Yosefin Mulyaningtyas

Dasar Hukum dan Definisi Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional

Arbitrase adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa yang menghasilkan putusan yang mengikat para pihak yang bersengketa (vide Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa – ”UU Arbitrase”). Putusan arbitrase ini dapat berupa putusan arbitrase nasional atau putusan arbitrase internasional (Pasal 1 angka 13 dan 14 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase – ”PERMA 3/2023”).

Putusan arbitrase nasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di dalam wilayah Indonesia (Pasal 1 angka 13 PERMA 3/2023), sementara putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah Indonesia atau yang menurut hukum Indonesia dikategorikan sebagai putusan arbitrase internasional (Pasal 1 angka 14 PERMA 3/2023). Dalam pelaksanaan putusan arbitrase, terdapat aturan yang berbeda bagi putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional.

Untuk dapat dilaksanakan di Indonesia, putusan arbitrase internasional harus didaftarkan dulu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah didaftarkan, putusan tersebut baru dapat dimohonkan eksekuatur dan kemudian dapat dieksekusi (vide Pasal 66 dan Pasal 67 UU Arbitrase).

Pendaftaran dan permohonan eksekuatur putusan arbitrase internasional membutuhkan sejumlah dokumen sebagai syarat yang dalam praktiknya tidak mudah untuk dipenuhi.

 

Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang diberikan oleh lembaga arbitrase atau arbiter tunggal di luar wilayah Indonesia atau yang menurut hukum Indonesia dikategorikan sebagai putusan arbitrase internasional.

Suatu sengketa arbitrase internasional kerap kali melibatkan unsur asing yang terdiri dari beberapa negara sekaligus. Implikasi dari adanya unsur asing tersebut adalah dokumen yang disyaratkan perlu melalui prosedur autentikasi dokumen asing.

Artikel ini akan mengupas bagaimana pemenuhan syarat dokumen untuk pelaksanaan putusan arbitrase internasional berikut prosedur autentikasinya, khususnya di tahap pendaftaran dan eksekuatur, dengan sebuah pendekatan yang praktis. Untuk menjelaskan hal tersebut, artikel ini juga akan membahas tentang:

  • makna dokumen privat dan dokumen publik;
  • penerapan konvensi Apostille; dan
  • legalisasi dokumen bagi negara non-peserta konvensi Apostille.

Pendaftaran dan Eksekuatur Putusan Arbitrase Internasional

Tahap pendaftaran dan tahap eksekuatur putusan arbitrase internasional adalah yang menjadi fokus dalam artikel ini. Putusan arbitrase internasional perlu didaftarkan terlebih dulu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelum akhirnya dapat dimohonkan eksekuatur.

Pertama-tama pada tahap pendaftaran, Pasal 7 ayat (3) PERMA 3/2023 mengatur bahwa dokumen yang dibutuhkan untuk mendaftarkan putusan arbitrase internasional adalah sebagai berikut:

  • “lembar asli atau salinan autentik Putusan Arbitrase Internasional / Putusan Arbitrase Syariah Internasional, sesuai dengan ketentuan perihal autentikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
  • lembar asli atau salinan autentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional/Putusan Arbitrase Syariah Internasional sesuai dengan ketentuan perihal autentikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; dan
  • keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional / Putusan Arbitrase Syariah Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara Pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional/ Putusan Arbitrase Syariah Internasional.”
 

Putusan arbitrase internasional harus terlebih dahulu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelum dapat dimohonkan eksekuatur.

Enforcement of International Arbitration

Pasal 7 ayat (1) PERMA 3/2023 mengatur bahwa pihak yang mendaftarkan putusan arbitrase internasional seharusnya adalah arbiter. Akan tetapi arbiter tersebut dapat diwakili oleh kuasanya, dan apabila sang arbiter ditunjuk oleh suatu lembaga arbitrase, maka kuasa untuk mendaftarkan dapat diberikan oleh lembaga arbitrase yang bersangkutan (vide Pasal 7 ayat (6) PERMA 3/2023).

Dalam praktiknya, arbiter atau lembaga arbitrase seringkali tidak berada di Indonesia sehingga perlu diberikan kuasa kepada pihak yang ada di Indonesia yang lebih mudah untuk mendaftarkan putusannya. Dengan demikian, maka surat kuasa dari arbiter atau lembaga arbitrase menjadi syarat dokumen tambahan untuk mendaftarkan putusan arbitrase internasional.

