian dan komisioning sesuai dengan syarat dan ketentuan yang disepakati dalam PJBL. Besaran liquidated damages dihitung secara proporsional dengan biaya yang dikeluarkan oleh PLN dikarenakan ketiadaan energi yang dijanjikan dan dapat berupa nilai presentasi dari biaya proyek dibagi maksimal hari keterlambatan. Liquidated damages dihitung per hari keterlambatan dengan total pengenaan 180 hari kalender. Dalam hal perhitungan liquidated damages telah mencapai nilai maksimal, PLN berhak untuk melakukan pengakhiran PJBL. - Keterlambatan yang Disebabkan PLN
Dalam hal keterlambatan pelaksanaan COD yang telah disepakati PJBL yang disebabkan oleh kondisi tertentu dari PLN di luar keadaan kahar, maka IPP berhak mendapatkan pembayaran atas tenaga listrik yang dianggap disalurkan kepada PLN sejak pembangkit tenaga listrik milik IPP dianggap telah beroperasi secara komersial (deemed COD) pada waktu yang disepakati dalam PJBL. IPP hanya berhak atas pembayaran tersebut dalam hal pembangkit listrik IPP dalam kondisi dianggap telah melaksanakan pengujian dan komisioning sesuai dengan syarat dan ketentuan yang disepakati dalam PJBL (deemed commisioning).
- Keterlambatan yang Disebabkan oleh IPP
“Pengaturan yang lebih rinci mengenai keterlambatan COD mencerminkan upaya Pemerintah dalam mengatur keseimbangan kepentingan antara IPP dan PLN”
- Transaksi Jual Beli Tenaga Listrik
PLN wajib membeli tenaga listrik sesuai dengan energi listrik yang diperjanjikan atau faktor ketersediaan listrik dengan harga yang diperjanjikan dalam PJBL. PLN dapat membeli tenaga listrik yang melebihi energi listrik yang diperjanjikan atau faktor ketersediaan listrik dengan batasan paling banyak kapasitas pengenal (unit rated capacity) dengan ketentuan:- harga pembelian listrik paling besar 80% dari harga PJBL yang diperjanjikan; dan
- pembelian listrik sesuai dengan kebutuhan tenaga listrik pada sistem tenaga listrik setempat.
Selain itu, untuk optimalisasi pembangkit tenaga listrik, PLN dapat membeli tenaga listrik dari pembangkit yang telah dilakukan PJBL dan mampu memproduksi tenaga listrik melebih kapasitas pengenal (unit rated capacity) dengan ketentuan:
- pembelian dilakukan paling banyak sebesar 30% dari energi listrik yang diperjanjikan atau faktor ketersediaan listrik.
- harga pembelian listrik menggunakan harga pembelian terendah; dan
- sesuai dengan kebutuhan tenaga listrik.
- Pengalihan Saham
Kepemilikan saham atas IPP hanya dapat dialihkan setelah pembangkit tenaga listrik mencapai COD. Pengalihan saham atas IPP dapat dilaksanakan sebelum COD dengan ketentuan:- pengalihan kepada afiliasi yang sahamnya dimiliki lebih dari 90% secara langsung oleh perusahaan sponsor yang bermaksud untuk mengalihkan saham; dan/atau
- pengalihan kepada pemberi pinjaman (step-in rights bagi lender), jika terjadi cidera janji (wanprestasi) oleh IPP dengan ketentuan pelaksanaan pengalihan kepada pemberi pinjaman (step-in rights bagi lender) tidak mengurangi kualifikasi perusahaan sponsor.
Pengalihan hak kepemilikan saham wajib mendapatkan persetujuan secara tertulis terlebih dahulu dari PLN. Pengalihan hak kepemilikan saham tersebut juga harus dilaporkan oleh IPP kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan ditembuskan kepada Direktur Jendral Ketenagalistrikan dan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi.
- Atribut Lingkungan atau Nilai Ekonomi Karbon
Atribut lingkungan atau nilai ekonomi karbon merupakan hal baru yang diatur dalam Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan. Berdasarkan ketentuan baru ini, Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan memberikan dasar hak atas atribut lingkungan atau nilai ekonomi karbon dari pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan energi terbarukan, yang paling sedikit terdiri atas:- kredit karbon;
- sertifikat energi terbarukan;
- label hijau;
- hak yang dapat diperdagangkan lainnya; dan
- keuntungan yang tersedia atau akan tersedia untuk pengurangan emisi gas rumah kaca.
- Refinancing
Ketentuan ini merupakan ketentuan yang baru diatur dalam Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan, dimana untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan usaha penyediaan listrik yang memanfaatkan energi terbarukan, IPP diperbolehkan untuk melakukan refinancing atau peninjauan pembiayaan antara IPP dengan pemberi pinjaman, dengan menginformasikan kepada PLN.

Implikasi Hukum Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan
PJBL energi terbarukan yang telah dilaksanakan dan ditandatangani sebelum berlakunya Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan akan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya PJBL energi terbarukan. Dalam hal PJBL energi terbarukan dilakukan perpanjangan, maka perjanjian perpanjangan tersebut akan mengikuti ketentuan dalam Permen ESDM tentang Energi Terbarukan.
“Sejak 2025, Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan memperbolehkan perpanjangan PJBL energi terbarukan.”
Lebih lanjut, ketentuan dalam Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan secara khusus diperuntukkan bagi penyelenggaraan PJBL yang memanfaatkan sumber energi terbarukan. Sedangkan bagi tenaga listrik yang tidak bersumber dari energi terbarukan tetap mengacu pada ketentuan PJBL yang diatur dalam Permen ESDM 10/2017. Permen ESDM tentang PJBL Terbarukan menjadi instrumen penting dalam mendorong pembangunan sektor ketenagalistrikan yang berorientasi pada energi yang berkelanjutan di Indonesia. Melalui ketentuan ini, diharapkan tercipta kepastian hukum bagi IPP khususnya dalam pelaksanaan PJBL energi terbarukan.
Author

Ardelia Ignatius is an Associate in Leks&Co. She obtained a law degree from Atma Jaya Catholic University of Indonesia. She joined Leks&Co as an intern and then later on promoted as an Associate. Her practice area covers real estate, general corporate/commercial, commercial dispute resolution, and construction. She has been actively in corporate and commercial matters, with experience in legal due diligence for land acquisition. She has contributed to the Indonesia Chapter of Global Arbitration Review – Construction Arbitration 2024, sharing insights on arbitration in the construction sector.
Editor

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Sources:
- Minister of Energy and Mineral Resources Regulation Number 5 of 2025 on Guidelines for Power Purchase Agreements from Power Plants that Utilize Renewable Energy Sources;
- Minister of Energy and Mineral Resources Regulation Number 10 of 2017 on Main Provisions for Power-Purchase Agreements; and
- Minister of Energy and Mineral Resources Regulation Number 48 of 2018 on the Second Amendment of Minister of Energy and Mineral Resources Regulation Number 10 of 2017 on Main Provisions for Power-Purchase Agreements.

