Dr. Eddy M. Leks

Meskipun putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, hukum Indonesia memungkinkan pembatalannya apabila terbukti melibatkan penipuan, pemalsuan, atau bertentangan dengan ketertiban umum.

Pembatalan Putusan Arbitrase

Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”) jo. Pasal 24 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase (“PERMA tentang Arbitrase”), secara esensial mengatur bahwa permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase dapat dilakukan jika putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur:

  • Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
  • Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
  • Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Sehingga, pada hakikatnya, apabila terdapat pihak dalam suatu sengketa arbitrase yang merasa putusan mengandung setidaknya satu dari ketiga unsur yang disebutkan di atas, pihak tersebut dapat mengajukan permohonan pembatalan. Undang-Undang Arbitrase dan APS serta PERMA tentang Arbitrase telah lebih lanjut mengatur bahwa pengajuan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan ke Pengadilan Negeri dalam bentuk permohonan. Permohonan tersebut harus diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan. Adapun selanjutnya permohonan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

Baca Juga: Indonesia: Interpreting ‘International’: Reassessing the Definition of Arbitral Awards in Indonesia

Sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut, sebelum mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase, putusan tersebut tetap harus didaftarkan terlebih dahulu. Dalam hal ini, apabila terhadap putusan yang telah didaftarkan pada Pengadilan Negeri, kemudian terdapat pihak yang tidak melaksanakan putusan arbitrase yang telah didaftarkan secara sukarela, maka atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, putusan akan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa sebelum perintah pelaksanaan diberikan, Pasal 62 ayat (2) UU Arbitrase dan APS jo. Pasal 9 PERMA tentang Arbitrase, mengatur bahwa Ketua Pengadilan Negeri harus terlebih dahulu menilai apakah putusan arbitrase tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

 

“Ketua Pengadilan Negeri harus terlebih dahulu menilai apakah putusan arbitrase tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.”

Ketertiban Umum

Memahami Ketertiban Umum

Perlu diketahui bahwa ketertiban umum telah didefinisikan melalui Pasal 1 angka 9 PERMA tentang Arbitrase, yaitu:

“Ketertiban Umum adalah segala sesuatu yang merupakan sendi-sendi asasi yang diperlukan demi berjalannya sistem hukum, sistem ekonomi dan sistem sosial budaya masyarakat dan bangsa Indonesia.”

Berkaitan dengan hal ini, bagaimana ketika suatu pembatalan putusan arbitrase yang diajukan di Pengadilan Negeri, selain pada ketiga kandungan unsur yang membatalkan, namun atas pelanggaran terhadap ketertiban umum? Hal ini khususnya relevan, ketika pengadilan, juga ternyata mengabulkan permohonan atas suatu putusan arbitrase, dengan menggunakan unsur ketertiban umum sebagai pertimbangan utamanya. Diskusi lebih lanjut mengenai permasalahan ini, akan dibahas melalui yurisprudensi berikut ini.

Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi Jakarta v. PT. Ifani Dewi, Yurisprudensi Nomor 266 B/Pdt.Sus-Arbt/2016 jo. 273/Pdt.G.Arb/2015/PN.Jkt.Pst

Dalam kasus ini, permohonan pembatalan diajukan atas dasar dokumen yang bersifat menentukan, yaitu putusan pengadilan tindak pidana korupsi, dengan petitum agar putusan arbitrase tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kontrak yang menjadi dasar permohonan arbitrase dan yang telah diputus di dalam putusan arbitrase, ternyata disinyalir diperoleh secara korupsi.

Sebelumnya, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”) berdasarkan Putusan Nomor 615/IX/ARB-BANI/2014 antara Pemohon Banding dan Termohon Banding I, pada pokoknya mengabulkan permohonan arbitrase untuk sebagian dan menyatakan Pemohon Banding telah melakukan wanprestasi atas kewajiban pembayaran yang belum diberikan kepada Termohon Banding I.

Baca Juga: Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia: Suatu Pendekatan Praktis mengenai Prosedur dan Tantangan

Dengan dasar putusan arbitrase tersebut, Pemohon Banding sebelumnya telah mengajukan permohonan pembatalan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain Pemohon Banding mendalilkan menolak Putusan BANI a quo dengan dasar ditemukannya dokumen yang bersifat menentukan (yang sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS) terkait dugaan tindak pidana korupsi, namun Pemohon Banding juga menggunakan Pasal 62 ayat (2) UU Arbitrase dan APS sebagai dasar pengajuan permohonan. Dalam hal ini, Pemohon Banding pada pokoknya mendalilkan, yaitu apabila Putusan BANI a quo dijalankan, maka akan bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, karena “tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang menjadi musuh bersama masyarakat dan telah menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat.”

Permohonan pembatalan putusan arbitrase di tingkat pertama ditolak atas dasar putusan pengadilan tindak pidana korupsi tersebut belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Selanjutnya, Pemohon Banding barulah mengajukan banding kepada Mahkamah Agung yang tidak setuju dengan putusan dan pertimbangan Judex Facti dengan membatalkan putusannya.

