
Kepentingan dalam Gugatan Tata Usaha Negara
Mengacu pada pengaturan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU Peratun”) dan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”), Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) pada pokoknya merupakan ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara (“TUN”) dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Sebagai tindakan yang menimbulkan akibat hukum, sehingga sering terjadi di mana pihak-pihak yang merasa kepentingannya dirugikan akibat penerbitan suatu KTUN.
Pasal 53 ayat (1) UU Peratun mengatur bahwa seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah.
Baca Juga: Menentukan Finalitas: Membedah Konsepnya dalam Yurisprudensi Tata Usaha Negara
Penjelasan Undang-Undang tidak menjelaskan lebih lanjut makna “kepentingan”. Penjelasan menambahkan bahwa hanya orang atau badan hukum perdata yang ‘kepentingannya’ terkena oleh akibat hukum KTUN yang dikeluarkan dan karenanya merasa dirugikan.
Unsur “kepentingan” inilah yang dijadikan dasar untuk menilai apakah suatu pihak benar-benar memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan TUN atas KTUN yang dinilai merugikannya. Sehingga, untuk memahami lebih lanjut terkait bagaimana kemudian Pengadilan TUN (“PTUN”) menilai dan memutus unsur kepentingan ini dalam suatu sengketa TUN, akan dibahas melalui beberapa yurisprudensi berikut ini, yang menilai kedudukan hukum dari berbagai perspektif dan sudut pandang permasalahan.
“Unsur “kepentingan” inilah yang dijadikan dasar untuk menilai apakah suatu pihak benar-benar memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan TUN atas KTUN yang dinilai merugikannya.”

Berbagai Yurisprudensi mengenai Kedudukan Hukum
Kedudukan Hukum Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
Bagaimana memaknai “kepentingan” (legal standing) dalam suatu gugatan TUN?
Dalam perkara melalui Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Indonesia Corruption Watch v. Presiden Republik Indonesia, Yurisprudensi Nomor 495 K/TUN/2014 jo. 55/B/2014/PT.TUN.JKT jo. 139/G/2013/PTUN-JKT, Para Penggugat yang masing-masing bertindak dalam kedudukannya sebagai organisasi masyarakat, berupa Lembaga Swadaya Masyarakat (“LSM”), mengajukan gugatan terhadap Presiden Republik Indonesia atas dasar Objek Sengketa yang diterbitkannya, yaitu berupa Keputusan Presiden Nomor 87/P Tahun 2013, yang pada pokoknya menyatakan pemberhentian jabatan dan pengangkatan jabatan beberapa Hakim Konstitusi.
Meskipun begitu, Tergugat melalui salah satu poin eksepsinya, pada pokoknya menyatakan bahwa Para Penggugat tidak memiliki kedudukan hukum dalam kedudukannya sebagai LSM, yang mana tidak memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur kedudukan hukum hak gugat organisasi untuk melaksanakan hak gugatnya terkait dengan pengangkatan jabatan Hakim Konstitusi. Para Penggugat juga didalilkan tidak memiliki kepentingan yang secara langsung dirugikan atas terbitnya Objek Sengketa, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU Peratun.
Terkait hal ini, Judex Facti pada pengadilan tingkat pertama menyatakan untuk menemukan pengertian dasar dari kepentingan, dapat dilihat pada perkembangan yurisprudensi dan doktrin, yang pada pokoknya menyatakan bahwa kepentingan dalam hukum acara administrasi mengandung dua arti, yaitu:
- Pertama, kepentingan sebagai nilai atau kualitas yang mendapat perlindungan dari hukum, dan
- Kedua, kepentingan sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh proses.
Kemudian juga dinyatakan bahwa terdapat perluasan makna dari “kepentingan” yaitu gugatan dapat diajukan dengan mengatasnamakan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak atau masyarakat (algemen belang). Sehingga, dalam hal ini, Judex Facti tingkat pertama menilai, Para Penggugat, yang merupakan LSM, memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan a quo.
