- PENDAHULUAN
Di balik tujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) telah menuai berbagai kontroversi, terutama dari kalangan pekerja dan serikat buruh terkait perlindungan hak-hak mereka. Para kritikus berpendapat bahwa kebijakan ini berpotensi mengurangi perlindungan terhadap hak-hak buruh dan mempermudah pemutusan hubungan kerja, sehingga meningkatkan ketidakpastian dan kerentanan di kalangan pekerja. Hal ini kemudian mendorong berbagai pihak untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, dengan harapan dapat memulihkan atau menyeimbangkan hak-hak pekerja yang dianggap terancam oleh undang-undang ini.Pada 31 Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap UU Cipta Kerja. Permohonan tersebut diajukan oleh Partai Buruh bersama beberapa federasi serikat pekerja, seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)1 yang menganggap bahwa sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam putusannya, MK menyetujui uji konstitusional terhadap 21 norma dalam UU Cipta Kerja yang dianggap bermasalah dari segi konstitusi. Putusan ini mencakup tujuh isu utama, yaitu penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) tanpa izin, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, hak cuti, pengupahan, ketentuan pesangon, dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Putusan MK ini tidak hanya menanggapi permohonan Partai Buruh, tetapi juga menegaskan pentingnya perlindungan hak-hak pekerja dalam sistem hukum dan konstitusi Indonesia. Dengan mengabulkan sebagian dari permohonan tersebut, MK menunjukkan komitmennya untuk menyeimbangkan kepentingan investasi dan perlindungan hak buruh. Melalui pendekatan analitis, artikel ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang posisi Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 dalam konteks hukum Indonesia serta implikasinya terhadap penegakan hukum dan perlindungan hak buruh di masa depan.
- PEMBAHASAN
- Poin-Poin Penting Putusan MK dan Implikasinya
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam Putusan MK atas dikabulkannya 21 norma dalam UU Cipta Kerja yang dianggap bermasalah secara konstitusional, Putusan ini pada pokoknya mencakup 7 (tujuh) isu utama yang akan dijelaskan berikut ini:2- Mendahulukan Tenaga Kerja Indonesia
Sebelumnya, frasa “Pemerintah Pusat” dalam Pasal 42 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang diubah dalam Pasal 81 UU Cipta Kerja, tidak didefinisikan dalam Pasal 1 Ketentuan Umum UU Ketenagakerjaan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, dalam Putusan MK tersebut, diputus bahwa “Pemerintah Pusat” harus dimaknai sebagai kewenangan yang diberikan kepada Menteri Ketenagakerjaan RI untuk menyetujui Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).Selain itu, norma dalam Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja, yang sebelumnya mengatur bahwa “Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki,” belum mengatur secara tegas dan jelas mengenai kriteria penggunaan TKA. Untuk mencegah penyimpangan dalam pelaksanaannya, Mahkamah Konstitusi menambahkan kalimat di akhir pasal sehingga berbunyi: “Tenaga Kerja Asing (TKA) hanya boleh bekerja di Indonesia dalam hubungan kerja untuk jabatan dan jangka waktu tertentu, serta harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan jabatan tersebut, dengan tetap mengutamakan tenaga kerja Indonesia.” Dengan demikian, penting untuk menegaskan bahwa penggunaan TKA harus berdasarkan kebutuhan yang jelas dan terukur serta tidak boleh mengurangi kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia.3
- Ketentuan terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Sebelumnya, Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang didasarkan pada jangka waktu tertentu dapat dibuat paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun. Dengan demikian, sesuai UU Ketenagakerjaan, total durasi PKWT tidak boleh lebih dari 3 (tiga) tahun.4 Namun, Pasal 56 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 12 UU Cipta Kerja menyatakan bahwa jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja. Menurut pertimbangan hakim, karena kedudukan buruh dalam perjanjian kerja sering kali tidak setara dengan pengusaha atau pemberi kerja, ketentuan ini berpotensi menyebabkan perubahan sepihak oleh pengusaha terkait jangka waktu PKWT, yang dapat merugikan pekerja dan tidak sesuai dengan prinsip keadilan.5Menanggapi hal tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa “Jangka waktu PKWT atau penyelesaian suatu pekerjaan tertentu tidak boleh melebihi 5 (lima) tahun, termasuk jika ada perpanjangan.” Dengan demikian, batas maksimal jangka waktu PKWT saat ini adalah 5 (lima) tahun, termasuk perpanjangan.
