Dr. Eddy M. Leks

Eigendom atas Tanah

Eigendom adalah hak milik dan diatur dalam Pasal 570 Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), yang menyatakan bahwa:

“Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.”

Sebagai hak kebendaan di dalam KUHPerdata, eigendom berlaku untuk benda bergerak dan benda tidak bergerak. Namun, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU Pokok Agraria”), maka konsep eigendom bagi benda tidak bergerak, menjadi tidak berlaku sepanjang bertentangan dengan UU Pokok Agraria. UU Pokok Agraria mencabut beberapa peraturan kolonial Belanda. Lebih lanjut, dalam angka 4 diktum pencabutan, Buku ke-II KUHPerdata dicabut sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Baca Juga: Telaah Singkat Mengenai Hak Eigendom dan Ketentuan Konversinya

Ketentuan tentang hak-hak atas tanah berdasarkan hukum barat telah diatur dalam Ketentuan-Ketentuan Konversi pada UU Pokok Agraria, yang juga menjangkau eigendom. Akibatnya, hak eigendom dapat dikonversi menjadi hak milik dan hak guna bangunan serta hak pakai.

Ketentuan UU Pokok Agraria ini kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan Ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (“Permen Pelaksanaan UU Pokok Agraria”).

 

“Hak eigendom dapat dikonversi menjadi hak milik dan hak guna bangunan serta hak pakai.”

Meskipun terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur mengenai hal ini,  hingga sekarang, masih terdapat kepemilikan atas tanah atau bukan yang diakui hanya berdasarkan pada hak eigendom. Kondisi inilah yang dapat berpotensi menimbulkan permasalahan ketika tumpang tindih sengketa kepemilikan terjadi.

hak eigendom

Konversi Tanah Eigendom

Sehubungan dengan konversi tanah eigendom, sebelumnya perlu diperhatikan bahwa, sejalan dengan diktum pencabutan, di dalam Penjelasan UU Pokok Agraria, salah satu alasan pencabutan adalah karena:

  • Hukum agraria yang berlaku sebelumnya berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan yang bertentangan dengan kepentingan negara;
  • Adanya sifat dualisme, hukum barat dan adat.

Adapun implikasi dari pencabutan tanah eigendom ini, maka jika hak eigendom dimiliki oleh warga negara Indonesia tunggal, maka akan dikonversi menjadi hak milik. Jika dimiliki oleh pemerintah negara asing, akan dikonversi menjadi hak pakai. Sedangkan jika dimiliki oleh orang asing, orang dengan kewarganegaraan tidak tunggal dan badan hukum, akan dikonversi menjadi hak guna bangunan selama 20 (dua puluh) tahun, dengan kata lain berakhir di September 1980.

Dalam melakukan konversi, harus dilakukan melalui pendaftaran tanah. Permen Pelaksanaan UU Pokok Agraria lebih lanjut mengatur bahwa warga negara Indonesia yang mempunyai kepemilikan atas tanah dengan hak eigendom harus dilakukan pendaftaran dalam janga waktu enam bulan sejak berlakunya UUPA. Apabila tidak, maka akan dikonversi menjadi hak guna bangunan, dengan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.

Sementara setelah jangka waktu tersebut, seluruh tanah dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai asal konversi hak barat, kecuali diperbarui, hak yang bersangkutan akan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan yang berlaku pada saat itu, yaitu melalui Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Baca Juga: Pemberian Hak Atas Tanah (HAT) Secara Umum

Dalam praktiknya, namun, masih banyak terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai hanya dengan dasar hak eigendom tidak dikonversikan sebagaimana mestinya. Kondisi ini seringkali berujung pada permasalahan hukum. Ketika terdapat penguasaan atas tanah yang ternyata kepemilikannya atau bukan hanya beralaskan hak eigendom, maka menjadi pertanyaan terkait bagaimana dampaknya ketika terdapat sengketa di pengadilan. Apakah gugatan hukum berlandaskan hak eigendom masih diakui dan mendapatkan perlindungan di hadapan hukum?

Sehingga, bagaimana pengadilan menilai eigendom sebagai alas hak kepemilikan atas tanah? Apakah gugatan atas dasar eigendom sebagai alas hak dapat berhasil? Akan dipaparkan dua yurisprudensi di bawah ini, untuk membahas lebih lanjut terkait bagaimana pandangan pengadilan dalam menilai sengketa semacam ini.

Tanah Eigendom

Ir. R. P. Jarot Ibnu Prabowo v. H. Sudarmadi, dkk., Yurisprudensi Nomor 928 K/Pdt/2012 jo. 469/PDT/2009/PT.DKI. jo. 235/PDT/PLW/2008/PN.Jkt.Ut.

Dalam perkara ini, Pelawan mengajukan gugatan perlawanan atas dasar perkara yang telah berjalan antara Para Terlawan atas sebidang tanah, yang mana Pelawan dalilkan kepemilikannya berdasarkan alas hak eigendom (dibuktikan dengan Acte van Eigendom) yang diperoleh melalui pewarisan. Diketahui melalui perkara antara Para Terlawan tersebut, telah dikeluarkan Penetapan Sita Eksekusi dan Eksekusi Pengosongan terhadap tanah a quo. Sehingga, perlawanan pada pokoknya menutut untuk dilakukan pembatalan atau penangguhan atas Penetapan Sita Eksekusi dan Eksekusi Pengosongan terhadap tanah a quo.

