- Pendahuluan
Pada 10 Desember 2024, Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) mengeluarkan Peraturan OJK No. 27 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital Termasuk Aset Kripto (“POJK 27/2024”). Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari mandat yang tertuang dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (“UU 4/2023”) dan Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2024 tentang Peralihan Tugas Pengaturan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital Termasuk Aset Kripto serta Derivatif Keuangan (“PP 49/2024”).Berdasarkan Pasal 3 PP 49/2024, terhitung sejak 10 Januari 2025 bertepatan dengan mulai berlakunya POJK 27/2024 OJK mengambil alih kewenangan atas pengaturan dan pengawasan terhadap perdagangan Aset Kripto di Indonesia, dari yang semula berada di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (“Bappebti”).Dengan berlakunya POJK 27/2024, peraturan penyelenggaraan perdagangan Aset Kripto yang dikeluarkan oleh Bappebti, yaitu Peraturan Bappebti No. 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bappebti No. 9 Tahun 2024 (“Perbappebti 8/2021”) menjadi tidak berlaku.
Salah satu perubahan utama dalam POJK 27/2024 terletak pada ruang lingkup objek yang diatur. Sebelum peralihan kewenangan, Bappebti, melalui Perbappebti 8/2021, hanya mengatur perdagangan Aset Kripto. Namun, POJK 27/2024 memperluas cakupan regulasi dengan menciptakan dua kategori yang berbeda, yaitu “Aset Keuangan Digital” dan “Aset Kripto”.
Elaborasi lebih lanjut tentang perluasan cakupan regulasi serta perubahan-perubahan lainnya yang termuat dalam POJK 27/2024 akan diuraikan dalam bagian pembahasan.
- Pembahasan
- Kriteria Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, POJK 27/2024 memperluas cakupan objek regulasi menjadi dua, yaitu Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto, Meskipun kedua hal ini memiliki pendefinisiannya masing-masing, mereka tidak sepenuhnya berbeda. Mengacu pada Pasal 1 angka 5 POJK 27/2024, Aset Keuangan Digital didefinisikan sebagai “aset keuangan yang disimpan atau direpresentasikan secara digital, termasuk di dalamnya aset kripto”. Pendefinisian yang terkesan luas ini, bila dikaitkan dengan pasal lainnya, memang sengaja dilakukan untuk mengantisipasi adanya aset-aset digital lainnya di kemudian hari, yang mungkin tidak sepenuhnya sama dengan Aset Kripto.1Oleh karena Aset Kripto merupakan bagian dari jenis aset yang lebih luas, yaitu Aset Keuangan Digital, maka yang pertama dan terutama, Aset Kripto harus memenuhi kualifikasi sebagai Aset Keuangan Digital, yaitu:
- Diterbitkan, disimpan, dialihkan, dan/atau diperdagangkan menggunakan teknologi buku besar terdistribusi (blockchain);
- Bukan merupakan aset yang diterbitkan atau dicatat oleh lembaga keuangan dalam bentuk elektronik;
Saldo rekening bank, kepemilikan saham di perusahaan publik, dan obligasi adalah contoh kelas aset yang diterbitkan/dicatat oleh institusi keuangan secara elektronik.2 - Berasal dari dan/atau digunakan dalam aktivitas yang sesuai dengan hukum;
- Memenuhi kriteria lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Di samping memenuhi syarat umum bagi Aset Keuangan Digital di atas, Aset Kripto juga harus memenuhi syarat yang secara khusus berlaku bagi Aset Kripto itu sendiri, yaitu:
- Sebagai representasi nilai secara digital yang utama;
Mengacu pada Penjelasan Pasal 8 POJK 27/2024, yang dimaksud sebagai “representasi nilai secara digital yang utama” adalah aset yang tidak memerlukan verifikasi kepemilikan dan rekonsiliasi dengan sistem pencatatan lainnya. Secara spesifik, Penjelasan tersebut menyebut Bitcoin sebagai contoh “representasi nilai secara digital yang utama” sebab seluruh riwayat transaksi Bitcoin diverifikasi dan dicatat di dalam blockchain Bitcoin itu sendiri dan tidak melibatkan sistem verifikasi dan/atau pencatatan lainnya - Menggunakan teknologi buku besar terdistribusi (blockchain) yang dapat diakses oleh publik;