Selain itu, Pasal 57 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 13 UU Cipta Kerja sebelumnya kurang jelas dalam merumuskan penggunaan kata “harus” dalam PKWT yang dibuat secara tertulis, karena kata “harus” hanya diterapkan pada frasa “menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.” Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan ini menegaskan agar norma tersebut dirumuskan ulang menjadi, “Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”.
- Alih Daya
Perubahan Pasal 64 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 18 UU Cipta Kerja sebelumnya hanya memberikan kewenangan kepada “Pemerintah” untuk menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan, dimana “sebagian pelaksanaan pekerjaan” sendiri belum memiliki landasan hukum yang jelas dan pasti mengenai jenis pekerjaan apa saja yang dapat dialihkan melalui alih daya. Untuk mencegah permasalahan dalam penerapannya, kata “Pemerintah” dimaksudkan sebagai Menteri Ketenagakerjaan RI yang berwenang untuk menetapkan jenis dan bidang pekerjaan yang dapat dialihkan kepada perusahaan lain berdasarkan perjanjian tertulis alih daya. Dengan pengaturan ini, ketentuan tentang jenis pekerjaan alih daya menjadi lebih jelas, sehingga dapat mencegah kekeliruan dalam pengalihan pekerjaan dan menghindari potensi persoalan hukum antara perusahaan dan pekerja atau buruh.6 - Istirahat dan Hak Cuti Bagi Pekerja
- Istirahat Mingguan
Sebelumnya, Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan hanya mengakomodasi istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja, namun tidak mengakomodasi hak pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang memberlakukan 5 (lima) hari kerja dalam sepekan dengan istirahat selama 2 (dua) hari. Namun, dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) sebagai peraturan pelaksana Pasal 79 UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja, mengatur mengenai istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja. Pengaturan seperti ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, terlebih lagi, PP seharusnya dibentuk untuk melaksanakan UU sebagaimana mestinya sehingga tidak boleh memperluas norma.7Menanggapi hal tersebut, Putusan MK menegaskan ketentuan baru guna memberikan kejelasan dan kepastian hukum bahwa istirahat mingguan, yang terdiri
dari 2 (dua) jenis, yakni:- 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
- 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
- Istirahat Panjang
Pasal 79 ayat (5) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja sebelumnya mengatur bahwa “Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.” Menurut pertimbangan hakim, penggunaan kata “dapat” menyebabkan adanya ketidakpastian bagi perusahaan tertentu untuk memberikan waktu istirahat Panjang dan memungkinkan adanya perbedaan kebijakan antar perusahaan mengenai hak istirahat panjang.8 Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi menghapus kata “dapat”, sehingga perusahaan tertentu harus memberikan istirahat panjang sesuai yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
- Istirahat Mingguan
- Pengaturan Mengenai Pengupahan
- Pelibatan Dewan Pengupahan Daerah
Pasal 88 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 27 UU Cipta Kerja sebelumnya mengatur bahwa kebijakan pengupahan hanya ditentukan oleh pemerintah pusat, tanpa mencantumkan peran dewan pengupahan daerah. Sementara itu, dalam Pasal 98 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 39 UU Cipta Kerja, mengatur bahwa dewan pengupahan, termasuk perwakilan pemerintah daerah, terlibat dalam perumusan kebijakan pengupahan. Untuk memberikan kejelasan dan kepastian dalam penetapan kebijakan pengupahan, Mahkamah Konstitusi menegaskan pentingnya keterlibatan dewan pengupahan daerah, yang mencakup unsur pemerintah daerah, sebagai bagian dari proses penyusunan kebijakan pengupahan yang akan menjadi dasar bagi pemerintah pusat. - Struktur dan Skala Upah yang Proporsional
Bahwa frasa “yang proporsional” semula ditegaskan dalam Pasal 88 ayat (3) huruf i UU Ketenagakerjaan, namun dalam Pasal 81 angka 27 UU Cipta Kerja, frasa “yang proporsional” tersebut dihilangkan dalam kebijakan pengupahan. Namun, menurut Mahkamah Konstitusi, hal ini tidak sejalan dengan upaya mewujudkan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, Putusan MK ini menambahkan kata “proporsional” dalam norma Pasal 88 ayat (3) huruf b UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 27 UU Cipta Kerja menjadi berbunyi “struktur dan skala Upah yang proporsional.” - Upah Minimum Sektoral
