
Pertanyaan mengenai keabsahan suatu perjanjian arbitrase tetap menjadi isu yang krusial dalam Hukum Arbitrase Indonesia, khususnya ketika tidak adanya perjanjian tertulis yang dijadikan dasar untuk pembatalan suatu putusan arbitrase. Artikel ini mengkaji yurisprudensi pengadilan yang menegaskan bahwa keikutsertaan dalam proses arbitrase tidak dapat dianggap sebagai pengakuan terhadap suatu perjanjian arbitrase yang tidak memenuhi keabsahan secara formal.
Table of Contents
Perjanjian Arbitrase sebagai Dasar Penyelesaian Sengketa
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”) secara esensial mengatur bahwa jika para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak, jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase berarti mengandaikan keberadaan perjanjian arbitrase.
Baca Juga: Pembatalan Putusan Arbitrase karena Ultra Petita dalam Yurisprudensi
Ketika suatu sengketa telah disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan suatu perjanjian arbitrase, maka, secara mutlak hanya institusi arbitrase yang berwenang untuk mengadili sengketa tersebut. Sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase dan APS jo. Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase (“PERMA tentang Arbitrase”), perjanjian arbitrase sendiri dinyatakan sebagai suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan bahwa suatu perjanjian arbitrase merupakan dasar fundamental untuk dapat melakukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Adanya perjanjian arbitrase, tidak dapat dianggap sebagai suatu formalitas saja. Hal itu berarti bahwa keseluruhan unsur dari apa yang di maksud dengan perjanjian arbitrase harus benar-benar terpenuhi dan tunduk pada ketentuan yang ada, untuk dapat diberlakukan secara sempurna.
Ketika suatu sengketa telah disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan suatu perjanjian arbitrase, maka, secara mutlak hanya institusi arbitrase yang berwenang untuk mengadili sengketa tersebut.

Keabsahan Perjanjian Arbitrase
Terkait dengan keabsahannya, perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis. Selain itu, sama halnya dengan perjanjian pada umumnya, keabsahan suatu perjanjian arbitrase juga tunduk pada pemenuhan syarat-syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sehingga, pemenuhan unsur-unsur berupa kecakapan para pihak, sebab yang halal, adanya suatu sebab tertentu, serta kesepakatan para pihak, harus terpenuhi untuk menjamin keabsahan suatu perjanjian arbitrase.
Baca Juga: Pembatalan Putusan Arbitrase: Permasalahan Kewenangan dalam Hukum Arbitrase
Perjanjian arbitrase yang sah merupakan dasar hukum yang sah bagi para pihak yang terlibat untuk sengketa mereka dapat diselesaikan dan diadili melalui arbitrase. Ketiadaan perjanjian arbitrase dan/atau apabila perjanjian arbitrase tidak sah, maka akan menghilangkan kewenangan institusi arbitrase untuk mengadili suatu sengketa tersebut.
Terkait dengan kesempurnaan suatu perjanjian arbitrase, ketika mengacu dalam konteks pemeriksaan suatu putusan arbitrase yang didaftarkan di pengadilan ketika terdapat pihak yang gagal melaksanakan suatu putusan arbitrase secara sukarela, pengadilan akan memiliki kewenangan untuk memeriksa keberadaan perjanjian arbitrase. Selanjutnya, Pasal 62 UU Arbitrase dan APS secara pokok mengatur bahwa Ketua Pengadilan Negeri, sebelum memberi perintah pelaksanaan putusan arbitrase (exequatur) memastikan salah satunya, apakah ada suatu perjanjian arbitrase di antara para pihak.
Namun demikian, apa yang terjadi dalam kondisi di mana, setelah suatu sengketa telah diadili melalui arbitrase, ditemukan permasalahan tertentu terhadap perjanjian arbitrase yang mendasarinya? Apakah akan terdapat upaya hukum yang dapat dilakukan?
Ketika merujuk pada upaya hukum berupa pembatalan putusan arbitrase, ketentuan dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS jo. Pasal 24 ayat (4) PERMA tentang Arbitrase, secara esensial membatasi unsur-unsur permohonan pembatalan suatu putusan arbitrase, yaitu surat yang diajukan dalam pemeriksaan dinyatakan palsu, ditemukan dokumen yang menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat oleh salah satu pihak.
Sehingga, ketika hanya merujuk penuh pada ketentuan dalam pasal itu saja, suatu putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan ketika ketiga alasan di atas terpenuhi. Meskipun demikian, bagaimana kemudian terhadap permohonan atas dasar tidak adanya perjanjian arbitrase ditangani? Apakah putusan arbitrase dapat dibatalkan dengan alasan ketiadaan perjanjian arbitrase di antara pihak yang bersengketa, meski pihak tersebut hadir dalam persidangan arbitrase?
Pemenuhan unsur-unsur berupa kecakapan para pihak, sebab yang halal, adanya suatu sebab tertentu, serta kesepakatan para pihak, harus terpenuhi untuk menjamin keabsahan suatu perjanjian arbitrase.