Judex Juris mempertimbangkan dalam Putusan No. 266 B/Pdt.Sus-Arbt/2016:

“Bahwa alasan Judex Facti bahwa belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Direktur Terlawan I terbukti melakukan tindak pidana sehingga perlawanan Pelawan (in casu Pemohon Banding) dalam perkara a quo ditolak adalah pertimbangan yang salah karena pada saat putusan Terlawan II (in casu BANI) dalam perkara a quo dibacakan Direktur Terlawan I (in casu Termohon Banding I) telah ditetapkan sebagai Tersangka tindak pidana korupsi dalam pengadaan armada bus Busway sebagai dasar kontrak pengadaan medium bus (busway) antara Terlawan I dan Pelawan, yang dalam perkara terpisah pihak-pihak terkait yaitu Ketua Panitia Pengadaan Bus Busway dan Pejabat Pembuat Komitmen pada kantor Pelawan telah terbukti melalui persidangan peradilan Tipikor melakukan tindak pidana korupsi, dan bersamaan dengan putusan-putusan tersebut Terlawan I oleh KPPU RI telah pula dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sehingga secara akal sehat putusan Terlawan II adalah bertentangan dengan ketertiban umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.”

Lebih lanjut, putusan yang diberikan menyatakan bahwa Putusan BANI a quo tidak dapat dilaksanakan.

 

“Pertimbangan Majelis Hakim yang memutus di tingkat banding lebih berfokus pada penggunaan Pasal 62 ayat (2) UU Arbitrase dan APS dengan menekankan pada aspek ketertiban umum.”

Arbitral Award Indonesia

Ketertiban Umum sebagai Dasar untuk Membatalkan Putusan Arbitrase

Ketika menilai pada pertimbangan Majelis Hakim yang memutus di tingkat banding tersebut, terlihat bahwa dasar pertimbangan yang digunakan, justru lebih berfokus pada penggunaan Pasal 62 ayat (2) UU Arbitrase dan APS dengan menekankan pada aspek ketertiban umum. Meskipun begitu, lain hal nya dengan apabila mendasari pada tiga unsur dalam Pasal 70, dalam putusan ini, tidak dinyatakan pembatalan terhadap Putusan BANI a quo. Melainkan, yang mana hanya menyatakan bahwa putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Melalui putusan ini, terdapat pertanyaan singkat yang muncul. Apakah kemudian dapat dikatakan Pasal 62 ayat (2) dapat dijadikan sebagai dasar gugatan atas keberatan suatu putusan arbitrase? Sebenarnya, ketika melihat Pasal 62 ayat (2) secara langsung, pada prinsipnya, pemaknaan pasal tersebut seharusnya lebih membebankan pada kewajiban hakim, untuk memastikan bahwa putusan arbitrase yang didaftarkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, yang mana baru dilakukan dalam hal terdapat pihak yang tidak menjalankan suatu putusan arbitrase secara sukarela, salah satu pihak yang bersengketa mengajukan permohonan pelaksanaan. Akan tetapi dalam perkara ini, ternyata pasal tersebut dapat digunakan sebagai salah satu dasar untuk mempersoalkan suatu putusan arbitrase.

 

“Salah satu alasannya adalah majelis mengeluarkan putusan provisi. Sehingga, pendapat Judex Juris adalah tetap dan dapat diterapkan.”

Hal yang penting adalah dalam kasus ini, putusan pengadilan yang menyatakan salah satu pihak melakukan korupsi, belum final dan mengikat. Ini menyebabkan Judex Facti berpendapat bahwa putusan arbitrase adalah sah. Namun sebaliknya, Judex Juris menyarankan majelis untuk mengeluarkan putusan provisi untuk menunda proses arbitrase hingga putusan terkait tuduhan korupsi tersebut menjadi bersifat final dan mengikat.

Majelis harus menyelesaikan sengketa selama tidak lebih dari 180 hari setelah pembentukan majelis. Jangka waktu tersebut hanya dapat diperpanjang apabila semua pihak yang bersengketa menyetujuinya atau berdasarkan ketentuan Pasal 33 UU Arbitrase dan APS. Salah satu alasannya adalah majelis mengeluarkan putusan provisi. Sehingga, pendapat Judex Juris adalah tetap dan dapat diterapkan. Namun demikian, hal ini hanya dimungkinkan apabila majelis memahami situasinya sebelum menerbitkan putusan provisi. Harapan bahwa majelis akan memahami sendiri perihal dugaan tersebut, tentu merupakan hal yang tidak masuk akal.


Author

Dr. Eddy Marek Leks

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of  BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.


Co-authored

Miskah Banafsaj

Miskah Banafsaj is an associate at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Sources:

  • Law Number 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution.
  • Supreme Court Regulation Number 3 of 2023 on the Appointment of Arbitrator by Court, Repudiation Rights, Examination on the Enforcement and Annulment Petition of Arbitral Awards.
  • Supreme Court Decision Number 266 B/Pdt.Sus-Arbt/2016.
  • Central Jakarta District Court Decision Number 273/Pdt.G.Arb/2015/PN.Jkt.Pst.