Berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No.13/2003”), terdapat 2 (dua) jenis perjanjian kerja, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”).

Hubungan kerja

Berdasarkan Pasal 51 UU No.13/2003 perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan maupun tulisan. Apabila perjanjian kerja tersebut dibuat secara lisan, maka pemberi kerja berkewajiban untuk mengeluarkan surat pengangkatan untuk pekerja. Surat penangkatan tersebut sekurang-kurangnya berisi informasi tentang (i) nama dan alamat pekerja, (ii) tanggal pekerja mulai bekerja, (iii) tipe pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja, (iv) jumlah upah yang menjadi hak pekerja.

Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat:

  1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
  2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
  3. jabatan atau jenis pekerjaan;
  4. tempat pekerjaan dilakukan;
  5. besarnya upah dan cara pembayarannya;
  6. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
  7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
  8. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
  9. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Berdasarkan Pasal 60 UU No.13/2003 perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu diperbolehkan untuk memberlakukan masa percobaan. Masa percobaan ini tidak dapat lebih dari 3 (tiga) bulan dan selama masa percobaan dilarang untuk memberikan upah dibawah upah minimum.

Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”)

Menurut padal 151 UU No.13/2003 pemberi kerja dan pekerja harus melakukan pencegahan terhadap PHK. Namun, apabila usaha tersebut gagal untuk dituangkan dalam perjanjian, pemberi kerja hanya dapat melakukan PHK setelah mendapatkan keputusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (“LPPHI”).

Read Also  Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Asing

Berdasarkan Pasal 154 UU No.13/2003 keputusan LPPHI tidak diperlukan apabila:

  1. Pekerja yang dimaksud masih dalam masa percobaan dan telah diatur secara tertulis sebelumnya;
  2. Pekerja yang dimaksud membuat permohonan pengunduran diri dengan kemauanya sendiri tanpa adanya indikasi adanya tekanan atau intimidasi dari pemberi kerja untuk melakukanya atau hubungan kerja telah berakhir;
  3. Pekerja yang dimaksud telah mencapai usia pensiun yang diatur pada perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama dan peraturan perundangaan;
  4. Pekerja meninggal dunia.

Berdasarkan Pasal 155 UU No.13/2003, segala PHK tanpa keputusan LPPHI tersebut di atas dianggap batal demi hukum. Lalu,  keduanya baik pemberi kerja dan harus tetap menjalankan kewajibanya selama belum ada keputusan LPPHI tersebut.

Apabila segala usaha telah dilakukan dan PHK tetap harus dilakukan, pemberi kerja berkewajiban membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang belum digunakan.

Dalam hal pekerja tidak dapat menerima PHK sebagaimana diatur pada Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3) dan Pasal 162 UU No. 13/2003, maka berdasarkan Pasal 171 UU No.13/2003, pekerja tersebut dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial tidak lebih dari 1 (satu) tahun sejak tanggal PHK tersebut.

Ketentuan tersebut di atas juga diatur pada Pasal 82 UU Nomor 2 of 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa gugatan dari pekerja sebagaimana diatur pada Pasal 159 dan Pasal 171 UU No.13/2003 hanya dapat diajukan 1 (satu) tahun setelah diterimanya atau pemberitahuan PHK dari pengusaha.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003, Pasal 158 dan Pasal 159 UU No.13/2003 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.