
Hukum Kontrak Indonesia menyediakan kerangka hukum mendasar yang mengatur bagaimana suatu perjanjian dibentuk, ditafsirkan, dan dilaksanakan dalam sistem hukum perdata Indonesia. Memahami prinsip-prinsip ini sangat penting untuk menilai keabsahan suatu perjanjian dan menyelesaikan sengketa, khususnya ketika muncul isu mengenai pelaksanaan perjanjian atau wanprestasi.
Table of Contents
Perikatan dan Perjanjian
Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (”KUH Perdata”) mengatur bahwa perikatan lahir karena perjanjian atau undang-undang. Lebih lanjut dalam Pasal 1234 KUH Perdata mengatur bahwa suatu perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.
KUH Perdata tidak mendefinisikan secara spesifik mengenai arti dari perikatan. Namun demikian, berdasarkan pendapat ahli, perikatan merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang berada dalam lapangan harta kekayaan, yang memberikan hak kepada salah satu pihak untuk memperoleh sesuatu atau meminta pihak lain untuk melakukan sesuatu, sementara pihak yang lain memiliki kewajiban untuk memenuhi hak tersebut (R. Setiawan, 1994: 2-3).
Jenis-jenis perikatan berdasarkan KUH Perdata, meliputi:
Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang bergantung pada suatu kejadian di masa depan yang belum pasti terjadi, baik kejadian tersebut akan menyebabkan perikatan menjadi sah atau batal. Perikatan ini diatur dalam Pasal 1253 – Pasal 1267 KUHPerdata.
Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Perikatan dengan ketetapan waktu merupakan perikatan yang pelaksanaannya ditunda hingga waktu yang ditentukan tiba. Pasal 1270 KUH Perdata mengatur bahwa suatu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan debitur terhadap pelaksanaan kewajibannya, kecuali dari sifat perikatannya sendiri atau dari keadaan bahwa ketetapan waktu tersebut telah dibuat untuk kepentingan kreditur. Perikatan dengan ketetapan waktu diatur dalam Pasal 1268 – Pasal 1271 KUHPerdata.
Perikatan Alternatif
Perikatan alternatif diatur dalam Pasal 1272 – Pasal 1277 KUHPerdata. Dalam perikatan ini, debitur dapat memilih untuk memenuhi kewajiban dengan salah satu dari beberapa prestasi yang telah ditentukan. Pasal 1273 KUH Perdata mengatur bahwa hak untuk memilih prestasi yang akan dilaksanakan terletak pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditur.

Perikatan Tanggung-Menanggung
Perikatan tanggung-menanggung merupakan suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama menjadi debitur atau kreditur. Dalam hal beberapa orang menjadi debitur, maka tiap-tiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh utang. Dalam hal beberapa orang menjadi kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang. Dengan sendirinya, pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur dapat membebaskan debitur-debitur lainnya. Begitu pula pembayaran kepada salah satu kreditur dapat membebaskan debitur dari kreditur-kreditur lainnya. Perikatan tanggung-menanggung diatur dalam Pasal 1278 – Pasal 1295 KUHPerdata.
Perikatan yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
Dalam hal suatu perikatan tidak dapat dibagi, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut seluruh prestasinya kepada tiap-tiap debitur, sedangkan masing-masing debitur diwajibkan memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. Dalam hal suatu perikatan dapat dibagi, tiap-tiap kreditur hanya berhak menuntut suatu bagian menurut imbangan dari prestasi tersebut, sedangkan tiap-tiap debitur juga hanya diwajibkan memenuhi bagiannya (Subekti, 1990: 10). Untuk menghindari kebingungan antara perikatan yang tidak dapat dibagi dengan perikatan tanggung menanggung, Subekti menjelaskan bahwa perikatan yang tidak dapat dibagi adalah mengenai prestasinya sendiri, sedangkan perikatan tanggung-menanggung adalah mengenai orang-orangnya, yakni kreditur atau debitur (Subekti, 1990: 10). Jenis perikatan ini diatur dalam Pasal 1296 – Pasal 1303 KUHPerdata.
Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan dengan ancaman hukuman diatur dalam Pasal 1304 – Pasal 1312 KUHPerdata. Ini adalah perikatan di mana seseorang diwajibkan untuk melakukan sesuatu sebagai jaminan pelaksanaan perikatan apabila perikatan tersebut tidak dipenuhi.
“Perbedaan mendasar antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang terletak pada dasar lahirnya kewajiban hukum”
Telah disebutkan sebelumnya bahwa selain perjanjian, perikatan juga lahir dari undang-undang. Perbedaan mendasar antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang terletak pada dasar lahirnya kewajiban hukum. Pada perikatan karena perjanjian, kehendak para pihak menjadi pemicu timbulnya hubungan hukum. Sedangkan pada perikatan yang lahir karena undang-undang, kehendak individu tidak diperlukan karena kewajiban timbul langsung dari ketentuan yang ditetapkan oleh hukum (Subekti, 1990: 3).
Artikel ini akan membahas tinjauan singkat mengenai perjanjian berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Kemudian dalam artikel ini tidak membedakan pengertian antara penyebutan perjanjian dengan kontrak.

Definisi
“Perjanjian merupakan suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”
Pasal 1313 KUH Perdata mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Kemudian Subekti mendefinisikan perjanjian sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang tersebut saling berjanji untuk melakukan suatu hal (Subekti, 1990: 2).
Asas – Asas
Asas Konsensualisme
Subekti menerangkan arti asas konsensualisme sebagai gagasan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara para pihak. Dengan kata lain, perjanjian sudah sah apabila para pihak sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian dan tidaklah diperlukan suatu formalitas, kecuali undang-undang menetapkan suatu formalitas terhadap perjanjian-perjanjian tertentu, seperti penuangan perjanjian dalam bentuk akta notaris (Subekti, 1990: 15).
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini memungkinkan para pihak untuk dapat membuat dan menentukan isi perjanjiannya sendiri. Asas ini secara implisit termuat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengatur bahwa semua perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Keberlakuan asas ini bukan tanpa batasan, suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini mengandung arti kepastian hukum, bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh dan harus ditaati oleh pihak-pihak yang membuatnya. Asas ini diatur dalam Perdata Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengatur bahwa semua perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas Iktikad Baik
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata secara tegas mengatur bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. J. Satrio, berdasarkan preseden dalam peradilan, menyimpulkan bahwa iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan (J. Satrio, 1992: 373). Subekti menjelaskan bahwa maksud dari iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian adalah pelaksanaan itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan, dengan kata lain ”pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar” (Subekti, 1990: 41).
Asas Kepribadian
Asas ini diatur dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang mengatur bahwa pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan pengikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Selain itu, asas ini juga diatur dalam Pasal 1340 KUH Perdata yang mengatur bahwa perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya. Terdapat pengecualian terhadap asas ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang mengatur bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Selain itu, dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Syarat Sah Perjanjian
Pasal 1320 KUH Perdata mengatur syarat-syarat umum yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian sah. Syarat-syarat tersebut berkaitan dengan objek dan subjek perjanjian. Suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
- kesepakatan antara pihak-pihak yang terikat;
- kecakapan masing-masing pihak untuk membuat suatu perikatan;
- objek yang tertentu; dan
- suatu sebab yang sah.
Jika syarat-syarat di atas terpenuhi, suatu perjanjian dianggap sah. Dua syarat pertama merupakan syarat subjektif dari perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif dari perjanjian.
Dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. Artinya, perjanjian tersebut dianggap tidak pernah dilahirkan. Kemudian dalam hal syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak dalam perjanjian tersebut mempunyai hak agar perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Jadi, perjanjian yang telah dibuat tetap mengikat para pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan perjanjian tersebut. Pihak yang dapat meminta pembatalan perjanjian adalah pihak yang tidak cakap hukum atau pihak yang tidak memberikan sepakatnya secara bebas atas kehendak sendiri (Subekti, 1990: 20).