Dengan dihilangkannya ketentuan mengenai upah minimum sektoral dalam Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU Cipta Kerja, menurut Mahkamah Konstitusi terdapat potensi penurunan standar perlindungan dan ketidakadilan bagi pekerja pada sektor-sektor tertentu.9 Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi, pengaturan dalam norma Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU Cipta Kerja diubah dan menetapkan bahwa Gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota. - Indeks Tertentu Penghitungan Upah Minimum
Sebelumnya, dalam hal penghitungan upah minimum, frasa “Indeks Tertentu” yang tercantum dalam Pasal 88D ayat (2) dalam Pasal 81 angka 28 UU Cipta Kerja tidak memberikan penjelasan yang memadai mengenai bagaimana indeks ini ditentukan. Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memberikan pemaknaan pada frasa “Indeks Tertentu” tersebut. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa indeks tertentu dalam formula penghitungan upah merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh, serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi pekerja/buruh. - Keadaan Tertentu Penentuan Upah Minimum
Sebelumnya, frasa “dalam keadaan tertentu” yang terdapat pada Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 UU Cipta Kerja tidak dijelaskan secara rinci, sehingga menimbulkan ambiguitas mengenai kondisi yang dimaksud.10 Putusan MK ini kemudian menegaskan penjelasan mengenai “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 UU Cipta Kerja, yang dimaknai bahwa keadaan tertentu mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. - Penetapan Upah Diatas Upah Minimum
Putusan MK telah menetapkan penambahan pihak yakni Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam negosiasi dan penetapan upah di atas Upah Minimum. Sebelumnya, dalam Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 UU Cipta Kerja serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tidak dilibatkan dalam negosiasi upah dengan perusahaan. Menurut pertimbangan hakim, dalam proses penyusunan kebijakan pengupahan, termasuk kebijakan terkait upah di atas upah minimum, keterlibatan serikat pekerja/serikat buruh harus diperhatikan sebagai bagian dari mekanisme checks and balances dalam hubungan industrial.11 - Penyusunan Struktur dan Skala Upah
Sebelumnya, norma Pasal 92 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mewajibkan pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan mempertimbangkan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja. Namun, Pasal 81 angka 33 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan kriteria tersebut hanya dengan mempertimbangkan “kemampuan perusahaan dan produktivitas pekerja”. Menurut pertimbangan hakim, hal ini tidak memberikan jaminan hak pekerja atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, dalam Putusannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. - Hak-hak Lain Pekerja yang Diprioritaskan atas Kreditur
Pasal 95 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 36 UU Cipta Kerja sebelumnya tidak menyebutkan “kreditur preferen” sebagai bagian dari kreditur. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memandang perlu memperjelas prioritas pelunasan hak-hak lain bagi pekerja/buruh dalam pasal tersebut, agar tidak ada keraguan dalam urutan pembayaran hak-hak lain pekerja/buruh ketika perusahaan mengalami pailit.12 Melalui Putusan MK tersebut, frasa “termasuk kreditur preferen” ditambahkan, sehingga hak-hak lain pekerja/buruh dalam kondisi perusahaan pailit atau dilikuidasi memiliki prioritas pembayaran di atas semua kreditur, termasuk kreditur preferen, kecuali bagi kreditur yang memegang hak jaminan kebendaan. - Partisipasi Aktif Dewan Pengupahan
Sebelumnya, Pasal 98 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 39 UU Cipta Kerja tidak mencantumkan peran aktif dewan pengupahan. Menurut pertimbangan hakim, ketentuan pasal ini yang hanya memberikan dewan pengupahan kewenangan untuk memberikan saran dan pertimbangan, tanpa wewenang merumuskan kebijakan pengupahan, telah menghambat hak serikat pekerja dalam memperjuangkan kepentingan pekerja secara optimal.13 Oleh karena itu, dalam Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menambahkan frasa “dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif”, sehingga dewan pengupahan kini diwajibkan terlibat secara aktif dalam penyusunan kebijakan pengupahan.
