
Pembatalan putusan arbitrase menimbulkan pertanyaan kompleks terkait ketersediaan dan batasan upaya hukum di Indonesia. Artikel ini membahas bagaimana Mahkamah Agung membentuk Yurisprudensi Pembatalan Putusan Arbitrase, sekaligus memberikan kejelasan dalam kerangka Yurisprudensi Arbitrase Indonesia.
Kerangka Pengaturan Pembatalan Putusan Arbitrase
“Di Indonesia, pengajuan banding hanya berlaku terhadap pembatalan putusan arbitrase, artinya bahwa apabila pengadilan negeri menolak permohonan pembatalan, tidak dapat dilakukan upaya hukum apa pun, termasuk banding.”
Putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh Majelis Arbitrase adalah bersifat final dan mengikat para pihak. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”), menyatakan “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.” Lebih lanjut, dalam Penjelasannya juga diatur, bahwa “Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.” Akibatnya, para pihak yang terlibat dalam suatu sengketa arbitrase, harus mematuhi dan melaksanakan suatu putusan tersebut, tanpa adanya upaya hukum lebih lanjut.
Meskipun demikian, terhadap suatu putusan arbitrase, tetap dapat diajukan upaya hukum berupa pembatalan melalui pengadilan negeri. Adapun karena sifatnya final dan mengikat, pembatalan putusannya pun tidak dapat dilakukan berdasarkan hal-hal yang substansial dari kasus yang disengketakan dalam arbitrase. Pembatalan putusan arbitrase hanya dapat terbatas pada aspek-aspek yang menyangkut keabsahan suatu putusan arbitrase secara prosedural.
Pasal 72 UU Arbitrase dan APS mengatur bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri kemudian menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
Baca Juga: Apakah Suatu Putusan Arbitrase dapat Dikoreksi oleh Pengadilan: Menelusuri Berbagai Kemungkinan
Selain itu, upaya banding semacam ini dapat diajukan terhadap putusan pengadilan pada tingkat pertama yang mengabulkan permohonan pembatalan putusan arbitrase terkait. Pasal 27 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase (“PERMA tentang Arbitrase”), menyatakan bahwa putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan pembatalan putusan arbitrase, maka dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung. Namun demikian, bagaimana ketika permohonan tersebut ditolak? Apakah banding terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan ketika putusan pengadilan tersebut tidak memutus pembatalan suatu putusan arbitrase?
Batasan Banding atas Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase
Berbeda pada banding dalam sengketa umumnya yang diajukan pada Pengadilan Tinggi, banding dalam sengketa permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Mahkamah Agung, yang mana akan memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa tidak semua putusan pengadilan atas permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat selanjutnya diajukan banding.
Penjelasan Pasal 72 UU Arbitrase dan APS mengatakan, yang dimaksud dengan “banding” adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase atas dasar 3 (tiga) alasan di dalam Pasal 70, yaitu adanya dokumen palsu setelah putusan, setelah putusan ditemukan adanya dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan, dan putusan diambil dari hasil tipu muslihat salah satu pihak.
“Berbeda pada banding dalam sengketa umumnya yang diajukan pada Pengadilan Tinggi, banding dalam sengketa permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Mahkamah Agung, yang mana akan memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.”
Namun, bukan hanya itu saja, sebagaimana telah dinyatakan di atas, PERMA tentang Arbitrase sebenarnya telah menunjukkan bahwa syarat pengajuan permohonan banding dalam hal ini, hanya berlaku terhadap putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan pembatalan tersebut. Bahkan, dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, telah secara jelas dinyatakan:
“Sesuai dengan ketentuan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan penjelasannya, terhadap putusan pengadilan negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak tersedia upaya hukum baik banding maupun peninjauan kembali.
Dalam hal putusan pengadilan negeri membatalkan putusan arbitrase, tersedia upaya hukum banding ke Mahkamah Agung, terhadap putusan banding tersebut Mahkamah Agung memutus pertama dan terakhir sehingga tidak ada upaya hukum peninjauan kembali.”
