- Pendahuluan
Beberapa waktu yang lalu, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”) telah mempublikasikan Peraturan dan Prosedur Arbitrase (“Peraturan BANI”) yang terbaru, yaitu Peraturan BANI 2025. Meskipun dalam Peraturan BANI 2025 tidak tercantum tanggal penerbitan dan tidak secara eksplisit menentukan tanggal efektif resmi, BANI telah mengkonfirmasi bahwa kasus yang diajukan ke BANI pada atau setelah 2 Januari 2025 akan diatur berdasarkan Peraturan BANI 2025.1Peraturan BANI 2025 memperkenalkan beberapa penyesuaian dan kemajuan dalam rangka menyelaraskan arbitrase Indonesia dengan praktik arbitrase internasional, yaitu: (i) penyesuaian terhadap arbitrase konsolidasi, arbitrase dengan banyak pihak, dan arbitrase dengan banyak perjanjian, (ii) perluasan dasar untuk menolak arbiter, dan (iii) arbitrase emergensi.2 Satu kemajuan khusus yang penting untuk dibahas dalam Peraturan BANI 2025 ini adalah arbitrase emergensi, sebuah konsep baru bagi arbitrase Indonesia yang tidak ada dalam Peraturan BANI sebelumnya.
Konsep arbitrase emergensi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990 oleh International Chamber of Commerce (“ICC”) dengan istilah pre-arbitral referee, dan kemudian, pada pertengahan tahun 1990-an oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) dengan istilah emergency relief.3 Pada tahun 1999, American Arbitration Association (AAA) mengadopsi konsep arbitrase emergensi dengan istilah emergency measures of protection, dan kemudian, divisi internasionalnya, International Center for Dispute Resolution (“ICDR”) memperkenalkan istilah arbitrase emergensi pada tahun 2006.4 Selanjutnya, Peraturan ICC 2012 mengadopsi ketentuan arbitrase emergensi yang sama dengan ICDR, dimana seorang arbiter emergensi dapat ditunjuk ketika salah satu pihak membutuhkan upaya sementara yang mendesak dan tidak dapat menunggu pembentukan majelis arbitrase.5
Saat ini, konsep arbitrase emergensi telah memperoleh perhatian yang cukup besar dan telah diadopsi oleh sebagian besar lembaga arbitrase terkemuka, seperti Singapore International Arbitration Center (“SIAC”), London Court of International Arbitration (LCIA), Hong Kong International Arbitration Center (HKIAC), dan Beijing Arbitration Commission (BAC).6
Dalam Peraturan BANI 2025, arbitrase emergensi diatur dalam ayat (5) dari Pasal 17, ayat tambahan yang sebelumnya tidak ada. Hal ini memungkinkan pihak yang mencari upaya sementara yang mendesak sebelum pembentukan majelis arbitrase untuk mengajukan permohonan arbitrase emergensi,7 dengan tujuan untuk meminta petitum sementara yang mendesak kepada seorang arbiter emergensi. Hal ini khususnya berguna dalam situasi dimana menunggu pembentukan majelis arbitrase dapat menyebabkan pihak tersebut menderita kerugian yang tidak dapat diperbaiki.
Artikel ini bertujuan untuk membahas tentang konsep arbitrase emergensi dalam arbitrase Indonesia berdasarkan Peraturan BANI 2025 seraya membandingkannya dengan ketentuan tentang arbitrase emergensi berdasarkan Peraturan SIAC 2025 dan Peraturan ICC 2021, serta sejauh mana konsep arbitrase emergensi dapat menjadi upaya efektif bagi arbitrase konstruksi di Indonesia.
