
Table of Contents
Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”) yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU CK”).
Ketika merujuk pada UU PPLH serta UU CK, ketentuan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam ranah pidana maupun perdata diatur secara spesifik. Namun, di luar dari kedua ranah tersebut, penyelesaian melalui gugatan administratif dalam ranah hukum tata usaha negara (“TUN”), yang kerap menjadi objek sengketa, juga merupakan aspek penting yang patut untuk diperhatikan.
Baca Juga: UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Satu Naskah
Perlu diketahui bahwa sebelumnya, penyelesaian perkara lingkungan hidup dalam ranah TUN sebenarnya telah diatur secara eksplisit melalui Pasal 38 dan Pasal 93 UU PPLH. Kedua pasal tersebut akan tetapi telah dihapus sejak diberlakukannya UU CK. Namun demikian, pengajuan gugatan lingkungan hidup dalam lingkup TUN tetap dimungkinkan dengan merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup (“PERMA 1/2023”).
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) PERMA 1/2023, perkara lingkungan hidup, yaitu meliputi perkara tata usaha negara, sepanjang berkaitan dengan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Demikian, ketika membahas konteks perkara lingkungan hidup di ranah TUN, maka tentunya yang menjadi objek sengketa, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 PERMA 1/2023, yaitu termasuk terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”), berupa persetujuan, izin atau keputusan di bidang lingkungan hidup lainnya, serta Tindakan TUN terkait, yang merupakan perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan suatu perbuatan konkret.
Baca Juga: Cacat Wewenang dalam Yurisprudensi Tata Usaha Negara
Dalam hal sengketa TUN lingkungan, beberapa permasalahan sering kali muncul ketika sengketa tersebut diajukan ke Pengadilan TUN (“PTUN”). Salah satu permasalahannya, yaitu berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) Penggugat yang telah mengajukan gugatan ke PTUN.
Persoalan ini timbul karena sifat dari perkara TUN lingkungan, di mana sengketa sering kali timbul akibat kerusakan atau kerugian yang dialami oleh lingkungan, bukan oleh kerugian yang dialami oleh pihak yang awalnya dituju dari suatu KTUN atau Tindakan TUN. Akibatnya, penggugat mungkin bukan pihak yang secara langsung terdampak oleh KTUN atau Tindakan TUN. Dalam hal demikian, menentukan siapa yang berhak untuk mengajukan gugatan, dapat menjadi permasalahan.
“Salah satu bentuk kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan dalam sengketa TUN lingkungan yaitu hak gugat organisasi lingkungan hidup.”

Kedudukan Hukum dalam Sengketa Lingkungan Hidup
Terkait kedudukan hukum dalam mengajukan gugatan TUN, Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mengatur:
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.”
Salah satu bentuk kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan dalam sengketa TUN lingkungan yaitu hak gugat organisasi lingkungan hidup. Sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UU PPLH, dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sedangkan yang di maksud dengan “organisasi lingkungan hidup,” sebagaimana mengacu pada Pasal 1 angka 27 UU PPLH, yaitu kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri, yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup.
Meskipun memiliki hak gugat organisasi lingkungan, namun kedudukan hukumnya masih dapat dipermasalahkan. Untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana sengketa lingkungan hidup ditangani dalam ranah TUN, khususnya terkait dengan kedudukan hukum organisasi lingkungan hidup, akan dibahas melalui Putusan Nomor 36/G/TF/2022/PTUN.PBR.
Baca Juga: Uji Karakteristik: Alat Pembuktian Bahan Berbahaya Beracun
Yurisprudensi No. 36/G/TF/2022/PTUN.PBR
Perkara ini menyangkut suatu lokasi yang ditanami kebun kelapa sawit padahal tidak diperbolehkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gugatan diajukan oleh suatu yayasan yang bergerak di bidang pelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup, dan melibatkan satu perusahaan swasta yang mengusahakan kebun kelapa sawit tersebut. Dalam gugatannya, Penggugat menuntut instansi dan pejabat pemerintah untuk melakukan pemulihan terhadap kawasan hutan konservasi taman nasional, mengeluarkan semua orang yang ada di areal 1.200 hektar, mewajibkan salah satu tergugat menanggung biaya pemulihan atau reboisasi, dan mewajibkan tergugat melakukan penegakan hukum kehutanan berupa sanksi administratif.
Dalam perkara ini, sementara Para Tergugat terbukti bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian dalam memenuhi kewajiban hukumnya untuk melindungi lingkungan, masalah lain yang muncul di tingkat pengadilan pertama adalah terkait dengan kedudukan hukum Penggugat. Para Tergugat menyatakan bahwa Penggugat, yang berkedudukan sebagai yayasan, tidak memiliki kepentingan yang jelas atau tidak mengalami kerugian langsung akibat tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh Tergugat.
Para Tergugat lebih lanjut berpendapat, bahwa agar suatu organisasi berwenang untuk mengajukan gugatan TUN lingkungan hidup, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 92 ayat (3) UU PPLH, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa Penggugat harus terbukti telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya selama minimal dua tahun. Akan tetapi, Para Tergugat berpendapat bahwa Penggugat tidak dapat dianggap telah memenuhi atau termasuk dalam kriteria tersebut, dengan menyatakan bahwa Penggugat sebenarnya tidak pernah melakukan suatu “kegiatan nyata.”
Baca Juga: Perlindungan Hukum bagi Pejuang Lingkungan: Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2024
Judex Facti pada pengadilan tingkat pertama, melalui Putusan Nomor 36/G/TF/2022/PTUN.PBR, pada pokoknya menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 25 UU PPLH, sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup. Judex Facti kemudian berpendapat bahwa yayasan sebagai organisasi telah mendasarkan gugatannya pada kerugian yang timbul dari kegiatan yang memiliki potensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan.
“Agar suatu organisasi berwenang untuk mengajukan gugatan TUN lingkungan hidup, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa Penggugat harus terbukti telah melaksanakan kegiatan nyata.”
Judex Facti lebih lanjut menilai hak Penggugat untuk mengajukan gugatan sebagai organisasi lingkungan hidup. Judex Facti menilai hak gugat berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (“SK KMA 36/2013”), yaitu:
- Berbentuk badan hukum.
- Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
- Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat dua tahun.
- Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntuan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran ril.
Sebagaimana bukti yang ada telah membuktikan bahwa Penggugat telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam SK KMA 36/2013, Judex Facti menyimpulkan bahwa Penggugat memiliki kedudukan hukum sebagai organisasi lingkungan hidup, dan dengan demikian, berhak untuk mengajukan gugatan.