Selanjutnya dalam tahap eksekuatur, PERMA 3/2023 tidak mengatur rincian daftar dokumen yang harus dipenuhi. Pasal 16 ayat (1) PERMA 3/2023 mengatur demikian:

“Dalam hal terdapat pihak yang tidak melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional/ Putusan Arbitrase Syariah Internasional secara sukarela, salah satu pihak mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat/Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk mendapatkan eksekuatur.”

Apa yang tertulis dalam Pasal 7 ayat (3) PERMA 3/2023 sebagaimana disebutkan di atas dalam praktiknya masih kurang jelas. Kekurangjelasan ini misalnya:

  • dalam hal berapa rangkap salinan masing-masing dokumen yang dibutuhkan, apakah salinan tersebut cukup dilegalisasi kantor pos atau harus ke notaris;
  • bagaimana proses autentikasi dari setiap dokumen; dan
  • bagaimana rincian ketentuan terkait surat kuasa dari arbiter untuk pendaftaran maupun dari salah satu pihak untuk permohonan eksekuatur.

Terlebih lagi, dalam kasus yang kompleks seperti misalnya pihak yang bersengketa adalah badan hukum Indonesia dengan badan hukum Angola yang mengerjakan proyek bangunan permanen di Hungaria, tapi arbitrase dilaksanakan di Italia, maka timbul suatu kebingungan mengenai dokumen-dokumen yang harus dipenuhi untuk melaksanakan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Pertanyaan mengenai bagaimana pemenuhan persyaratan jika dokumen perjanjian asli sudah tidak ada lagi juga muncul.

Baca Juga: Arbitrase Emergensi dalam Peraturan BANI 2025: Upaya Efektif untuk Arbitrase Konsruksi di Indonesia?

Lebih lanjut, contoh kebingungan lainnya adalah terkait dengan surat keterangan dari perwakilan diplomatik Indonesia, di mana terdapat pertanyaan-pertanyaan seperti perwakilan diplomatik Indonesia mana yang perlu mengeluarkan surat keterangan dan apakah keterangan mengenai negara yang memiliki perjanjian dengan Indonesia adalah cukup Italia atau juga Angola dan bahkan Hungaria.

Oleh karena itu, riset lanjutan mengenai rincian dokumen-dokumen untuk tahap pendaftaran dan permohonan eksekuatur dibutuhkan, yang mana hasilnya akan dijelaskan pada bagian A di bawah ini.

Dispute Resolution Lawyer

Dokumen yang Diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Dalam praktiknya, saat melengkapi dokumen untuk pendaftaran putusan arbitrase internasional, tambahan dokumen yang mungkin dibutuhkan yang tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

  • Putusan arbitrase internasional yang telah diautentikasi dokumen asing kemudian disalin 3 (tiga) rangkap dan dilegalisir oleh Notaris. Naskah terjemahan resmi dibuat 4 (empat) rangkap untuk masing-masing dokumen asli dan rangkapnya.
  • Perjanjian arbitrase yang telah diautentikasi dokumen asing kemudian disalin 3 (tiga) rangkap dan dilegalisir oleh Notaris. Terjemahan resmi hanya diperlukan apabila perjanjian tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia. Apabila diperlukan, naskah terjemahan resmi dibuat 4 (empat) rangkap untuk masing-masing dokumen asli dan rangkapnya.
  • Surat keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia disalin 3 (tiga) rangkap dan dilegalisasi di kantor pos (nasegel).Surat ini tidak perlu diautentikasi dokumen asing. Surat ini cukup diterbitkan dari negara tempat putusan arbitrase internasional diterbitkan dan keterangan mengenai negara yang memiliki kerja sama dengan Indonesia adalah negara pemohon saja atau dengan kata lain negara dari arbiter atau lembaga arbitrase.