PT. Identrust Security Internasional, PT. Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia v. PT. Royal Industries Indonesia, Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI), Yurisprudensi Nomor 367 K/Pdt.Sus-Arbt/2013 jo. 1142/Pdt.P/2012/PN.Jkt.Bar
Dalam kasus ini, permohonan arbitrase diajukan terhadap dua Termohon, di mana hanya satu dari dua Termohon yang terikat perjanjian arbitrase. Kedua Termohon tersebut hadir dalam persidangan arbitrase sampai diputus oleh majelis arbitrase. Setelah majelis arbitrase memberikan putusan, putusan tersebut diajukan pembatalan dengan alasan antara lain ketiadaan perjanjian arbitrase antara Pemohon arbitrase dan salah satu dari Termohon arbitrase.
Terhadap permohonan pembatalan tersebut, dengan menguatkan pertimbangan hukum dan putusan Judex Facti, Judex Juris dalam Putusan Nomor 367 K/Pdt.Sus-Arbt/2013 mempertimbangkan:
“Bahwa tidak ada Perjanjian atau Klausula Arbitrase secara tertulis yang mengikat Pembanding dan Terbanding II, padahal ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan tegas menyatakan bahwa agar perselisihan dapat diajukan ke Arbitrase harus didasarkan pada adanya Klausula Arbitrase atau Perjanjian Arbitrase secara tertulis;
Bahwa kemudian Terbanding II menjadi salah satu pihak yang berperkara di hadapan Badan Arbitrase…, hal tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai adanya penundukan diri, sebab Undang-Undang Arbitrase tegas menyatakan bahwa Perjanjian Arbitrase harus dalam bentuk tertulis.”
Akibat dari pertimbangan hukum tersebut, putusan arbitrase dinyatakan batal demi hukum.
Semua sengketa yang diadili melalui arbitrase harus didasari oleh perjanjian arbitrase yang sah.

Penilaian Pembatalan Putusan Arbitrase karena Ketiadaan Perjanjian Arbitrase
Melalui yurisprudensi di atas, pengadilan menegaskan bahwa perjanjian arbitrase barulah sah ketika dibuat dalam bentuk tertulis dan kehadiran dalam persidangan arbitrase bukan berarti penundukan diri terhadap perjanjian arbitrase yang sejak awal tidak mengikatnya. Selain itu, dapat dipahami juga bahwa, meskipun alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase karena tidak adanya perjanjian arbitrase merupakan di luar dari alasan yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, pembatalan tersebut namun tetap diamini oleh pengadilan.
Hal tersebut terjadi karena, memang pada dasarnya, semua sengketa yang diadili melalui arbitrase harus didasari oleh perjanjian arbitrase yang sah. Terlebih, hal ini sesuai dengan adanya kewajiban Ketua Pengadilan Negeri untuk menilai, dalam pendaftaran putusan arbitrase, apakah putusan tersebut memenuhi unsur dasarnya, yaitu perjanjian arbitrase, sebagaimana telah dibahas di atas. Selain itu, pengabulan pembatalan ini juga tidak dapat dianggap sebagai pelampauan wewenang pengadilan. Sebagaimana hal tersebut hanya mencerminkan kewenangan pengadilan untuk memastikan keabsahan dari putusan arbitrase tanpa perlu menilai aspek substantif dari sengketa terkait yang telah dinilai sebelumnya oleh majelis arbitrase.
Author

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.
Co-authored

Miskah Banafsaj is an associate at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Reference
- Law Number 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution;
- Supreme Court Regulation Number 3 of 2023 on the Appointment of Arbitrator by Court, Repudiation Rights, Examination on the Enforcement and Annulment Petition of Arbitral Awards;
- Supreme Court Decision Number 367 K/Pdt.Sus-Arbt/2013;
- West Jakarta District Court Decision Number 1142/Pdt.P/2012/PN.Jkt.Bar

