Dr. Eddy M. Leks and Miskah Banafsaj

Sertipikat Tanah

Merujuk pada Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997) beserta Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), sertipikat dinyatakan sebagai surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Dalam satu bidang  tanah, hanya dapat diterbitkan satu sertipikat hak atas tanah, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 34 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan (“Permen ATR/BPN 21/2020”). 

Baca Juga: Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak Kepemilikan Tanah

Meskipun pengaturan akan haknya jelas, keberadaan kepemilikan suatu sertipikat hak atas tanah masih sering kali dipermasalahkan. Di antara isu yang sering timbul yaitu mengenai keabsahan sertipikat yang diterbitkan, khususnya ketika terjadi tumpang tindih antara dua atau lebih sertipikat atas bidang tanah yang sama.

Ketika terjadi sengketa atas kepemilikan tanah, seperti tumpang tindih ini, artinya terdapat cacat administratif di dalamnya. Akibatnya, pihak yang dirugikan kemudian dapat mengajukan pembatalan sertipikat hak atas tanah tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (“PP 18/2021”), bahwa pembatalan hak atas tanah karena cacat administrasi, di antaranya dapat dilakukan ketika terdapat tumpang tindih hak atas tanah.

Baca Juga: Sertipikat Tanah Elektronik

Persoalan yang sering dipersengketakan ketika terjadi tumpang tindih ini adalah bagaimana menentukan sertipikat mana yang sah, serta siapa yang kemudian secara hukum berhak atas tanah tersebut. Sengketa semacam ini masih menjadi persoalan yang masih sering timbul hingga sekarang. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sertipikat hak atas tanah yang telah diterbitkan sering kali menjadi objek sengketa di pengadilan.

 

Pembatalan hak atas tanah akibat cacat administratif, antara lain, dapat dilakukan dalam hal terdapat tumpang tindih hak atas tanah.

Agrarian Law

Yurisprudensi terkait Tumpang Tindih Sertipikat Tanah

Sebagai salah satu produk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), sertipikat hak atas tanah merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan/Badan Pertanahan Nasional, berisi tindakan konkret, individual, final, dan menimbulkan akibat hukum. Sehingga, dalam sengketa tumpang tindih sertipikat tanah, maka dapat diselesaikan melalui ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2020 (Rumusan Kamar TUN), telah mengatur bahwa Pembatalan sertipikat adalah tindakan administratif yang merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara (TUN).

Baca Juga: Is there legal certainty in land ownership in Indonesia?

Mengenai permasalahan terkait sengketa kepemilikan tanah yang tumpang tindih, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 (Rumusan Kamar TUN) (SEMA 3/2018) telah mengatur bahwa pengujian keabsahan sertipikat hak atas tanah yang tumpang tindih, hakim dapat membatalkan sertipikat yang terbit kemudian dengan syarat:

  • Pemegang sertipikat yang terbit terlebih dulu menguasai fisik tanah dengan iktikad baik, atau
  • Riwayat hak dan penguasaannya jelas dan tidak terputus; atau
  • Prosedur penerbitan sertipikat yang terbit terlebih dulu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam perkara lain yang serupa, sebagaimana dalam Putusan Nomor 130/G/2016/PTUN-MDN jo. Putusan Nomor 493 K/TUN/2017, suatu sertipikat tanah hak guna bangunan atas nama perusahaan daerah yang terbit di tahun 1997 dengan luas 5.006m2 digugat dalam suatu kasus tata usaha negara (TUN) (objek sengketa). Sertipikat tersebut diterbitkan tumpang tindih dengan sertipikat hak guna bangunan lain atas nama orang pribadi dengan luas 30m2 yang terbit di tahun 1996.

 

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 telah mengatur bahwa dalam menilai keabsahan sertipikat hak atas tanah, hakim dapat membatalkan sertipikat yang diterbitkan dengan syarat-syarat tertentu.

