Dr. Eddy M. Leks and Miskah Banafsaj

Kerangka Hukum KTUN di Indonesia

Suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) di Indonesia dapat menjadi cacat prosedur ketika proses penerbitan KTUN tersebut tidak mengikuti tahapan dan prosedur sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang ada.

Ketika KTUN yang diterbitkan ternyata terdapat cacat prosedur, maka sebagai akibat hukumnya, KTUN tersebut dapat dilakukan pencabutan ataupun pembatalan. Sebagaimana hal ini diatur melalui Pasal 64 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”). Akibatnya, terhadap KTUN yang dicabut, maka harus diterbitkan KTUN baru. Sedangkan dalam hal KTUN dibatalkan, harus ditetapkan KTUN baru. Dalam hal penerbitan maupun penetapan KTUN baru, dilakukan dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan/atau pembatalan dan dengan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

 

“Ketika KTUN yang diterbitkan ternyata terdapat cacat prosedur, maka sebagai akibat hukumnya, KTUN tersebut dapat dilakukan pencabutan ataupun pembatalan.”

Cacat prosedur dalam KTUN menjadi aspek yang perlu diperhatikan, mengingat pemenuhan unsur prosedural merupakan salah satu unsur syarat sah dari suatu KTUN yang diterbitkan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 52 UU Administrasi Pemerintahan bahwa syarat sah KTUN, yaitu:

  • Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
  • Dibuat sesuai prosedur; dan
  • Substansi yang sesuai dengan objek KTUN.

Meskipun begitu, dalam praktiknya KTUN bisa menjadi objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas dasar adanya ketidaksesuaian pemenuhan aspek prosedural dalam penerbitannya (cacat prosedur).

Baca Juga: Cacat Wewenang dalam Yurisprudensi Tata Usaha Negara

Unsur Prosedur Keputusan Tata Usaha Negara

Norma hukum terkait cacat prosedur diulang dalam Pasal 71 (1) dan menjelaskan bahwa ‘kesalahan prosedur’ adalah kesalahan dalam hal tata cara penetapan KTUN yang tidak sesuai dengan persyaratan dan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau standar operasional prosedur.

Untuk membahas permasalahan ini lebih lanjut, pertimbangan hukum dalam yurisprudensi-yurisprudensi berikut ini akan menjadi contoh dari beberapa pertimbangan yang ada dalam sengketa tata usaha negara yang melibatkan cacat prosedural. Yurisprudensi berikut akan memberikan gambaran mengenai penerbitan KTUN seperti apa yang menjadi objek sengketa akibat cacat prosedural, serta kondisi-kondisi yang menyebabkan suatu KTUN dapat dikategorikan mengandung cacat prosedural.

State Administrative Decision Indonesia

Yurisprudensi terhadap Cacat Prosedur pada Keputusan Tata Usaha Negara No. 52 K/TUN/2023

Judex Juris dalam putusan No. 52 K/TUN/2023 mempertimbangkan:

“…karena penerbitan keputusan objek sengketa tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang oleh Tergugat, terlebih lagi atas keputusan tata usaha negara objek sengketa bersifat merugikan kepentingan Penggugat, sehingga seharusnya Tergugat memberitahukan terlebih dahulu alasan penciutan izin tersebut kepada Penggugat, tetapi hal tersebut tidak dilaksanakan oleh Tergugat, sehingga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan junctis Pasal 4 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.45/MENLHK/SETJEN/HPL.0/2016 serta asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni asas transparansi.”

Berkaitan dengan pertimbangan dalam putusan tersebut, bahwa KTUN dinyatakan cacat prosedur, yaitu karena adanya ketidaksesuaian dengan pengaturan yang ada dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.45/MENLHK/SETJEN/HPL.0/2016, sebagaimana salah satunya mengatur persetujuan atau pernyataan tidak keberatan dari pemegang izin sebagai salah satu syarat perubahan luasan areal izin.

Yurisprudensi terhadap Cacat Prosedur pada Keputusan Tata Usaha Negara No. 287 K/TUN/2017

Selanjutnya, Judex Juris dalam Putusan Nomor 287 K/TUN/2017 memberi pertimbangan:

“Bahwa penerbitan keputusan objek sengketa cacat hukum, karena tanpa melalui prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang pada pokoknya menyatakan bahwa pergantian antar waktu anggota Komisi Informasi Provinsi dilakukan oleh Gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi.”

