Pendahuluan

Syarat dikabulkannya permohonan pernyataan pailit dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 (“UU Kepailitan dan PKPU”) adalah (i) debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan (ii) debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU selanjuntnya mengatur bahwa permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU telah dipenuhi. Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa syarat dikabulkannya permohonan pailit adalah adanya fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa terdapat dua atau lebih kreditor dan adanya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Dalam Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan dan PKPU utang didefinisikan sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun dalam mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk memperoleh pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

Definisi di atas menjelaskan bahwa perjanjian merupakan salah satu dasar timbulnya utang. Dalam hal perjanjian yang dibuat oleh perseroan terbatas, apabila perjanjian dibuat oleh direktur secara bertentangan dengan ketentuan anggaran dasar, apakah konsekuensi pelanggaran tersebut? Dapatkah utang yang timbul dari perjanjian tersebut memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU? Artikel ini akan membahas konsekuensi dari perjanjian yang dibuat oleh direktur yang melanggar anggaran dasar perseroan dan dampak dari utang yang timbul dari perjanjian yang cacat tersebut dalam perkara kepailitan dan PKPU.

Pembahasan

  1. Kewenangan Direksi untuk Bertindak Atas Nama Perseroan

    Sebagai badan hukum yang tidak memiliki wujud konkrit, keberadaan sebuah Perseroan Terbatas dapat dilihat dari organ-organnya, yang memiliki tugas dan wewenang masing-masing yang diatur dalam undang-undang dan/atau Anggaran Dasar Perseroan yaitu: (i) Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) sebagai organ yang memiliki kewenangan yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, (ii) Direksi sebagai organ perseroan yang mengurus perseroan, dan (iii) Dewan Komisaris sebagai organ yang mengawasi serta memberi nasihat kepada Direksi.1

    Kewenangan Direksi dalam menjalankan pengurusan Perseroan Terbatas diatur dalam Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang No. 40 tahun 2007 (“UUPT”) yang mengatur bahwa Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Kewenangan Direksi tersebut bukan tanpa batas. Pasal 92 ayat (2) UUPT mengatur bahwa kewenangan Direksi dalam menjalankan pengurusan Perseroan dilakukan dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan/atau Anggaran Dasar. Menurut Fred B.G. Tumbuan, kewenangan pengurusan direksi dibatasi oleh (i) undang-undang, (ii) sifat membatasi dari tujuan perseroan, dan (iii) pembatasan yang diatur dalam anggaran dasar.2

    Salah satu contoh pembatasan wewenang direksi yang diatur dalam UUPT adalah ketentuan bahwa direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan atau menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan (kekayaan dikurangi seluruh utang).3 Selanjutnya, UUPT juga mengatur bahwa anggaran dasar dapat menetapkan pemberian wewenang kepada Dewan Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.4

    Pembatasan dan persyaratan tindakan direksi lainnya dapat ditentukan dalam anggaran dasar perseroan misalnya direksi harus mendapatkan persetujuan dewan komisaris dan/atau RUPS sebelum melakukan perbuatan hukum tertentu seperti mendirikan usaha baru dan meminjam atau meminjamkan uang atas nama Perseroan.

Konsekuensi Tindakan Direktur Yang Bertentangan dengan Anggaran Dasar Perseroan

Konsekuensi dari tindakan direktur yang bertentangan dengan anggaran dasar dapat dibagi menjadi konsekuensi internal dan eksternal. Secara internal, direktur wajib bertanggung jawab secara penuh kepada perseroan terhadap kerugian akibat kesalahan atau kelalaian direktur dalam menjalankan tugasnya.5 Secara eksternal, tindakan tersebut dapat menjadi batal demi hukum dan tidak mengikat perseroan apabila dikategorikan sebagai ultra vires atau tetap mengikat perseroan apabila dikategorikan sebagai cacat. Tindakan direktur tanpa memperoleh persetujuan yang disyaratkan dari organ perseroan lainnya termasuk tindakan yang cacat. Menurut Fred B.G. Tumbuan, tindakan direktur tersebut cacat karena tidak ada persetujuan dan bukan merupakan ultra vires.6 Tidak diperolehnya persetujuan yang disyaratkan berbeda dari ultra vires karena cacat dari tidak diperolehnya persetujuan dapat diperbaiki dengan ratifikasi oleh perseron sedangkan tidak ada organ perseroan yang dapat meratifikasi tindakan ultra vires.7

Menurut Black’s Law Dictionary, ultra vires adalah “Unauthorized; beyond the scope of power allowed or granted by a corporate charter or by law.”8 Menurut Fred B.G. Tumbuan, istilah ultra vires menggambarkan tindakan atau transaksi tertentu dari perseroan yang melebihi wewenang aktual perseroan yang diatur dalam anggaran dasarnya. Seluruh tindakan yang dilakukan diluar lingkup tujuan yang diatur dalam anggaran dasar perseroan adalah ultra vires dan batal demi hukum.9 Meskipun pihak ketiga dalam tindakan tersebut melakukan kontrak atau transaksi dengan iktikad baik hal itu belum mencukupi, karena untuk melindungi pihak ketiga atas kontrak atau transaksi yang mengandung ultra vires, semestinya pihak ketiga itu harus melihat secara konstruktif maksud dan tujuan atau “kapasitas” perseroan yang tercantum dalam anggaran dasar.10

Berbeda dengan ultra vires, tidak adanya persetujuan yang disyaratkan dari organ perseroan lainnya tidak menyebabkan perjanjian menjadi batal demi hukum. Tindakan direktur yang dilakukan tanpa persetujuan RUPS tetap mengikat perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beriktikad baik.11 Tindakan direktur tanpa persetujuan atau bantuan dari dewan komisaris juga tetap mengikat perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beriktikad baik.12 Fred B.G. Tumbuan juga berpendapat bahwa tidak diperolehnya persetujuan RUPS terlebih dahulu tidak memiliki dampak eksternal.13

  1. Perjanjian Yang Cacat Sebagai Dasar Timbulnya Utang dalam Perkara Kepailitan dan PKPU

    Di bagian sebelumnya, penulis telah membahas kewenangan direksi dan konsekuensi dari tindakan direksi yang bertentangan dengan ketentuan anggaran dasar perseroan. Di bagian ini, penulis akan membahas konsekuensi dari utang yang timbul dari perjanjian yang cacat karena tidak diperolehnya persetujuan yang disyaratkan oleh anggaran dasar perseroan dalam perkara kepailitan dan PKPU.