Kapan Perjanjian Lahir?
“Suatu perjanjian dianggap lahir pada saat penawaran yang sah diterima”
Menurut asas konsensualisme, perjanjian lahir ketika tercapainya kesepakatan antara para pihak mengenai hal pokok dari objek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara pihak-pihak tersebut (Subekti, 1990: 15). Namun, menentukan saat terjadinya “kesesuaian paham dan kehendak” ini ternyata terlalu sulit, sehingga dalam praktiknya, yang penting adalah pernyataan nyata dari para pihak (S. Gautama, 2006: 81). Dalam praktik, perjanjian dianggap lahir pada saat penawaran yang sah diterima. Subekti memberikan penjelasan mengenai penawaran yang sah, yakni pernyataan yang sepatutnya dapat dianggap melahirkan maksud dari orang yang hendak mengikatkan dirinya (Subekti, 1990: 27).
Penerimaan tertulis berlaku efektif pada saat diterima. Penawaran yang sah tidak dapat ditarik kembali kecuali hak untuk menarik kembali telah disediakan. Jika penawaran tidak diterima selama masa berlakunya, penawaran tersebut berakhir secara otomatis pada akhir masa berlaku tersebut. Jika penawaran tidak memiliki jangka waktu yang ditentukan, penawaran dianggap dibuat untuk “waktu yang wajar”, yang periodenya bervariasi sesuai dengan keadaan (S. Gautama, 2006: 81)

Pelaksanaan dan Pelanggaran dalam Perjanjian
Pelaksanaan kewajiban dalam perjanjian, atau dikenal dengan prestasi, pada umumnya terbagi seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yakni:
- memberikan sesuatu;
- berbuat sesuatu; dan
- tidak berbuat sesuatu.
Prestasi mencakup semua tindakan yang diatur dalam perjanjian. Lebih lanjut, para pihak tidak hanya terikat pada apa yang dengan tegas ditentukan di dalam perjanjian, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, dengan maksud bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Hakim, melalui Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, dapat mengurangi atau menambah kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam suatu perjanjian, jika diperlukan untuk memastikan terjaganya prinsip iktikad baik. Misalnya, dalam suatu yurisprudensi pada tahun 1955, Mahkamah Agung menolak mengizinkan tanah yang telah digadaikan dengan harga Rp50 (lima puluh Rupiah) sebelum periode perang untuk ditebus dengan harga yang sama, dan alih-alih Mahkamah menciptakan rumus penebusan sendiri. Mahkamah Agung mensyaratkan bahwa risiko fluktuasi mata uang harus dipikul masing-masing separuh oleh kedua belah pihak meskipun kontrak menetapkan harga penebusan sebesar Rp50, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah itu (selama periode tersebut harga emas telah meningkat 30 kali lipat). Oleh karena itu, Mahkamah memerintahkan penggugat untuk membayar 1/2 dari 30 x Rp 50,- yaitu Rp 750,- untuk tanah tersebut (S. Gautama, 2006: 85). Dengan pedoman bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik, Hakim berkuasa mencegah suatu pelaksanaan perjanjian yang menyinggung rasa keadilan (Subekti, 1990: 43).
“Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak gagal memenuhi kewajiban kontraktualnya sebagaimana tercantum dalam perjanjian”
Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak gagal memenuhi kewajiban kontraktualnya sebagaimana tercantum dalam perjanjian. Apabila seorang debitur sudah diperingatkan melalui surat tertulis atau sudah dengan tegas ditagih janjinya dan tetap tidak melakukan prestasinya, maka ia berada dalam keadaan wanprestasi (Subekti, 1990: 47). Apabila pihak debitur melakukan wanprestasi, pihak kreditur umumnya memberikan surat pemberitahuan atau peringatan dengan teguran bahwa pihak/debitur telah melalaikan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata. Surat ini dikenal dengan surat somasi.