- Pembahasan
- Arbitrase Emergensi dalam Peraturan BANI 2025 Dibandingkan dengan Peraturan SIAC 2025 dan Peraturan ICC 2021
Arbitrase di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”). Meskipun arbitrase emergensi merupakan tambahan baru yang baik, UU 30/1999 belum diamandemen untuk mengakomodasi konsep arbitrase emergensi dan prosedurnya. Di beberapa yurisdiksi, seperti Singapura dan Hong Kong, amandemen undang-undang dilakukan sebelum, atau tepat setelah, lembaga arbitrase secara resmi mengadopsi prosedur arbitrase emergensi, untuk memastikan dasar hukum yang jelas bagi pelaksanaan putusan.Selain rumusan dalam Pasal 17 ayat (5), arbitrase emergensi dalam Peraturan BANI 2025 diatur secara lebih lanjut dalam Lampiran I tentang Peraturan Arbitrase Emergensi (“Peraturan Arbitrase Emergensi”). Pasal 1 ayat (1) Peraturan Arbitrase Emergensi mengatur bahwa pihak yang memerlukan arbitrase emergensi dapat mengajukan permohonan kepada Sekretariat BANI.8 Ketua BANI memegang kewenangan untuk menyetujui atau menolak untuk memproses permohonan arbitrase emergensi. Jika disetujui, Sekretariat BANI akan mengirimkan salinan permohonan termasuk dokumennya kepada pihak termohon. Namun, jika ditolak, Sekretariat BANI akan mengirimkan pemberitahuan kepada para pihak.9
Setelah permohonan arbitrase emergensi diterima, Ketua BANI akan menunjuk seorang arbiter emergensi dalam waktu 2 (dua) hari kalender sejak diterimanya permohonan. Arbiter emergensi yang ditunjuk tidak dapat bertindak sebagai arbiter untuk sengketa para pihak dalam persidangan arbitrase.10 Para pihak dapat mengajukan perlawanan terhadap penunjukan arbiter emergensi jika terdapat keadaan yang menimbulkan dugaan kurangnya imparsialitas atau independensi,11 yang harus disampaikan kepada Ketua BANI dalam waktu 2 (dua) hari kalender sejak diterimanya pemberitahuan penunjukan arbiter emergensi tunggal oleh Ketua BANI. Selanjutnya, pihak lainnya dan arbiter emergensi harus memberikan tanggapan tertulisnya dalam waktu 2 (dua) hari kalender sejak diterimanya pemberitahuan perlawanan. Tanggung jawab pengambilan keputusan berada di tangan Ketua BANI, yang harus mengeluarkan keputusannya dalam waktu 4 (empat) hari kalender sejak diterimanya tanggapan tertulis.12
Satu hal yang perlu diperhatikan terkait jangka waktu arbitrase emergensi berdasarkan Peraturan BANI 2025 adalah potensi masalah ketika, misalnya, pemberitahuan penunjukan arbiter emergensi tunggal oleh Ketua BANI diterima pada hari Jumat. Maka, salah satu pihak harus mengajukan perlawanan dalam waktu 2 (dua) hari kalender yang jatuh pada hari Minggu, yang bukan merupakan hari kerja. Oleh karena itu, akan menjadi tidak praktis dan bahkan merugikan hak pihak tersebut untuk mengajukan perlawanan. BANI menegaskan bahwa jika batas waktu jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur nasional, maka batas waktu akan diperpanjang hingga hari kerja berikutnya,13 meskipun tidak ada ketentuan seperti itu. Untuk menghindari kesalahpahaman, mungkin ketentuan mengenai ini dalam Peraturan BANI 2025 perlu diamandemen demi kejelasan dan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa.
