
Pembatalan putusan arbitrase sering kali muncul ketika terdapat persoalan mengenai kewenangan lembaga arbitrase. Di Indonesia, isu tersebut umumnya berkaitan dengan keabsahan atau ketiadaan perjanjian arbitrase berdasarkan hukum arbitrase yang berlaku.
Table of Contents
Table of Content
Perjanjian Arbitrase
Perjanjian arbitrase dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”) dan Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase, merujuk pada suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Ketika suatu sengketa telah dan/atau kemudian diperjanjikan dalam perjanjian arbitrase untuk diselesaikan melalui arbitrase, maka hanya institusi arbitrase yang berwenang untuk menilai dan mengadili perkara tersebut. Sehingga, pengadilan negeri tidak akan sama sekali memiliki kewenangan untuk menguji sengketa tersebut, yang mana akan sepenuhnya menjadi kewenangan arbitrase.
Akan tetapi, bagaimana ketika terdapat suatu sengketa yang kemudian diajukan diadili melalui arbitrase, padahal para pihak sama sekali belum memiliki dan/atau melakukan perjanjian arbitrase. Apakah institusi arbitrase berwenang memeriksa dan mengadili sengketa arbitrase padahal tidak ada perjanjian arbitrase?
“Ketika suatu sengketa telah dan/atau kemudian diperjanjikan dalam perjanjian arbitrase untuk diselesaikan melalui arbitrase, maka hanya institusi arbitrase yang berwenang untuk menilai dan mengadili perkara tersebut.”
Unsur-Unsur Penting Perjanjian Arbitrase
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa UU Arbitrase dan APS telah memberikan ketentuan yang cukup jelas mengenai hal ini. Sebagaimana Pasal 3 UU Arbitrase dan APS mengatur bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pasal 3 ini mendapat pengukuhan dari Pasal 11 undang-undang yang sama, di mana ditegaskan kembali bahwa pengadilan negeri wajib menolak dan tidak campur tangan atas penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase kecuali yang diatur dalam UU Arbitrase dan APS. Selain itu, ditekankan pula bahwa dengan adanya perjanjian arbitrase tertulis, maka hal ini akan meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Baca Juga: Putusan Banding atas Pembatalan Putusan Arbitrase tanpa Memori Banding: Analisis Yurisprudensi
Perjanjian arbitrase itu sendiri dapat dilakukan, baik sebelum terjadinya sengketa, maupun setelah suatu sengketa telah terjadi. Sementara syarat formal perjanjian arbitrase setelah timbul sengketa diatur secara tersendiri, melalui Pasal 7 UU Arbitrase dan APS telah dinyatakan bahwa para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Adapun terkait keabsahannya, perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis, baik disepakati sebelum maupun setelah terjadinya sengketa. Selain itu, syarat sahnya perjanjian arbitrase juga pada hakikatnya tidak terlepas dari syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu di antaranya kesepakatan. Akibatnya, harus ada suatu kesepakatan antar pihak yang terlibat bahwa sengketa tersebut akan diadili melalui arbitrase, yang mana dalam hal ini harus dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis. Ketika unsur “sepakat” itu tidak tercapai dan tidak dibuktikan keberadaannya, maka tidak ada perjanjian arbitrase antara para pihak.