Wanprestasi dapat terjadi dalam empat cara, yaitu:
- tidak melaksanakan kewajiban, di mana debitur tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian;
- pelaksanaan sebagian atau tidak lengkap, di mana debitur melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sesuai dengan standar penyelesaian yang ditetapkan dalam perjanjian;
- pelaksanaan terlambat, di mana pelaksanaan dilakukan tetapi melebihi batas waktu yang ditetapkan; dan
- ketika debitur bertindak bertentangan dengan perjanjian.
KUH Perdata memberikan beberapa upaya hukum untuk mengganti atau memulihkan kerugian yang timbul akibat wanprestasi.

Pemenuhan Perjanjian
Secara umum, pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian senantiasa berhak untuk mengajukan gugatan agar perjanjian tersebut dilaksanakan apabila pelaksanaan perjanjian masih memungkinkan.
Ganti Rugi
Selain pelaksanaan perjanjian, atau sebagai pengganti dari pelaksanaan perjanjian, kreditur dapat mengajukan ganti rugi. Ganti rugi terdiri dari kompensasi moneter yang timbul akibat wanprestasi, yang terdiri dari komponen:
- biaya, merupakan segala biaya dan pengeluaran yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan berdasarkan perjanjian;
- kerugian, merujuk pada kerugian karena kerusakan barang-barang milik kreditur yang diakibatkan oleh wanprestasi debitur, baik barang-barang yang merupakan objek dalam perjanjian maupun barang lain yang diakibatkan oleh wanprestasi tersebut; dan
- bunga, merujuk kepada kerugian karena kehilangan keuntungan yang dialami oleh kreditur.
KUH Perdata memberlakukan batasan tertentu terhadap jumlah ganti rugi yang dapat diajukan:
- Ganti rugi terbatas pada kerugian yang dapat diperkirakan pada saat perjanjian dibuat dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi.
- Dalam hal pelaksanaan prestasi dilakukan dalam bentuk pembayaran uang, KUH Perdata mengizinkan Pengadilan untuk menetapkan bunga atas keterlambatan atau kegagalan pembayaran. Meskipun demikian, bunga yang dapat dituntut dibatasi sebesar 6% per tahun, dan dihitung bukan sejak terjadinya wanprestasi, melainkan sejak tanggal gugatan ganti rugi diajukan ke Pengadilan Negeri.
Pengakhiran Perjanjian
Selain tuntutan untuk pelaksanaan pemenuhan prestasi, pihak yang dirugikan akibat wanprestasi juga dapat menuntut pengakhiran perjanjian beserta tuntutan ganti rugi. Dalam hal ini, pihak yang dirugikan akibat wanprestasi dapat memilih di antara tuntutan-tuntutan tersebut.

Force Majeure
Subekti menjelaskan bahwa force majeure, atau biasa diartikan sebagai “keadaan memaksa” atau “keadaan kahar”, adalah ketika debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan kata lain, tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaannya itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian (Subekti, 1990: 55).
KUH Perdata mengatur force majeure pada Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa dibebaskannya debitur dari kewajiban mengganti kerugian apabila mengalami force majeure. Beberapa ketentuan dalam KUH Perdata mengatur mengenai force majeure antara lain dalam Pasal 1497 KUH Perdata dan Pasal 1510 KUH Perdata terkait dengan perjanjian jual beli; Pasal 1545 KUH Perdata tentang perjanjian tukar menukar; Pasal 1553 KUH Perdata tentang perjanjian sewa menyewa; dan Pasal 1716 KUH Perdata tentang perjanjian penitipan barang.
Suatu peristiwa force majeure harus memenuhi unsur tidak terduga, tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus memenuhi kewajiban atau melaksanakan perjanjian, dan di luar kesalahan dari pihak tersebut.
Jenis-jenis force majeure (R. Soemadipradja, 2010: 42), antara lain:
Karena keadaan alam
Contohnya adalah bencana alam, yang mana keadaan tersebut bersifat alamiah yang tidak dapat diprediksi ketepatan terjadinya dan tanpa unsur kesengajaan yang diperbuat manusia.