Setelah penunjukan arbiter emergensi ditetapkan, sidang pertama akan dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari kalender sejak penunjukan arbiter emergensi tunggal oleh Ketua BANI, atau setelah prosedur perlawanan terhadap arbiter selesai, jika ada. Para pihak harus mentaati jadwal persidangan yang telah ditentukan. Arbiter emergensi wajib mematuhi asas audi et alteram partem,14 dimana arbiter emergensi harus memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak dalam menyampaikan kedudukan mereka. Pihak termohon berhak mengajukan keberatan, seperti arbiter emergensi tidak memiliki kewenangan atau perjanjian arbitrase tidak sah, yang mana keberatan tersebut akan diputus oleh arbiter emergensi.15
Jangka waktu persidangan arbitrase emergensi adalah 14 (empat belas) hari kalender sejak penunjukan arbiter emergensi oleh Ketua BANI, atau setelah prosedur perlawanan terhadap arbiter selesai, jika ada. Namun, arbiter emergensi dapat memperpanjang jangka waktu selama maksimal 7 (tujuh) hari kalender, jika dianggap perlu berdasarkan alasan yang sah. Arbiter emergensi dapat memutus dengan syarat-syarat yang dianggapnya layak, dengan ketentuan bahwa putusan dibuat secara tertulis, diberi tanggal, dan ditandatangani, dengan pertimbangan yang cukup.16 Peraturan BANI 2025 tidak mengatur tentang jangka waktu pendaftaran putusan emergensi. Namun, sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) UU 30/1999, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri.17
Putusan arbiter emergensi bersifat final dan mengikat bagi para pihak. Lebih lanjut, para pihak sepakat untuk melaksanakan putusan dengan segera dan tanpa ditunda. Selain kewajiban untuk melaksanakan putusan, para pihak sepakat untuk melepaskan hak mereka untuk mengajukan banding, peninjauan kembali, atau upaya lain dalam bentuk apapun ke pengadilan negeri sehubungan dengan putusan arbiter emergensi.18
Apabila pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan arbitrase emergensi tersebut dengan segera dan tanpa ditunda, maka ketentuan pelaksanaan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 sampai dengan Pasal 64 UU 30/1999 dan Pasal 8 sampai dengan 15 Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase (“Perma 3/2023”) yang akan berlaku. Putusan arbitrase emergensi yang bersifat final dan mengikat, dilaksanakan melalui perintah ketua pengadilan negeri berdasarkan permohonan salah satu pihak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 UU 30/1999.19 Perintah ketua pengadilan negeri untuk melaksanakan putusan arbitrase emergensi apabila para pihak tidak melaksanakannya secara sukarela, diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri.20 Perintah ketua pengadilan negeri tersebut ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan.21 Putusan arbitrase emergensi yang telah dibubuhi perintah ketua pengadilan negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.22
Selanjutnya, pemohon harus membayar biaya arbitrase emergensi secara penuh pada saat pendaftaran permohonan arbitrase emergensi.23 Peraturan Arbitrase Emergensi tidak mengatur tentang alokasi biaya arbitrase emergensi. Namun demikian, berdasarkan: (i) Pasal 77 ayat (1) UU 30/1999, biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah, dan (ii) Pasal 36 Peraturan BANI 2025, arbiter berwenang menentukan pihak mana yang harus bertanggung jawab untuk membayar, atau melakukan pengembalian pembayaran kepada pihak lain, untuk seluruh atau sebagian biaya-biaya itu, pembagian mana harus dicantumkan dalam putusan.24 Terakhir, untuk mencegah adanya kekosongan peraturan, Ketua BANI berwenang membuat peraturan mengenai semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan arbitrase emergensi yang tidak diatur dalam Peraturan Arbitrase Emergensi.25
Pengaturan arbitrase emergensi dalam Peraturan BANI 2025 sejalan dengan kemajuan arbitrase internasional, yang mencerminkan komitmen BANI untuk meningkatkan efisiensi penyelesaian sengketa. Meskipun demikian, ada beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi dari ketentuan arbitrase emergensi dalam Peraturan BANI 2025, jika dibandingkan dengan ketentuan arbitrase emergensi dalam Peraturan SIAC 2025 dan Peraturan ICC 2021, sebagaimana tercantum di bawah ini.
Hal Peraturan BANI 202526 Peraturan SIAC 202527 Peraturan ICC 202128 Ketersediaan Ada, dalam Pasal 17 ayat (5) dan Lampiran 1. Ada, dalam Pasal 12 dan Lampiran 1. Ada, dalam Pasal 29 dan Lampiran V. Istilah Arbitrase Emergensi (Emergency Arbitration) Emergency Interim or Conservatory Relief Emergency Measure Jangka Waktu Persidangan Jangka waktu persidangan adalah 14 hari sejak penunjukan arbiter emergensi. Arbiter emergensi harus mengeluarkan penetapan atau putusan dalam waktu 14 hari setelah penunjukannya. Arbiter emergensi harus mengeluarkan penetapan paling lambat 15 hari sejak tanggal berkas dikirimkan kepadanya. Perpanjangan Jangka Waktu Persidangan Ya, dapat diperpanjang hingga 7 hari, tergantung pada kebijakan arbiter emergensi. Ya, dapat diperpanjang sesuai dengan kebijakan Panitera. Ya, dapat diperpanjang sesuai dengan kebijakan Presiden. Hasil Putusan Penetapan atau Putusan Penetapan Sifat Mengikat Final dan mengikat, bersifat sementara. Mengikat, tetapi dapat tidak lagi mengikat dalam keadaan tertentu. Mengikat, tetapi dapat tidak lagi mengikat dalam keadaan tertentu. Dampak pada Majelis Utama Tidak jelas apakah: a. majelis arbitrase utama dapat atau tidak menguatkan, mempertimbangkan kembali, mengubah, atau membatalkan putusan arbitrase emergensi; dan
b. akan tidak lagi mengikat dengan adanya putusan akhir.
