Pendahuluan
Seseorang yang mempromosikan dan melindungi Hak Asasi Manusia yang berhubungan dengan penikmatan lingkungan hidup yang aman, bersih, sehat dan berkelanjutan diakui sebagai pembela hak asasi manusia atas lingkungan atau Environmental Human Rights Defender (“EHRD”) oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan kata lain, EHRD adalah siapapun, baik secara perorangan maupun kelompok, yang melakukan upaya-upaya perlindungan dan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dengan cara-cara damai.
Eksistensi EHRD di Indonesia dilegitimasi oleh Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana terakhir kali diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU PPLH”) yang mengatur bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Berlainan dengan bunyi pasal tersebut di atas, dalam kerja-kerja aktivisme lingkungan yang dilakukan oleh EHRD, mereka tetap terekspos terhadap ancaman karena aktivisme yang mereka lakukan. Ancaman yang dialami oleh EHRD mayoritas menggunakan instrumen hukum, seperti penuntutan perdata dan pelaporan pidana, serta terdapat pula ancaman dalam bentuk intimidasi dan penangkapan sewenang-wenang. Ancaman kepada EHRD melalui penuntutan perdata dan/atau pelaporan pidana dikenal sebagai Strategic Litigation Against Public Participation (“SLAPP”).
Pembahasan artikel ini akan melihat sikap dan pertimbangan hakim dalam penanganan perkara SLAPP terhadap EHRD berdasarkan beberapa preseden putusan.
Pembahasan
SLAPP merupakan bentuk upaya strategis dengan tujuan terselubung untuk menghilangkan partisipasi publik. Dengan demikian, SLAPP tidak bertujuan untuk membuktikan suatu kebenaran dalam sebuah gugatan, namun lebih kepada proses yang berlarut-larut yang menguras energi dan mengalihkan perhatian publik. SLAPP di Indonesia sangat beragam karena dapat masuk ke ranah perdata maupun pidana, beberapa di antaranya diidentifikasi sebagai gugatan yang menggunakan dalil pencemaran nama baik, penganiayaan, penghasutan, perbuatan melawan hukum, dan lain-lain.
Sebetulnya, Indonesia telah memiliki mekanisme anti-SLAPP sebagai sarana perlindungan bagi peran serta masyarakat dalam mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, termasuk melindungi EHRD dalam pelaksanaan kerja-kerja aktivisme lingkungan. Prinsip Anti-SLAPP diatur secara tegas dalam Pasal 66 UU PPLH sebagaimana disebutkan di atas. Pada periode 2013 sampai 2023 (sebelum dicabut) terdapat SK KMA No. 36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, yang menjadi pedoman hakim dalam menangani kasus SLAPP terhadap EHRD. Kemudian terdapat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup (“Perma 1/2023”) dan Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberikan pedoman dalam penanganan kasus-kasus SLAPP dan melindungi EHRD. Baru-baru ini, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum bagi Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat yang secara komprehensif mengatur perlindungan hukum bagi EHRD.
Meskipun sejak pengundangan UU PPLH telah terdapat mekanisme Anti-SLAPP terhadap EHRD, nyatanya masih terdapat beberapa kasus SLAPP dimana EHRD tidak mendapat perlindungan sebagaimana diatur dalam peraturan-peraturan yang telah disebutkan sebelumnya, di antaranya:
- Putusan No. 397/Pid.Sus/2018/PN.Idm
Bermula ketika Sawin, Sukma, dan Nanto, yang merupakan bagian dari masyarakat yang menolak pembangunan PLTU di wilayah Kecamatan Patrol, Indramayu, mengibarkan bendera merah putih sebagai bentuk selebrasi atas dimenangkannya gugatan terhadap PLTU Indramayu 2 di PTUN Bandung. Keesokan harinya, posisi bendera tersebut sudah terbalik. Pihak yang merasa terganggu dengan penemuan ini melaporkannya ke Polres Indramayu. Dalam putusannya, Pengadilan Negeri tidak mempertimbangkan pembelaan anti SLAPP yang diajukan oleh para terdakwa (EHRD) dan menyatakan para terdakwa bersalah, dengan menyatakan dalam pertimbangannya bahwa “kegiatan para terdakwa tidak berkaitan dengan pembelaan hak atas lingkungan hidup yang baik, sebagaimana tercermin dari spanduk yang dibentangkan, dan justru para terdakwa membentangkan bendera merah putih terbalik, yang tidak sejalan dengan pembelaan terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat, bahwa semangat anti SLAPP tentunya bukan untuk merendahkan kehormatan bendera negara”. Hakim menjatuhkan vonis 6 (enam) bulan penjara kepada Sawin, Sukma, dan Nanto karena terbukti melakukan perbuatan dengan maksud merendahkan kehormatan bendera negara.