Karena keadaan darurat
Situasi dan kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera, tanpa bisa diprediksi sebelumnya, seperti peperangan, blokade, pemogokan, epidemi, terorisme, kerusuhan massa, dan lain sebagainya.
Karena kebijakan pemerintah
Suatu keadaan di mana terjadi perubahan kebijakan pemerintah atau hapus atau dikeluarkannya kebijakan yang baru, yang berdampak pada pelaksanaan prestasi dalam perjanjian.
Karena keadaan ekonomi
Disebabkan oleh situasi ekonomi yang berubah, ada kebijakan ekonomi tertentu, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sektor ekonomi, contohnya seperti krisis ekonomi.
Keadaan teknis yang tidak terduga
Disebabkan oleh rusaknya atau berkurangnya fungsi peralatan teknis atau operasional yang berperan penting bagi kelangsungan pelaksanaan perjanjian.
Musnah atau hilangnya barang objek perjanjian
Hal ini akan menjadikan perjanjian batal demi hukum karena berada dalam kondisi tanpa suatu objek/hal tertentu.

Hapusnya Perikatan
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan cara-cara hapusnya suatu perikatan, antara lain:
- Pembayaran
Perikatan dalam perjanjian dapat dipenuhi melalui pembayaran. Pembayaran dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan dalam perjanjian, maupun oleh debitur, kecuali dalam hal perikatan untuk melakukan sesuatu di mana pihak kreditur memiliki kepentingan khusus agar perjanjian dipenuhi oleh debitur, bukan oleh pihak lain. - Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti dengan Penyimpanan atau Penitipan
Jika kreditur menolak pembayaran dari debitur, maka debitur berhak melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya tersebut melalui notaris atau jurusita pengadilan, dan apabila kreditur menolaknya, maka debitur menitipkan pembayaran tersebut di pengadilan negeri (Subekti, 1990: 69).
Penawaran pembayaran yang diikuti penitipan pembayaran di pengadilan negeri tersebut berlaku sebagai pembayaran bagi debitur dan membebaskan debitur dari utangnya dan apa yang dititipkan di pengadilan negeri sebagai pembayaran tersebut merupakan tanggungan (risiko) dari kreditur (Subekti, 1990: 69). - Pembaharuan Utang atau Novasi
Pasal 1413 KUH Perdata mengatur 3 (tiga) macam novasi, yaitu:
- Novasi objek utang, yaitu apabila antara debitur dan kreditur membuat perikatan utang baru, untuk menggantikan utang lama yang dihapuskan dengan adanya perikatan utang baru tersebut;
- Novasi debitur, yaitu apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama yang dibebaskan oleh kreditur; dan
- Novasi kreditur, yaitu apabila seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama sebagai akibat suatu perjanjian baru, dalam hal ini debitur dibebaskan dari perikatannya.
- Perjumpaan Utang atau Kompensasi
Kompensasi merupakan suatu cara penghapusan utang dengan cara memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur sebagaimana diatur dalam Pasal 1425 – 1435 KUH Perdata. - Percampuran Utang
Percampuran utang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata, terjadi apabila kedudukan sebagai kreditor dan debitor berkumpul pada satu orang sehingga hal tersebut menyebabkan piutang dihapuskan. Contohnya adalah jika seorang debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.

- Pembebasan Utang
Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 – 1443 KUH Perdata. Seorang debitur baru dapat dikatakan dibebaskan dari utangnya jika secara nyata dibebaskan oleh kreditur. Jika hanya tidak ditagih dalam waktu lama, tidak bisa dikatakan dibebaskan dari utangnya. - Musnahnya Barang yang Terutang
Jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Bahkan apabila debitur lalai menyerahkan barang yang menjadi objek perjanjian kepada kreditur, asal debitur dapat membuktikan bahwa barang tersebut walaupun telah diserahkan kepada kreditur akan tetap musnah dengan cara yang sama, perikatan tersebut tetap hapus. - Batal/Pembatalan
Kebatalan atau pembatalan perikatan sebagai salah satu sebab hapusnya perikatan diatur dalam Pasal 1446 – 1456 KUH Perdata. Pasal-pasal tersebut mengatur pembatalan perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan, seperti perjanjian yang dibuat oleh orang yang belum dewasa dan perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan. - Berlakunya Suatu Syarat Batal
Hal ini berhubungan dengan perikatan bersyarat yang telah dibahas di atas. Syarat batal merupakan syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. - Lewatnya Waktu (Daluwarsa)
Daluwarsa merupakan suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Lebih lanjut, dalam Pasal 1967 KUH Perdata mengatur bahwa seluruh tuntutan hukum hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 (tiga puluh) tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, perikatan hukum telah hapus dan tersisa perikatan bebas, yang berarti tetap diperbolehkan untuk menerima pemenuhan prestasi tetapi tidak dapat dituntut di pengadilan (Subekti, 1990: 78).