Majelis arbitrase utama dapat menguatkan, mempertimbangkan kembali, mengubah, atau membatalkan putusan atau penetapan, dan tidak lagi mengikat setelah dikeluarkannya putusan akhir, kecuali jika majelis arbitrase utama menentukan sebaliknya. Tidak lagi mengikat setelah dikeluarkannya putusan akhir majelis arbitrase utama, kecuali jika majelis arbitrase utama memutuskan sebaliknya. Tabel 1. Perbandingan Ketentuan Arbitrase Emergensi dalam Peraturan BANI 2025, Peraturan SIAC 2025, dan Peraturan ICC 2021.
Berdasarkan perbandingan ketentuan arbitrase emergensi dalam Peraturan BANI 2025 dengan Peraturan SIAC 2025 dan Peraturan ICC 2021 di atas, terdapat beberapa hal yang mungkin perlu disempurnakan terkait dengan bagaimana konsep arbitrase emergensi diatur dalam Peraturan BANI 2025. Salah satunya adalah terkait sifat final dan mengikat putusan arbitrase emergensi. Pasal 7 ayat (1) Peraturan Arbitrase Emergensi mengatur bahwa putusan arbitrase emergensi mengikat para pihak. Akan tetapi, tidak jelas sejauh mana sifat final dan mengikat dari putusan arbitrase emergensi karena tidak diatur secara tegas dalam Peraturan BANI 2025. Sementara Peraturan SIAC 2025 dan Peraturan ICC 2021 mengatur bahwa putusan atau penetapan emergensi dapat tidak lagi mengikat para pihak dalam keadaan tertentu, seperti pada saat putusan akhir dikeluarkan, kecuali jika majelis arbitrase menentukan lain.29 Meskipun tidak diatur secara tegas, namun sifat putusan arbitrase emergensi sendiri bersifat sementara, sebagaimana tercermin dalam Pasal 17 ayat (5) Peraturan BANI 2025. Putusan tersebut tidak dapat berdiri sendiri, apalagi bertentangan dengan putusan akhir. Oleh karena itu, harus dimaknai bahwa putusan arbitrase emergensi hanya mengikat para pihak untuk sementara waktu sampai dengan dikeluarkannya putusan akhir oleh majelis arbitrase utama. Dengan demikian, pada akhirnya, satu-satunya putusan yang mengikat para pihak yang bersengketa adalah putusan akhir. Hal ini sejalan dengan konsep putusan sela dalam perkara perdata, dimana hakim dapat mengambil atau menjatuhkan putusan yang bukan putusan akhir, yang dijatuhkan ada saat proses pemeriksaan berlangsung.30 Putusan sela tidak dapat berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan dengan putusan akhir mengenai pokok perkara.31
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa Peraturan SIAC dan ICC memberikan hak kepada majelis arbitrase utama untuk menguatkan, mempertimbangkan kembali, mengubah, atau membatalkan penetapan atau putusan yang dikeluarkan oleh arbiter emergensi.32 Peraturan SIAC 2025 tidak mengatur kapan majelis arbitrase utama dapat melaksanakan hal tersebut. Namun demikian, berdasarkan Pasal 51.1 Peraturan SIAC 2025, majelis arbitrase utama dapat membuat lebih dari satu putusan pada waktu yang berbeda selama arbitrase mengenai aspek yang berbeda dari masalah yang akan ditentukan.33 Oleh karena itu, dapat ditafsirkan bahwa majelis arbitrase utama dapat menguatkan, mempertimbangkan kembali, mengubah, atau membatalkan penetapan atau putusan yang dikeluarkan oleh arbiter emergensi dalam putusan akhir, atau kapan saja selama arbitrase apabila terdapat permintaan dari salah satu pihak untuk putusan sela, apabila dianggap tepat.34 Sebaliknya, Peraturan BANI 2025 tidak memuat ketentuan apa pun yang menyatakan bahwa majelis arbitrase utama dapat menguatkan, mempertimbangkan kembali, mengubah, atau membatalkan putusan arbitrase emergensi. Oleh karena itu, untuk kejelasan dan kepastian hukum yang lebih baik bagi para pihak yang bersengketa, Peraturan BANI 2025 dapat mengadopsi ketentuan Peraturan SIAC 2025 yang mengatur bahwa majelis arbitrase utama dapat menguatkan, mempertimbangkan kembali, mengubah, atau membatalkan putusan arbitrase emergensi dalam putusan akhir, atau kapan saja selama arbitrase apabila terdapat permintaan dari salah satu pihak untuk putusan sela atau putusan pendahuluan.
