Pendahuluan
Berdasarkan UU PTUN (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang timbul antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Pasal 1 Angka 9 UU PTUN mendefinisikan KTUN sebagai suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Penjelasan di atas sekaligus menjelaskan bahwa kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang muncul akibat diberlakukannya KTUN. Pasal 2 dan Pasal 49 UU PTUN kemudian menyebutkan mengenai apa saja yang tidak termasuk ke dalam KTUN yang menjadi kompetensi absolut PTUN, di antaranya adalah:

  1. KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata;
  2. KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
  3. KTUN yang masih memerlukan persetujuan;
  4. KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
  5. KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  6. KTUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
  7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum;
  8. KTUN yang dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya,keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa
    yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
  9. KTUN yang dikeluarkan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Artikel ini akan membahas mengenai konsekuensi yang terjadi jika terdapat aspek sengketa keperdataan dalam sebuah gugatan TUN.

Pembahasan
Pada praktiknya, seringkali suatu gugatan TUN memiliki irisan sengketa keperdataan yang belum mendapat kejelasan, sehingga membuat suatu gugatan TUN tidak murni menguji suatu KTUN. Berangkat dari hal tersebut, MA menerbitkan beberapa SEMA yang membahas hal tersebut pada kamar tata usaha negara.

Read Also  Prosedur Pengaduan Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Dinas Ketenagakerjaan

Termulai dari SEMA Nomor 7 Tahun 2012, pada rumusan kamar tata usaha negara nomor 1 terdapat rumusan masalah mengenai apa saja kriteria untuk menentukan suatu sengketa merupakan sengketa TUN atau sengketa perdata. Kemudian hasil rumusan kamar menjabarkan beberapa kriterianya sebagai berikut:

  1. Apabila yang menjadi objek sengketa (objectum litis) tentang keabsahan KTUN, maka merupakan sengketa TUN
  2. Apabila dalam posita gugatan mempermasalahkan kewenangan, keabsahan Prosedur penerbitan KTUN, maka termasuk sengketa TUN; atau
  3. Apabila satu-satunya penentu apakah Hakim dapat menguji keabsahan KTUN objek sengketa adalah substansi hak karena tentang hal tersebut menjadi kewenangan peradilan perdata; atau
  4. Apabila norma (kaidah) hukum TUN (hukum publik) dapat menyelesaikan sengketanya, maka dapat digolongkan sebagai sengketa TUN.

Kemudian terdapat SEMA Nomor 4 Tahun 2014. Pada rumusan kamar tata usaha negara nomor 4 dinyatakan secara tegas bahwa dalam sengketa TUN tidak ada proses contradiktoir, sehingga kalau sudah kelihatan tanda-tanda ada sengketa keperdataan tidak perlu dilakukan pengujian secara keseluruhan tentang kewenangan, prosedur dan substansi suatu KTUN.

Lebih lanjut lagi, terdapat beberapa yurisprudensi perkara TUN yang terkandung sengketa keperdataan di dalam gugatannya, antara lain:

  1. Putusan Nomor 52/G/2021/PTUN.Sby
    Dalam kasus ini, masing-masing pihak saling mendalilkan bahwa merekalah pemilik tanah yang di atasnya terdapat objek sengketa (dalam hal ini berupa SHM). Kemudian Majelis Hakim menyimpulkan bahwa sengketa ini tidak menguji secara murni KTUN (SHM), akan tetapi merupakan sengketa kepemilikan tanah, sehingga untuk membuktikan status kepemilikan tanah atas bidang tanah yang di atasnya terdapat objek sengketa maka harus diajukan gugatan perdata ke pengadilan umum. Majelis Hakim juga menyimpulkan bahwa perkara ini tidak termasuk ke dalam kompetensi absolut PTUN sebagaimana Pasal 77 ayat (1) UU PTUN. Berangkat dari hal tersebut Majelis memutus gugatan tidak dapat diterima (NO).
  1. Putusan Nomor 17/G/2021/PTUN.Smd
    Dalam kasus ini, Para Penggugat mempermasalahkan penerbitan objek sengketa (SHM) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena diatas lahan objek sengketa tersebut terdapat alas hak lain yang dimiliki oleh Para Penggugat. Majelis memasukkan SEMA Nomor 7 Tahun 2012 sebagai pedoman untuk menentukan perbedaan sengketa TUN dan sengketa perdata dalam pertimbangannya. Kemudian majelis hakim berpendapat bahwa sebelum memeriksa atau mempertimbangkan mengenai keabsahan penerbitan objek sengketa a quo, perlu dipastikan terlebih dahulu mengenai substansi haknya atau siapa yang lebih berhak atas tanah tersebut. Majelis Hakim melanjutkan, meskipun objek sengketa dalam kasus ini adalah SHGB, namun untuk mempertimbangkan mengenai keabsahan penerbitannya harus dilakukan pengujian kepemilikan hak secara perdata melalui pengadilan umum untuk mendapatkan keabsahan atas siapa yang lebih berhak atas bidang tanah dalam kasus ini. Mengetahui bahwa kasus ini terdapat aspek sengketa keperdataan, majelis berpendapat bahwa gugatan ini tidak dapat dikategorikan sebagai sengketa tata usaha negara sehingga bukan kewenangan PTUN untuk mengadili. Berangkat dari hal tersebut, majelis memutus gugatan tidak dapat diterima (NO)
Read Also  Sewa Bawah Tanah

Jauh sebelum terbitnya kedua SEMA tersebut, terdapat yurisprudensi yang menjadi pedoman hakim dalam menyikapi gugatan yang serupa, yakni Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 88 K/TUN/1993. Yurisprudensi tersebut memberikan kaidah bahwa meskipun sengketa itu terjadi akibat dari adanya Surat Keputusan Pejabat (KTUN), tetapi jika dalam perkara tersebut menyangkut pembuktian hak kepemilikan atas tanah, maka gugatan atas sengketa tersebut harus diajukan terlebih dahulu ke Peradilan Umum karena jelas sudah merupakan sengketa Perdata.

Penutup
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, suatu gugatan TUN yang memiliki irisan sengketa keperdataan di dalamnya akan mengakibatkan gugatan tersebut tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard) karena perihal sengketa keperdataan tidak termasuk ke dalam kompetensi absolut PTUN. Kemudian berdasarkan Pasal 77 ayat (1) UU PTUN mengatur bahwa eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut PTUN, apabila hakim mengetahui hal itu, maka hakim secara ex-officio wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan.

Irwansyah Dhiaulhaq

Sources:

  • Law No. 5 of 1986 as amended by Law No. 9 of 2004 and last amended by Law No. 51 of 2009 concerning the State Administrative Judiciary
  • Decision Number 52/G/2021/PTUN.Sby
  • Decision Number 17/G/2021/PTUN.Smd
  • Jurisprudence of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 88 K/TUN/1993
  • Supreme Court Circular No. 7/2012
  • Supreme Court Circular No. 4/2014