Isu-Isu Lainnya Mengenai Perjanjian
Keabsahan MoU Sebagai Perjanjian
Black’s Law Dictionary mendefinisikan Memorandum of Understanding (“MoU”), atau biasa diartikan sebagai nota kesepahaman, sebagai bentuk pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan (Black’s Law Dictionary, 9th Ed., 2009: 988).
Ciri-ciri MoU adalah sebagai berikut:
- isinya ringkas dan hanya berisikan hal pokok saja;
- bersifat pendahuluan, yang akan diikuti oleh perjanjian yang lebih rinci;
- mempunyai jangka waktu;
- biasanya dibuat dalam bentuk perjanjian bawah tangan; dan
- biasanya tidak terdapat kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk membuat suatu perjanjian yang lebih detail setelah penandatanganan MoU (Munir Fuady, 1997: 91-92).
Terdapat 2 (dua) pendapat berbeda mengenai kekuatan mengikat MoU (Burhanudin, 2018: 12-13), yakni:
- MoU memiliki kekuatan hukum mengikat sama halnya dengan perjanjian itu sendiri
Meskipun tidak ada pengaturan khusus mengenai MoU, dan penyusunannya diserahkan kepada para pihak, bukan berarti MoU tidak berkekuatan hukum mengikat, hingga memaksa para pihak untuk menaatinya dan/atau melaksanakannya. Dasar hukum pendapat ini adalah ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata sehingga apabila MoU memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur Pasal 1320 KUH Perdata, maka kedudukan dan/atau keberlakuan MoU bagi para pihak dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang bersifat mengikat dan memaksa. - MoU tidak mempunyai kekuatan mengikat sehingga secara hukum tidak dapat dipaksakan kepada masing-masing pihak
MoU hanya sebuah perjanjian pendahuluan sebagai alat bukti awal adanya kesepakatan yang memuat hal-hal pokok untuk melakukan perjanjian lebih lanjut. Meskipun mendasarkan pada KUH Perdata, kekuatan mengikat yang berlaku pada MoU tetap hanya sebatas moral saja. Dengan kata lain, MoU merupakan gentlemen agreement yang tidak memliki akibat hukum. Dengan demikian, apabila salah satu pihak ternyata tidak menjalankan MoU, maka pihak lain tidak dapat memberlakukan sanksi kepada yang pihak bersangkutan.
Terkadang dalam praktik terdapat perjanjian yang diberi nama MoU oleh para pihak. Artinya, penamaan dari dokumen tersebut tidak sesuai dengan isi dari dokumen tersebut. Sehingga MoU tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat bagi para pihak sebagaimana perjanjian.

Bahasa dalam Perjanjian
Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (”UU No. 24/2009”) jo. Pasal 26 Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, perjanjian yang melibatkan entitas Indonesia wajib disusun dalam Bahasa Indonesia. Jika pihak asing terlibat, perjanjian tersebut harus tersedia dalam Bahasa Indonesia dan bahasa nasional pihak asing atau Bahasa Inggris.
