Artikel

Kontrak Kerja Konstruksi

Latar Belakang
Jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, penyelenggaraan jasa konstruksi perlu diatur lebih lanjut untuk mewujudkan tertib pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Peraturan mengenai jasa konstruksi diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (“UU No. 18/1999”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (“PP No. 29/2000”) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 29/2000 (“PP No. 59/2010”).

Dalam suatu pekerjaan konstruksi, dikenal 2 (dua) pihak, yaitu pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa. Pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa ini terikat dalam suatu hubungan kerja jasa konstruksi, dimana hubungan kerja tersebut diatur dan dituangkan dalam suatu kontrak kerja konstruksi.

Kontrak Kerja Konstruksi
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 18/1999, disebutkan bahwa kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pada dasarnya, kontrak kerja konstruksi dibuat secara terpisah sesuai tahapan dalam pekerjaan konstruksi, yang terdiri dari kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, untuk pekerjaan pelaksanaan, dan untuk pekerjaan pengawasan.

Merujuk kepada Pasal 23 ayat (6) PP No. 29/2000, kontrak kerja konstruksi tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Kontrak kerja konstruksi ini juga dibuat dalam Bahasa Indonesia. Dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (dual language).

Berdasarkan PP 29/2000, kontrak kerja konstruksi dibedakan berdasarkan:
a. bentuk imbalan, yang terdiri dari lump sum, harga satuan, biaya tambah imbalan jasa, gabungan Lump Sum dan harga satuan, atau aliansi;
b. jangka waktu pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yang terdiri dari: tahun tunggal, atau tahun jamak;
c. cara pembayaran hasil pekerjaan, yaitu sesuai kemajuan pekerjaan, atau secara berkala.

Suatu kontrak kerja konstruksi sekurang-lurangnya harus mencakup mengenai:
a. para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
b. rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
c. masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, memuat jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa;
d. tenaga ahli, memuat ketentuan jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;
e. hak dan kewajiban, memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi;
f. cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;
g. cidera janji, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
h. penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
i. pemutusan kontrak kerja konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
j. keadaan memaksa (force majeure), memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
k. kegagalan bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan;
l. perlindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; dan
m. aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.

Kontrak kerja konstruksi juga harus memuat ketentuan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual yang mencakup:
a. kepemilikan hasil perencanaan, berdasarkan kesepakatan; dan
b. pemenuhan kewajiban terhadap hak cipta atas hasil perencanaan yang telah dimiliki oleh pemegang hak cipta dan hak paten yang telah dimiliki oleh pemegang hak paten, sesuai undang-undang tentang hak cipta dan undang-undang tentang hak paten.

Kontrak kerja konstruksi juga dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif, dimana insentif ini dapat berupa uang atau bentuk lainnya. Yang dimaksud dengan insentif adalah penghargaan yang diberikan kepada penyedia jasa atas prestasinya, antara lain, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih awal daripada yang diperjanjikan dengan tetap menjaga mutu sesuai yang dipersyaratkan.

Isrilitha Pratami Puteri

read more

Pewarisan Hak Pakai

Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“Hukum Agraria”), hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 42 Hukum Agraria, hak pakai dapat diberikan kepada:

warga negara Indonesia;
orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia; dan
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Peralihan Hak Pakai

Berdasarkan Pasal 54 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah (“PP 40”), diatur bahwa hak pakai dapat dialihkan dengan beberapa cara:
jual beli;
tukar menukar;
penyertaan dalam modal;
hibah;
pewarisan.
Selanjutnya, dinyatakan bahwa peralihan atas hak pakai wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Untuk peralihan hak pakai yang terjadi karena pewarisan, dalam Pasal 54 ayat (7) disebutkan bahwa peralihan hak pakai harus dibuktikan dengan adanya surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah (“PP 24”) mengatur secara khusus dokumen-dokumen yang harus disediakan oleh ahli waris untuk pendaftaran tanah:

sertifikat tanah;
surat keterangan kematian pemegang hak pakai;
surat keterangan waris.
Selain itu, dalam penjelasan Pasal 42 PP 24 menyatakan bahwa pengalihan hak pakai akan terjadi pada saat pemegang hak pakai meninggal, yang menunjukan bahwa ahli waris akan menjadi pemegang hak yang baru. Sehubungan dengan pihak yang berhak untuk menjadi ahli waris, hal tersebut akan bergantung pada hukum perdata yang berlaku bagi pemegang hak pakai yang ada.