Meskipun gugatan dikabulkan pada tingkat pertama dan Para Penggugat dianggap memiliki kedudukan hukum, putusan ini dibatalkan pada tingkat banding dan kasasi. Selain itu, Judex Facti Banding melalui Putusan Nomor 55/B/2014/PT.TUN.JKT mengatakan:
“… pada intinya menyatakan bahwa pengertian kepentingan di Pengadilan TUN mengandung dua pengertian:
- Merujuk pada nilai yang harus dilindungi oleh hukum;
Untuk dapat dianggap berkepentingan mengajukan gugatan maka kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum itu merupakan kepentingan sendiri (personlijk belang), bersifat pribadi (eigen belang) dan secara obyektif dapat ditentukan. - Merujuk pada kaitannya dengan keputusan itu sendiri;
Kerugian kepentingan itu haruslah sebagai akibat langsung dan dikehendaki oleh pejabat atau badan yang menerbitkan keputusan itu, dan bukan kepentingan yang bersifat derivatif (turunan);”
Selanjutnya, Judex Facti menjelaskan, “prinsip yang menyatakan ‘poin d’interet poin d ‘action‘ artinya berproses dengan mengajukan gugatan di Pengadilan haruslah dengan suatu tujuan yang ingin dicapai, karena berproses tanpa suatu tujuan tidak bermanfaat bagi kepentingan umum, melainkan hanya mengganggu pemerintah (badan atau pejabat TUN) dalam menjalankan pemerintahan.”
Berbeda dengan tingkat pertama, Judex Facti Banding menekankan bahwa kepentingan yang ada harus merupakan kepentingan sendiri, bersifat pribadi dan langsung bagi Para Penggugat. Pada akhirnya, Judex Facti menimbang bahwa legal standing pengajuan gugatan tidak memenuhi kriteria kepentingan sendiri dan bersifat pribadi, karena kepentingan Para Penggugat belum dapat dibedakan dengan kepentingan pihak lain dan bersifat tidak langsung karena kerugiannya tidak dapat ditentukan. Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan banding ini kemudian dikuatkan di tingkat kasasi. Judex Juris mempertimbangkan dalam Putusan Nomor 495 K/TUN/204, “Para Penggugat tidak mempunyai kepentingan langsung yang dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa;”
“Kepentingan yang ada harus merupakan kepentingan sendiri, bersifat pribadi dan langsung bagi Para Penggugat.”
Akibat Kedudukan Hukum terhadap Putusan Pengadilan Perdata
Bagaimana memaknai “kepentingan” (legal standing) dalam suatu gugatan TUN di mana telah ada putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap?
Melalui Wiyanto Halim v. Kepala Kantor Pertanahan Kota Tangerang, Yurisprudensi Nomor 446 K/TUN/2021 jo. 48/B/2021/PT.TUN.JKT jo. 37/G/2020/PTUN.SRG, kasus ini berkenaan dengan keputusan kepala kantor pertanahan berupa pencatatan status blokir internal. Gugatan menuntut agar keputusan tersebut dinyatakan batal dan tidak sah dan mewajibkan Tergugat [kepala kantor pertanahan] mencabut keputusan tersebut. Sebagaimana Penggugat dalam gugatannya menyatakan kedudukannya sebagai pemilik atas lima bidang tanah yang dirugikan akibat dikeluarkannya Objek Sengketa. Objek Sengketa berupa Keputusan Elektronik Kepala Kantor Pertanahan Kota Tangerang berupa Pencatatan Status Blokir Internal.
Baca Juga: Kekuatan Diskresi: Menelusuri Yurisprudensi Administrasi Negara di Sektor Lingkungan Hidup
Eksepsi Tergugat menyatakan Penggugat tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan, karena alas hak atas tanah yang digunakan Penggugat, yaitu berupa Akta Jual Beli Tanah dan Sertipikat Hak Milik, yang keduanya telah dibatalkan melalui putusan pengadilan perdata. Hal ini terbukti, di mana selama proses persidangan, ditemukan fakta bahwa telah ada suatu putusan perkara perdata yang berkekuatan hukum tetap dan telah dinyatakan bahwa tanah yang terkait dengan objek sengketa bukan lagi menjadi milik Penggugat, melainkan milik Tergugat II Intervensi.
Peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Sebagaimana sebelumnya, Judex Facti pada pengadilan tingkat pertama menerima eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi mengenai kedudukan hukum Penggugat, dan demikian menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima, yang dinyatakan dalam pertimbangannya:
“Bahwa atas dasar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap… oleh karenanya Penggugat dinyatakan tidak memiliki kedudukan lagi dalam perkara a quo;”
Lebih lanjut, dalam pertimbangan hukumnya, Judex Juris, pada Putusan Nomor 446 KTUN/2021 mengatakan:
“Bahwa berdasarkan putusan pengadilan dalam perkara perdata yang sudah berkekuatan hukum Pemohon Kasasi/Penggugat menggugat dalam perkara perdata terhadap salah satunya Termohon Kasasi II/Tergugat II Intervensi menyatakan, tanah pada sertipikat objek sengketa merupakan milik Termohon Kasasi II/Tergugat II Intervensi, sehingga Pemohon Kasasi/Penggugat tidak mempunyai kepentingan hukum lagi terhadap tanah objek sengketa sebagaimana dimaksud Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.”
Pertimbangan Hukum yang diberikan di atas, baik oleh Judex Facti dan Judex Juris, telah membenarkan eksepsi yang didalilkan oleh Tergugat. Sebagaimana Penggugat dalam hal ini memang tidak lagi memiliki kedudukan hukum (legal standing), mengingat alas hak yang seharusnya menjadi dasar untuk dapat menggugat, berupa Akta Jual Beli dan Sertipikat Hak Milik telah dibatalkan sebelumnya melalui putusan pengadilan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kedudukan Hukum Pengurus Organisasi yang belum Disahkan
Bagaimana memaknai “kepentingan” (legal standing) dalam suatu gugatan TUN oleh pengurus organisasi yang belum mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang?
Dalam H.A.M Nurdin Halid v. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yurisprudensi Nomor 487 K/TUN/2021 jo. 61/B/2021/PT.TUN.JKT jo. 160/G/2020/PTUN.JKT, Penggugat menyatakan kedudukannya sebagai Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (“DEKOPIN”) periode 2019-2024 berdasarkan Musyawarah Nasional DEKOPIN tahun 2019.
Objek Sengketa berupa Surat Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum & HAM tentang Pendapat Hukum yang ditujukan kepada Ketua Umum DEKOPIN, yang masuk sebagai Tergugat II Intervensi dalam perkara ini. Penggugat mendalilkan bahwa Objek Sengketa tersebut telah merugikan Penggugat dengan menyimpulkan pemilihan Ketua Umum DEKOPIN periode 2019-2024 yang tepat adalah Musyawarah Nasional Dekopin yang memilih Tergugat Invensi II. Sebagaimana dinyatakan pemilihan Tergugat Intervensi II adalah yang sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar Dewan Koperasi Indonesia (“Kepres 6/2011”).
Baca Juga: Cacat Substansi dalam Yurisprudensi Tata Usaha Negara
Terhadap gugatan Penggugat, Tergugat dan Tergugat II Intervensi mempersoalkan terkait kedudukan hukum Penggugat, menyatakan Penggugat tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan a quo. Tergugat dan Tergugat II Intervensi pada pokoknya menyatakan bahwa Penggugat yang menempatkan diri sebagai Ketua Umum berdasarkan perubahan anggaran dasar adalah tidak mendasar. Hal ini karena berdasarkan Kepres 6/2011, perubahan anggaran dasar yang Penggugat jadikan dasar kewenangan tersebut harus disahkan terlebih dahulu oleh suatu Keputusan Presiden untuk memiliki kekuatan hukum.
Judex Facti pada tingkat pertama menyatakan bahwa Penggugat memiliki kepentingan dan kedudukan hukum dalam mengajukan gugatan tersebut, menyatakan bahwa: “Penggugat memiliki kaitan langsung dengan isi surat objek sengketa di maksud, karena kedudukannya disinggung dalam surat objek sengketa.”