Berdasarkan penjelasan di atas, untuk menyelaraskan konsep arbitrase emergensi dalam Peraturan BANI 2025 dengan praktik internasional dimana majelis arbitrase utama tetap memegang kewenangan atas upaya sementara serta untuk memastikan kejelasan dan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa, BANI dapat mencantumkan ketentuan-ketentuan berikut: (i) batas waktu suatu jangka waktu akan diperpanjang ke hari kerja berikutnya jika batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur nasional, atau merevisi “hari kalender” menjadi “hari kerja”, (ii) majelis arbitrase utama dapat menguatkan, mempertimbangkan kembali, mengubah, atau membatalkan putusan arbitrase emergensi, dan (iii) bahwa putusan arbitrase emergensi dapat tidak lagi mengikat dalam keadaan tertentu, misalnya, dikeluarkannya putusan akhir majelis arbitrase utama.
- Efektivitas Arbitrase Emergensi untuk Arbitrase Konstruksi di Indonesia
Arbitrase emergensi adalah prosedur hukum yang baru diperkenalkan dalam Peraturan BANI 2025 yang memungkinkan para pihak yang bersengketa untuk mencari upaya sementara yang mendesak sebelum majelis arbitrase resmi dibentuk. Salah satu sifat utama arbitrase emergensi adalah kecepatan. Arbitrase emergensi menyediakan prosedur cepat untuk memperoleh upaya sementara sebelum arbitrase utama dimulai. Khususnya, berdasarkan Peraturan BANI 2025, jangka waktu persidangan arbitrase emergensi adalah 14 (empat belas) hari sejak penunjukan arbiter emergensi, dengan perpanjangan selama 7 (tujuh) hari.35Prosedur cepat ini akan sangat berguna ketika upaya mendesak diperlukan untuk melindungi hak, aset, atau bukti, untuk menghindari kerugian yang lebih besar, untuk mengamankan bukti, atau bahkan untuk menghentikan pihak dalam mengalihkan atau menyembunyikan aset, dan menunggu pembentukan majelis arbitrase yang lengkap akan menyebabkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki bagi pihak yang bersangkutan, yang dapat menjadi hal yang penting untuk sengketa konstruksi. Mengingat berbagai sengketa yang dapat diklasifikasikan sebagai “sengketa konstruksi” yang memiliki berbagai tingkat urgensi, praktisi di bidang ini kemungkinan besar akan menjadi salah satu yang paling sering menggunakan prosedur arbitrase emergensi.36
Dalam proyek konstruksi, meminta petitum emergensi bukanlah hal yang tidak biasa. Banyak contoh dimana petitum emergensi dibutuhkan, dan suatu pihak tidak akan mau melalui proses pembentukan majelis arbitrase yang mungkin cukup lama. Sementara pembentukan majelis akan bergantung pada penunjukan seorang arbiter oleh termohon dalam jawabannya dan juga prosedur perlawanan terhadap arbiter, jika ada, dan dapat dianggap terlalu lama tergantung pada sifat petitum emergensi yang diminta.37 Situasi semacam ini dapat muncul dalam kasus yang melibatkan permohonan terkait jaminan pelaksanaan (performance bond), baik untuk jumlah yang diduga belum dibayar atau pekerjaan yang cacat, permohonan perintah untuk mencegah kontraktor meninggalkan lokasi, atau permohonan upaya sementara untuk mengamankan bukti atau aset.38 Keahlian khusus arbiter, kerahasiaan proses, dan faktor-faktor lain yang dibahas di atas dapat membuat arbitrase emergensi menjadi pilihan yang lebih menarik daripada mencari upaya sementara melalui pengadilan.39