    Mengenai status utang yang timbul dari perjanjian yang dibuat oleh direktur yang bertentangan dengan anggaran dasar debitor dalam perkara kepailitan, hasil Rapat Kamar Perdata Khusus yang dilampirkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 tahun 2012 (“SEMA 7/2012”) telah menetapkan bahwa perseroan tidak dapat dipailitkan atas utang yang dibuat oleh direktur yang melanggar anggaran dasar perseroan.

    Penulis tidak dapat menemukan putusan Mahkamah Agung yang menerapkan SEMA 7/2012 dalam perkara kepailitan. Namun, penulis menemukan satu perkara, No. 55/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN.Niaga.Sby, dimana majelis hakim mempertimbangkan SEMA 7/2012 dalam perkara PKPU.

    Dalam perkara tersebut, majelis hakim menimbang bahwa perjanjian-perjanjian antara pemohon dan termohon, yang mendasari timbulnya utang, merupakan tanggung jawab pribadi direktur utama termohon karena tindakan pengurusannya tidak sesuai dengan Pasal 92 ayat (1) dan (2) UUPT. Majelis Hakim kemudian menimbang bahwa pertimbangan di atas sesuai dengan SEMA 7/2012 yang menetapkan bahwa perseroan tidak dapat dipailitkan berdasarkan utang yang dibuat oleh direktur yang melanggar anggaran dasar. Majelis hakim menyimpulkan bahwa masih terdapat pertentangan antara pemohon dan termohon terkait perjanjian yang harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya dan dengan demikian pembuktian adanya utang tidak dapat dibuktikan secara sederhana.

    Sebelum adanya SEMA 7/2012, terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan mengenai utang yang timbul dari perjanjian yang dibuat bertentangan dengan anggaran dasar debitor. Majelis hakim dalam putusan No. 30 K/N/2000 menimbang bahwa surat sanggup yang diterbitkan tanpa persetujuan dewan komisaris sebagaimana disyaratkan oleh anggaran dasar debitor tidak mengikat debitor melainkan hanya mengikat direktur pribadi. Majelis hakim dalam putusan No. 04 K/N/2004 juga menimbang bahwa diperlukan pembuktian tentang sah/tidaknya tindakan direksi terhadap perseroan dan seberapa besar tanggung jawab perseroan terhadap pihak lain atas tindakan direksi yang bertentangan dengan anggaran dasar perseroan debitor yang sifat pembuktiannya tidak bersifat sederhana lagi.

    Berlainan dengan pertimbangan dalam putusan-putusan di atas, dalam putusan No. 33/Pailit/1999/PN.Niaga.Jkt.Pst,.majelis hakim menimbang bahwa utang yang timbul dari penerbitan surat sanggup adalah sah terlepas dari tidak adanya persetujuan yang disyaratkan dari dewan komisaris karena ketentuan anggaran dasar debitor tidak mengikat pihak ketiga. Dalam putusan No. 19 PK/N/2000, majelis hakim juga menimbang bahwa walaupun surety bond diterbitkan bertentangan dengan anggaran dasar, kesalahan tersebut merupakan kesalahan internal debitor sebagai perseroan dan karenanya tidak seharusnya merugikan pihak ketiga.

Kesimpulan

Tindakan direksi di luar tujuan perseroan yang diatur dalam anggaran dasar perseroan adalah ultra vires dan batal demi hukum dan tidak mengikat perseroan sedangkan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan anggaran dasar yang mensyaratkan adanya persetujuan dari organ perseroan lainnya adalah cacat namun tetap mengikat perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beriktikad baik

Namun demikian, dalam perkara kepailitan dan PKPU utang yang timbul dari perjanjian yang dibuat oleh direktur yang melanggar anggaran dasar debitor tidak memenuhi syarat pembuktian sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU karena memerlukan pembuktian yang tidak sederhana mengenai pertentangan antara debitor dan kreditor terkait sah tidaknya perjanjian, dan karenanya keberadaan utang, dan seberapa besar pertanggungjawaban perseroan dan pribadi direktur atas perjanjian tersebut.

Carlo Rubio Wijaya

Sources

  1. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  2. Fred B.G. Tumbuan, Indonesian Unicorporated Business Entities and the Limited Liability Company, hlm 131
  3. Pasal 102 UUPT
  4. Pasal 117 UUPT
  5. Pasal 97 UUPT
  6. Fred B.G. Tumbuan, Op.Cit., hlm 149
  7. Ibid, hlm 152
  8. Bryan A. Garner (ed), Black’s Law Dictionary 9th Edition, hlm. 1662
  9. M. Yahya Harahap, S.H., Op.Cit hlm 67
  10. Ibid., hlm 66
  11. Pasal 102 ayat (4) UUPT
  12. Pasal 117 UUPT
  13. Fred B.G. Tumbuan, Op. Cit., hlm 168
Read Also  Badan Bank Tanah di Indonesia