Pendahuluan

Lembaga keuangan memiliki peranan yang strategis untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara. Kesehatan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari tingkat kesehatan lembaga keuangannya seperti bank. Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana terakhir kali diubah oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (“UU Perbankan”), peran strategis bank terutama disebabkan oleh fungsi utama bank sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien.1 Selain itu, bank juga memiliki peran yang strategis dalam mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan.2

Peran bank dalam mendukung pembangunan nasional dan pemerataan pembangunan dapat terlihat melalui banyaknya proyek-proyek konstruksi atau pengadaan barang dan/atau jasa di Indonesia yang menggunakan produk bank khususnya bank garansi. Bank garansi kerap dipersyaratkan sebagai jaminan pelaksanaan suatu proyek konstruksi atau pengadaan barang dan/atau jasa.  Bank garansi merupakan warkat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi).3 Dalam konteks proyek konstruksi, bank garansi diterbitkan oleh bank untuk kepentingan pemilik proyek (project owner) dalam rangka menjamin pekerjaan kontraktor. Jika kontraktor wanprestasi terhadap kewajibannya berdasarkan kontrak konstruksi yang telah disepakati, maka bank akan membayarkan sejumlah uang sebagaimana tertera dalam bank garansi tersebut kepada pemilik proyek. Dengan kata lain, pihak penerima jaminan (misalnya pemilik proyek) berhak mencairkan bank garansi jika pihak terjamin (misalnya kontraktor) wanprestasi.

Namun dalam praktiknya, pencairan bank garansi tidak semudah yang dibayangkan. Tidak sedikit bank menolak untuk mencairkan bank garansi karena satu dan lain hal, sehingga berujung pada sengketa di pengadilan. Dalam sengketa di pengadilan pun tidak jarang gugatan pihak penerima jaminan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) karena kurang pihak. Kurang pihak di sini disebabkan oleh pihak terjamin tidak turut digugat dalam gugatan. Banyak hakim mempertimbangkan bahwa dengan tidak turut digugatnya pihak terjamin maka akan sulit menentukan kejadian wanprestasi tersebut sungguh terjadi dan bagaimana keadaan sebenarnya. Akan tetapi, bagaimana sebenarnya hubungan hukum dalam bank garansi? Apakah perlu pihak terjamin ikut digugat dalam gugatan terkait pencairan bank garansi?

Artikel ini akan membahas dan menjawab hubungan hukum dalam perjanjian bank garansi dan akan melakukan analisis putusan di pengadilan mengenai gugatan wanprestasi terkait pencairan bank garansi. Selain itu, artikel ini juga akan menjawab pertanyaan apakah perlu pihak terjamin ikut digugat dalam gugatan terkait pencairan bank garansi.

Pembahasan

Perjanjian Bank Garansi

Bank Garansi adalah suatu perjanjian penanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 1820 KUHPerdata. Pasal 1820 KUHPerdata mengatur bahwa perjanjian penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga [bank] guna kepentingan si berpiutang [penerima jaminan], mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang [terjamin] manakala orang ini sendiri [terjamin] tidak memenuhinya. Pasal 1821 KUHPerdata mengatur bahwa tiada penanggungan jika tidak ada perikatan pokok yang sah. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa penanggungan adalah suatu perjanjian ikutan (accesoir) dari suatu perikatan pokok. Selain di atur dalam KUHPerdata, hal bank garansi juga di atur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/88/KEP/DIR tentang Pemberian Garansi oleh Bank (“SKBI BG”) dan Surat Edaran Direksi Bank Garansi No. 23/7/UKU tanggal 18 Maret 1991 tentang Pemberian Garansi oleh Bank (“SEBI BG”).

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian pendahuluan di atas, bank garansi adalah warkat yang diterbitkan oleh bank sebagai pihak ketiga yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak penerima jaminan apabila pihak terjamin melakukan wanprestasi.4 Selain itu, Angka 4.1 SEBI BG menjelaskan bahwa bank garansi adalah perjanjian buntut (accessoir) merupakan perjanjian penanggungan (borgtocht) di mana bank bertindak sebagai penanggung. Dari pengaturan dalam KUHPerdata, SEBI BG dan SKBI BG dapat disimpulkan bahwa bank garansi adalah suatu perjanjian penanggungan yang merupakan perjanjian ikutan (accesoir) dari perjanjian utama yang menimbulkan kewajiban untuk membayar bagi bank jika pihak terjamin melakukan wanpestasi.