    Jika mengambil contoh kasus sebelumnya, maka surat keterangan cukup dari perwakilan diplomatik Indonesia di Italia yang menerangkan bahwa Italia memiliki perjanjian dengan Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

  • Surat kuasa dari arbiter atau lembaga arbitrase tunduk pada ketentuan autentikasi dokumen asing. Terjemahan resmi hanya diperlukan apabila surat kuasa tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia, namun dalam praktiknya surat kuasa dibuat dalam 2 (dua) bahasa (Inggris dan Indonesia). Surat kuasa dikopi 4 (empat) rangkap dan dilegalisasi di kantor pos (nasegel).
  • Surat permohonan pendaftaran putusan arbitrase internasional kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Surat permohonan ini didasarkan pada surat kuasa dari arbiter atau lembaga arbitrase, karena berdasarkan Pasal 7 PERMA 3/2023 pihak yang dapat mendaftarkan putusan arbitrase internasional adalah arbiter.

Selanjutnya untuk mengajukan permohonan eksekuatur, dalam praktiknya diperlukan dokumen-dokumen sebagai berikut:

  • Surat kuasa dari salah satu pihak yang bersengketa.
    Surat kuasa ini berisikan kuasa khusus antara lain untuk keperluan surat peringatan (somasi), permohonan eksekuatur, dan eksekusi putusan arbitrase internasional. Asli dari surat kuasa ini sebaiknya langsung dibuat sebanyak 3 (tiga) rangkap sekaligus untuk masing-masing keperluan tersebut. Surat kuasa ini juga tunduk pada ketentuan autentikasi dokumen asing, dan terjemahan resmi ke Bahasa Indonesia hanya jika diperlukan saja karena surat kuasa ini biasanya langsung dibuat dalam 2 (dua) bahasa (Inggris dan Indonesia). Surat kuasa lalu perlu disalin 4 (empat) rangkap dan dilegalisasi di kantor pos (nasegel).
  • Surat peringatan.
    Sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) PERMA 3/2023, permohonan eksekuatur baru diajukan apabila ada pihak yang tidak melaksanakan putusan arbitrase internasional secara sukarela. Dengan demikian, maka surat peringatan (somasi) terlebih dahulu menjadi suatu prasyarat untuk memberikan kesempatan pada pihak yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan dengan sukarela.
  • Surat permohonan eksekuatur kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
    Berbeda dengan tahap pendaftaran, surat permohonan kali ini didasarkan pada surat kuasa dari salah satu pihak yang bersengketa. Perbedaan ini timbul karena pihak yang dapat mendaftarkan putusan arbitrase internasional adalah arbiter (vide Pasal 7 PERMA 3/2023), sementara permohonan eksekuatur perlu dilakukan oleh salah satu pihak saat pihak lainnya tidak ingin melaksanakan putusan tersebut (vide Pasal 16 ayat (1) PERMA 3/2023).

International Arbitration Law

Autentikasi Dokumen Asing

Pada bagian sebelumnya kerap didapati bahwa ada dokumen-dokumen yang wajib tunduk pada ketentuan autentikasi dokumen asing. Apakah yang dimaksud dengan dokumen asing serta bagaimana prosedur autentikasi dokumen asing adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab pada bagian ini.

 

‘Dokumen’ dapat dibedakan menjadi dokumen publik dan dokumen privat.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 14 Tahun 2022 tentang Tata Cara Legalisasi Dokumen pada Kementerian Luar Negeri (“Permenlu 14/2022”) mendefinisikan dokumen sebagai “surat tertulis atau tercetak yang dipakai sebagai bukti keterangan”. Dokumen dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dokumen publik dan dokumen privat.

Pasal 1 angka 2 Permenlu 14/2022 memberikan definisi dokumen publik sebagai dokumen yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dan/atau dibubuhi cap dan/atau segel resmi. Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2022 tentang Layanan Legalisasi Apostille pada Dokumen Publik (“Permenkumham 6/2022”) mendefinisikan pejabat sebagai seseorang yang memiliki kewenangan dan menduduki jabatan atau posisi tertentu di kantor pemerintahan, lembaga, atau badan nonpemerintah, dan termasuk pula pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah. Salah satu contoh pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah yang memegang peranan penting dalam autentikasi dokumen asing adalah notaris (vide Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris).

 

Dokumen publik sebagai dokumen yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dan/atau dibubuhi cap dan/atau segel resmi.

Sebagai perbandingan, definisi badan publik dan pejabat publik juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (“UU 14/2008”). Pasal 1 angka 3 UU 14/2008 mengatur sebagai berikut:

“Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.”

Selanjutnya, Pasal 1 angka 8 UU 14/2008 mengatur sebagai berikut:

“Pejabat Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik.”