Pembatalan Putusan Arbitrase
Ketika suatu sengketa terikat dengan perjanjian arbitrase dan kemudian diadili dan diputus melalui arbitrase, maka pihak yang keberatan atas putusan tersebut, memiliki hak untuk mengajukan pembatalan. Merujuk pada Pasal 72 UU Arbitrase dan APS, permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang kemudian akan menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
Adapun pembatalan tersebut pada hakikatnya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, yaitu adanya dokumen palsu setelah putusan, setelah putusan ditemukan adanya dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan, dan putusan diambil dari hasil tipu muslihat salah satu pihak
“Perjanjian arbitrase itu sendiri dapat dilakukan, baik sebelum terjadinya sengketa, maupun setelah suatu sengketa telah terjadi.”
Yemen Airways v. PT. Comarindo Expres Tama Tour & Travel, Yurisprudensi Nomor 03/Arb.Btl/2005 jo. 254/Pdt.P/2004/PN.Jak.Sel.
Yurisprudensi ini menggambarkan suatu penyelesaian sengketa di forum arbitrase nasional, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”), padahal, berdasarkan dokumen dan perjanjian yang menjadi dasar sengketa, tidak ada klausul arbitrase. Pihak yang memohon pembatalan telah menentang proses arbitrase yang berjalan tetapi institusi arbitrase tetap memutus sengketa. Permohonan pembatalan diajukan atas dasar ketiadaan wewenang institusi arbitrase dalam menyelesaikan sengketa. Judex Juris menyetujui tuntutan tersebut dan membatalkan putusan arbitrase.
Judex Juris dalam Putusan Nomor 03/Arb.Btl/2005 menggunakan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS yang memasukkan kata “antara lain” ketika merujuk beberapa syarat permohonan pembatalan, seperti dokumen palsu, dokumen menentukan yang disembunyikan, dan putusan berdasarkan tipu muslihat. Penjelasan ini menjadi dasar bagi Judex Juris membatalkan putusan arbitrase.
Judex Juris kemudian mempertimbangkan bukti-bukti yang disampaikan dan mengutip pasal di dokumen yang menyebut tentang arbitrase:
“Arbitration
This Agreement shall in all respects be interpreted in accordance with the Laws of the Republic of Yemen“
Dalam menilai keberadaan klausula arbitrase, merujuk pada ketentuan tersebut, Judex Juris kemudian hanya menimbang bahwa institusi arbitrase tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa arbitrase karena harus diselesaikan menurut hukum Republik Yaman, tanpa menjelaskan mengenai makna “perjanjian arbitrase” seperti yang diatur dalam UU Arbitrase dan APS. Meskipun begitu, dalam pertimbangan hukum pada tingkat sebelumnya, sebagaimana dinyatakan oleh Judex Facti, kata “Arbitration” yang tercantum sebagai judul pada pasal tersebut, bukan merupakan klausula arbitrase, melainkan hanya sebatas mengatur mengenai kesepakatan pilihan hukum para pihak.
Baca Juga: Apakah Suatu Putusan Arbitrase dapat Dikoreksi oleh Pengadilan: Menelusuri Berbagai Kemungkinan
Meski demikian, Judex Juris memperbaiki amar putusan pengadilan negeri dan menyatakan bahwa institusi arbitrase tidak berwenang memeriksa dan memutus sengketa. Dengan demikian, meski pertimbangan hukum Judex Juris merujuk pada pengaturan berbeda atas hukum yang berlaku (governing law), kesimpulannya tetap menunjuk pada ketidakberwenangan institusi arbitrase jika memang terbukti tidak ada perjanjian arbitrase di antara pihak yang bersengketa.
“Perjanjian arbitrase merupakan landasan utama terhadap suatu sengketa untuk dapat diadili melalui arbitrase.”

Permasalahan Kewenangan dalam Arbitrase
Merujuk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku serta yurisprudensi yang dipaparkan di atas, suatu perjanjian arbitrase merupakan landasan utama terhadap suatu sengketa untuk dapat diadili melalui arbitrase. Sehingga, ketika terdapat kekeliruan di mana institusi arbitrase selanjutnya tetap memeriksa sengketa tanpa adanya perjanjian arbitrase, pihak yang tidak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase tersebut dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan melalui pengadilan negeri. Putusan ini menunjukkan bahwa putusan arbitrase dapat saja dibatalkan meskipun menyimpang dari persyaratan dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS.
Author

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.
Co-authored

Miskah Banafsaj is an associate at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Sources:
- Indonesian Civil Code.
- Law Number 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution.
- Supreme Court Regulation Number 3 of 2023 on the Appointment of Arbitrator by Court, Repudiation Rights, Examination on the Enforcement and Annulment Petition of Arbitral Awards.
- Supreme Court Decision Number 3/Arb.Btl/2005
- South Jakarta District Court Decision Number 254/Pdt.P/2004/PN.Jak.Sel.

