
Pendahuluan
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”) yang sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU CK”), mengatur bahwa:
“Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.”
Diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan salah satu tujuan untuk mengisi kekosongan hukum dan memberi kepastian hukum (Pasal 22 UU Administrasi Pemerintahan). Diskresi harus memenuhi syarat, sesuai dengan tujuan diskresi, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik (“AUPB”), berdasarkan alasan objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik.
Penggunaan diskresi, sebagai dasar pagi para pejabat pemerintah untuk menerbitkan dan/atau melaksanakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) dan/atau Tindakan Tata Usaha Negara (“TUN”), harus dilakukan dengan menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampaknya, sebagaimana merujuk pada ketentuan dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 29 UU Administrasi Pemerintahan.
Meskipun tujuannya mungkin ditujukan untuk memfasilitasi dan demi kepentingan umum dalam memberikan kepastian hukum, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat pihak-pihak tertentu yang akan merasa dirugikan. Ketika hal tersebut terjadi, mereka sering kali mempersoalkan kewenangan pejabat yang bersangkutan, dengan menyatakan bahwa suatu KTUN dan/atau Tindakan TUN tersebut harus dianggap tidak sah, karena pejabat yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan.
Dengan cakupan yang luas dari apa yang dapat diklasifikasikan sebagai pelaksanaan diskresi, kondisi ini sering kali menimbulkan kebingungan, terutama karena ketentuan yang mengatur diskresi tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan juga bergantung pada masing-masing sektor. Bahkan, terkadang tidak jelas, apakah suatu ketentuan benar-benar memberikan ruang diskresi atau tidak. Lebih jauh, meskipun suatu diskresi telah diatur secara eksplisit, hal tersebut tetap tidak menghilangkan kemungkinan bahwa kewenangan pejabat yang bersangkutan akan dipersoalkan secara hukum dalam sengketanya.

Pembahasan
Adapun terkait batas lingkup diskresi, merujuk pada Pasal 23 UU Administrasi Pemerintahan, yaitu meliputi pengambilan KTUN atau Tindakan Tata Usaha Negara (TUN) berdasarkan dan/atau karena:
- Ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan KTUN dan/atau Tindakan TUN;
- Peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
- Peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
- Adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Dalam penjelasannya terhadap Pasal 23 huruf (a) mengenai pilihan KTUN, undang-undang menetapkan bahwa hal tersebut ditandai dengan kata-kata, seperti dapat, boleh, berwenang, berhak, seharusnya, diharapkan, dan kata-kata serupa lainnya.
Oleh karena itu, untuk memahami permasalahan ini lebih lanjut, akan dibahas melalui yurisprudensi berikut dengan mengkaji, apa yang dapat dikategorikan sebagai diskresi, bagaimana diskresi digunakan oleh pejabat/instansi pemerintahan, dan bagaimana para hakim menilai sengketa tersebut. Mari kita lihat melalui studi kasus dalam Putusan Nomor 553 K/TUN/2022.
Dalam perkara ini, yang menjadi objek sengketa yaitu Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.437/Menlhk/Setjen/HPL.0/11/2020, tanggal 20 November 2020 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 908/Kpts-II/1999, tanggal 14 Oktober 1999 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman, yang ditujukan kepada Penggugat.
Gugatan atas objek sengketa berupa KTUN yang dikeluarkan oleh Tergugat sebagai Menteri Lingkungan dan Kehutanan (“Menteri LHK”) tersebut, diajukan oleh Penggugat yang pada pokoknya memohonkan untuk dinyatakan batal dan tidak sah, serta dicabut.
Pertimbangan hukum Judex Juris dalam Putusan Nomor 553 K/TUN/2022 menyebutkan:
“…bahwa tindakan penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa telah sesuai dengan maksud diberikan wewenang kebijakan (diskresi) kepada Termohon Kasasi I/Tergugat oleh peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, Pasal 2 ayat (3) huruf b dan c serta Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor P.45/MENLHK/SETJEN/HPL.0/2016 tentang Tata Cara Perubahan Luasan Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi…”
Sebagaimana yang dinyatakan dalam pertimbangan Judex Juris Mahkamah Agung, terhadap Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor P.45/MENLHK/SETJEN/HPL.0/2016 tentang Tata Cara Perubahan Luasan Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi (“Permen LHK 45/2016”) tersebut, mengatur bahwa perubahan luasan terhadap izin usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat dilakukan dalam hal terjadi, kebijakan pemerintah, antara lain dalam rangka penyelesaian konflik tenurial (dalam konteks hak lahan atau sumber daya alam, berarti hak kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber daya alam, baik yang diatur secara formal melalui hukum maupun secara tradisional atau adat istiadat) pada areal izin. Ketentuan ini menunjukkan bahwa diskresi (kebijakan pemerintah) memang dimungkinkan terkait perubahan luasan izin usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi.
Putusan Mahkamah Agung ini kemudian juga dikuatkan pada tingkat Peninjauan Kembali melalui Putusan Nomor 155 PK/TUN/2023, yaitu pada pokoknya, menyatakan bahwa Penggugat terbukti “… telah menelantarkan dan tidak melakukan aktivitas di lapangan karena areal… tidak dikelola dengan baik…”
Dalam kasus ini, KTUN yang merupakan objek sengketa dikeluarkan berdasarkan diskresi Menteri LHK dan dianggap sah, mengingat diskresi tersebut diatur dalam Permen LHK 45/2016 serta sesuai dengan fakta-fakta dalam perkara. Hal ini pada dasarnya berarti bahwa Pasal 23 UU Administrasi Pemerintahan terkait syarat-syarat diskresi, terutama pada huruf (a), yaitu ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan untuk KTUN (yakni Pasal 2 ayat (2) Permen 45/2016 yang merupakan dasar dari diskresi ini).
Author

Dr. Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 15 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Asia Pacific International Arbitration Chamber Indonesia Board, and Singapore Institute of Arbitrators (SIArb) . Aside to his practice, the editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023, ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review and Leading Partner in Real Estate and Construction by Legal500 Asia Pacific 2025.
Co-authored by

Miskah Banafsaj is an intern at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Sources:
- Law Number 40 of 2014 on Government Administrative.
- Law Number 6 of 2023 on the Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation into Law.
- Regulation of the Minister of Forestry and Environment Number P.45/MENLHK/SETJEN/HPL.0/2016 on Procedures for
- Changing the Area of Forest Product Utilization Business Permits in Production Forests.
- Supreme Court Decision Number 155 PK/TUN/2023.
- Supreme Court Decision Number 553 K/TUN/2022.