Yurisprudensi No. 247/PDT-LH/2022/PT PBR jo. No. 12/Pdt.G/LH/2022/PN Sak.
Serupa dengan yurisprudensi pada PTUN, dalam kasus hukum yang berbeda di pengadilan umum, terdapat pula permasalahan terkait kedudukan hukum suatu yayasan sebagai penggugat dalam sengketa lingkungan hidup. Dalam hal ini, Judex Facti tidak merujuk pada SK KMA 36/2013, akan tetapi hanya menilai berdasarkan ketentuan dalam Pasal 92 ayat (3) UU PPLH. Judex Facti kemudian menilai kesesuaian ketentuan tersebut dengan bukti yang diajukan oleh penggugat, dan kemudian menyimpulkan bahwa penggugat telah memenuhi ketentuan yang ada, dan demikian, memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan.
“Kepentingan yang dirugikan’ ini tidak boleh hanya diartikan secara sempit sebagai kerugian aktual saja, tetapi juga sebagai kerugian potensial atau yang telah berdampak pada lingkungan hidup.”
Kedudukan Hukum Organisasi Lingkungan Hidup
Meskipun telah diatur secara spesifik, hak gugat organisasi lingkungan hidup masih dapat dipersoalkan. Memiliki ‘kepentingan yang dirugikan’ untuk mengajukan gugatan pada PTUN adalah penting. Namun, dalam sengketa lingkungan, ‘kepentingan yang dirugikan’ ini tidak boleh hanya diartikan secara sempit sebagai kerugian aktual saja, tetapi juga sebagai kerugian potensial atau yang telah berdampak pada lingkungan hidup. Hal ini tidak berhenti di sini. Hak gugat harus dinilai. Apabila terbukti sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 92 ayat (3) UU PPLH dan SK KMA 36/2013, maka suatu yayasan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan. Namun apabila tidak terbukti, maka yayasan tersebut tidak memiliki kedudukan hukum untuk menggugat.
Author

Dr. Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 15 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Asia Pacific International Arbitration Chamber Indonesia Board, and Singapore Institute of Arbitrators (SIArb) . Aside to his practice, the editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023, ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review and Leading Partner in Real Estate and Construction by Legal500 Asia Pacific 2025.
Co-authored by

Miskah Banafsaj is an intern at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Sources:
- Law Number 9 of 2004 on the Amendment of Law Number 5 of 1986 on State Administrative Court.
- Law Number 32 Year 2009 on Environmental Protection and Management.
- Law Number 6 Year 2023 on the Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 2 Year 2022 on Job Creation into Law.
- Decision of the Chief Justice of the Supreme Court Number: 36/KMA/SK/II/2013 on the Implementation of Guidelines for Handling Environmental Cases.
- Pekanbaru State Administrative Court Decision. Number 36/G/TF/2022/PTUN.PBR.
- Pekanbaru High Court Decision Number 247/PDT-LH/2022/PT PBR.
- Siak Sri Indrapura District Court Decision Number 12/Pdt.G/LH/2022/PN Sak.