Sebuah laporan tentang penerapan arbitrase emergensi berdasarkan Peraturan ICC terkait proyek konstruksi besar di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) menggarisbawahi efektivitas dan efisiensi proses ini untuk sengketa konstruksi.40 Telah dilaporkan bahwa setelah pemohon mengajukan permohonan upaya emergensi kepada ICC, arbiter emergensi ditunjuk dalam waktu 48 (empat puluh delapan) jam, dan meskipun ada permintaan perpanjangan waktu untuk jawaban termohon, arbiter emergensi mengambil sikap tegas untuk mematuhi jadwal semula. Dengan mematuhi batas waktu yang ditetapkan dalam Peraturan ICC, arbiter emergensi mengeluarkan penetapan dalam 7 (tujuh) hari setelah sidang, dengan total 20 (dua puluh) hari setelah permohonan dari pemohon.41
Pelaksanaan arbitrase emergensi dapat melindungi kepentingan finansial sautu pihak dengan prosedur yang cepat dan tepat, sekaligus memungkinkan sengketa inti diselesaikan di kemudian hari oleh majelis arbitrase utama. Misalnya, perusahaan multinasional (pemilik) sedang membangun kompleks komersial besar dan telah mempekerjakan kontraktor berdasarkan suatu perjanjian konstruksi yang diatur oleh Peraturan BANI. Di tengah proyek, pemilik menuduh kontraktor terkait adanya cacat dalam konstruksi dan keterlambatan yang signifikan. Pemilik mengancam akan mengakhiri kontrak dan melikuidasi jaminan pelaksanaan (performance bond) senilai Rp 10 miliar yang disediakan oleh bank kontraktor.
Dalam kasus ini, kontraktor yang khawatir akan kerugian finansial dan kerusakan reputasinya, dapat mengajukan permohonan arbitrase emergensi (setelah mengajukan permohonan arbitrase utama) berdasarkan Peraturan BANI 2025 untuk meminta upaya sementara kepada arbiter emergensi untuk mencegah pemilik agar tidak melikuidasi jaminan pelaksanaan (performance bond) atau bank garansi (bank guarantee) sampai majelis arbitrase lengkap terbentuk dan menerbitkan putusan akhir atas sengketa tersebut, dengan alasan, antara lain, kontraktor tidak melakukan wanprestasi, atau wanprestasi tersebut tidak sederhana dan tidak jelas apakah disebabkan oleh pihak kontraktor, atau nilai bank garansi (bank guarantee) dan nilai kerugian sebelum likuidasi masih belum jelas.
Contoh di atas menunjukkan bagaimana arbitrase emergensi dapat menjadi sangat penting dalam sengketa konstruksi yang berisiko tinggi dan sensitif terhadap waktu. Meskipun demikian, sebagai konsep yang baru diperkenalkan dalam Peraturan BANI 2025, penerapan arbitrase emergensi untuk sengketa konstruksi di Indonesia masih belum teruji. Seiring perkembangan konsep arbitrase emergensi dalam arbitrase di Indonesia, pengamatan lebih lanjut akan diperlukan untuk mengevaluasi efektivitasnya secara praktis dan menentukan apakah konsep ini dapat berfungsi sebagai mekanisme yang layak untuk upaya mendesak dalam proses arbitrase konstruksi.