Meskipun begitu, pada tingkat banding, putusan pengadilan tingkat pertama dibatalkan dengan eksepsi Tergugat II Intervensi terkait kedudukan hukum diterima, serta selanjutnya dikuatkan pada tingkat kasasi. Sebagaimana Judex Juris dalam pertimbangan hukumnya, melalui Putusan Nomor 487 K/TUN/2021, mengatakan:
“Bahwa perubahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) hasil Munas yang digunakan Penggugat untuk mendapatkan legitimasi sebagai Ketua Umum periode ketiga (Masa Bakti 2019-2024) belum mendapat pengesahan dari Pejabat Yang Berwenang sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 59 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Oleh karena itu, Penggugat tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mempersoalkan keabsahan Objek Sengketa.”
Dari pertimbangan hukum di atas, Judex Juris menegaskan, karena alas hak atas tanah yang menjadi dasar untuk menggugat dan menyatakan batal objek sengketa, yaitu sertipikat hak milik, baru diperoleh penggugat setelah sertipikat itu terbit, maka penggugat dinilai tidak mempunyai kepentingan (legal standing).
“Karena alas hak atas tanah yang menjadi dasar untuk menggugat dan menyatakan batal objek sengketa baru diperoleh setelah sertipikat itu terbit, maka Penggugat dinilai tidak mempunyai kepentingan (legal standing).”
Akibat Kedudukan Hukum terhadap Alas Hak yang Diterbitkan Kemudian
Apakah alas hak atas tanah yang terbit kemudian (setelah sertipikat objek sengketa terbit) dapat menggugurkan “kepentingan” (legal standing) seseorang untuk menggugat?
Kasus hukum dalam Rikard Bagun v. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat, Yurisprudensi Nomor 477 K/TUN/2021 jo. 51/B/2021/PT.TUN.SBY jo. 14/G/2020/PTUN.KPG ini berkaitan dengan gugatan untuk menyatakan batal atau tidak sah sertipikat hak milik yang terletak di Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat.
Sebagaimana Objek Sengketa berupa Sertipikat Hak Milik atas nama Tergugat Intervensi II. Gugatan Penggugat pada pokoknya menyatakan penerbitan Objek Sengketa yang diterbitkan di atas tanah milik Penggugat, telah mengakibatkan kerugian kepada Penggugat. Penggugat mendalilkan bahwa dirinya telah terlebih dahulu memperoleh tanah tersebut dari pemangku ulayat pada tahun 2016 dengan tata cara jual beli secara adat, yang sebagaimana telah dituangkan melalui Surat Perjanjian Ikatan Jual Beli pada 30 Desember 2019 dan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Tanah pada 9 Januari 2020.
Terhadap gugatan tersebut, Tergugat dan Tergugat II Intervensi mendalilkan bahwa Penggugat tidak memiliki kedudukan hukum sebagai Penggugat dan jelas tidak memiliki landasan hukum dan peristiwa yang menjadi dasar gugatan yang cukup memuat dan menjelaskan hubungan hukum antara Penggugat dengan tanah yang diterbitkan objek sengketa.
Judex Facti pada tingkat pertama mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan batal Objek Sengketa, menyatakan bahwa Penggugat memiliki kepentingan dalam mengajukan gugatan a quo karena Penggugat telah membeli tanah ulayat. Sehingga, penerbitan Objek Sengketa a quo telah mengakibatkan Penggugat telah kehilangan hubungan hukum atas tanah yang dikuasainya tersebut.
Gugatan tersebut dikabulkan di tingkat pertama kemudian dibatalkan di tingkat pengadilan tinggi. Sebagaimana, ternyata pada tingkat banding ditemukan fakta bahwa ternyata alas hak gugat yang disampaikan Penggugat (yaitu Surat Perjanjian Ikatan Jual Beli dan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Tanah) baru terbit setelah terbitnya Objek Sengketa.