- Putusan No. 802/Pid.Sus/2020/PN.Byw
Kasus bermula ketika Ahmad Busiin, Sugiyanto, dan Abdullah menghadang truk-truk PT. Rolas Nusantara Tambang untuk melindungi lingkungan dan rumah mereka karena dampak negatif dari aktivitas tambang tersebut. Selanjutnya, PT. Rolas Nusantara Tambang melaporkan Ahmad Busiin, Sugiyanto, dan Abdullah karena menghalangi atau mengganggu operasi pertambangan (Pasal 162 UU Minerba). Pengadilan Negeri memutuskan bahwa para terdakwa bersalah dan tidak mempertimbangkan pembelaan anti SLAPP yang diajukan oleh para terdakwa, dan menyatakan dalam pertimbangannya bahwa majelis hakim tidak sependapat dan oleh karena itu menolak seluruh pembelaan tersebut.
Namun demikian, juga terdapat preseden dimana hakim melaksanakan mekanisme anti-SLAPP terhadap EHRD, di antaranya:
- Daeng Kadir and Abdul Samad melawan PT. Bumi Konawe Abadi
Kasus ini telah diputus dengan Putusan No. 16/Pdt.G/2013/PN.Unh jo. Putusan No. 104/PDT/2014/PT.KDI jo. Putusan No. 1934K/Pdt/2015. Daeng Kadir dan Abdul Azis melakukan aksi unjuk rasa yang telah mendapat izin dari pihak kepolisian setempat, karena kekecewaan warga terhadap aktivitas pertambangan PT Bumi Konawe Abadi yang tidak memperhatikan keselamatan lingkungan dan kepentingan masyarakat karena mencemari tambak-tambak warga. Aksi demonstrasi ini mengakibatkan pemblokiran jalan truk PT Bumi Konawe Abadi. Selanjutnya, PT Bumi Konawe Abadi merasa dirugikan atas penutupan jalan tersebut dan menggugat Daeng Kadir dan Abdul Samad dengan menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata (perbuatan melawan hukum).Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri yang mengabulkan gugatan penggugat dengan pertimbangan bahwa tindakan tergugat merupakan sarana untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan tidak bertentangan dengan hukum. Selanjutnya, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi penggugat dengan pertimbangan bahwa tindakan tergugat dilindungi oleh Pasal 66 UU PPLH. Meskipun tergugat tidak mengajukan pembelaan anti SLAPP berdasarkan Pasal 66 UU PPLH, majelis hakim tingkat banding secara aktif menggali bahwa kasus ini bukan merupakan perbuatan melawan hukum melainkan suatu bentuk partisipasi masyarakat. Kemudian, majelis hakim kasasi menguatkan putusan pengadilan tingkat banding dengan menyatakan bahwa otoritas yang berwenang telah mengizinkan demonstrasi yang dilakukan oleh Daeng Kadir dan Abdul Aziz dan bahwa demonstrasi tersebut merupakan bentuk advokasi terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan oleh para penggugat. Dengan demikian, tindakan Daeng Kadir dan Abdul Aziz dilindungi oleh Pasal 66 UUPPLH.
