Dr. Eddy M. Leks and Miskah Banafsaj

Pendahuluan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan), menyatakan wewenang sebagai hak yang dimiliki oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Lebih lanjut, merujuk pada ketentuan dalam Pasal 8 UU Administrasi Pemerintahan, bahwa setiap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan/atau Tindakan Tata Usaha Negara (Tindakan TUN) harus ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan yang berwenang.

Ketika membahas suatu KTUN di Indonesia, maka keharusan untuk diterbitkan oleh badan dan/atau pejabat yang berwenang menjadi penting. Sebagaimana hal ini merupakan salah satu syarat sah dari KTUN yang diterbitkan. Sebagaimana dalam Pasal 52 UU Administrasi Pemerintahan, dinyatakan bahwa syarat sah KTUN, yaitu:

  • Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
  • Dibuat sesuai prosedur; dan
  • Substansi yang sesuai dengan objek KTUN.

Artinya, setiap KTUN yang diterbitkan harus sesuai dalam batas kewenangan dari badan dan/pejabat yang terkait. Badan dan/atau pejabat pemerintahan juga dilarang untuk menyalahgunakan wewenang yang kemudian dapat mengakibatkan suatu KTUN menjadi cacat wewenang.

 

“Setiap KTUN hanya dapat diterbitkan sesuai batasan wewenang pejabat dan/atau instansi terkait.”

Permasalahan terkait adanya cacat wewenang dalam penerbitan KTUN, menjadi permasalahan yang kerap timbul hingga kini. Menjadi pertanyaan bagi pihak yang menerima KTUN tersebut, apakah KTUN yang ditujukan kepadanya benar dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat yang berwenang. Sehingga, apa kemudian akibat hukum terhadap KTUN yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat yang tidak berwenang?

Government Administrative Law

Cacat Wewenang pada Keputusan Tata Usaha Negara

Ketika merujuk pada Pasal 17 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan, maka suatu KTUN dapat dikatakan terdapat cacat wewenang, ketika badan dan/atau pejabat TUN dalam mengeluarkan KTUN telah melampaui wewenangnya, mencampuradukkan wewenangnya, dan/atau telah bertindak sewenang-wenang. Ketika hal ini terjadi, maka sebagai akibat hukumnya, diatur dalam Pasal 19, bahwa KTUN tersebut dapat dinyatakan tidak sah dan/atau dapat dibatalkan apabila telah diuji dan terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

 

“Cacat wewenang terjadi ketika pejabat telah melampuai kewenangannya, mencampuradukan wewenangnya, dan/atau bertindak sewenang-wenang.”

Pasal 64 dan Pasal 66 UU Administrasi Pemerintahan, juga telah lebih lanjut mengatur bahwa keputusan dapat dilakukan pencabutan atau pembatalan apabila terdapat cacat wewenang, prosedur, dan/atau substansi. Akibatnya, terhadap KTUN yang dicabut, maka harus diterbitkan KTUN baru. Sedangkan dalam hal KTUN dibatalkan, harus ditetapkan KTUN baru dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

Untuk memahami lebih lanjut, akan dibahas melalui pertimbangan hukum dalam yurisprudensi Putusan Nomor 08/G/2016/PTUN-PTK jo. Putusan Nomor 465 K/TUN/2017 berikut ini.

Putusan ini membahas terkait objek sengketa berupa Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Barat tentang Pencabutan Izin Usaha Pertambangan atas Keputusan Bupati Kapuas Hulu tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi. Dalam kasus ini, Penggugat meminta untuk objek sengketa dinyatakan tidak sah dan dicabut atas dasar adanya cacat wewenang dari Gubernur Kalimantan Barat, sebagai pihak yang mengeluarkan objek sengketa kepada Penggugat.

Authority Defect State Administrative Law

Pada tingkat pertama, pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 08/G/2016/PTUN-PTK, menyatakan bahwa:

“…penerbitan Objek Sengketa oleh Gubernur Kalimantan Barat adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena Objek Sengketa diterbitkan bukan oleh Badan/Pejabat yang berwenang.”

“…tindakan Tergugat dalam menerbitkan Objek Sengketa tanpa adanya wewenang yang sah adalah tergolong pelanggaran atas larangan bertindak sewenang-wenang …, oleh karenanya Objek Sengketa harus dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.”

 

“tindakan Tergugat dalam menerbitkan Objek Sengketa tanpa adanya wewenang yang sah adalah tergolong pelanggaran.”

Perkara ini kemudian dikuatkan kembali melalui Mahkamah Agung, sebagaimana pada pertimbangan hukum Judex Juris dalam Putusan Nomor 465 K/TUN/2017 menyebutkan:

“…karena dengan beralihnya status perusahaan Penggugat menjadi Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA), Tergugat [Gubernur Kalimantan Barat] tidak berwenang untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara obyek sengketa, karena yang berwenang menerbitkan IUP PMA ada pada Menteri ESDM oleh karena itu berdasarkan asas Contrarius Actus, Pejabat yang berwenang mencabut adalah Pemerintah Pusat;”

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa kewenangan instansi/pejabat pemerintah pusat dan instansi/pejabat pemerintah daerah berbeda. Studi kasus ini menunjukkan bahwa kewenangan terhadap perusahaan penanaman modal asing ada pada pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, bukan Gubernur kepala daerah setempat.

Meskipun dalam konteks lain (dalam hal pengeluaran KTUN lain), Gubernur Kalimantan Barat (kepala daerah setempat) mungkin dapat bertindak sebagai badan dan/atau pejabat yang berwenang dalam mengeluarkan suatu KTUN, namun perlu diperhatikan bahwa terdapat pembatasan kewenangan yang ditujukan kepada suatu badan dan/atau pejabat tata usaha negara. Pasal 15 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan lebih lanjut mengatur bahwa wewenang badan atau pejabat dibatasi oleh masa atau tenggang waktu wewenang, wilayah berlakunya wewenang, dan cakupan bidang atau materi wewenang.


Author

Dr. Eddy Marek Leks

Dr. Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 15 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration CentreAsia Pacific International Arbitration Chamber Indonesia Boardand Singapore Institute of Arbitrators (SIArb) . Aside to his practice, the editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023, ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review and Leading Partner in Real Estate and Construction by Legal500 Asia Pacific 2025.


Co-authored by

Miskah Banafsaj

Miskah Banafsaj is an intern at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Sources:

  • Law Number 30 of 2014 on Government Administration.
  • Supreme Court Decision Number 465 K/TUN/2017.
  • Pontianak Administrative Court Decision Number 08/G/2016/PTUN-PTK.