- Pelibatan Dewan Pengupahan Daerah
- Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
- PHK Wajib Dilakukan Melalui Perundingan Bipartit Secara Musyawarah Mufakat
Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 40 UU Cipta Kerja sebelumnya tidak mengatur bahwa penyelesaian PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit berdasarkan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Menurut pertimbangan hakim, karena PHK merupakan langkah terakhir, perlu dilakukan musyawarah untuk mencapai kesepakatan dalam perundingan bipartit.14Dalam Putusannya, Mahkamah Konstitusi menambahkan ketentuan baru, yakni Jika Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, maka penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah mufakat antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
- PHK Setelah Memperoleh Keputusan yang Mengikat Secara Hukum
Sebelumnya, Pasal 151 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 40 UU Cipta Kerja tidak menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja harus mendapatkan keputusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Melalui Putusan MK, ketentuan tersebut diubah menjadi jika perundingan bipartit tidak menghasilkan kesepakatan, maka PHK harus melalui tahap penyelesaian sesuai mekanisme Perselisihan Hubungan Industrial dan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap dari lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). - Kewajiban Pengusaha dan Pekerja dalam Perselisihan Hubungan Industrial
Terkait dengan pengaturan kewajiban pengusaha dan pekerja dalam Perselisihan Hubungan Industrial, sebelumnya Pasal 157A ayat (3) dalam Pasal 81 angka 49 UU Cipta Kerja mengatur bahwa “kewajiban pengusaha dan pekerja satu sama lain akan tetap berlaku sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan tingkatannya.” Norma Pasal 157A ayat (3) tersebut merupakan satu rangkaian dengan norma pada ayat (1) karena terkait dengan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh yang harus tetap dilaksanakan sebelum proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) selesai sesuai dengan tingkatannya. Apabila perselisihan belum mencapai kesepakatan pada tahap perundingan bipartit, proses akan dilanjutkan ke tingkat berikutnya. Pada tingkatan ini, pekerja/buruh dan pengusaha tetap menjalankan kewajibannya masing-masing, yaitu pekerja/buruh bekerja dan pengusaha membayar upah, hingga perselisihan terselesaikan melalui penetapan dari lembaga PPHI.15Majelis Hakim menyatakan bahwa norma tersebut tidak memberikan kerangka hukum yang jelas dan sistematis untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.16 Oleh karena itu, MK mengubah kalimat “sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan tingkatannya” menjadi “sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI”. Dengan perubahan ini, kewajiban Pengusaha dan Pekerja/Buruh selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial harus dijalankan hingga proses tersebut berakhir dan memiliki kekuatan hukum tetap sesuai ketentuan dalam undang-undang PPHI.