Contoh dokumen publik yang dikeluarkan oleh pejabat antara lain adalah akta kelahiran, buku nikah, dan akta notaris. Di sisi lain, apa yang termasuk dokumen privat secara sederhana adalah dokumen yang tidak diterbitkan oleh pejabat, tetapi ditandatangani oleh perorangan atau badan hukum dalam kapasitas pribadi/keperdataan mereka (vide Pasal 1 huruf d Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi terhadap Dokumen Publik Asing/Konvensi Apostille). Contoh dokumen privat antara lain adalah kontrak dan surat kuasa.

Baik dokumen publik dan dokumen privat dapat dikelompokkan kembali menjadi dokumen asing dan dokumen dalam negeri.

 

Contoh dokumen publik yang dikeluarkan oleh pejabat antara lain akta kelahiran, akta nikah, dan akta notaris.

Faktor utama yang menentukan apakah suatu dokumen termasuk dalam dokumen asing adalah tempat/wilayah negara diterbitkannya dokumen yang bersangkutan. Bagi dokumen publik, selain tempat/wilayah, faktor lain yang menentukan adalah siapa pejabat yang menerbitkan dokumen tersebut.

Faktor-faktor ini adalah sebagaimana disarikan dari ketentuan sebagai berikut:

  • Pasal 4 ayat (1) Permenlu 14/2022;
  • Angka 79 poin b Lampiran Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 3 Tahun 2019 tentang Panduan Umum Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah (“Permenlu 3/2019”); dan
  • Pasal 2 ayat (2) Permenkumham 6/2022.

Contoh dokumen publik asing antara lain akta kelahiran yang diterbitkan oleh dinas catatan sipil negara di luar Indonesia dan akta notaris yang diterbitkan oleh notaris negara di luar Indonesia. Sementara bagi dokumen privat, maka lokasi penandatanganan dokumen adalah faktor yang menentukan apakah dokumen tersebut dokumen asing atau bukan. Contoh dokumen privat asing adalah kontrak yang ditandatangani di luar wilayah Indonesia dan surat kuasa yang ditandatangani di luar wilayah Indonesia.

 

Baik dokumen publik maupun dokumen privat dapat dikelompokkan kembali menjadi dokumen asing dan dokumen domestik.

Saat suatu dokumen termasuk dalam kategori dokumen asing, maka untuk dapat digunakan di Indonesia, dokumen asing tersebut perlu melalui proses autentikasi. Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi terhadap Dokumen Publik Asing tahun 1961 (“Konvensi Apostille”) menjadi tonggak penting yang menyederhanakan proses autentikasi dokumen asing.

Sebelum adanya Konvensi Apostille, proses autentikasi dokumen asing dilakukan dengan cara legalisasi yang cukup rumit karena harus melalui berbagai lembaga. Indonesia menjadi anggota Konvensi Apostille dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi terhadap Dokumen Publik Asing (“Perpres 2/2021”).

Oleh karena sifatnya sebagai konvensi, maka Apostille hanya berlaku bagi negara-negara anggota Konvensi Apostille (vide Pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969). Dengan demikian, proses autentikasi dokumen asing yang dikenal saat ini adalah Legalisasi (bagi negara-negara bukan anggota Konvensi Apostille) dan Apostille (bagi negara-negara anggota Konvensi Apostille).

 

Faktor utama yang dapat dikatakan menentukan apakah suatu dokumen termasuk dalam dokumen asing adalah tempat/wilayah negara di mana dokumen tersebut diterbitkan.

Dokumen asing yang akan digunakan di Indonesia perlu melalui salah satu proses legalisasi atau apostille bergantung pada negara tempat diterbitkannya dokumen. Sebagai contoh, dokumen yang diterbitkan di Angola dan akan digunakan di Indonesia perlu melalui proses Legalisasi karena Angola, hingga saat artikel ini ditulis, belum merupakan anggota Konvensi Apostille.

Contoh lain adalah dokumen yang diterbitkan di Italia dan akan digunakan di Indonesia cukup melalui proses Apostille karena Italia merupakan negara anggota Konvensi Apostille. Adapun prosedur Legalisasi dan Apostille akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.

International Arbitration

Legalisasi

Legalisasi adalah prosedur autentikasi yang berlaku di Indonesia sebelum Indonesia mengesahkan Konvensi Apostille dan prosedur yang masih berlaku terhadap negara-negara yang bukan anggota Konvensi Apostille.