- Arbitrase Emergensi dalam Peraturan BANI 2025 Dibandingkan dengan Peraturan SIAC 2025 dan Peraturan ICC 2021
- Kesimpulan
Pengenalan arbitrase emergensi dalam Peraturan BANI 2025 menandai penyelarasan penting arbitrase di Indonesia dengan arbitrase internasional, yang menawarkan mekanisme yang efisien untuk upaya yang mendesak. Namun, jika dibandingkan dengan konsep arbitrase emergensi dalam Peraturan SIAC 2025 dan Peraturan ICC 2021, ada beberapa usulan ketentuan yang mungkin dapat dimasukkan dalam Peraturan BANI 2025 untuk memperoleh kejelasan dan kepastian hukum yang lebih baik bagi para pihak yang bersengketa, yaitu, (i) revisi ketentuan hari kalender yang lebih wajar atau merevisi “hari kalender” menjadi “hari kerja”, (ii) pencantuman ketentuan bahwa majelis arbitrase utama dapat menguatkan, mempertimbangkan kembali, mengubah, atau membatalkan putusan arbiter emergensi, dan (iii) ketentuan bahwa putusan arbiter emergensi dapat tidak lagi mengikat dalam keadaan tertentu, misalnya, setelah dikeluarkannya putusan akhir majelis arbitrase utama.Prosedur cepat arbitrase emergensi dapat berguna untuk arbitrase konstruksi dimana meminta petitum emergensi bukanlah hal yang tidak biasa. Sebuah laporan tentang penerapan arbitrase emergensi berdasarkan Peraturan ICC menggarisbawahi efektivitas dan efisiensi proses ini dalam sengketa konstruksi. Meskipun demikian, konsep arbitrase emergensi dalam Peraturan BANI 2025 untuk sengketa konstruksi di Indonesia masih belum teruji. Oleh karena itu, pengamatan lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi efektivitasnya secara praktis.
Dhimas Haris Anggara Mukti
Daftar Pustaka:
Peraturan Perundang-undangan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia. 2025. Peraturan dan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia. https://baniarbitration.org/arbitration-rules/.
International Chamber of Commerce. 2021. Arbitration Rules of International Court of Arbitration, 1 January 2021. ICC Publication DRS892 ENG. https://iccwbo.org/dispute-resolution/dispute-resolution-services/arbitration/rules-procedure/2021-arbitration-rules/.
Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang No. 20 Tahun 1999. Lembaran Negara Tahun 1999 No. 138, Tambahan Lembaran Negara No. 3872. https://peraturan.bpk.go.id/Details/45348/uu-no-30-tahun-1999/.
__________________ . 2023. Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase. Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2023. Lembaran Negara Tahun 2023 No. 827. https://peraturan.bpk.go.id/Details/277123/perma-no-3-tahun-2023/.
Singapore International Arbitration Centre. 2025. Arbitration Rules of the Singapore International Arbitration Centre, 7th Edition, 1 January 2025. https://siac.org.sg/siac-rules-2025/.
Buku & Artikel
Hannesian, Grant dan Dosman, E. Alexandra. 2018. Songs of Innocence and Experience: Ten Years of Emergency Arbitration. American Review of International Arbitration, vol. 27. https://aria.law.columbia.edu/issues/27-2/songs-of-innocence-and-experience-ten-years-of-emergency-arbitration-vol-27-no-2/.
Harahap, M. Yahya. 2009. Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
Kumar, Shivam. 2022. Emergency Arbitration – Its Advantages, Challenges and Legal Status in India. SCC Times. https://www.scconline.com/blog/post/2022/03/26/emergency-arbitration/.
Levin, Ann, et. al. 2017. Emergency Arbitrators and Expedited Tribunals in Construction Disputes – Some Recent Experience. https://www.herbertsmithfreehills.com/insights/2017-05/inside-construction-and-infra/.
Markert, Lars dan Rawal, Raeesa. 2020. Emergency Arbitration in Investment and Construction Disputes: An Uneasy Fit?. Journal of International Arbitration, vol. 37, issue 1. https://www.nishimura.com/en/knowledge/publications/20200201-26316/.
Rajah & Tann Asia. 2025. Understanding The 2025 BANI Rules: Key Changes and Their Impact. https://arbitrationasia.rajahtannasia.com/understanding-the-2025-bani-rules-key-changes-and-their-impact/.
Steindl, Barbara. 2012. The Emergency Arbitrator in International Construction Arbitration. Contemporary Issues in International Arbitration and Mediation. The Fordham Papers.
Wahyuni, Willa. 2023. Mengenal Putusan Sela dan Fungsinya. https://www.hukumonline.com/berita/a/ putusan-sela-lt6358f75b389e2/.
Sources
- Rajah & Tann Asia, Understanding The 2025 BANI Rules: Key Changes and Their Impact (dapat diakses di https://arbitrationasia.rajahtannasia.com/understanding-the-2025-bani-rules-key-changes-and-their-impact/, diakses pada 9 April 2025 pukul 15.48 WIB).
- Ibid.