Melalui pertimbangan hukum dalam tingkat pertama, dinyatakan bahwa:

“Penggugat telah mampu membuktikan kesesuaian antara data fisik dan data yuridis tanah miliknya… oleh karenanya sudah terang dan nyata terbukti bahwa lokasi Tanah Sertipikat Objek Sengketa dan lokasi tanah milik Penggugat telah tumpang tindih (over lapping).”

“… Sertipikat sebagai surat tanda bukti hak atas tanah seseorang yang di dalamnya memuat data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah, merupakan pegangan kepada pemilik akan bukti-bukti haknya yang tertulis. Dengan demikian, hak atas tanah yang dibuktikan oleh suatu Sertipikat menunjukan hak statutoris Pemegang Hak yang tercantum dalam Sertipikat, sehingga dalam Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah, setiap satu Sertipikat hak atas tanah diterbitkan untuk satu bidang tanah. Artinya secara prinsip hanya ada satu Sertipikat Hak Milik atas tanah yang dapat diletakkan atas sebidang tanah, dengan demikian dan dengan alasan apapun, tidak dibenarkan satu Sertipikat Hak Atas Tanah baik sebagian atau seluruhnya menimpa/menindih bidang Sertipikat Hak Milik atas tanah yang lainnya.”

Dalam kasus ini, sertipikat objek sengketa dinyatakan batal oleh pengadilan tata usaha negara dan dikuatkan oleh pengadilan tinggi, serta kembali dikuatkan oleh Mahkamah Agung.  Dalam pertimbangannya, Judex Juris menyampaikan:

“Bahwa sertipikat objek sengketa tumpang tindih dengan Sertipikat Hak Guna Bangunan … yang terbit lebih dulu. Tumpang tindih sertipikat merupakan salah satu bentuk cacat administrasi yang merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk melakukan kontrol yuridis terhadap Pemohon Kasasi II/Tergugat. Oleh karena pada saat penerbitan sertipikat objek sengketa, sertipikat Hak Guna Bangunan … tersebut masih berlaku, maka untuk menjamin kepastian hukum sertipikat objek sengketa harus dibatalkan.”

Ketika melihat pertimbangan hakim dalam perkara tersebut, maka dapat dilihat bahwa hakim menilai keabsahan suatu sertipikat kepemilikan hak atas tanah dengan memperhatikan riwayat penguasaan, yaitu juga terkait sertipikat mana yang telah diterbitkan terlebih dahulu. Penilaian ini juga berkesesuaian dengan ketentuan dalam SEMA 3/2018 yang sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya.

Lebih lanjut, dalam hakim dalam pertimbangan hukumnya juga telah menekankan pemahaman bahwa hanya satu sertipikat tanah yang dapat diterbitkan atas satu bidang tanah. Dengan demikian, seperti dalam yurisprudensi di atas, apabila terdapat lebih dari satu sertipikat atas satu bidang tanah yang sama, maka untuk menjamin kepastian hukum, sertipikat tanah yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih harus dibatalkan.


Author

Dr. Eddy Marek Leks

Dr. Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 15 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration CentreAsia Pacific International Arbitration Chamber Indonesia Boardand Singapore Institute of Arbitrators (SIArb) . Aside to his practice, the editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023, ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review and Leading Partner in Real Estate and Construction by Legal500 Asia Pacific 2025.


Co-authored by

Miskah Banafsaj

Miskah Banafsaj is an intern at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Sources:

  • Law Number 5 of 1960 on Basic Regulations on Agrarian Principles.
  • Government Regulation Number 24 of 1997 on Land Registration.
  • Law Number 30 of 2014 on Government Administration.
  • Government Regulation Number 18 of 2021 on Management Rights, Land Rights, Apartment Unit, and Land Registration.
  • Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency Regulation Number 21 of 2020 on Handling and Settlement of Land Cases.
  • Supreme Court Circular Letter Number 10 of 2020.
  • Supreme Court Circular Letter Number 3 of 2018.
  • Supreme Court Decision Number 493 K/TUN/2017.
  • Medan Administrative Court Decision Number 130/G/2016/PTUN-MDN.