Perjanjian bank garansi dapat dilakukan berdasarkan Pasal 1831 KUHPerdata atau Pasal 1832 KUHPerdata. Jika bank garansi diterbitkan dengan tunduk pada ketentuan Pasal 1831 KUHPerdata, apabila timbul cidera janji (wanprestasi), maka sebelum melakukan pembayaran si penjamin (bank) dapat meminta agar benda-benda si berhutang disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya.5 Jika suatu bank garansi diterbitkan dengan tunduk pada ketentuan Pasal 1832 KUHPerdata, yaitu mengesampingkan hak istimewanya atas harta benda milik pihak terjamin untuk dilakukan penyitaan dan penjualan terlebih dahulu, maka bank wajib membayar bank garansi yang bersangkutan segera setelah timbul cidera janji (wanprestasi) dan menerima tuntutan pemenuhan kewajiban (claim).6

J. Satrio dalam bukunya, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi Penanggungan (Borgtocht) dan Perikatan Tanggung-Menanggung menjelaskan dalam hal terdapat penanggungan, maka ada dua perjanjian yang berbeda, yaitu perjanjian pokok yang dijamin dan perjanjian penanggungannya.7 J. Satrio lebih lanjut menjelaskan pada perjanjian pokok yang terlibat adalah kreditur dan debitur, sedangkan dalam perjanjian penanggungan yang terlibat adalah kreditur dan borg.8 Merujuk pada penjelasan J. Satrio tersebut, jika diilustrasikan misalnya dalam suatu perjanjian konstruksi, maka dalam perjanjian konstruksi pihak yang terlibat adalah pemilik proyek (project owner) sebagai kreditur dengan kontraktor sebagai debitur. Jika perjanjian konstruksi tersebut kemudian dijamin dengan bank garansi, maka pihak dalam bank garansi adalah pemilik proyek (project owner) sebagai kreditur dan bank sebagai borg.

J. Satrio juga menjelaskan, perjanjian penanggungan merupakan perjanjian tersendiri, dalam arti, berbeda dari perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dan debitur, sekalipun ada hubungannya satu sama lain.9 Jika borg, sesudah debitur wanprestasi, dituntut untuk memenuhi kewajiban prestasi debitur, tetapi menolak, maka ia sendiri berdasarkan wanprestasinya sendiri dapat dituntut untuk mengganti kerugian.10 Ramlan Ginting menjelaskan bahwa bank garansi diterbitkan kepada penerima jaminan sesuai dengan perjanjian penerbitan bank garansi.11 Ia mengatakan bahwa bank garansi adalah suatu kontrak antara bank penerbit dan penerima jaminan.12 Sedangkan perjanjian antara pihak terjamin dengan bank bermula dari adanya permohonan penerbitan bank garansi yang berupa formulir permohonan penerbitan bank garansi. Permohonan penerbitan bank garansi yang telah disetujui oleh pihak terjamin dan bank penerbit akan meningkat statusnya menjadi perjanjian penerbitan bank garansi.13 Perjanjian penerbitan bank garansi tersebut merupakan kontrak antara pihak terjamin dan bank penerbit.14 Untuk mempermudah melihat hubungan hukum para pihak dalam bank garansi, maka akan penulis jabarkan dalam bagan sebagai berikut:

Read Also  Pemecahan, Pemisahan, dan Penggabungan Bidang Tanah

Berdasarkan penjelasan dari peraturan-peraturan, doktrin-doktrin hukum dan hubungan hukum pada bagan di atas, maka jelas bahwa dalam suatu perjanjian bank garansi, pihak yang terlibat adalah pihak penerima jaminan dan bank. Pihak terjamin bukan merupakan pihak dalam bank garansi. Pihak terjamin merupakan pihak dalam perjanjian utama dan perjanjian penerbitan bank garansi. Dengan demikian, seharusnya pihak penerima jaminan dapat menggugat bank untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan bank garansi, tanpa melibatkan pihak terjamin. Agar lebih jelas, penulis akan meneliti 2 (dua) putusan pengadilan yang relevan.