 

Contoh dokumen privat asing adalah kontrak yang ditandatangani di luar Indonesia dan surat kuasa yang ditandatangani di luar Indonesia.

Legalisasi merupakan prosedur yang cukup kompleks dan panjang dibandingkan dengan Apostille. Proses Legalisasi pada prinsipnya adalah untuk mengesahkan tanda tangan pejabat dan/atau stempel yang ada pada dokumen, dan bukan mengesahkan isi dari dokumen (vide Angka 77 dan 78 Lampiran Permenlu 3/2019).

Langkah-langkah atau prosedur Legalisasi yang diatur dalam Angka 79 poin b Lampiran Permenlu 3/2019, Pasal 5 ayat (1) Permenlu 14/2022, dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan  (“SEMA 07/2012”) menyebutkan pihak-pihak penting yang terlibat dalam proses Legalisasi yaitu:

  • otoritas asing yang berwenang di mana dokumen diterbitkan;
  • perwakilan Republik Indonesia di negara tempat dokumen diterbitkan;
  • Kementerian Luar Negeri;
  • perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia; dan
  • notaris.
 

Proses Legalisasi pada prinsipnya memvalidasi tanda tangan pejabat dan/atau cap pada dokumen.

Apabila melihat pada yurisprudensi pengadilan, norma hukum yang tercatat adalah mengenai keabsahan surat kuasa. Yurisprudensi mengatur bahwa surat kuasa yang dibuat di luar negeri harus dilegalisir oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia setempat untuk dapat diterima di pengadilan Indonesia (vide Putusan Mahkamah Agung No. 3038 K/Pdt/1981, Putusan No. 60/Pdt.G/2008/PTA.Sby, dan Putusan Pengadilan Pajak No. 38655/PP/M.IV/16/2012).

Peraturan-peraturan yang ada tidak mengatur secara jelas dan seirama mengenai prosedur Legalisasi dalam praktiknya. Setelah melakukan riset lebih lanjut mengenai hal ini, penulis memperoleh informasi mengenai prosedur standar yang umumnya berlaku dalam Legalisasi dokumen asing. Pelu dicatat bahwa prosedur ini adalah yang pada umumnya berlaku, namun tidak selalu berlaku terhadap semua negara.

Prosedur umum Legalisasi dapat dilihat pada diagram berikut:

Diagram Enforcing International Arbitral Award in Indonesia

Legalisasi oleh notaris asing merupakan langkah pertama terhadap dokumen privat asing karena pada prinsipnya legalisasi hanya dapat dilakukan terhadap dokumen publik. Dokumen privat asing perlu dilekatkan sesuatu yang bersifat publik terlebih dulu untuk dapat dilegalisasi. Dokumen publik asing tidak perlu melewati langkah pertama ini.

 

Yurisprudensi pengadilan memberikan norma hukum tentang keabsahan suatu surat kuasa.

Langkah kedua adalah legalisasi oleh otoritas negara tempat diterbitkannya dokumen asing. Siapa otoritas yang berwenang pada langkah ini sepenuhnya bergantung pada negara yang bersangkutan.

Langkah ketiga, setelah mendapat legalisasi dari otoritas asing, dokumen perlu dilegalisasi oleh kedutaan besar Republik Indonesia di negara tempat diterbitkannya dokumen asing.

Langkah keempat, setibanya dokumen asing di Indonesia, dokumen tersebut dilegalisasi kembali di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Setelah melalui seluruh langkah ini, barulah dokumen privat asing dapat digunakan di Indonesia.

Permenlu 14/2022 mengatur suatu alternatif terhadap prosedur Legalisasi yang dijelaskan di atas. Pasal 5 ayat (1) huruf b jo. Pasal 1 angka 10 Permenlu 14/2022 mengatur bahwa legalisasi dapat dilakukan di perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia. Hal ini bagaimanapun juga tidak menggantikan keseluruhan prosedur. Legalisasi oleh perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia hanya menggantikan tahap legalisasi oleh kedutaan besar Republik Indonesia di negara asing.

Bagaimana perwakilan negara asing memberikan legalisasi adalah bergantung pada masing-masing negara, dengan tidak meniadakan kemungkinan bahwa langkah pertama dan langkah kedua tetap harus ditempuh.

