Miskah Banafsaj

Transaksi properti di Indonesia tidak hanya diatur oleh perjanjian kontrak, tetapi juga oleh kewajiban pajak yang timbul dari pembelian hak atas tanah dan bangunan. Perubahan regulasi terbaru berdasarkan Undang-Undang HKPD telah mengubah waktu timbulnya kewajiban BPHTB menjadi saat penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), yang menimbulkan pertimbangan hukum dan praktis yang penting dalam transaksi properti.

Kewajiban Pajak atas Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Hak atas tanah semula ditetapkan melalui Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa hak atas tanah merupakan hak yang dapat diberikan atau dimiliki oleh orang-perorangan, maupun badan hukum. Hak ini memberikan wewenang bagi pemilik tanah bersangkutan untuk mempergunakan tanah tersebut, serta segala yang berada di atasnya. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, telah lebih jelas menyatakan bahwa:

“Hak atas Tanah adalah hak yang diperoleh dari hubungan hukum antara pemegang hak dengan Tanah, termasuk ruang di atas Tanah dan/atau ruang di bawah Tanah untuk menguasai, memiliki, menggunakan, dan memanfaatkan, serta memelihara Tanah, ruang di atas Tanah, dan/atau ruang di bawah Tanah.”

Kepemilikan atas suatu bidang tanah ataupun bangunan yang memberikan suatu hak di atasnya, dapat diperoleh karena berbagai hal, secara umum, baik karena adanya pemindahan hak, maupun pemberian hak yang baru lahir. Melalui Pasal 1 angka 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (“UU HKPD”), perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan, baik oleh orang-perorangan, maupun badan hukum.

Ketika perolehan tersebut terjadi, yang mana menimbulkan atau memberikan hak terhadap suatu tanah dan/atau bangunan tersebut, maka timbul juga kewajiban-kewajiban yang mengikat para pihak yang terlibat. Di antara kewajiban tersebut adalah terkait perpajakan. Pajak ini, yang mana dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, adalah apa disebut sebagai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”).

Peraturan sebelumnya yang mengatur mengenai BPHTB, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU PDRD”), telah dicabut dan digantikan dengan UU HKPD. Pergantian peraturan ini mengakibatkan adanya beberapa perubahan dalam ketentuan BPHTB yang dapat berdampak signifikan pada penerapan pelaksanaannya. Terlebih, perubahan ini juga mengakibatkan timbulnya berbagai tantangan baru terhadap proses perolehan hak-hak atas tanah dan/atau bangunan.

 

Meskipun BPHTB umumnya dibebankan pada hampir semua bentuk perolehan hak, namun, tidak semua perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan secara otomatis menimbulkan kewajiban BPHTB.

BPHTB

Memahami BPHTB

Pada pokoknya, BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas adanya perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Meskipun BPHTB umumnya dibebankan pada hampir semua bentuk perolehan hak, namun, tidak semua perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan secara otomatis menimbulkan kewajiban BPHTB. Pasal 44 ayat (4) UU HKPD memberikan pengecualian kewajiban BPHTB untuk perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam keadaan-keadaan sebagai berikut:

  1. Untuk kantor pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
  2. Oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
  3. Untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri;
  4. Untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
  5. Oleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
  6. Oleh orang pribadi atau badan karena wakaf;
  7. Oleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
  8. Untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sendiri terjadi baik karena adanya pemindahan hak, maupun adanya pemberian hak baru. Pemindahan hak di sini, yaitu mencangkup:

  1. Jual beli;
  2. Tukar-menukar;
  3. Hibah;
  4. Hibah wasiat;
  5. Waris;
  6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
  7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
  8. Penunjukan pembeli dalam lelang;
  9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
  10. Penggabungan usaha;
  11. Peleburan usaha;
  12. Pemekaran usaha; atau
  13.  

Sedangkan, perolehan karena pemberian hak baru terjadi dalam hal:

  1. kelanjutan pelepasan hak; atau
  2. di luar pelepasan hak.

Dalam kerangka BPHTB, ketentuan mengenai kapan “saat terutang BPHTB” adalah penting.  Saat ini menentukan kapan timbulnya pembebanan BPHTB dan sehingga menjadi dapat ditagih dari pihak yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Tergantung pada cara perolehan, sebagaimana dinyatakan di atas, saat yang berkali mengenai kapan saat terutang BPHTB pun juga berbeda-beda,

Sehingga, dalam penulisan ini, dengan kembali merujuk pada pembahasan sebelumnya terkait perubahan ketentuan BPHTB oleh UU HKPD, terdapat poin perubahan signifikan yang mana akan menjadi fokus pembahasan, yaitu terkait pemberlakuan kapan saat terutang BPHTB dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui transaksi jual beli.