Sehingga, dengan pertimbangan ini, Judex Facti pada tingkat banding membatalkan putusan tingkat pertama dan menyatakan bahwa Penggugat belum memiliki kepentingan hukum dalam mengajukan gugatan, dengan menyatakan:
“Menimbang, bahwa apabila secara keperdataan pihak Penggugat/Terbanding merasa ada kepentingan yang dirugikan maka penyelesaiannya dapat melalui forum peradilan lain;”
Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya dikuatkan oleh Mahkamah Agung. Judex Juris dalam Putusan Nomor 477 K/TUN/2021 mempertimbangkan:
“Bahwa sertipikat objek sengketa terbit pada tanggal 8 Maret 2018, sedangkan Pemohon Kasasi/Penggugat mendalilkan bahwa yang bersangkutan memperoleh sebidang tanah pada sertipikat objek sengketa berdasarkan alas hak berupa perjanjian Ikatan Jual Beli tanggal 30 Desember 2019 dan pernyataan pelepasan hak atas tanah tanggal 9 Januari 2020;”
“Bahwa oleh karena alas hak yang dijadikan sebagai dasar gugatan baru terbit setelah sertipikat objek sengketa diterbitkan oleh Termohon Kasasi I/Tergugat, dengan demikian Pemohon Kasasi/Penggugat belum mempunyai kepentingan untuk mengajukan gugatan sebagaimana ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.”
Dari pertimbangan hukum di atas, Judex Juris menegaskan, karena alas hak atas tanah yang menjadi dasar untuk menggugat dan menyatakan batal objek sengketa, yaitu sertipikat hak milik, baru diperoleh Penggugat setelah sertipikat itu terbit, maka Penggugat dinilai tidak mempunyai kepentingan (legal standing).
Akibat Kedudukan Hukum terhadap Status Kepemilikan yang telah Diputus Peradilan Umum (1)
Apakah status kepemilikan tanah yang telah dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan pada peradilan umum yang berkekuatan hukum tetap dapat menggugurkan “kepentingan” (legal standing) seseorang untuk mempersoalkan hal lain yang berkaitan dengan tanah tersebut?
Dalam Ni Made Karmi v. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yurisprudensi Nomor 145 PK/TUN/2021 jo. 380 K/TUN/2020 jo. 7/B/2020/PT.TUN.JKT jo. 98/G/2019/PTUN-JKT ini, Penggugat menggugat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penetapan Kelompok Hutan Sekaroh seluas sekian ribu hektar, yang diterbitkan oleh Tergugat dalam kedudukannya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Adapun terhadap gugatan Penggugat, dalil eksepsi Tergugat salah satunya, yaitu mempermasalahkan terkait kedudukan hukum Penggugat dalam mengajukan gugatan. Meskipun begitu, gugatan tersebut telah dinyatakan tidak dapat diterima oleh pengadilan tingkat pertama di Oktober 2019 dan dikuatkan di tingkat banding di Februari 2020.
Sebagaimana Judex Facti pada tingkat pertama sebelumnya menyatakan, yaitu orang atau badan hukum perdata untuk dapat menggunakan hak menggugat dalam suatu sengketa, harus menunjukkan bahwa ada suatu kepentingan yang dirugikan secara langsung dengan terbitkan KTUN yang digugat. Sebagaimana juga dinyatakan dalam pertimbangannya:
“… menurut Pengadilan, yang dimaksud dengan kepentingan adalah kepentingan hukum secara langsung, yaitu kepentingan yang dilandasi adanya hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat maupun hubungan hukum dengan keputusan objek sengketa yang penerbitannya dianggap telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat.”
Terhadap hal ini, Judex Facti tingkat pertama menyatakan bahwa ternyata ditemukan fakta bahwa Penggugat dan Tergugat masing-masing mempunyai alas hak penguasaan tanah secara hukum. Akan tetapi, ternyata ditemukan fakta bahwa Sertipikat Hak Milik yang digunakan Penggugat sebagai dasar mengajukan gugatan telah terputus, karena telah dibatalkan oleh pengadilan. Sehingga, dinyatakan Penggugat tidak lagi memiliki kepentingan untuk mengajukan gugatan.
Putusan ini selanjutnya dikuatkan yang hingga pada tingkat kasasi tetap mempertahankan kedua putusan pada kedua pengadilan di bawahnya. Sebagaimana Judex Juris dalam pertimbangan hukumnya melalui Putusan Nomor 380 K/TUN/2020, pada prinsipnya mengatakan bahwa Penggugat tidak lagi mempunyai kepentingan hukum (legal standing) untuk menggugat karena alas hak untuk mengajukan gugatan termasuk buku tanah, masuk sebagai barang bukti tindak pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, dan dikembalikan kepada kantor pertanahan untuk dilakukan pembatalan sertipikat.