Jerry Shalmont

read more

Aspek Hukum Jangka Waktu Hak Pakai atas Tanah Negara dan Tanah dengan Hak Milik

Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU Tanah”), Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Hukum Tanah, Hak Pakai dapat diberikan kepada:

warga negara Indonesia;
orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia;
badan hukum asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia.
Lebih lanjut, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP 40”), Hak Pakai dapat diberikan di atas tanah dengan status:

tanah negara;
tanah hak pengelolaan;
tanah hak milik.
Kepemilikan properti oleh orang asing sebagaimana diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 mengenai Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (“PP 41”). Pasal 2 PP 41 jenis rumah yang diperbolehkan untuk dimiliki oleh orang asing:

rumah yang dibangun di atas tanah negara;
rumah yang dibangun berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak milik atas tanah. Perjanjian tersebut harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
satuan rumah susun yang dibangun di atas Hak Pakai atas tanah Negara.

Jangka Waktu Hak Pakai

Ditetapkan dalam Pasal 45 PP 40 jangka waktu bagi hak pakai atas tanah Negara adalah 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. PP 40 mengatur beberapa persyaratan sebelum jangka waktu Hak Pakai dapat diperpanjang, yaitu:

Tanah masih dipergunakan sesuai dengan penggunaan tanah;
Syarat-syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
Pemegang hak masih memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak yang diatur dalam PP 40.
Lebih lanjut, untuk perpanjangan jangka waktu Hak Pakai, Pasal 47 PP 40 mengatur bahwa permohonan atas perpanjangan jangka waktu harus diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Pakai tersebut.

Selain itu, PP 41 mengatur jangka waktu yang berbeda untuk Hak Pakai atas rumah yang dibangun berdasarkan perjanjian dengan pemegang Hak Milik, jangka waktu perjanjian tersebut tidak boleh lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun dimana perjanjian tersebut dapat diperpanjang selama 25 (dua puluh lima) tahun. Walaupun demikian, perpanjangan selama 25 (dua puluh lima) tahun harus dibuat dalam perjanjian terpisah antara orang asing dan pemegang hak milik. Selanjutnya, perpanjangan dapat dibuat dengan ketentuan bahwa orang asing yang berdomisili di Indonesia atau untuk perusahaan asing, mempunyai perwakilan di Indonesia.

Apabila orang asing yang memiliki rumah yang dibangun atas Hak Pakai tanah negara atau berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak tidak lagi berdomisili di Indonesia, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, orang asing harus mengalihkan haknya kepada pihak lain yang memenuhi syarat untuk memiliki hak atas tanah. Dalam hal orang asing tersebut menolak untuk mengalihkan haknya kepada pihak lain, rumah yang dibangun atas tanah negara akan dikuasai oleh negara untuk dilelang. Adapun rumah yang dibangun berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak, rumah akan dimiliki oleh pemegang hak.

Jerry Shalmont

read more

Izin Lokasi

Latar Belakang
Izin lokasi diperlukan oleh suatu perusahaan untuk memperoleh tanah dalam rangka melaksanakan rencana penanaman modal yang dimilikinya. Izin lokasi ini diatur di dalam Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi (“Permenag No. 2/1999”).

Izin Lokasi
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya.

Setiap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penanaman modal wajib mempunyai izin lokasi untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal yang bersangkutan. Namun, Izin Lokasi tidak diperlukan dan dianggap sudah dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan dalam hal:

tanah yang akan diperoleh merupakan pemasukan (inbreng) dari para pemegang saham;
tanah yang akan diperoleh merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh perusahaan lain dalam rangka melanjutkan pelaksanaan sebagai atau seluruh rencana penanaman modal perusahaan lain tersebut, dan untuk itu telah diperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang;
tanah yang akan diperoleh diperlukan dalam rangka melajaksanakan usaha industri dalam suatu kawasan industri;
tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan rencana pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut;
tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan dan untuk perluasan itu telah diperoleh izin tanah tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan;
tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal tidak lebih dari 25 Ha (dua puluh lima hektar) untuk usaha pertanian atau tidak lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi ) untuk usaha bukan pertanian; atau
tanah yang akan dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal adalah tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan uyang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa tanah-tanah tersebut terletak di lokasi yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang bersangkutan.