- Memiliki utilitas dan/atau didukung oleh aset;
Tidak terdapat cukup uraian perihal utilitas seperti apa yang harus dimiliki sebuah Aset Kripto sebab Penjelasan Pasal 8 POJK 27/2024 hanya mendefinisikan “utilitas” sebagai “manfaat Aset Kripto bagi pemilik Aset Kripto”. Namun, apabila “utilitas” yang dimaksud adalah utilitas sebagaimana yang terdapat pada “utility token”, yaitu Aset Kripto yang memberi pemiliknya hak-hak tertentu untuk mengakses layanan keuangan atau layanan lainnya dalam suatu ekosistem blockchain3, maka Aset Kripto seperti meme coins, yang mana tidak memiliki manfaat nyata selain harganya yang menjulang tinggi dan kemudian merosot tajam dalam waktu singkat, tidak dapat diperdagangkan di Indonesia. - Dapat ditelusuri atau tidak memiliki fitur untuk menyamarkan atau menyembunyikan data kepemilikan dan transaksi;
Tunduk pada ketentuan ini, maka token-token yang memiliki fitur “untraceable transaction” seperti Monero (XMR)4 dan ZCash (ZEC)5 tidak dapat diperdagangkan di Indonesia. - Telah dilakukan penilaian dengan metode yang ditetapkan dalam peraturan dan tata tertib Bursa
Untuk memberikan pedoman yang jelas mengenai Aset Kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia, POJK 27/2024 mewajibkan Bursa untuk menyusun Daftar Aset Kripto—daftar yang menetapkan jenis Aset Kripto yang diizinkan untuk diperdagangkan di Indonesia (umumnya dikenal sebagai “whitelist”). Namun, karena POJK 27/2024 baru mulai berlaku pada 10 Januari 2025, whitelist yang saat ini berlaku adalah daftar yang ditetapkan oleh Bappebti melalui Peraturan Bappebti No. 1 Tahun 2025, yang mengubah Peraturan Bappebti No. 11 Tahun 2022 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto (“Perbappebti 1/2025”).
POJK 27/2024 secara tegas menyatakan bahwa Bursa harus menetapkan Daftar Aset Kripto dalam waktu tiga bulan sejak peraturan tersebut diberlakukan.6 Oleh karena itu, investor perlu memperhatikan kemungkinan perubahan dalam whitelist pada Maret atau April 2025.
- Ketentuan tentang Direksi dan Komisaris Penyelenggara Perdagangan Aset Keuangan Digital
POJK 27/2024 menyebut penyelenggara pasar secara kolektif sebagai Penyelenggara Perdagangan Aset Keuangan Digital, yang terdiri atas (1) Bursa, (2) Lembaga Kliring Penjaminan dan Penyelesaian (“Lembaga Kliring”), (3) Pengelola Tempat Penyimpanan, dan (4) Pedagang. Perubahan esensial terkait dengan Penyelenggara Pasar tersebut, jika dibandingkan dengan ketentuan dalam Perbappebti 8/2021, adalah diberlakukannya ketentuan mengenai jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris, serta kewajiban Penyelenggara Perdagangan Aset Keuangan Digital untuk memperoleh persetujuan OJK terhadap calon Direksi & Komisaris. Syarat mengenai jumlah Direksi dan Komisaris dalam tiap-tiap Penyelenggara Perdagangan Aset Keuangan Digital, masing-masing diatur dalam Pasal 24, Pasal 32, Pasal 39, dan Pasal 49 POJK 27/2024. Adapun pasal-pasal tersebut pada pokoknya mengatur sebagai berikut:- Bursa
- Direksi minimum 3 orang & maksimum 7 orang
- Komisaris berjumlah minimum 2 orang & maksimum sama dengan jumlah Direksi.
- Lembaga Kliring
- Direksi minimum 3 orang & maksimum 7 orang
- Komisaris berjumlah minimum 2 orang & maksimum sama dengan jumlah Direksi.
- Pengelola Tempat Penyimpanan
- Direksi minimum 3 orang & maksimum 7 orang
- Komisaris berjumlah minimum 1 orang & maksimum sama dengan jumlah Direksi.
- Pedagang
- Direksi minimum 3 orang, dengan ketentuan bahwa mayoritas Direksi, termasuk Direktur Utama, harus merupakan warga negara Indonesia
- Komisaris minimum 1 orang & maksimum sama dengan jumlah Direksi
Ketika kandidat yang tepat untuk menduduki posisi Direksi dan Komisaris tersebut sudah ditemukan, maka sebelum diangkat dalam RUPS, Organizers of Digital Financial Assets Trading wajib mengajukan kandidat-kandidat tersebut kepada OJK, untuk memperoleh persetujuan.