Analisis Kasus

  1. Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 99/Pdt.G/2013/PN Plg jo. Putusan Mahkamah Agung No. 115 K/Pdt/2017
    Kasus antara suatu perusahaan Singapura sebagai Penggugat dan suatu bank daerah di Sumatera Selatan sebagai Tergugat. Dasar gugatan Penggugat adalah wanprestasi Tergugat sebagai bank, karena Tergugat tidak mencairkan bank garansi yang dijadikan jaminan pelaksanaan dalam perjanjian pekerjaan jasa penyedia dan pengoperasian perangkat alat bor kapasitas minimal 1.500 HP antara Penggugat dan PT Energi Tata Persada (“Perjanjian”). Dalam pelaksanaan Perjanjian, PT Energi Tata Persada telah melakukan wanprestasi karena tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam kontrak yaitu 90 hari untuk mobilisasi perangkat alat bor. Penggugat dalam persidangan telah membuktikan bahwa PT Energi Tata Persada melakukan wanprestasi melalui beberapa surat peringatan dari Penggugat kepada PT Energi Tata Persada untuk segera memenuhi kewajibannya. Dalam persidangan, Tergugat mengajukan eksepsi bahwa gugatan Penggugat kurang pihak karena tidak mengikutsertakan PT Energi Tata Persada dalam gugatannya. 
    Majelis Hakim dalam eksepsi pada pokoknya menimbang beberapa poin:15
    • bank garansi adalah perjanjian yang timbul dari penanggungan utang dalam Pasal 1820 KUHPerdata.
    • kewajiban bank dari penerbitan bank garansi adalah melakukan pembayaran sesuai yang diperjanjikan dalam bank garansi tersebut apabila nasabah tersebut telah wanprestasi dalam perjanjian pokok tersebut.
    • kewajiban bank dari penerbitan bank garansi cukup hanya membuktikan adanya wanprestasi dalam perjanjian pokok yang menjadi dasar penerbitan tersebut.
    • Berdasarkan posita dan petitum gugatan Penggugat tidak memohonkan suatu kewajiban apapun dari PT Energi Tata Persada dan gugatan yang diajukan Penggugat semata-mata atas penerbitan bank garansi.
    • Dengan demikian, PT Energi Tata Persada tidak perlu turut digugat dalam pelaksana bank garansi tersebut.

Dalam tingkat kasasi, Judex Juris menguatkan putusan Judex Facti dan menimbang pada pokoknya bahwa hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat adalah hubungan hukum pemberian jaminan bank garansi. Oleh karena waktu yang disepakati dalam kontrak telah dilewati oleh PT Energi Tata Persada, maka PT Energi Tata Persada telah wanprestasi dan Penggugat berhak atas pembayaran bank garansi tersebut.16

  1. Putusan Mahkamah Agung No. 135 PK/Pdt/2018
    Berbeda dengan kasus sebelumnya, kasus ini bukan antara suatu perusahaan dengan bank. Melainkan kasus antara suatu kontraktor pertambangan di Indonesia sebagai Penggugat dan seorang wiraswasta sebagai Tergugat. Dalam kasus ini, Penggugat dengan pihak ketiga yaitu PT Cahaya Energi Mandiri (“PT CEM”) telah sepakat dalam kontrak pekerjaan penambangan batu bara, dimana Penggugat selaku kontraktor pekerjaan penambangan batu bara yang ditunjuk oleh PT CEM. Penggugat dan PT CEM juga kemudian sepakat untuk menandatangani perjanjian pengangkutan batubara dan pemeliharaan jalan (“Perjanjian”). Memasuki bulan Maret 2012, PT CEM menunggak pembayaran jasa kepada Penggugat.

    Setelah diadakan kesepakatan penghitungan hasil penjualan batubara, ternyata hasil penjualan batubara belum menutupi seluruh kewajiban PT CEM kepada Penggugat dan PT CEM masih menyisakan utang sebesar USD 11.205.155,35. Tergugat atas nama pribadi memberikan jaminan pemenuhan kewajiban PT CEM kepada Penggugat sebagaimana telah disepakati oleh Tergugat dan Penggugat dalam Perjanjian Penanggungan tertanggal 27 Maret 2014. Dalam Perjanjian Penanggungan, disepakati bahwa Tergugat akan menggantikan kedudukan PT CEM dan menjamin kewajiban pembayaran PT CEM sampai jumlah paling banyak sebesar USD 11.205.155,35 dan Rp2.112.646.994 ditambah dengan bunga dan biaya, apabila PT CEM setelah ditegur lalai melakukan kewajibannya atau jatuh pailit.

    Pada saat Penggugat meminta pembayaran kepada Tergugat, Tergugat mencoba melarikan diri dari kewajibannya dengan cara mengalihkan saham yang ada pada PT CEM kepada pihak lain dan mengirimkan surat kepada Tergugat yang pada pokoknya menyatakan bahwa dirinya sudah bukan lagi merupakan kepengurusan dari PT CEM, maka Perjanjian Penanggungan tidak lagi relevan.