- Kasus Daniel Tangkilisan
Kasus ini telah diputus dalam Putusan No. 14/Pid.Sus/2024/PN.Jpa jo. Putusan No. 374/Pid.Sus/2024/PT. SMG jo. Putusan No. 6459 K/Pid.Sus/2024. Daniel adalah seorang EHRD yang menentang industri tambak udang yang limbahnya merusak hutan bakau, budidaya rumput laut, dan pariwisata lokal di Taman Nasional Karimunjawa. Daniel dituntut berdasarkan Pasal 28 (2) UU ITE karena menulis komentar di akun Facebook-nya dengan menggunakan frasa “komunitas otak udang”, yang menimbulkan kebencian di antara beberapa kelompok masyarakat di Desa Kemujan dan Desa Karimunjawa.Majelis hakim Pengadilan Negeri menyatakan bahwa Daniel Tangkilisan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan”. Putusan Pengadilan Tinggi membebaskan Daniel Tangkilisan. Majelis hakim tingkat banding memutuskan Daniel bersalah atas ujaran kebencian, namun Daniel juga terbukti sebagai EHRD, sehingga hakim mempertimbangkan Pasal 66 UU Lingkungan Hidup dan Pasal 77 Perma 1/2023, yang menyatakan bahwa apabila setelah memeriksa pokok perkara hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum terbukti, tetapi terdakwa juga terbukti sebagai EHRD berdasarkan Pasal 66 UU Lingkungan Hidup, maka hakim membebaskan terdakwa dari segala dakwaan. Pada tingkat kasasi, hakim menguatkan putusan Pengadilan Tinggi dengan Putusan No. 6459 K/Pid.Sus/2024 yang menyatakan bahwa Daniel dinyatakan bebas, dan dengan demikian, kasus Daniel telah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan preseden kasus SLAPP di atas, terdapat perbedaan sikap yang signifikan pada hakim dalam menangani kasus SLAPP yang dihadapkan kepada mereka. Dalam Putusan No. 397/Pid.Sus/2018/PN.Idm dan Putusan No. 802/Pid.Sus/2020/PN.Byw, hakim tidak menerapkan mekanisme anti-SLAPP terhadap EHRD (terdakwa) bahkan tidak mempertimbangkan pembelaan anti-SLAPP yang diajukan oleh para tergugat. Hal ini berbanding terbalik, pada kasus Daeng Kadir, dimana meskipun tergugat tidak mengajukan pembelaan anti SLAPP, akan tetapi majelis hakim berinisiatif menggali kasus hingga menyatakan bahwa yang dilakukan oleh tergugat merupakan bentuk advokasi terhadap kerusakan lingkungan sehingga majelis hakim menyatakan bahwa tindakan tergugat dilindungi oleh Pasal 66 UU PPLH dan dibebaskan dari tuntutan tersebut. Kemudian dalam kasus Daniel Tangkilisan, hakim membebaskan Daniel dari tuntutan saat Daniel terbukti sebagai seorang EHRD yang dilindungi Pasal 66 UU PPLH. Dalam kasus Daniel, sikap hakim sudah sejalan dengan prosedur penanganan kasus SLAPP yang termuat dalam Perma 1/2023.
Penutup
EHRD di Indonesia telah mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan kerja-kerja aktivismenya. Kemudian perlindungan tersebut diperkuat dengan adanya pedoman bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus SLAPP yang mana SLAPP sering menjadi sarana untuk meredam aktivisme seorang EHRD. Namun demikian, berdasarkan beberapa preseden yang disajikan, masih terdapat ketidak-konsistenan sikap hakim dalam penanganan kasus SLAPP yang menimpa EHRD akibat dari kegiatan mereka dalam aktivisme lingkungan.
Irwansyah Dhiaulhaq Mahendra
Sources:
- Law Number 32 of 2009 on Environmental Protection and Management as lastly amended by Law Number 6 of 2023 on Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation into Law
- Regulation of the Minister of Environment and Forestry Number 10 of 2024 on the Legal Protection of Persons Fighting for the Right to a Good and Healthy Environment
- Supreme Court Regulation Number 1 of 2023 on Guidelines for Adjudicating Environmental Cases
- Guideline of the Attorney General Number 8 of 2022 on the Handling of Criminal Cases in the Field of Environmental Protection and Management
- Decision No. 397/Pid.Sus/2018/PN.Idm
- Decision No. 802/Pid.Sus/2020/PN.Byw
- Decision No. 16/Pdt.G/2013/ PN.Unh
- Decision No. 104/PDT/2014/ PT.KDI
- Decision No. 1934K/Pdt/2015
- Decision No. 14/Pid.Sus/2024/PN.Jpa
- Decision No. 374/Pid.Sus/2024/PT. SMG
- Decision No. 6459 K/Pid.Sus/2024
- Handayani, M. M., Achmadi, J. C., & Apsari, P. K. “Berbagai Wajah Fenomena SLAPP di Indonesia”.Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia. 8(1). 2021
- Indonesian Center for Environmental Law. “Panduan Bagi Pengacara Publik dalam Menghadapi Kasus SLAPP”. Indonesian Center for Enviromental Law. 2021
- Lidya Nelisa. ”Urgensi Penguatan Ketentuan Prosedural Anti-SLAPP di Indonesia untuk Melindungi Pembela HAM Lingkungan dari Serangan Litigasi”. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia. 8(1). 2022