Ketika mempertimbangkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka sebenarnya telah jelas, bahwa ketika putusan pengadilan menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase, tidak dimungkinkan untuk mengajukan banding terhadap putusan tersebut. Dalam praktiknya, namun, tidak jarang pihak-pihak yang permohonannya ditolak untuk tetap mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Baca Juga: Melampaui Arbitrase: Ketika Ketertiban Umum Mengalahkan Putusan
Sehingga, bagaimana kemudian Judex Juris menilai perihal ini dalam praktiknya? Apakah pertimbangan-pertimbangan mereka sesuai dengan berbagai ketentuan yang berlaku? Untuk lebih memahami bagaimana Judex Juris memberikan penilaian mereka, beberapa yurisprudensi akan disajikan berikut ini yang akan menunjukkan alasan hukum mereka terhadap permohonan banding yang mana diajukan setelah ditolaknya permohonan yang telah diajukan pada tingkat pertama.

PT. Krakatau Engineering v. BANI dan PT. Krakatau Posco, Yurisprudensi Nomor 286 B/Pdt.Sus-Arbt/2016
Judex Juris dalam pertimbangan hukumnya pada Nomor 286 B/Pdt.Sus-Arbt/2016 mengatakan:
“Bahwa berdasarkan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, terhadap pembatalan putusan arbitrase oleh Pengadilan Negeri dapat diajukan banding kepada Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat terakhir, sedangkan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang dimaksud ‘banding’ adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Oleh karena yang diperiksa dalam perkara ini adalah permohonan pembatalan putusan arbitrase, maka Mahkamah Agung akan memeriksa perkara ini dalam tingkat terakhir.”
Pertimbangan hukum di atas menegaskan kewenangan Mahkamah Agung untuk memeriksa perkara banding yang akan diperiksa dan diputus dalam tingkat terakhir terhadap pembatalan putusan arbitrase.
PT. Marga Setiapuritama v. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”), Yurisprudensi Nomor 9 B/Pdt.Sus-Arbt/2018
Judex Juris dalam pertimbangan hukum pada Putusan Nomor 9 B/Pdt.Sus-Arbt/2018 mengatakan:
“Bahwa sesuai dengan penjelasan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ditentukan bahwa upaya hukum banding hanya dapat dilakukan terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan dikuatkan pula dengan Rumusan Kamar Perdata Tahun 2016 (Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016): “terhadap putusan Pengadilan Negeri yang tidak membatalkan putusan arbitrase tidak dapat dilakukan upaya hukum banding (kasasi) ke Mahkamah Agung.”
Pertimbangan hukum Judex Juris seperti di atas dibuat secara konsisten oleh Judex Juris sebagaimana terlihat dalam kasus-kasus hukum lain dengan permohonan banding tanpa pembatalan putusan arbitrase, sebagaimana akan diulas pada beberapa yurisprudensi berikutnya.
“Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang tidak membatalkan putusan arbitrase tidak dapat dilakukan upaya hukum banding (kasasi) ke Mahkamah Agung.”
Marine-Andema-Tidarmarine v. Wika-Hutama Joint Operation, Yurisprudensi Nomor 465 B/Pdt.Sus-Arbt/2020
Judex Juris dalam pertimbangan hukumnya pada Putusan Nomor 465 B/Pdt.Sus-Arbt/2020 mengatakan:
“Bahwa sesuai dengan Ketentuan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 ditegaskan bahwa terhadap putusan Pengadilan Negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak tersedia upaya hukum.”
Pertimbangan hukum di atas mengatakan dari sudut pandang yang berlawanan, bahwa hanya pembatalan putusan arbitrase yang dapat diajukan banding. Jika putusan pengadilan negeri tidak membatalkan putusan arbitrase, maka putusan tersebut tidak dapat diajukan banding.
PT. Berdikari Insurance v. BANI dan PT. Biru & Sons, Yurisprudensi Nomor 709 B/Pdt.Sus-Arbt/2020
Judex Juris dalam pertimbangan hukumnya pada Putusan Nomor 709 B/Pdt.Sus-Arbt/2020 mengatakan:
“Bahwa sesuai dengan Ketentuan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 ditegaskan bahwa terhadap putusan Pengadilan Negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak tersedia upaya hukum baik Banding maupun Peninjauan Kembali.”
