Dr. Eddy M. Leks and Miskah Banafsaj

Dalam praktik arbitrase, pembatalan putusan arbitrase sering menimbulkan pertanyaan kompleks, terutama ketika upaya banding diajukan tanpa disertai memorandum banding. Artikel ini menyajikan analisis yurisprudensial yang strategis atas kasus-kasus tersebut, dengan menyoroti kerangka hukum dan yurisprudensi Mahkamah Agung di Indonesia.

Kerangka Pengaturan Pembatalan Putusan Arbitrase

Pasal 72 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”) mengatur bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri kemudian menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.

Baca Juga: Apakah Suatu Putusan Arbitrase dapat Dikoreksi oleh Pengadilan: Menelusuri Berbagai Kemungkinan

Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 72 UU Arbitrase dan APS mengatakan, yang dimaksud dengan “banding” adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase atas dasar 3 (tiga) alasan di dalam Pasal 70, yaitu adanya dokumen palsu setelah putusan, setelah putusan ditemukan adanya dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan dan putusan diambil dari hasil tipu muslihat salah satu pihak.

 

“Banding hanya dapat diajukan apabila permohonan pembatalan putusan arbitrase pada tingkat pertama dikabulkan.”

Banding atas Pembatalan Putusan Arbitrase

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu ditekankan bahwa dengan merujuk pada ketentuan-ketentuan yang ada, permohonan banding dalam hal ini hanya dapat diajukan apabila permohonan pembatalan putusan arbitrase pada tingkat pertama dikabulkan. Di sisi lain, apabila permohonan pembatalan ditolak, maka tidak dapat dilakukan upaya hukum apa pun, termasuk banding. Sebagaimana hal ini ditegaskan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016:

“Sesuai dengan ketentuan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan penjelasannya, terhadap putusan pengadilan negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak tersedia upaya hukum baik banding maupun peninjauan kembali.

Dalam hal putusan pengadilan negeri membatalkan putusan arbitrase, tersedia upaya hukum banding ke Mahkamah Agung, terhadap putusan banding tersebut Mahkamah Agung memutus pertama dan terakhir sehingga tidak ada upaya hukum peninjauan kembali.”

Selain itu, dalam Pasal 27 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase (“PERMA tentang Arbitrase”), juga dinyatakan bahwa upaya hukum apa pun tidak dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase.

Adapun prosedur banding dalam sengketa permohonan pembatalan putusan arbitrase pada dasarnya adalah sama dengan prosedur banding pada umumnya, meskipun memang terdapat beberapa perbedaan tertentu dari segi pelaksanaannya. Salah satu perbedaan mendasar yaitu terletak pada tingkatan pengadilan yang berwenang mengadilinya. Banding terhadap putusan pengadilan yang membatalkan putusan arbitrase diajukan langsung pada Mahkamah Agung, yang bertindak mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Lain halnya dengan mekanisme banding pada umumnya yang diadili terlebih dahulu melalui Pengadilan Tinggi, yang mana terhadap putusan banding tersebut masih dapat diajukan upaya hukum lebih lanjut, yaitu kasasi hingga peninjauan kembali.

Baca Juga: Melampaui Arbitrase: Ketika Ketertiban Umum Mengalahkan Putusan

Selain itu, terkait dengan permohonan banding yang diajukan pada Pengadilan Tinggi, pihak yang mengajukan permohonan tersebut pada umumnya menyertakan memori banding yang pada pokoknya berisi keberatan atas putusan pada tingkat pertama sebelumnya. Meskipun begitu, keberadaan memori banding sebenarnya bukan merupakan kewajiban yang harus diserahkan pada saat mengajukan permohonan banding.

Ketika merujuk pada ketentuan-ketentuan hukum acara pidana dan perdata, yaitu baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura, memang tidak ditemukan ketentuan tertentu yang mewajibkan pemohon banding untuk mengajukan memori banding. Dengan demikian, permohonan banding akan tetap sah meskipun diajukan tanpa memori banding, mengingat pengajuan memori banding hanya sebatas bersifat sebagai hak pihak yang bersengketa, dan bukan kewajiban.

Namun, bagaimana dengan permohonan banding dalam sengketa permohonan pembatalan putusan arbitrase di Mahkamah Agung? Apabila hanya merujuk pada UU Arbitrase dan APS, memang tidak terdapat ketentuan yang secara spesifik mengatur kewajiban untuk menyerahkan memori banding. Sehingga, apakah putusan pengadilan negeri yang membatalkan suatu putusan arbitrase dapat diajukan banding tanpa disampaikannya memori banding? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, lebih lanjut akan dibahas melalui yurisprudensi berikut ini.