Dokumen asing yang telah dilegalisasi oleh perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia tetap harus melalui legalisasi kembali di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk akhirnya dapat digunakan di Indonesia.

SEMA 07/2012 dan yurisprudensi yang disebutkan sebelumnya tidak lagi sesuai dengan aturan baru bahwa legalisasi dapat dilakukan di perwakilan negara asing di Indonesia dan tidak perlu lagi wajib melalui kedutaan besar Republik Indonesia di negara yang bersangkutan. Aturan dalam SEMA 07/2012 mengacu pada Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/KP/XII/2006/01 tanggal 28 Desember 2006 yang sudah tidak berlaku lagi dengan diberlakukannya Permenlu 3/2019. Oleh karena itu, saat ini aturan autentikasi mengacu pada aturan yang baru, yakni Permenlu 14/2022.

Apostille

Sejak mengesahkan Konvensi Apostille melalui Perpres 2/2021, Indonesia kini menggunakan prosedur autentikasi Apostille terhadap negara-negara sesama anggota Kovensi Apostille.

Apostille merupakan prosedur autentikasi yang lebih sederhana dibandingkan dengan Legalisasi. Pada prinsipnya Apostille hanya dapat dilakukan terhadap dokumen publik yang tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Apostille sebagai berikut:

  • documents emanating from an authority or an official connected with the courts or tribunals of the State, including those emanating from a public prosecutor, a clerk of a court or a process-server (“huissier de justice”);
  • administrative documents;
  • notarial acts;
  • official certificates which are placed on documents signed by persons in their private capacity, such as official certificates recording the registration of a document or the fact that it was in existence on a certain date and official and notarial authentications of signatures.

However, the present Convention shall not apply:

  • to documents executed by diplomatic or consular agents;
  • to administrative documents dealing directly with commercial or customs operations.”

Pasal 2 Konvensi Apostille pada dasarnya mengatur bahwa negara-negara anggota konvensi wajib mengecualikan proses Legalisasi terhadap dokumen-dokumen publik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi Apostille. Dokumen yang telah melalui proses Apostille tidak perlu lagi dilegalisasi dan bisa langsung digunakan di negara yang dituju (i.e. Indonesia).

 

Dokumen asing yang telah dilegalisasi di kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia tetap harus dilegalisasi kembali di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia agar akhirnya dapat dipergunakan di Indonesia.

Prinsip bahwa proses Legalisasi dikecualikan bagi dokumen yang telah di-Apostille juga diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Permenlu 14/2022.

Dalam mengesahkan Konvensi Apostille, Indonesia menyatakan bahwa dokumen yang diterbitkan oleh kejaksaan sebagai lembaga penuntutan di Indonesia tidak termasuk dalam dokumen publik yang dihapuskan persyaratan legalisasinya (vide Lampiran Perpres 2/2021).

Prosedur Apostille berbeda-beda di setiap negara. Pada artikel ini akan diuraikan contoh prosedur Apostille di Indonesia, Belanda, dan Perancis.

Prosedur Apostille di Indonesia diatur dalam Permenkumham 6/2022. Apostille di Indonesia dilakukan terhadap dokumen yang diterbitkan di wilayah Indonesia untuk digunakan di negara lain yang merupakan sesama anggota Konvensi Apostille (Pasal 2 ayat (2) Permenkumham 6/2022).

Permohonan Apostille di Indonesia diajukan secara elektronik melalui website https://apostille.ahu.go.id/. Secara sederhana, prosedur Apostille melalui website ini adalah:

  • pertama-tama perlu membuat akun;
  • mengisi form online; dan
  • mengunggah scan kartu identitas dan dokumen yang dimohonkan Apostille.

Apabila dibutuhkan, pihak Kementerian Hukum dapat meminta spesimen tanda tangan dan keterangan dari lembaga yang bersangkutan apabila pejabat yang menandatangani dokumen yang diajukan untuk Apostille tersebut belum ada dalam database Kementerian Hukum.

Baca Juga: Persidangan Arbitrase secara Daring: Apakah merupakan Solusi untuk Menekan Biaya Arbitrase Institusional di Singapore International Arbitration Centre (SIAC)?

Dispute Resolution Indonesia

 

Dokumen yang telah melalui proses Apostille tidak perlu lagi dilegalisasi.

Setelah mengunggah spesimen, pihak Kementerian Hukum akan menelaah permohonan dari pemohon dan memutuskan apakah akan menyetujui atau menolaknya. Apabila ditolak, maka pemohon perlu memperbaiki bagian yang salah. Apabila disetujui, maka langkah selanjutnya adalah membayar biaya Apostille, lalu mengambil sertifikat apostille yang sudah jadi di Kementerian Hukum.

Perlu diketahui bahwa saat mengambil sertifikat apostille, pemohon harus membawa dokumen yang dimohonkan Apostille, karena dokumen tersebut akan disatukan dengan sertifikat apostille menggunakan segel khusus Kementerian Hukum.

Prosedur Apostille di Indonesia dapat memakan waktu relatif cepat (beberapa hari) hingga relatif lama (berminggu-minggu), bergantung pada masing-masing dokumen yang dimohonkan. Proses akan memakan waktu lebih lama terutama jika melibatkan permintaan spesimen.

Di negara Belanda dan Perancis, prosedur Apostille terbilang jauh lebih sederhana dan praktis dibandingkan dengan Indonesia.

Apostille di kedua negara tersebut dilakukan di pengadilan (Government of the Netherlands, 2025) (Service-Public.fr, 2025). Akan tetapi, per-Mei 2025 pihak yang berwenang melakukan Apostille di Perancis akan beralih kepada notaris (Paris Court of Appeal, 2025). Pemohon bisa langsung datang ke pengadilan tanpa perjanjian sebelumnya dan menyampaikan kepada petugas bahwa hendak melakukan Apostille dokumen (Paris Court of Appeal, 2025) (de Rechtspraak, 2025).

Perancis tidak mengenakan biaya apapun untuk melakukan Apostille (Paris Court of Appeal, 2025), sementara Belanda mengenakan sejumlah biaya Apostille (Government of the Netherlands, 2025).

Setelah membayar biaya Apostille (jika ada) dan menyerahkan dokumen kepada petugas, maka pemohon hanya perlu menunggu sejenak sampai Apostille jadi. Proses Apostille di Perancis dan Belanda dapat selesai di hari yang sama.

Apostille pada prinsipnya hanya dapat dilakukan terhadap dokumen publik (vide Pasal 1 dan Pasal 2 Konvensi Apostille). Akan tetapi, dokumen privat juga dapat dilakukan Apostille setelah dilekatkan sesuatu yang bersifat publik seperti legalisasi dari notaris terlebih dahulu. Dokumen privat asing yang mau di-Apostille selalu harus dibuat memiliki sifat publik terlebih dahulu, kemudian baru bisa dilakukan Apostille.

Di Perancis terdapat prosedur yang bernama Hardware Signature Certification atau legalisasi tanda tangan orang privat (Service-Public.fr, 2025). Bagi orang Perancis, prosedur ini dapat dilakukan di Townhall secara gratis, atau melalui notaris dengan berbayar (Service-Public.fr, 2025). Bagi orang non-Perancis, maka legalisasi tanda tangan dapat dilakukan di perwakilan negaranya yang ada di Perancis (apabila perwakilan tersebut menyediakan legalisasi tanda tangan) (Service-Public.fr, 2025).

Setelah tanda tangan dilegalisasi, maka dokumen privat tersebut telah mempunyai sifat publik dan karenanya dapat dilakukan Apostille (Service-Public.fr, 2025). Adapun berdasarkan Pasal 1 huruf a Konvensi Apostille, maka putusan arbitrase internasional termasuk dalam dokumen publik yang dapat langsung di-Apostille.

 

Apostille hanya dapat dilakukan pada dokumen publik.

International Arbitral Award

Kondisi Praktis

Dalam prakteknya, suatu dokumen asing bisa melibatkan dua atau lebih negara sekaligus. Contohnya adalah dokumen kontrak yang melibatkan beberapa perusahaan dari beberapa negara yang berbeda.

Dengan demikian, maka yang perlu dilihat pertama kali adalah lokasi penandatanganan mana yang tercantum dalam dokumen kontrak. Apabila kontrak jelas mencantumkan lokasi penandatanganan, maka autentikasi dokumen cukup dilakukan dari negara yang tercantum tersebut, dalam bentuk Apostille atau Legalisasi.

Seringkali terjadi bahwa lokasi penandatanganan kontrak tidak tercantum pada dokumen, dan bahwa dokumen tersebut adalah dokumen yang telah berusia bertahun-tahun di mana pihak-pihaknya bahkan telah lupa di mana mereka menandatangani kontrak tersebut. Apabila demikian, maka dari negara mana pihak/perusahaan yang menandatangani kontrak tersebut dapat dijadikan acuan bahwa kontrak itu adalah dokumen privat asing atau tidak.

Apabila misalnya perusahaan yang menandatangani kontrak merupakan badan hukum dari Singapura, maka proses autentikasi dilakukan dari negara Singapura. Lokasi dari proyek atau pelaksanaan perjanjian, hukum yang mengatur perjanjian, serta bahasa perjanjian bukan menjadi faktor yang menentukan dari mana autentikasi dokumen asing harus dilakukan.

Kondisi praktis lainnya adalah apa yang disebut sebagai prinsip end-user. Di negara mana dokumen tersebut akan digunakan dan kepada siapa dokumen tersebut akan diajukan adalah titik acuannya.

Di Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam artikel ini, dokumen-dokumen privat asing tersebut hendak diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Oleh karena itu, acuannya ada pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bagaimana pihak pengadilan meminta dokumennya, seperti berapa rangkap, dilegalisasi oleh notaris atau kantor pos, dan perlu autentikasi dokumen asing atau tidak, adalah standar yang harus dipenuhi. Apabila end-user tidak meminta berbagai persyaratan yang rumit perihal autentikasi dokumen asing, maka pada praktiknya pemohon tidak perlu melakukan hal itu karena tidak disyaratkan oleh end-user (dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat).

Penutup

Pengacara arbitrase internasional di Indonesia harus memahami proses pendaftaran putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Proses tersebut membutuhkan 3 (tiga) jenis dokumen, yaitu:

  • putusan arbitrase internasional;
  • perjanjian arbitrase; dan
  • surat keterangan dari kedutaan besar Republik Indonesia di negara tempat putusan arbitrase internasional dikeluarkan.

Secara praktik tentunya, selain ketiga dokumen tersebut, surat kuasa dari arbiter atau lembaga arbitrase dan surat permohonan pendaftaran putusan arbitrase internasional perlu disampaikan.

Proses permohonan eksekuatur pada praktiknya membutuhkan 3 (tiga) jenis dokumen, yaitu:

  • surat kuasa dari pemohon eksekuatur;
  • surat peringatan (somasi); dan
  • surat permohonan eksekuatur.

Setiap dokumen ini memiliki ketentuan tambahannya masing-masing, termasuk di antaranya adalah adanya ketentuan autentikasi dokumen asing.

Autentikasi dokumen asing dapat dilakukan dengan cara Legalisasi atau Apostille, bergantung pada negara tempat diterbitkannya dokumen yang bersangkutan. Apabila negara tempat diterbitkannya dokumen asing adalah negara anggota Konvensi Apostille, maka prosedur yang perlu ditempuh hanya Apostille dan tidak perlu Legalisasi. Dalam praktik autentikasi dokumen asing, perlu selalu dipastikan kepada end-user dan memeriksa hukum dari negara asing yang bersangkutan secara spesifik.

 

Author

Yosefin Mulyaningtyas

Yosefin started her professional career as a litigation Lawyer at Kantor Hukum Tirta & mitra, and SKY & Partners Law Office. She expanded her experience to PT Sarana Pactindo and PAC Group, an IT banking company group, as Corporate IT Legal. Yosefin joined Leks&Co as Mid-Level Associate in 2024 after obtaining a Master’s degree from University of Groningen, The Netherlands.


Editor

Dr. Eddy Marek Leks

Dr. Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 15 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration CentreAsia Pacific International Arbitration Chamber Indonesia Boardand Singapore Institute of Arbitrators (SIArb) . Aside to his practice, the editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023, ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review and Leading Partner in Real Estate and Construction by Legal500 Asia Pacific 2025.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Court’s Decisions:

  • Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 3038 K/Pdt/1981.
  • Decision of the High Religious Court of Surabaya Number 60/Pdt.G/2008/PTA.Sby.
  • Decision of the Tax Court Number 38655/PP/M.IV/16/2012.

Articles:

Others:

  • Consultation with the Central Jakarta District Court on 26 March 2025.
  • Consultation with the Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia on 10 April 2025.