Jangka Waktu Pemberian Izin Lokasi
Izin Lokasi diberikan untuk jangka waktu sebagai berikut:

a. Izin Lokasi seluas sampai dengan 25 Ha, 1 (satu) tahun;

b. Izin Lokasi seluas lebih dari 25 Ha s/d 50 Ha, 2 (dua) tahun;

c. Izin Lokasi seluas lebih dari 50 Ha, 3 (tiga) tahun.

Dalam hal perolehan tanah belum selesai dalam jangka waktu Izin Lokasi sebagaimana tersebut di atas, maka Izin Lokasi dapat diperpanjang jangka waktunya selama 1 (satu) tahun apabila tanah yang sudah diperoleh mencapai lebih dari 50% (lima puluh persen) dari luas tanah yang ditunjuk dalam Izin Lokasi.

Tata Cara Pemberian Izin Lokasi
Sebelum Izin Lokasi diberikan, penting untuk diketahui bahwa tanah yang dapat ditunjuk dalam Izin Lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan menurut persetujuan penanaman modal yang dimilikinya.

Izin Lokasi ini diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah. Izin Lokasi diberikan dalam surat keputusan pemberian Izin Lokasi yang ditandatangani oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta setelah diadakan rapat koordinasi antar instansi terkait, yang dipimpin oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap olehnya.

Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Lokasi

Hak Pemegang Izin Lokasi adalah sebagai berikut:
membebaskan tanah dalam areal Izin Lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang memiliki kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
pemegang Izin Lokasi dapat diberikan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepadanya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keperluan untuk melaksanakan rencana penanaman modalnya.
Pemegang Izin Lokasi berkewajiban untuk:
menghormati kepentingan pihak-pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan;
tidak menutup atau mengurangi aksessibilitas yang dimiliki masyarakat di sekitar lokasi;
menjaga serta melindungi kepentingan umum;
melaporkan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai perolehan tanah yang sudah dilaksanakannya berdasarkan Izin Lokasi dan pelaksanaan penggunaan tanah tersebut.

read more

Persyaratan Administratif dan Teknis Pembangunan Rumah Susun

Latar Belakang

Di daerah perkotaan yang berpenduduk padat, di mana tanah yang tersedia sangat terbatas perlu dikembangkan pembangunan perumahan dan pemukiman dalam bentuk rumah susun yang lengkap, seimbang, dan serasi dengan lingkungannya. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda-benda bersama dan tanah bersama. Pembangunan rumah susun harus memenuhi berbagai persyaratan teknis dan administratif sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 (“PP No. 4/1988”) jo. Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 (“UU No. 16/1985”). Pembangunan rumah susun memerlukan persyaratan teknis dan administratif yang lebih berat, karena rumah susun memiliki bentuk dan keadaan khusus yang berbeda dengan perumahan biasa.

Persyaratan Administratif

Pembangunan rumah susun dan lingkungannya harus dibangun dan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah setempat sesuai dengan peruntukkannya (persyaratan administratif). Merujuk kepada penjelasan Pasal 6 UU No. 16/1985, yang dimaksud dengan persyaratan administratif pembangunan rumah susun yaitu persyaratan yang mengatur mengenai (i) perizinan usaha dari perusahaan pembangunan perumahan, (ii) izin lokasi dan/atau peruntukkannya, serta (iii) perizinan mendirikan bangunan. Perizinan tersebut diajukan oleh penyelenggara pembangunan kepada Pemerintah Daerah terkait dengan melampirkan persyaratan-persyaratan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 30 PP No. 4/1988, yaitu sebagai berikut:
sertifikat hak atas tanah;
fatwa peruntukkan tanah;
rencana tapak;
gambar rencana arsitektur yang memuat denah dan potongan beserta pertelaannya yang menunjukkan dengan jelas batasan secara vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun;
gambar rencana struktur beserta perhitungannya;
gambar rencana menunjukkan dengan jelas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama;
gambar rencana jaringan dan instalasi beserta perlengkapannya.