- PHK Wajib Dilakukan Melalui Perundingan Bipartit Secara Musyawarah Mufakat
- Ketentuan Terkait Pesangon
Sebelumnya, frasa “paling sedikit”, dalam norma Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan diubah dengan frasa “…diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: …” dalam UU Cipta Kerja. Menurut hakim, dengan menggunakan frasa “… diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: …”, maka perhitungan uang pesangon tersebut harus sesuai dengan perhitungan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Apabila menggunakan frasa “paling sedikit”, akan membuka peluang pekerja/buruh mendapatkan uang pesangon di atas jumlah “paling sedikit” tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh yang terkena PHK. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan atas loyalitas atau prestasi pekerja/buruh.17 Berdasarkan pertimbangan hakim tersebut, hakim memutuskan untuk mengubah bunyi pasal tersebut, sehingga Pemberi kerja harus membayar uang pesangon sekurang-kurangnya, atau minimal, dengan perhitungan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.Selain itu, sebelumnya penjelasan Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah dihapus dalam Pasal 81 angka 27 UU Cipta Kerja yang hanya mengatur bahwa “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” tanpa penjelasan lebih lanjut. Putusan MK menilai penting untuk memaknai Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang diubah dalam Pasal 81 angka 27 UU Cipta Kerja.18 Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa penghidupan layak bagi kemanusiaan, termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
- Mendahulukan Tenaga Kerja Indonesia
- Langkah Selanjutnya Setelah Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023
- Reformasi Kebijakan Ketenagakerjaan
Mahkamah Konstitusi meminta pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah, untuk segera membentuk UU Ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan dari yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi memberi waktu maksimal 2 (dua) tahun kepada pembentuk undang-undang untuk segera menyelesaikan UU Ketenagakerjaan yang baru. Reformasi pembentukan UU Ketenagakerjaan yang baru ini didorong karena beberapa alasan utama. Pertama, substansi UU Ketenagakerjaan telah melalui hasil pengujian 37 perkara yang sebelumnya telah dimohon untuk diuji oleh MK. Dengan banyaknya materi yang dinyatakan inkonstitusional, sehingga UU tersebut sudah tidak utuh lagi. Kedua, meskipun UU Ketenagakerjaan telah diubah melalui UU Cipta Kerja, tidak semua materi dari UU Ketenagakerjaan yang lama diakomodasi dalam UU Cipta Kerja, menciptakan tumpang tindih antara kedua undang-undang. Ketiga, MK menilai bahwa ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan antara norma-norma dalam kedua undang-undang dapat mengancam perlindungan hak pekerja dan kepastian hukum bagi pemberi kerja.19Oleh karena itu, MK mendorong agar pembentukan undang-undang baru juga dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif dari serikat pekerja untuk memastikan substansi yang lebih jelas dan terpisah dari UU Cipta Kerja.
- Penyelarasan Peraturan Lain dan Implementasi Pasca Putusan MK
Sehubungan dengan Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023, beberapa peraturan pelaksanaan dari UU Ketenagakerjaan perlu disesuaikan untuk mengakomodir Putusan MK ini. Peraturan yang mungkin terdampak secara langsung antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, serta Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Di samping itu, ketentuan-ketentuan yang terdampak oleh Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 kini sudah mulai berlaku dan harus segera diimplementasikan, sehingga kepatuhan terhadap aspek-aspek yang relevan dari UU Ketenagakerjaan yang terkena dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 diperlukan.
- Reformasi Kebijakan Ketenagakerjaan
- Poin-Poin Penting Putusan MK dan Implikasinya
- KESIMPULAN
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan sebagian permohonan uji materiil, yakni sebanyak 21 norma di dalam UU Cipta Kerja menunjukkan langkah signifikan dalam menjaga perlindungan hak-hak buruh di Indonesia. Putusan ini menegaskan bahwa beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi, terutama terkait dengan perlindungan hak-hak buruh/pekerja.Berkaitan dengan Putusan ini, Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemerintah untuk memisahkan kluster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja dan membentuk UU Ketenagakerjaan yang baru dalam waktu dua tahun. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk memperjelas dan memperbaiki regulasi ketenagakerjaan yang selama ini dianggap multitafsir dan tidak sesuai dengan prinsip keadilan serta perlindungan hak-hak pekerja. Mahkamah Konstitusi juga mengingatkan agar pembuatan UU tersebut harus melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja maupun buruh. Putusan ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi perbaikan regulasi ketenagakerjaan dan dapat menciptakan keseimbangan antara kepentingan investasi dan perlindungan hak-hak pekerja. Kedepannya, kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja akan menjadi kunci dalam mewujudkan sistem ketenagakerjaan yang adil dan berkelanjutan di Indonesia.