 

Meskipun dinyatakan sebelumnya bahwa BPHTB baru terutang pada saat AJB dilakukan, pelunasan untuk BPHTH tetap harus dilakukan sebelumnya agar AJB dapat dilaksanakan secara sempurna.

Ketentuan BPHTB

Ketentuan BPHTB terhadap Perolehan Hak karena Transaksi Jual Beli

UU HKPD telah mengubah ketentuan sebelumnya mengenai kapan saat terutang BPHTB dalam hal perolehan hak karena transaksi jual beli. Pasal 49 huruf a UU HKPD, mengatur bahwa:

“Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:

  1. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;…”

UU HKPD menetapkan bahwa, dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli, saat terutang BPHTB adalah pada saat dilakukannya perjanjian pengikatan jual beli (“PPJB”). Hal ini berbeda dari ketentuan sebelumnya, yang menetapkan bahwa, melalui bentuk perolehan yang sama, saat terutang BPHTB hanya pada saat pelaksanaan akta jual beli (“AJB”). Sebagaimana sebelumnya diatur dalam Pasal 90 ayat (1) huruf a UU PDRD:

“Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk:

  1. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;…”

Terhadap perubahan ini, kemudian, apa implikasinya? Sebenarnya, meskipun perubahan ini mungkin menimbulkan kekhawatiran bagi para pihak terkait, namun, ketika melihat secara sekilas, implikasi praktik dari perubahan spesifik ini mungkin sebetulnya tidak signifikan. Hal ini karena baik peraturan yang sebelumnya dan yang sekarang, pada akhirnya tetap mengharuskan pelunasan dari BPHTB sebelum pelaksanaan AJB secara sempurna. Sebagaimana sebelumnya dinyatakan dalam Pasal 91 ayat (1) UU PDRD:

“Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.”

Selain itu, dalam undang-undang yang sama melalui Pasal 90 ayat (2), secara jelas telah dinyatakan bahwa pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak. Ini menandakan bahwa meskipun dinyatakan sebelumnya bahwa BPHTB baru terutang pada saat AJB dilakukan, pelunasan untuk BPHTH tetap harus dilakukan sebelumnya agar AJB dapat dilaksanakan secara sempurna.

Meskipun BPHTB sekarang dapat terutang pada saat pelaksanaan PPJB, ketentuan mengenai batas waktu pembayaran BPHTB dalam peraturan sebelumnya dan peraturan saat ini tetap sama. Dengan merujuk pada Pasal 60 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“PP 35/2023”) yang merupakan peraturan pelaksana UU HKPD, telah mengatur bahwa:

“Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:

  1. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;…”

Namun demikian, masalah utama yang muncul, sebenarnya, tidak terletak pada pembayaran dan/atau jangka waktu pembayaran BPHTB, melainkan pada sifat dari PPJB itu sendiri. Perlu dipahami bahwa tidak semua PPJB mencerminkan transaksi jual beli yang selesai (dibayar lunas). PPJB sering kali dilakukan melalui skema angsuran. Sehingga, ketika ketentuan yang baru mengharuskan saat terutang BPHTB pada saat dilakukannya PPJB, bagaimana seharusnya BPHTB diterapkan dalam hal di mana pelaksanaan PPJB adalah sebelum pembayaran penuh dari transaksi jual beli?

 

Dengan mempertimbangkan tujuan dasar dari BPHTB, BPHTB seharusnya baru menjadi kewajiban ketika adanya perolehan hak.

Hak Atas Tanah

Ketentuan Saat Terutang BPHTB terhadap PPJB Tidak Lunas

Ketika melakukan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui transaksi jual beli, secara hukum adalah sah ketika dilakukan melalui AJB. Namun dalam praktiknya, PPJB sering kali dilakukan terlebih dahulu, sebelum dilakukannya pengikatan melalui AJB. Hal ini dilakukan karena berbagai kondisi di mana persyaratan untuk langsung dilakukannya AJB tidak dapat dipenuhi, termasuk ketika dari tanah yang menjadi objek belum dapat dialihkan, atau bahkan dalam hal pembayaran penuh terhadap objek yang diperjualbelikan belum diselesaikan.

Perlu dipahami bahwa, dalam praktiknya, pelaksanaan PPJB pada umumnya dilakukan melalui dua jenis PPJB, yaitu PPJB lunas dan PPJB belum lunas atau dibayar sebagian. Ketika PPJB lunas dilakukan maka artinya pembeli telah membayar lunas objek tanah dan/atau bangunan terkait. Begitu pula sebaliknya, pada PPJB belum lunas atau dibayar sebagian, maka saat PPJB dilakukan, pembeli belum melakukan pembayaran penuh, atau pembelian dari tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan skema angsuran.