Judex Facti pada tingkat pertama menolak perlawanan tersebut dan pada pokoknya menyatakan kepemilikan tanah dengan alas hak eigendom sudah tidak lagi berlaku. Sebagaimana dalam pertimbangannya:

“Menimbang, bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria menetapkan bahwa hak atas tanah produk pemerintah Hindia Belanda diberi waktu selama 20 (dua puluh) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria sampai batas waktu tanggal 24 September 1980. Kalau tidak dikonpersi maka hak-hak tersebut tidak berlaku karena dicabut berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.”

Putusan tersebut juga kemudian dikuatkan pada tingkat banding dan kasasi, sebagaimana dinyatakan oleh Judex Juris:

“Bahwa ternyata objek sengketa dalam perkara a quo sejak semula tercatat atas nama… masih berbentuk Acta Van Eigendom Nomor 7991, yang hingga tanggal 24 September 1980, sebagai batas akhir ketentuan Konversi tidak didaftarkan, dan secara hukum Acta Van Eigendom tersebut sudah tidak berlaku lagi.”

 

“Kalau [eigendom] tidak dikonversi maka hak-hak tersebut tidak berlaku karena dicabut berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria.”

Dalam perkara ini, baik Judex Facti dan Judex Juris menegaskan pentingnya patuh dengan ketentuan konversi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelanggaran terhadap perihal yang sama mengakibatkan tidak diakuinya hak eigendom.

Dudy Triwibowo, dkk., v. PT. Akar Restu Indonesia, Yurisprudensi Nomor 819 K/Pdt/2015 jo. 258/Pdt/2014/PT.DKI jo. 238/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel.

Selanjutnya, pada perkara ini, Para Penggugat mendalilkan dirinya sebagai pemilik atas tanah-tanah yang diperoleh berdasarkan pewarisan, dengan alas hak eigendom. Penggugat mengajukan gugatan atas dasar adanya Sertipikat Hak Guna Bangunan terdaftar atas nama Tergugat, yang telah diterbitkan di atas tanah a quo. Sebagaimana Para Penggugat pada pokoknya mendalilkan bahwa Tergugat dan Turut Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan mengakibatkan kerugian kepada Para Penggugat dengan mengajukan permohonan Sertipikat Hak Guna Bangunan atas tanah a quo tanpa melibatkan Para Penggugat.

Baca Juga: Hak Prioritas dalam Hukum Pertanahan di Indonesia

Berdasarkan fakta di persidangan, Judex Facti pada tingkat pertama menyatakan bahwa, dasar hak eigendom yang Para Penggugat dalilkan telah menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Demikian, ketika Tergugat mendalilkan penguasaan atas tanah tersebut berdasarkan Sertipikat Hak Guna Bangunan, Judex Facti menyatakan bahwa alas hak Tergugatlah yang merupakan bukti autentik dan menunjukkan kepemilikan sah atas tanah a quo.

Sehingga dalam hal ini, gugatan Penggugat ditolak pada pengadilan tingkat pertama, yang kemudian dikuatkan kembali pada tingkat banding dan kasasi. Adapun Judex Juris menyatakan:

“Bahwa ternyata hak Eigendom Verponding, 6393 atas nama … dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 jo. Undang-Undang Pokok Agraria harus dikonversi menjadi hak milik bagi yang memenuhi syarat atau menjadi hak guna bangunan, akan berakhir tanggal 24 September 1980. Bahwa hak Eigendom Verponding, 6393 atas nama… sejak 24 September 1980 menjadi tanah yang dikuasai Negara…”

Hak Eigendom Indonesia

Kepatuhan terhadap Ketentuan Konversi Eigendom

Yurisprudensi-yurisprudensi di atas menunjukkan bahwa suatu tanah yang sebelumnya dikuasai dengan alas hak eigendom, namun tidak dilakukan konversi yang sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya, akan dianggap tidak sah dan tidak juga mendapatkan perlindungan secara hukum. Kedua Judex Juris dalam pertimbangan hukumnya cenderung melihat pada konversi yang telah terjadi selama 20 (dua puluh) tahun menjadi hak guna bangunan, dan apakah secara faktual telah diajukan permohonan pendaftaran hak atas tanah setelah lewatnya waktu tersebut.

Ketika tanah dengan alas hak eigendom tersebut ternyata tidak pernah dilakukan konversi dalam periode waktu tersebut, maka tanah tersebut secara otomatis akan menjadi tanah yang dikuasai oleh negara. Akibatnya, dalam hal terdapat pihak lain yang kemudian mengakui penguasaan atas suatu bidang tanah melalui bukti kepemilikan autentik, yaitu sertipikat tanah, maka penguasaan tersebutlah yang akan diakui kedudukannya dihadapan hukum.


Author

Dr. Eddy Marek Leks

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of  BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.


Co-authored

Miskah Banafsaj

Miskah Banafsaj is an associate at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Sources:

  • Indonesian Civil Code.
  • Law Number 5 of 1960 on Basic Regulations of Agrarian Principles.
  • Presidential Decree Number 32 of 1979 on Principal Discretion in Granting New Land Rights from the Conversion of Western Rights.
  • Minister of Agrarian Regulation Number 2 of 1960 on the Implementation of the Provisions of Basic Agrarian Law.
  • Supreme Court Decision Number 928 K/Pdt/2012
  • Supreme Court Decision Number 819 K/Pdt/2015.
  • Jakarta High Court Decision Number 469/PDT/2009/PT.DKI.
  • Jakarta High Court Decision Number 258/Pdt/2014/PT.DKI
  • North Jakarta District Court Decision Number 235/PDT/PLW/2008/PN.Jkt.Ut.
  • South Jakarta District Court Decision Number 238/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel.