Poin Pembelajaran:
Penjualan dan pembelian bangunan yang dibangun di atas tanah tidak dapat dianggap sebagai penjualan dan pembelian tanah, kecuali jika ditulis dengan jelas berdasarkan akta notaris. Penguasaan tanah atas tanah negara tidak dapat dianggap sebagai penguasaan tanah dengan itikad baik, dan pemegang tanah tidak dapat memperoleh hak atas tanah dengan mekanisme verjaring (daluwarsa sebagai alat untuk mendapatkan hak atas barang).
Kasus ini terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”). Sejak diterbitkannya UUPA, mekanisme verjaring sudah tidak digunakan lagi, karena UUPA menggunakan hukum adat, dan hukum adat hanya mengakui rechtsverwerking.
Kasus Posisi:
Pada tahun 1952, Sech Jafar bin Umbarak bin Said Alkatiri dan Sech Said bin Badar bin Said Alkatiri mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta, di mana mereka meminta untuk ditetapkan sebagai pemilik lahan berlokasi di Pasar Baru, Jakarta.
Sebagian tanah tersebut terdaftar atas nama Pemerintah Hindia Belanda, dan sisanya terdaftar atas nama Tan Yap Liong.
Di tanah tersebut telah dibangun tiga rumah. Pemohon mengklaim bahwa mereka telah menjual tanah tersebut pada tahun 1920 kepada Oey Boen Soey, dengan hak untuk membeli kembali (buy back). Tanah tersebut telah dibeli kembali oleh Pemohon dari Oey Boen Soey pada tahun 1952. Kantor Pertanahan Jakarta tidak menerima permohonan pengalihan hak yang diajukan oleh Pemohon, kecuali apabila hakim telah mengeluarkan putusan bahwa Pemohon adalah pemilik tanah yang sah.
Pertimbangan Hukum Pada Tingkat Pertama, Banding Dan Kasasi:
Tingkat Pertama
Setelah mengkaji seluruh bukti tertulis yang diajukan oleh Pemohon, Pengadilan Negeri Jakarta menyatakan bahwa bukti-bukti tersebut hanya terkait dengan kepemilikan bangunan (tiga rumah), dan tidak terkait dengan tanah yang diklaim oleh Pemohon. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, Majelis Hakim menemukan fakta bahwa tanah tersebut merupakan tanah milik Negara. Oleh karena itu, permohonan yang diajukan oleh Pemohon ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta.
Tingkat Banding
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa berdasarkan dokumen notaris yang telah diperiksa oleh majelis hakim pada tingkat banding, objek pembelian kembali tersebut adalah bangunan. Karena sebagian dari tanah tersebut adalah tanah negara (domeingrond), maka berdasarkan Pasal 1 Agrarisch Besluit jo. Surat Direktur Binnenlands Bestuur No. 1663 tertanggal 7 April 1898, oleh karena itu Pemohon melanggar Staatblad 1912 No. 177. Majelis Hakim juga menganggap bahwa Pemohon adalah pemilik dengan itikad buruk, oleh karena itu mereka tidak dapat menggunakan mekanisme verjaring.
Tingkat Kasasi:
Mahkamah Agung melalui Putusan No. 155 K/Sip/1965, tanggal 6 Agustus 1957, membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Jakarta. Majelis Hakim pada tahap kasasi menyatakan bahwa Pemohon diduga mengetahui bahwa bangunan tersebut dibangun di atas tanah negara, dan tanahnya tidak dijual sebelumnya. Oleh karena itu, tuntutan Pemohon sehubungan dengan penentuan hak kepemilikan (eigendomsuitwijzing) tidak didukung oleh akta notarial yang diajukan oleh Pemohon.
Ivor Pasaribu / Muhammad Putera Fajar Utama