“Bahwa oleh karena Putusan Pengadilan Negeri Semarang… menolak Permohonan Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia… sehingga upaya hukum yang diajukan oleh Pemohon harus ditolak.”
Pertimbangan hukum Judex Juris ini tidak hanya menegaskan ketiadaan upaya hukum banding, melainkan juga ketiadaan upaya hukum peninjauan kembali jika tidak ada pembatalan putusan arbitrase.
Kantor Hukum Bertiga, Firma Diana, Wiyanto, Hafid Consulting v. BANI dan PT. Indonesia Asahan Alumunium (Persero), Yurisprudensi Nomor 1033 B/Pdt.Sus-Arbt/2020
Judex Juris dalam pertimbangan hukumnya pada Putusan Nomor 1033 B/Pdt.Sus-Arbt/2020 mengatakan:
“… namun dalam penjelasannya Pasal 72 ayat (4) tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan banding adalah hanya terhadap putusan pembatalan arbitrase sehingga terhadap putusan Pengadilan Negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase, tidak tersedia upaya hukum.”
“Bahwa ternyata putusan judex facti yang diajukan permohonan banding dalam perkara a quo tidak berupa pembatalan putusan arbitrase, oleh karenanya permohonan banding harus dinyatakan tidak dapat diterima.”
Pertimbangan Judex Juris tersebut secara jelas kembali menegaskan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase yang ditolak pada tingkat pertama, tidak dapat diajukan banding pada Mahkamah Agung.

Konsistensi atas Putusan Banding
Berbagai peraturan perundang-undangan telah memberikan ketentuan yang jelas mengenai syarat-syarat di mana putusan pengadilan atas permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan banding ke Mahkamah Agung. Selain dari syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 70 dan 72 UU Arbitrase dan APS, peraturan perundang-undangan terkait telah secara jelas mengatur bahwa suatu permohonan pembatalan putusan arbitrase yang telah ditolak pada tingkat pertama, tidak dapat dilakukan upaya hukum apa pun, termasuk banding. Namun dalam praktiknya, hingga saat ini, para pihak yang terlibat dalam suatu perkara arbitrase masih sering untuk selanjutnya mengajukan banding, terlepas dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Baca Juga: Putusan Banding atas Pembatalan Putusan Arbitrase tanpa Memori Banding: Analisis Yurisprudensi
Pada akhirnya, ketika merujuk pada pertimbangan-pertimbangan Judex Juris dalam berbagai yurisprudensi yang diberikan di atas, telah jelas bahwa mereka telah memberikan penilaian yang cukup konsisten terkait permasalahan tersebut. Dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku, ditekankan, bahwa meskipun Mahkamah Agung memang berwenang untuk mengadili banding terhadap putusan pengadilan yang membatalkan putusan arbitrase, suatu banding terhadap permohonan pembatalan yang ditolak pada tingkat pertama tidak dapat diajukan banding pada Mahkamah Agung dalam keadaan apa pun.
Author

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.
Co-authored

Miskah Banafsaj is an associate at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Sources:
- Law Number 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution.
- Supreme Court Regulation Number 3 of 2023 on the Appointment of Arbitrator by Court, Repudiation Rights, Examination on the Enforcement and Annulment Petition of Arbitral Awards.
- Supreme Court Circular Letter Number 4 of 2016 on the Implementation of the Supreme Court Chamber’s 2016 Pleno
- Meeting Result as a Guidance of Court Work.
- Supreme Court Decision Number 286 B/Pdt.Sus-Arbt/2016.
- Supreme Court Decision Number 9 B/Pdt.Sus-Arbt/2018.
- Supreme Court Decision Number 465 B/Pdt.Sus-Arbt/2020.
- Supreme Court Decision Number 709 B/Pdt.Sus-Arbt/2020.
- Supreme Court Decision Number 1033 B/Pdt.Sus-Arbt/2020.