Kegagalan mematuhi persyaratan bahasa ini dapat membuat kontrak dianggap tidak sah karena tidak memenuhi syarat “suatu sebab yang sah” sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Masalah ini dapat menyebabkan kontrak dianggap batal demi hukum. Contoh kasus mengenai hal ini adalah sengketa antara Nine Am Ltd. (Tergugat) Perusahaan dari Texas, Amerika Serikat ini melawan PT Bangun Karya Pratama (Penggugat) dari Indonesia. Penggugat mendalilkan bahwa perjanjian pinjam-meminjam mereka batal demi hukum karena melanggar Pasal 31 UU No. 24/2009. Alasannya adalah tidak menggunakan Bahasa Indonesia dalam teks perjanjiannya. Majelis Hakim akhirnya mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan bahwa perjanjian pinjam-meminjam antara PT Bangun Karya Pratama dan Nine Am Ltd batal demi hukum.
Saat ini, terdapat pergeseran paradigma setelah diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 (”SEMA No. 3/2023”). Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan yang menentukan bahwa “Lembaga swasta Indonesia dan atau perseorangan Indonesia, yang mengadakan perjanjian dengan pihak asing dalam bahasa asing yang tidak disertai dengan terjemahan bahasa Indonesia tidak dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian, kecuali dapat dibuktikan adanya iktikad tidak baik oleh para pihak”.
Namun demikian, sejauh ini belum ditemukan adanya preseden putusan pengadilan yang menolak gugatan pembatalan perjanjian dengan alasan pelanggaran terhadap Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, di mana majelis hakim secara eksplisit menjadikan rumusan dalam SEMA No. 3/2023 sebagai dasar pertimbangannya.
Meskipun demikian, sebelum keberlakuan SEMA No. 3/2023 Mahkamah Agung pernah menolak pembatalan perjanjian dengan alasan pelanggaran terhadap Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 melalui Putusan Mahkamah Agung No. 3230 K/PDT/2018. Dalam putusan tersebut, meskipun putusan tingkat pertama dan tingkat bandingnya menyatakan bahwa perjanjian batal demi hukum karena merupakan perjanjian dengan sebab terlarang dan melanggar kausa halal, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan bahwa pendapat Judex Facti mengenai kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian sebagaimana diatur Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 adalah merupakan “kausa yang halal” adalah keliru.
Lebih lanjut Mahkamah Agung menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “sebab” atau “kausa yang halal” yang merupakan syarat objektif dari suatu perjanjian, pada hakikatnya adalah isi atau materi atau substansi dari perjanjian itu sendiri yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, jadi “kausa yang halal” bukan mengenai formalitas atau bentuk suatu perjanjian, melainkan lebih mengarah kepada materi/substansi/isi dari perjanjian itu sendiri.
Author

Irwansyah Dhiaulhaq Mahendra is an Associate in Leks&Co. He obtained a law degree from Diponegoro University. He joined Leks&Co as an intern and then later on promoted as an Associate. At the firm, he is involved in real estate, general corporate/commercial, commercial dispute resolution, and construction.
Editor

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Reference
Law and Jurisprudence
- Indonesian Civil Code.
- Law No. 24 of 2009 concerning the National Flag, Language, Emblem, and Anthem.
- Presidential Regulation No. 63 of 2019 concerning The Use of The Indonesian Language.
- Supreme Court Decision No. 409K/Sip/1983 dated 25 October 1984.
- Supreme Court Decision No. 601 K/PDT/2015.
- Supreme Court Decision No. 3230 K/PDT/2018.
Literature
- Burhanuddin. 2018. Pedoman Penyusunan Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta: Media Pressindo.
- Fuady, Munir. 1997. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek: Buku Keempat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
- Gautama, Sudargo. 2006. Indonesian Business Law. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
- J. Satrio. 1992. Hukum Perjanjian. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
- R. Setiawan. 1994. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Penerbit Binacipta.
- Soemadipradja, Rahmat. 2010. Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa (Syarat-Syarat Pembatalan Perjanjian yang Disebabkan Keadaan Memaksa/Force Majeure). Jakarta: Nasional Legal Reform Program.
- Subekti. 1990. Hukum Perjanjian. Cetakan ke 12. Penerbit PT Internusa.