Salza Farikah Aquina
Sumber:
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja)
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Kabulkan Sebagian, MK Minta UU Ketenagakerjaan Dipisahkan dari UU Cipta Kerja. Available at https://testing.mkri.id/berita/kabulkan-sebagian,-mk-minta-uu-ketenagakerjaan-dipisahkan-dari-uu-cipta-kerja-21782
No. | Norms of Articles in Law 6/2023 (Job Creation Law) Chapter IV Manpower | Changes in Article Norms after Constitutional Court Decision No. 168/PUU-XXI/2023 |
1. | Pasal 42 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja
“Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh pemerintah pusat.” |
“Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu Menteri Tenaga Kerja.” |
2. | Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja
“Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.” |
“Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.” |
3. | Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 UU Cipta Kerja
“Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.” |
“Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima tahun), termasuk jika terdapat perpanjangan.” |
4. | Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 13 UU Cipta Kerja
“Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.” |
“Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.” |
5. | Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 UU Cipta Kerja
“Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).” |
“Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.” |
6. | Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja
“Waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi: b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.” |
“Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi: b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.” |
7. | Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja
“Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.” |
“Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.” |
8. | Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 UU Cipta Kerja
“Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” |
“Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.” |
9. | Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 UU Cipta Kerja
“Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” |
“Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.” |
10. | Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 UU Cipta Kerja
“Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: b. struktur dan skala upah.” |
“Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
b. struktur dan skala upah yang proporsional.” |
11. | Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU Cipta Kerja
“(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. (2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota.” |
“Gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota.” |
12. | Pasal 88D ayat (2) dalam Pasal 81 angka 28 UU Cipta Kerja
“Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.” |
“Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. (Penjelasan: Indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh).” |
13. | Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 UU Cipta Kerja
“Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagai dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).” |
“Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagai dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). (Penjelasan: Yang dimaksud dengan dalam keadaan tertentu mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan).” |
14. | Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 UU Cipta Kerja
“Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan.” |
“Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan.” |
15. | Pasal 92 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 33 UU Cipta Kerja
“Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.” |
“Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.” |
16. | Pasal 95 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 36 UU Cipta Kerja
“Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.” |
“Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.” |
17. | Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 39 UU Cipta Kerja
“Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan.” |
“Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif.” |
18. | Pasal 151 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 40 UU Cipta Kerja
“Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.” |
“Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.” |
19. | Pasal 151 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 40 UU Cipta Kerja
“Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial” |
“Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan
hukum tetap.” |
20. | Pasal 157A ayat (3) dalam Pasal 81 angka 49 UU Cipta Kerja
“Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya.” |
“Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI.” |
21. | Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 UU Cipta Kerja
“Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:” |
“Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:” |
Sources
- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Kabulkan Sebagian, MK Minta UU Ketenagakerjaan Dipisahkan dari UU Cipta Kerja. Available at https://testing.mkri.id/berita/kabulkan-sebagian,-mk-minta-uu-ketenagakerjaan-dipisahkan-dari-uu-cipta-kerja-21782
- Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023
- Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023: Pertimbangan Hakim hal. 558.
- Pasal 59 ayat (1) huruf b UU Nomor 13 tahun 2003
- Pertimbangan Hukum Hakim Putusan MK hal. 564
- Pertimbangan Hakim terhadap Putusan MK hal. 579
- Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Putusan MK hal. 591
- Legal Considerations of the Judges of the Constitutional Court Decision 168/PUU-XXI/2023 p. 594
- Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi hal. 616
- Pertimbangan Hukum Hakim Putusan 168/PUU-XXI/2023 p. 624
- Pertimbangan Hakim Putusan MK hal. 628
- Pertimbangan Hakim Putusan MK hal. 642
- Pertimbangan Hakim Putusan MK hal. 642
- Pertimbangan Hakim Putusan MK hal. 650
- Pertimbangan Hakim dalam Putusan MK hal. 662
- Pertimbangan Hakim dalam Putusan MK hal. 663
- Pertimbangan Hakim dalam Putusan MK hal. 666
- Pertimbangan Hakim dalam Putusan MK hal. 600
- Pertimbangan Hakim dalam Putusan MK hal. 676