Terhadap kedua jenis PPJB tersebut, sehingga, permasalahan dari pembahasan ini menjadi jelas ketika kita kembali merujuk pada pembahasan di atas mengenai saat terutang BPHTB. Apabila pembeli masuk ke dalam PPJB belum lunas atau dibayar sebagian, di mana pembayaran atas objek jual beli belum lunas, apakah mereka tetap harus mematuhi ketentuan dalam UU HKPD terkait pembebanan kewajiban saat terutang BPHTB? Lebih lanjut, apakah kewajiban pembayaran BPHTB dalam PPJB tidak lunas atau dibayar sebagian akan tetap langsung berlaku dan dibayarkan penuh seperti sama halnya dalam PPJB lunas?

Ketika merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, baik UU HKPD maupun PP 35/2023, keduanya tidak secara eksplisit mengatur perbedaan dalam kewajiban BPHTB yang timbul dari PPJB lunas atau PPJB belum lunas atau dibayar sebagian. Meskipun demikian, permasalahan tersebut sebenarnya telah tertuang dalam Pengumuman Badan Pendapatan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 499/UD.02.01 tentang Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada tahun 2024, yang secara jelas menyatakan bahwa:

“PPJB atas tanah dan bangunan yang pembayaran dilakukan dalam beberapa termin (skema pembayaran angsuran), tetap dikenakan kewajiban pembayaran BPHTB secara penuh sesuai dengan Nilai Perolehan Objek Pajak pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya PPJB.”

Meskipun ketentuan ini hanya berlaku pada tingkat regional, yaitu di Jakarta, namun, ketika merujuk dan mempertimbangkan bahwa ketentuan tersebut secara umum memberikan penafsiran yang akurat mengenai ruang lingkup PPJB yang di maksud dalam UU HKPD dan PP 35/2023, ketentuan semacam itu sebenarnya dapat menimbulkan permasalahan. Hal ini karena, dengan mempertimbangkan tujuan dasar dari BPHTB, BPHTB seharusnya baru menjadi kewajiban ketika adanya perolehan hak. Oleh karena itu, mungkin akan bertentangan ketika kemudian mengenakan kewajiban pajak untuk perolehan hak, ketika secara hukum, perolehan hak belum terjadi.

Terkait hal ini, meskipun sebagaimana dinyatakan sebelumnya bahwa pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang sah terjadi pada saat dilakukannya AJB, namun, dengan merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 (“SEMA 4/2016”), di mana telah dinyatakan bahwa:

“Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.”

Sehingga, ketika merujuk pada ketentuan dalam SEMA 4/2016 di atas, selain AJB, PPJB juga dapat dianggap sebagai peralihan atau perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang sah, apabila dilakukan melalui PPJB lunas. Maka, sebenarnya akan menjadi tidak masuk akal ketika BPHTB tetap langsung terutang dalam PPJB belum lunas, di mana bahkan objek dari transaksi jual beli belum sepenuhnya dilunaskan, yang artinya juga menandakan bahwa tidak ada peralihan atau perolehan hak yang terjadi secara hukum.

PPJB

Terlebih lagi, perlu dipahami bahwa ketentuan dalam SEMA 4/2016 tersebut dapat dikatakan sebagai pengecualian. Hal ini karena SEMA tersebut dikeluarkan sebagai tanggapan atas banyaknya kasus di mana para pembeli rumah susun baru melakukan PPJB, dan developer kemudian dinyatakan pailit. Ketentuan ini ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada para pembeli, yang akan mengalami kerugian akibat AJB dan pemecahan sertifikat tanah yang belum dilakukan oleh developer. Akibatnya, rumah susun yang baru terikat PPJB tersebut harus dimasukkan ke dalam boedel pailit.

Sebuah yurisprudensi juga menekankan hal yang sama, yaitu, keadaan peralihan hak baru dianggap sah setelah dilakukannya AJB, dan bukan hanya melalui PPJB. Putusan Nomor 1797 K/Pdt/2017, menyatakan:

“Bahwa Akta Pengikatan Jual Beli tidak mengalihkan hak kepada Penggugat, sehingga pihak penjual tidak perlu digugat, oleh karena itu gugatan Penggugat telah lengkap pihaknya.”

Sehingga, sebenarnya, ketika kembali merujuk pada definisi dari BPHTB itu sendiri, telah jelas menetapkan bahwa BPHTB adalah suatu bentuk dari pajak yang mana dibebankan karena adanya perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dan PPJB tidak dianggap sebagai bukti pengalihan dokumen, kecuali untuk keadaan yang diatur dalam SEMA 4/2016. Dengan demikian, pajak tersebut seharusnya hanya dikenakan ketika perolehan hak semacan itu, secara hukum, telah terjadi.