Yurisprudensi terhadap Cacat Prosedur pada Keputusan Tata Usaha Negara No. 402 K/TUN/2017

Putusan berikut ini akan membahas terkait apakah surat kuasa mutlak dapat menjadi alas hak pendaftaran balik nama pada sertifikat tanah.

Dalam Putusan No. 402 K/TUN/2017, Judex Juris mempertimbangkan:

“…tindakan Tergugat menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa dengan cara mencatat peralihan hak atas tanah dengan menggunakan formulir surat kuasa mutlak secara prosedur dan substansi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Pasal 39 ayat (1) huruf d dan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 juncto Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), yaitu Asas Kecermatan.”

Terkait hal ini, Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut secara esensial mengatur bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib menolak membuat akta jika salah satu pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisi perbuatan hukum pemindahan hak.

Procedural Defects State Administrative Law

Yurisprudensi terhadap Cacat Prosedur pada Keputusan Tata Usaha Negara No. 139 K/TUN/2017

Selanjutnya, pertimbangan hukum dalam yurisprudensi berikut ini akan membahas apakah cacat prosedur dalam proses pemilihan kepala desa dapat dibatalkan? Mari kita lihat pertimbangan hukum Judex Juris atas penerbitan surat keputusan Bupati tentang pengesahan kepala desa.

Dalam Putusan No. 139 K/TUN/2017, Judex Juris mempertimbangkan:

“Bahwa Tergugat dalam menerbitkan objek sengketa … telah melanggar prosedur dalam proses pemungutan surat di TPS, karena terdapat perbedaan perlakuan bagi pemilih yang memiliki hak suara berdasarkan KTP di TPS 01 dan TPS 02 yang bersifat sangat menentukan hasil pemilihan kepala desa, serta terdapat kertas suara yang berasal dari desa lain yang ikut dicoblos di TPS 01, oleh karenanya penerbitan objek sengketa a quo cacat prosedural … dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik khususnya asas demokrasi, asas kepastian hukum dan asas kecermatan.”

Terkait pertimbangan tersebut, perlu diketahui bahwa asas demokrasi tidak masuk sebagai salah satu AUPB di dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Namun demikian, pertimbangan hukum Judex Juris ini mengukuhkan “asas demokrasi” sebagai salah satu dari AUPB.

Hal ini senyatanya juga sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Administrasi pemerintahan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa asas-asas umum lainnya di luar AUPB, dapat diterapkan sepanjang dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pentingnya Unsur Prosedur dalam Keputusan Tata Usaha Negara

Ketika penerbitan objek sengketa tidak dilakukan sesuai dengan prosedur yang mestinya, maka objek sengketa (yang merupakan KTUN) tersebut dapat dilakukan pencabutan atau pembatalan. Sebagaimana dapat terlihat dalam berbagai yurisprudensi di atas, meskipun dasar hukum yang digunakan berbeda-beda, namun pada pokoknya KTUN tetap dinyatakan cacat prosedur karena adanya ketidaksesuaian dengan tahapan prosedural sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan relevan yang berlaku.


Author

Dr. Eddy Marek Leks

Dr. Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 15 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration CentreAsia Pacific International Arbitration Chamber Indonesia Boardand Singapore Institute of Arbitrators (SIArb) . Aside to his practice, the editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023, ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review and Leading Partner in Real Estate and Construction by Legal500 Asia Pacific 2025.


Co-authored by

Miskah Banafsaj

Miskah Banafsaj is an intern at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Sources:

  • Law Number 30 of 2014 on Government Administration.
  • Government Regulation Number 24 of 1997 on Land Registration.
  • Regulation of the Minister of Environment and Forestry Number P.45/MENLHK/SETJEN/HPL.0/2016.
  • Supreme Court Decision Number 287 K/TUN/2017.
  • Supreme Court Decision Number 402 K/TUN/2017.
  • Supreme Court Decision Number 139 K/TUN/2017.
  • Supreme Court Decision Number 52 K/TUN/2023.