“Bahwa sesuai asas res judicata pro veritate habetur dan asas poin d’interes poin d’action, Penggugat sudah tidak memiliki kepentingan untuk mempersoalkan keabsahan objek sengketa a quo di Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yaitu putusan pengadilan tindak pidana korupsi… yang telah memutuskan hubungan hukum antara Penggugat dengan tanah Sertipikat Hak Milik… atas nama Penggugat;
Bahwa dengan demikian menghapuskan kepentingan Penggugat untuk membela (mempertahankan) kepemilikan tanah Sertipikat Hak Milik… sehingga Penggugat tidak memiliki kepentingan menggugat…”
Dari pertimbangan hukum di atas, meski ada dua peradilan dengan kewenangan yang berbeda, sepanjang alas hak yang menjadi dasar gugatan telah tidak berlaku, atau telah dibatalkan, maka alas hak tersebut tidak lagi dapat dijadikan dasar untuk menggugat keabsahan suatu objek sengketa. Dengan kata lain, Penggugat telah kehilangan kepentingan hukumnya (legal standing) untuk menggugat.
Putusan tersebut juga selanjutnya tetap dikuatkan pada tingkat Peninjauan Kembali dalam Putusan Nomor 145 PK/TUN/2021, yang pada pokoknya kembali menyatakan bahwa Penggugat sudah tidak lagi mempunyai kepentingan atas tanah pada Sertipikat Hak Milik tersebut.
“Sepanjang alas hak yang menjadi dasar gugatan telah tidak berlaku, atau telah dibatalkan, maka alas hak tersebut tidak lagi dapat dijadikan dasar untuk menggugat keabsahan suatu objek sengketa.”
Akibat Kedudukan Hukum terhadap Status Kepemilikan yang telah Diputus Peradilan Umum (2)
Apakah status kepemilikan tanah yang telah dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan pada peradilan umum yang berkekuatan hukum tetap dapat menggugurkan “kepentingan” (legal standing) seseorang untuk mempersoalkan hal lain yang berkaitan dengan tanah tersebut?
Kasus hukum dalam I Gusti Bagus Ari Santosa v. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yurisprudensi Nomor 142 PK/TUN/2021 jo. 373 K/TUN/2020 jo. 8/B/2020/PT.TUN.JKT jo. 99/G/2019/PTUN.JKT ini menyangkut suatu gugatan untuk membatalkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penetapan Kelompok Hutan Sekaroh, serupa dengan kasus hukum yang telah dibahas sebelumnya. Penggugat pada pokoknya mendalilkan bahwa penerbitan Objek Sengketa telah menyebabkan kerugian bagi Penggugat. Sebagaimana Penggugat menyatakan kedudukannya sebagai pemilik sah atas sebidang tanah a quo yang diterbitkan Objek Sengketa di atasnya.
Terhadap hal ini, PTUN telah menyatakan gugatan tidak diterima di Oktober 2019 dan putusan tersebut telah dikuatkan di tingkat banding di Maret 2020. Sebelumnya, Judex Facti pada tingkat pertama menilai kedudukan hukum Penggugat dalam mengajukan gugatan. Pada pokoknya dinyatakan bahwa meskipun sebelumnya Penggugat memiliki alas hukum atas tanah yang diterbitkan Objek Sengketa, namun alas hukum berupa Sertipikat Hak Milik tersebut telah terputus karena sebelumnya telah dibatalkan oleh pengadilan. Sehingga, atas hal ini, dinyatakan bahwa Penggugat tidak memiliki kepentingan dalam mengajukan gugatan.
Di 2020, Mahkamah Agung mempertahankan kedua putusan pengadilan di bawahnya. Sebagaimana Judex Juris dalam Putusan Nomor 373 K/TUN/2020 mempertimbangkan:
“Bahwa Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri … mengembalikan salah satunya Buku Tanah Hak Milik (SHM) … kepada Kantor Pertanahan … untuk dilakukan pembatalan sertipikat. Sehingga hubungan hukum antara Penggugat dengan sebidang tanah hak milik… yang dijadikan dasar kepentingan Penggugat untuk mengajukan gugatan dalam perkara ini telah terputus.”