- Bursa
- Perizinan
Terdapat beberapa ketentuan perihal perizinan dalam POJK 27/2024 yang perlu diperhatikan, antara lain:- Perampingan Alur Perizinan Pedagang
OJK hanya memberlakukan satu tahap perizinan bagi perusahaan yang hendak melakukan fasilitasi perdagangan Aset Kripto, yaitu perizinan sebagai Pedagang Aset Keuangan Digital. Hal ini berbeda dengan Bappebti yang menerapkan dua tahap perizinan, yaitu perizinan sebagai Calon Pedagang Fisik Aset Kripto dan perizinan sebagai Pedagang Fisik Aset Kripto. Sistem dua tahap perizinan ini diberlakukan pada saat rezim Bappebti karena ekosistem perdagangan Aset Kripto di Indonesia masih sangat muda. Pada saat itu, belum ada Bursa dan Lembaga Kliring yang ditetapkan secara resmi, sementara sudah banyak perusahaan yang bergerak di bidang fasilitasi perdagangan Aset Kripto. Oleh karena itu, Bappebti mengatur bahwa sebelum adanya penunjukan Bursa dan Lembaga Kliring yang resmi, perusahaan yang melakukan fasilitasi perdagangan Aset Kripto harus mendaftarkan diri sebagai Calon Pedagang Fisik Aset Kripto, dan setelah Bursa dan Lembaga Kliring sudah ada, maka harus mendaftarkan diri sebagai Pedagang Fisik Aset Kripto.Namun, saat ini peran-peran krusial tersebut telah terisi, dimana peran Bursa dilaksanakan PT Bursa Komoditi Nusantara (sekarang PT Central Financial X atau “PT CFX”), peran Lembaga Kliring dilaksanakan oleh PT Kliring Berjangka Indonesia (“PT KBI”), dan peran Pengelola Tempat Penyimpanan PT Tennet Depository Indonesia (“PT TDI”).7 Oleh karena itu, OJK tidak lagi menerapkan sistem “calon” pada alur perizinan Pedagang
- Keberlakuan Izin dari Bappebti
Ketentuan peralihan dalam POJK 27/2024, khususnya Pasal 134, menyatakan bahwa setiap pihak yang telah terdaftar di, ditetapkan oleh, dan/atau memperoleh izin dari Bappebti baik sebagai Bursa, Lembaga Kliring, Pengelola Penyimpanan, atau Pedagang dianggap telah memperoleh izin yang disyaratkan dalam POJK 27/2024.
- Perampingan Alur Perizinan Pedagang
- Larangan Memperdagangkan Aset Kripto yang Diterbitkan Sendiri dan/atau oleh Afiliasi
Di antara berbagai larangan dan pembatasan yang ditetapkan dalam POJK 27/2024, ada satu larangan yang patut mendapat perhatian yaitu larangan memperdagangkan aset kripto yang diterbitkan sendiri dan/atau diterbitkan oleh afiliasi. Larangan yang tercantum dalam Pasal 52 ayat (1) POJK 27/2024 ini, sebenarnya telah berlaku sejak Bappebti masih mengawasi perdagangan aset kripto. Hal ini dibuktikan dengan ketentuan dalam Pasal 42(6) Perbappebti 8/2021, yang kemudian “dipindahkan” ke Pasal 16 ayat (6) dalam perubahan pertama Perbappebti 8/2021, Perarutan Bappebti No. 13 Tahun 2022.Meskipun telah diatur sejak lama, hingga tanggal penulisan ini, beberapa Pedagang besar di Indonesia masih memperdagangkan token yang diterbitkan oleh mereka sendiri atau afiliasi mereka. Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan besar mengapa praktik ini bisa berlangsung begitu lama? Terlebih lagi, dalam kaitannya dengan perlindungan investor, bagaimana OJK akan menerapkan ketentuan ini?
Penting untuk dipahami bahwa aset kripto yang diterbitkan oleh Pedagang, yang biasa disebut sebagai “exchange token”, memperoleh nilainya dari manfaat dan/atau hak istimewa tertentu yang diberikan saat digunakan dalam platform perdagangan si Pedagang. Untuk memberikan perspektif, mari buat skenario dengan menggunakan platform perdagangan kripto yang berbasis di luar Indonesia Binance.