Penerapan dari ketentuan baru ini terkait kapan saat terutang BPHTB akan, setidaknya, lebih masuk akal apabila hanya diberlakukan pada PPJB lunas. Bahkan ketika BPHTB juga harus diberlakukan pada PPJB belum lunas atau dibayar sebagian, mungkin akan lebih tepat apabila hanya baru dikenakan ketikan pembayaran untuk tanah dan/atau bangunan terkait telah diselesaikan sepenuhnya (angsuran telah dibayar lunas). Terlebih, ketika dibandingkan dengan ketentuan pembebanan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang dapat dibayarkan secara bertahap berdasarkan angsuran yang dilakukan. Sehingga, kondisi ini tentu akan menjadi pertanyaan, ketika mengapa hanya BPHTB yang harus langsung dibayarkan penuh, bahkan dalam PPJB belum lunas atau dibayar sebagian sekalipun. Meskipun begitu, mengingat penerapan peraturan ini telah berlaku, dan PPJB belum lunas atau dibayar sebagian tetap tunduk pada pembebanan langsung BPHTB secara penuh, apa kemudian yang harus diperhatikan dalam penerapannya?

 

Ketentuan baru ini mungkin bertujuan untuk memastikan bahwa PPJB akan benar-benar mencerminkan transaksi jual beli yang akan berujung pada AJB. Namun, di sisi lain, hal ini mungkin menimbulkan suatu beban finansial kepada calon pembeli.

Penerapan BPHTB

Penerapan BPHTB berdasarkan Ketentuan Baru

Mempertimbangkan kondisinya di lapangan, perubahan terhadap ketentuan BPHTB dalam UU HKPD dan PP 35/2023 mungkin dilakukan untuk mengurangi angka pembatalan PPJB sebelum dilakukannya AJB. Dari perspektif tersebut, ketentuan baru ini mungkin bertujuan untuk memastikan bahwa PPJB yang dilakukan antara para pihak benar-benar mencerminkan transaksi jual beli yang akan berujung pada AJB, di mana peralihan hak akan secara sempurna terjadi. Di sisi lain, perubahan ini juga dapat menimbulkan beberapa permasalahan dalam praktiknya. Dengan harus tunduk pada pengenaan pajak, ketika pembayaran terhadap objek jual beli bahkan belum selesai, mungkin dapat menimbulkan suatu beban finansial kepada calon pembeli, terutama bagi mereka yang mengandalkan skema angsuran dalam transaksi jual beli tersebut. Belum lagi dengan akibat dari BPHTB yang telah dibayar lunas dalam pembatalan PPJB atau bahkan terhadap PPJB belum lunas.

Terkait hal ini, dalam hal PPJB dibatalkan karena suatu alasan apa pun, sebelum pelaksanaan AJB, PP 35/2023 sebenarnya telah memberikan suatu perlindungan. Sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 59 ayat (9) huruf a PP 35/2023:

“Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:

  1. jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; …”

Meskipun mungkin dapat disimpulkan bahwa ketentuan baru yang dinyatakan melalui UU HKPD dan PP 35/2023, mengenai kapan saat terutang BPHTB, tidak sepenuhnya sejalan dengan prinsip hukum atau tujuan dari BPHTB itu sendiri, namun, peraturan tersebut juga telah menyediakan semacam perlindungan yang dapat digunakan untuk melindungi para pihak terkait dalam suatu transaksi jual beli atas suatu tanah dan/atau bangunan. Dengan dapatnya diajukan permohonan pengembalian dana BPHTB dalam hal pembatalan PPJB, ketentuan tersebut menunjukkan bahwa peraturan yang ada sebenarnya masih mengakomodasi potensi terjadinya berbagai masalah yang mungkin terjadi dalam praktiknya, dengan penerapan ketentuan yang baru tersebut.


Author

Miskah Banafsaj is an associate at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.


Editor

Dr. Eddy Marek Leks

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of  BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Reference:

  1. Law Number 5 of 1960 on Basic Regulations on Agrarian Principles
  2. Law Number 28 of 2009 on Regional Taxes and Retribution;
  3. Law Number 1 of 2022 on Financial Relations between the Central Government and Regional Governments;
  4. Government Regulation Number 18 of 2021 on Management Rights, Land Rights, Condominium Units, and Land Registration;
  5. Government Regulation Number 35 of 2023 on the General Provisions of Regional Taxes and Regional Retribution
  6. Supreme Court Circular Letter Number 4 of 2016;
  7. Announcement of the Jakarta Regional Revenue Agency Number 499/UD.02.01 on the Non-Taxable Acquisition Value (NPOPTKP) and the Duty on the Acquisition of Land and Building Rights (BPHTB) on Sale and Purchase Binding Agreement (PPJB);
  8. Supreme Court Decision Number 1797 K/Pdt/2017.