Persyaratan Teknis

Ketentuan-ketentuan dalam persyaratan teknis diatur oleh Menteri Pekerjaan Umum dan semua persyaratan teknis tersebut harus sesuai dengan rencana tata kota setempat.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No. 16/1985, persyaratan teknis pembangunan rumah susun antara lain mengatur mengenai (i) struktur bangunan, (ii) keamanan, keselamatan, kenyamanan, (iii) hal-hal yang beruhubungan dengan rancang bangunan, (iv) kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan.

PP No. 4/1988 juga mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun, antara lain meliputi:

Ruang;
Semua ruang yang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan udara dan pencahayaan langsung maupun tidak langsung secara alami dalam jumlah yang cukup.

Struktur, komponen, dan bahan bangunan;
Rumah susun harus direncakanan dan dibangun dengan struktur, komponen, dan penggunaan bahan bangunan yang memenuhi persyaratan konstruksi sesuai dengan standar yang berlaku.

Kelengkapan rumah susun;
Rumah susun harus dilengkapi dengan: jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan gas, saluran pembuangan air hujan, saluran pembuangan air limbah, saluran dan/atau tempat pembuangan sampah, tempat untuk kemungkinan pemasangan jaringan telepon dan alat komunikasi lainnya, alat transportasi yang berupa tangga, lift atau eskalator, pintu dan tangga darurat kebakaran, tempat jemuran, alat pemadam kebakaran, penangkal petir, alat/sistem alarm, pintu kedap asap pada jarak-jarak tertentu, dan generator listrik untuk rumah susun yang menggunakan lift.

Satuan rumah susun;
Satuan rumah susun dapat berada pada permukaan tanah, di atas atau di bawah permukaan tanah, atau sebagian di bawah dan sebagian di atas permukaan tanah. Rumah susun juga harus mempunyai ukuran standar yang dapat dipertanggungjawabkan, memenuhi persyaratan sehubungan dengan fungsi dan penggunaannya, serta harus disusun, diatur, dan dikoordinasikan untuk dapat mewujudkan suatu keadaan yang dapat menunjang kesejahteraan dan kelancaran bagi penghuni dalam menjalankan kegiatan sehari-hari untuk hubungan ke dalam dan ke luar.

Bagian bersama dan benda bersama;
bagian bersama yang berupa ruang untuk umum, ruang tangga, lift, selasar, harus mempunyai ukuran yang dapat memberikan kemudahan bagi penghuni dalam melakukan kegiatan sehari-hari baik dalam hubungan sesama penghuni, maupun dengan pihak-pihak lain.
benda bersama harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas, kapasitas yang dapat memberikan keserasian lingkungan guna menjamin keamanan dan kenikmatan para penghuni.
Kepadatan dan tata letak bangunan;
Kepadatan bangunan dalam lingkungan harus memperhitungkan dapat dicapainya optimasi daya guna dan hasil guna tanah. Tata letak bangunan harus menunjang kelancaran kegiatan sehari-hari dan harus memperhatikan penetapan batas pemilikan tanah bersama, segi-segi kesehatan, pencahayaan, pertukaran udara, serta pencegahan dan pengamanan terhadap bahaya yang mengancam keselamatan penghuni, bangunan, dan lingkungannya.

Prasarana lingkungan;
Lingkungan rumah susun harus dilengkapi dengan prasarana lingkungan yang berfungsi sebagai penghubung untuk keperluan kegiatan sehari-hari bagi penghuni, baik ke dalam maupun ke luar dengan penyediaan jalan setapak, jalan kendaraan, dan tempat parkir.

Fasilitas bangunan.
Dalam rumah susun dan lingkungannya harus disediakan ruangan-ruangan dan/atau bangunan untuk tempat berkumpul, melakukan kegiatan masyarakat, tempat bermain bagi anak-anak, dan kontak sosial lainnya serta ruangan dan/atau bangunan untuk pelayanan kebutuhan sesuai standar yang berlaku.

Sanksi

Berdasarkan Pasal 21 dan 22 UU No. 16/1985, pelanggaran yang sengaja dilakukan terhadap persyaratan administratif maupun teknis sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka penyelenggara pembangunan rumah susun diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,- (seratus juta Rupiah). Sedangkan pelanggaran yang terjadi karena kelalaian, maka penyelenggara pembangunan rumah diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta Rupiah) dan dibebankan kewajiban untuk memenuhi ketentuan yang belum dilaksanakan.

read more