Binance memiliki aset kripto yang diterbitkannya sendiri, yaitu BNB. Utilitas utama BNB adalah memberikan keistimewaan kepada pemegangnya, seperti diskon biaya perdagangan serta hak untuk berpartisipasi dalam peluncuran aset kripto (token launches) di platform perdagangan Binance.8 Lantas, bayangkan apa yang akan terjadi pada harga BNB jika suatu hari Binance berhenti memperdagangkannya.
Meskipun BNB masih dapat diperdagangkan di platform lain, nilai utamanya terletak pada kegunaannya dalam platform Binance. Hilangnya utilitas ini jelas akan berdampak negatif pada harga BNB. Bahkan, kalaupun semua utilitas BNB di platform perdagangan Binance tetap dapat dilaksanakan dan hanya perdagangannya di Binance yang dilarang, dampaknya tetap tidak akan menguntungkan. Dalam skenario seperti ini, investor harus membeli BNB dari platform lain dan kemudian mentransfernya ke dompet Binance mereka, yang membuat prosesnya sangat tidak efisien, sehingga menarik lebih sedikit investor untuk membeli BNB, atau bahkan lebih buruk lagi, memicu panic sell terhadap BNB.
Skenario di atas sangat mungkin terjadi terhadap Aset Kripto yang diterbitkan oleh Pedagang jika larangan dalam 52 ayat (1) POJK 27/2024 diberlakukan tanpa koordinasi yang matang antara para pemangku kepentingan seperti OJK, Pedagang yang menerbitkan Aset Kripto tekait, Pedagang lain yang juga memperdagangkan Aset Kripto terkait Bursa, Lembaga Kliring, dan Pengelola Tempat Penyimpanan.
- Kriteria Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan
- Closing
POJK 27/2024 memperluas cakupan objek regulasi menjadi dua kategori, yakni Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto. Adanya penambahan kategori berupa Aset Keuangan Digital tersebut ditujukan guna mengantisipasi munculnya jenis aset digital lainnya di masa depan yang mungkin memiliki karakteristik berbeda dengan Aset Kripto.Terkait dengan perdagangan Aset Kripto, baik dari segi syarat Aset Kripto yang dapat diperdagangkan maupun Penyelenggara Perdagangan Aset Keuangan Digitial, tidak terdapat banyak perubahan jika dibandingkan dengan Perbappebti 8/2021. Perbedaan yang cukup signifikan hanya terdapat pada kewajiban bagi Penyelenggara Perdagangan Aset Keuangan Digitial untuk memperoleh persetujuan OJK atas calon Direksi dan Dewan Komisaris serta kewajiban untuk memenuhi jumlah Direksi dan Komisaris sesuai ketentuan POJK 27/2024.
Lebih lanjut, perubahan lainnya terlihat dalam proses perizinan bagi Pedagang Aset Kripto, yang kini disederhanakan menjadi satu tahap, yaitu perizinan sebagai Pedagang Aset Keuangan Digital. Perampingan ini menandakan bahwa tidak ada lagi penerapan sistem “calon”, sebagaimana yang sebelumnya diterapkan oleh Bappebti.
Namun, kendati terdapat perkembangan regulasi yang positif, ada suatu ketentuan yang sudah ada sejak lama yang belum ditegakkan. Meskipun larangan bagi Pedagang untuk memperdagangkan Aset Kripto yang diterbitkan sendiri sudah ada sejak Bappebti masih memegang kendali atas perdagangan Aset Kripto, larangan tersebut hingga kini belum diterapkan. Untuk memastikan penegakkan hukum yang efektif dan tidak merugikan investor, diperlukan koordinasi yang erat antara para pemangku kepentingan untuk menegakkan larangan ini.
Ian Reinhart Hamonangan
Sources
- Lihat Pasal 4 dan Penjelasan Pasal 4 POJK 27/2024
- Penjelasan Pasal 4 POJK 27/2024
- https://academy.binance.com/en/glossary/utility-token
- https://www.getmonero.org/get-started/what-is-monero/
- https://z.cash/learn/is-zcash-traceable/
- Pasal 132 huruf b POJK 27/2024
- Kementerian Perdagangan RI. “Bappebti Tetapkan Bursa, Kliring, dan Pengelola Penyimpanan Kripto”. https://www.kemendag.go.id/berita/pojok-media/bappebti-tetapkan-bursa-kliring-dan-pengelola-penyimpanan-kripto. Diakses pada 15 Februari 2025
- https://www.binance.com/en/bnb/