    Dalam perkara a quo Tergugat mengajukan eksepsi bahwa gugatan Penggugat kurang pihak karena tidak mengikutsertakan PT CEM dalam gugatan. Hakim pada tingkat banding menimbang bahwa oleh karena PT CEM tidak diikutsertakan sebagai pihak dalam perkara a quo, maka gugatan Penggugat kurang Pihak.17

    Judex Juris pada tingkat kasasi membenarkan pertimbangan Judex Facti pada Tingkat Banding, bahwa oleh karena PT CEM sebagai pihak yang berhutang yang dalam perkara ini tidak ikut digugat, padahal keikut-sertaannya untuk diikutkan dalam perkara adalah penting untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya sehubungan dengan hutang yang dijamin oleh Tergugat, oleh karena itu gugatan Penggugat mengandung cacat formil karena kurang pihak (plurium litis consortium).18

    Penggugat kemudian mengajukan Peninjauan Kembali. Dalam peninjauan kembali, majelis Hakim membatalkan putusan pada tingkat kasasi dengan mempertimbangkan bahwa Judex Juris pada Tingkat Kasasi dan Judex Facti pada tingkat Banding telah salah menerapkan hukum karena menyatakan bahwa gugatan adalah gugatan yang kurang pihak. Majelis hakim pada peninjauan kembali menimbang sebagai berikut:

    “bahwa sesuai ketentuan Pasal 1820 KUHPerdata, jika Debitur lalai tidak memenuhi kewajibannya, maka Penjamin akan memenuhi kewajiban Debitur tersebut. Dalam perkara a quo, Penjamin adalah Tergugat dan Debitur adalah PT CEM, telah diberi peringatan untuk melaksanakan kewajiban pembayaran kepada Penggugat, tetapi Debitur tidak juga memenuhi kewajibannya (Bukti P-8). Oleh sebab itu Penggugat/Pemohon Peninjauan Kembali dapat menggugat Tergugat sebagai Penjamin tanpa mengikutsertakan Terjamin/PT CEM.”19

    Berdasarkan 2 (dua) kasus yang penulis analisis di atas, dapat terlihat bahwa pihak terjamin tidak perlu diikut digugat dalam gugatan wanprestasi mengenai bank garansi. Pihak penerima jaminan dapat menggugat pihak penjamin untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan bank garansi itu sendiri.

    Hal penting yang perlu diperhatikan dalam mengajukan gugatan wanprestasi mengenai bank garansi, adalah pembuktian mengenai wanprestasi yang dilakukan oleh pihak terjamin. Artinya, pihak penerima jaminan pada dalam persidangan harus dapat membuktikan bahwa wanprestasi dari pihak terjamin benar-benar terjadi, sehingga terbukti bahwa dirinya berhak untuk mencairkan dan menerima pembayaran bank garansi.

Kesimpulan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1820 KUHPerdata, SEBI BG, dan SKBI BG, bank garansi adalah suatu perjanjian penanggungan yang terpisah dari suatu perjanjian utama. Bank garansi diterbitkan oleh penjamin kepada penerima jaminan untuk menjamin prestasi pihak terjamin. Wanprestasinya pihak terjamin menerbitkan hak bagi pihak penerima jaminan untuk mencairkan bank garansi.

Dalam perjanjian bank garansi, pihak yang terlibat adalah pihak penerima jaminan dan pihak penerbit bank garansi. Pihak terjamin bukan merupakan pihak dalam bank garansi. Pihak terjamin merupakan pihak dalam perjanjian utama dan perjanjian penerbitan bank garansi. Dengan demikian, pihak penerima jaminan dapat menggugat pihak penerbit bank garansi untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan bank garansi, tanpa melibatkan pihak terjamin. Namun, sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan, hal penting yang perlu diperhatikan adalah penerima jaminan harus dapat membuktikan bahwa pihak terjamin benar-benar melakukan wanprestasi sehingga pihak penerima jaminan berhak untuk mencairkan bank garansi.

Fitri Nabilla Aulia

Sources

  1. Paragraf 2 Penjelasan Umum UU Perbankan.
  2. Ibid.
  3. Pasal 1 Angka 3 huruf a Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Pemberian Garansi oleh Bank
  4. Ibid.
  5. Angka 4.1 huruf H SEBI BG
  6. Ibid.
  7. J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi Penanggungan (Borgtocht) dan Perikatan Tanggung-Menanggung, Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 39
  8. Ibid. hal. 39-40
  9. Ibid. hal. 41
  10. Ibid. hal. 41-42.
  11. Ramlan Ginting, Jaminan Perbankan Internasional: sesuai UCP 600, ISP98 & URDG 758, hal. 22
  12. Ibid. hal. 21.
  13. Ibid.
  14. Ibid.
  15. Putusan Negeri Palembang No. 99/Pdt.G/2013/PN Plg hal. 30-31
  16. Putusan Mahkamah Agung No. 115 K/Pdt/2017 hal. 26
  17. Putusan Pengadilan Tinggi Samarinda No. 27/Pdt/2016/PT.SMR, hal. 46
  18. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2275 K/Pdt/2016, hal. 36
  19. Putusan Mahkamah Agung Nomor 135 PK/Pdt/2018, hal. 8
Read Also  Klaim Kontraktor dalam Kontrak FIDIC: Batas Waktu Kontraktual v Daluwarsa