“Bahwa dengan demikian Penggugat tidak mempunyai kepentingan hukum yang dirugikan lagi atas diterbitkannya keputusan objek sengketa… sehingga gugatan Penggugat tidak memenuhi syarat formal gugatan.”
Serupa dengan pertimbangan hukum pada pembahasan sebelumnya, Judex Juris mempertimbangkan bahwa kepentingan hukum (legal standing) Penggugat sudah tidak ada karena alas hak yang menjadi dasar untuk menggugat, dalam hal ini Sertipikat Hak Milik, telah dibatalkan berdasarkan putusan peradilan umum.
Sebagaimana selanjutnya, pada tingkat Peninjauan Kembali, putusan ini kembali dikuatkan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Penggugat tidak mempunyai hak secara hukum lagi terhadap tanah yang di atasnya diterbitkan Objek Sengketa karena secara hukum hubungan keperdataan antara Penggugat dengan sebidang tanah di maksud, sudah terputus karena telah dibatalkan oleh pengadilan.
“Kedudukan hukum merupakan landasan dasar yang menentukan apakah seseorang atau badan hukum benar-benar memiliki hak untuk mengajukan suatu gugatan dalam sengketa TUN.”

Prinsip-Prinsip Kedudukan Hukum
Kedudukan hukum merupakan landasan dasar yang harus dimiliki oleh setiap pihak yang mengajukan gugatan pada PTUN, untuk menentukan apakah seseorang atau badan hukum benar-benar memiliki hak untuk mengajukan suatu gugatan dalam sengketa TUN. Dalam menilai hal ini, sebagaimana dapat dilihat dari yurisprudensi-yurisprudensi di atas, meskipun permasalahan terhadap kedudukan hukum didasarkan pada alasan dan dasar yang beragam, namun terdapat unsur penting yang digunakan oleh Majelis Hakim sebagai tolak ukur dalam menilai kepentingan dan/atau kedudukan hukum penggugat. Pada akhirnya, setiap pihak yang mengajukan gugatan di hadapan PTUN harus dapat membuktikan adanya kepentingan yang nyata dan relevan dengan objek sengketa yang dijadikan dasar gugatan tersebut.
Author

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.
Co-authored

Miskah Banafsaj is an associate at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Sources
- Law Number 51 of 2009 on the Second Amendment of Law Number 5 of 1986 on State Administrative Court.
- Law Number 30 of 2014 on State Administrative.
- Presidential Decree Number 6 of 2011 on the Ratification of the Amendments to the Articles of Association of the Indonesian Cooperative Council.
- Supreme Court Decision Number 142 PK/TUN/2021.
- Supreme Court Decision Number 145 PK/TUN/2021.
- Supreme Court Decision Number 495 K/TUN/2014.
- Supreme Court Decision Number 380 K/TUN/2020.
- Supreme Court Decision Number 373 K/TUN/2020.
- Supreme Court Decision Number 446 K/TUN/2021.
- Supreme Court Decision Number 487 K/TUN/2021.
- Supreme Court Decision Number 477 K/TUN/2021.
- Jakarta State Administrative High Court Decision Number 55/B/2014/PT.TUN.JKT.
- Jakarta State Administrative High Court Decision Number 7/B/2020/PT.TUN.JKT.
- Jakarta State Administrative High Court Decision Number 8/B/2020/PT.TUN.JKT.
- Jakarta State Administrative High Court Decision Number 48/B/2021/PT.TUN.JKT.
- Jakarta State Administrative High Court Decision Number 61/B/2021/PT.TUN.JKT.
- Jakarta State Administrative High Court Decision Number 51/B/2021/PT.TUN.SBY.
- Jakarta State Administrative Decision Number 139/G/2013/PTUN-JKT.
- Jakarta State Administrative Decision Number 98/G/2019/PTUN-JKT.
- Jakarta State Administrative Decision Number 99/G/2019/PTUN.JKT.Serang State Administrative
- Decision Number 37/G/2020/PTUN.SRG.
- Jakarta State Administrative Decision Number 160/G/2020/PTUN.JKT.
- Kupang State Administrative Decision Number 14/G/2020/PTUN.KPG.