- Grant Hanessian dan E. Alexandra Dosman, Songs of Innocence and Experience: Ten Years of Emergency Arbitration, American Review of International Arbitration, vol. 27, 2018, hal. 216-217.
- Ibid.
- Shivam Kumar, Emergency Arbitration – Its Advantages, Challenges and Legal Status in India, dipublikasikan sebagai op. ed. di SCC Times pada 26 Maret 2022 (dapat diakses di https://www.scconline.com/blog/post/2022/03/26/emergency-arbitration, diakses pada 9 April 2025 pukul 16.23 WIB).
- Lars Markert dan Raeesa Rawal, Emergency Arbitration in Investment and Construction Disputes: An Uneasy Fit?, Journal of International Arbitration, vol. 37, issue 1, 2020, hal. 132-133.
- Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Peraturan dan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia 2025, Pasal 17 ayat (5).
- Op. Cit., Lampiran I tentang Peraturan Arbitrase Emergensi, Pasal 1 ayat (1).
- Op. Cit., Lampiran I, Pasal 1 ayat (4).
- Op. Cit., Lampiran I, Pasal 2.
- Op. Cit., Pasal 12 ayat (1).
- Op. Cit., Lampiran I, Pasal 3.
- Informasi ini didapat berdasarkan pembicaraan melalui telepon dengan perwakilan BANI yang dilakukan pada tanggal 21 April 2025.
- Audi et alteram partem adalah asas dasar keadilan dan landasan keadilan dan proses hukum yang menjamin bahwa setiap orang yang terlibat dalam perkara hukum, atau keputusan yang dapat mempengaruhi mereka, diberikan kesempatan yang adil untuk didengar dan menanggapi bukti-bukti yang memberatkan mereka sebelum keputusan diambil.
- BANI, Peraturan BANI 2025, Lampiran I, Pasal 5.
- Op. Cit., Lampiran I, Pasal 6.
- Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang No. 20 Tahun 1999, Lembaran Negara Tahun 1999 No. 138, Tambahan Lembaran Negara No. 3872, Pasal 59 ayat (1).
- BANI, Peraturan BANI 2025, Lampiran I, Pasal 7.
- Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Arbitrase, Pasal 61. Lihat juga: Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase. Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2023, Lembaran Negara Tahun 2023 No. 827, Pasal 8 ayat (1).
- Op. Cit., Pasal 62.
- Op. Cit., Pasal 63. Lihat juga: Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Pasal 9.
- Op. Cit., Pasal 64. Lihat juga: Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Pasal 14.
- BANI, Peraturan BANI 2025, Lampiran I, Pasal 8.
- Op. Cit., Pasal 36.
- Op. Cit., Lampiran I, Pasal 9.
- Op. Cit., Lampiran I.
- Singapore International Arbitration Centre, Arbitration Rules of the Singapore International Arbitration Centre, 7th Edition, 1 January 2025, Lampiran 1.
- International Chamber of Commerce, Arbitration Rules of International Court of Arbitration, 1 January 2021, ICC Publication DRS892 ENG, Lampiran V.
- SIAC, Peraturan SIAC 2025, Lampiran 1, Pasal 20. Lihat juga: ICC, Peraturan ICC 2021, Lampiran V, Pasal 6 ayat (6).
- M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (2009, Jakarta: Sinar Grafika), hal. 880.
- Willa Wahyuni, Mengenal Putusan Sela dan Fungsinya, (dapat diakses di https://www.hukumonline.com/berita/a/ putusan-sela-lt6358f75b389e2/, diakses pada 22 April 2025 pukul 09.30 WIB).
- SIAC, Peraturan SIAC 2025, Lampiran 1, Pasal 21.
- Op. Cit., Pasal 51.1.
- Op. Cit., Pasal 45.1.
- BANI, Peraturan BANI 2025, Lampiran I, Pasal 6 ayat (2).
- Lars Markert dan Raeesa Rawal, Emergency Arbitration, hal. 138.
- Ibid.
- Op. Cit., hal. 139.
- Ibid.
- Ann Levin, et. al., Emergency Arbitrators and Expedited Tribunals in Construction Disputes – Some Recent Experience, (dapat diakses di https://www.herbertsmithfreehills.com/insights/2017-05/inside-construction-and-infra, diakses pada 15 April 2025 pukul 16.30 WIB).
- Ibid.