 

“Permohonan banding yang tidak diikuti dengan memori banding maka harus dinyatakan tidak dapat diterima.”

Pembatalan Putusan Arbitrase

Pemerintah Kota Pekanbaru Cq. PDAM Tirta Siak Pekanbaru v. PT. Karsa Tirta Dharma Pangada, Yurisprudensi Nomor 862 K/Pdt.Sus/2012 jo. 174/ARB-BANI/2011/PN.PBR

Dalam kasus ini, Pemohon mengajukan permohonan pembatalan atas Putusan Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”) Nomor 09/2011/BANI BANDUNG kepada Pengadilan Negeri Pekanbaru. Pemohon pada pokoknya mendasarkan permohonan tersebut pada Pasal 70 huruf c UU Arbitrase dan APS, dengan menyatakan bahwa Putusan Arbitrase BANI telah diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh Termohon dalam pemeriksaan sengketa.

Baca Juga: Indonesia: Interpreting ‘International’: Reassessing the Definition of Arbitral Awards in Indonesia

Putusan pada tingkat pertama menyatakan bahwa permohonan pembatalan tersebut prematur dan demikian dinyatakan tidak dapat diterima. Meskipun begitu, atas putusan tingkat pertama tersebut, Pemohon kemudian mengajukan banding kepada Mahkamah Agung. Namun, kemudian diketahui bahwa permohonan banding yang diajukan Pemohon tanpa disertai dengan memori banding.

Putusan Nomor 862 K/Pdt.Sus/2012 menunjukkan suatu keadaan di mana permohonan banding diajukan tetapi tidak disusul dengan memori banding. Judex Juris mempertimbangkan:

“… oleh karena permohonan banding dari pemohon banding tidak diikuti dengan memori banding, maka permohonan banding dari Pemohon Banding tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.”

 

“Memori banding dalam perkara pembatalan putusan arbitrase adalah syarat pengajuan permohonan banding, yang mungkin disetarakan dengan memori kasasi yang diajukan dalam tingkat kasasi.”

Putusan Arbitrase tanpa Memori Banding

Kewajiban Penyerahan Memori Banding

Terkait putusan ini, perlu dipahami bahwa UU Arbitrase dan APS tidak mengatur secara tegas bahwa memori banding wajib disampaikan ketika permohonan banding atas pembatalan putusan arbitrase diajukan. Meskipun begitu, melalui Pasal 27 ayat (5) PERMA tentang Arbitrase, sebenarnya telah secara eksplisit menyatakan bahwa permohonan banding, “harus diajukan bersama-sama dengan memori banding.”

Walaupun mungkin pada saat dijatuhkannya putusan ini, PERMA tentang Arbitrase dimaksud memang belum berlaku dan sehingga belum relevan dalam penerapannya terhadap putusan tersebut, namun ketentuan ini jelas sejalan dengan pertimbangan Judex Juris dalam perkara a quo. Sebagaimana Judex Juris dalam yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa permohonan banding tidak dapat diterima. Ini menunjukkan bahwa memori banding dalam perkara pembatalan putusan arbitrase adalah syarat pengajuan permohonan banding, yang mungkin disetarakan dengan memori kasasi yang diajukan dalam tingkat kasasi, yang bersifat mewajibkan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 (“UU Mahkamah Agung”).

Adapun dalam Pasal 47 ayat (1) UU Mahkamah Agung itu sendiri, secara khusus memang telah menyatakan bahwa pengajuan permohonan kasasi wajib dilakukan dengan penyampaian memori kasasi yang memuat alasan-alasannya.


Author

Dr. Eddy Marek Leks

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of  BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.


Co-authored

Miskah Banafsaj

Miskah Banafsaj is an associate at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Sources:

  • Indonesian Criminal Procedure Code.
  • Law Number 20 of 1947 on Regulation of the Appellate Court in Java and Madura.
  • Law Number 14 of 1985 on Supreme Court.
  • Law Number 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution.
  • Supreme Court Regulation Number 3 of 2023 on the Appointment of Arbitrator by Court, Repudiation Rights, Examination on the Enforcement and Annulment Petition of Arbitral Awards.
  • Supreme Court Circular Letter Number 4 of 2016 on the Implementation of the Supreme Court Chamber’s 2016 Pleno
  • Meeting Result as a Guidance of Court Work.
  • Supreme Court Decision Number 862 K/Pdt.Sus/2012.
  • Pekanbaru District Court Decision Number 174/ARB-BANI/2011/PN.PBR.