Pendahuluan

Asas Kepastian Hukum merupakan salah satu asas dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (“AUPB”), asas tersebut diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah dirubah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“UU Administrasi Pemerintahan”). Selanjutnya, Asas Kepastian Hukum juga diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sebagaimana terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Penyelenggaraan Negara”).

Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Administrasi Pemerintahan, menerangkan, “Yang dimaksud dengan ‘asas kepastian hukum’ adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.” 1 Selanjutnya, Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Penyelenggaraan Negara, menerangkan, “Yang dimaksud dengan ‘Asas Kepastian Hukum’ adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggaraan Negara.” 2

Sejalan dengan hal tersebut, beberapa ahli tata usaha negara, seperti SF. Marbun dan Indroharto, S.H. dalam bukunya masing-masing membahas mengenai Asas Kepastian Hukum, dimana pada pokoknya menjelaskan bahwa Asas Kepastian Hukum sejatinya menghendaki adanya stabilitas hukum agar hak-hak yang telah diperoleh keputusan tidak mudah dicabut kembali.

Artikel ini membahas mengenai beberapa hal penting yang akan dikaji dari Asas Kepastian   Hukum, yaitu (i) pengaturan umum mengenai Asas Kepastian Hukum Material, dan (ii) penerapan Asas Kepastian Hukum Material pada kasus sengketa tata usaha negara.

Pengaturan umum Asas Kepastian Hukum Material

UU Administrasi Pemerintahan didalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dan penjelasannya menjelaskan Asas Kepastian Hukum secara umum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.3 yang dalam hal ini berkenaan dengan pembuatan setiap keputusan tata usaha negara dan/atau tindakan administrasi pemerintahan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB termasuk Asas Kepastian Hukum.4

AUPB itu sendiri berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi pejabat pemerintahan dalam menerbitkan keputusan tata usaha negara dan/atau tindakan administrasi pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.5

SF. Marbun menjelaskan bahwa Asas Kepastian Hukum adalah asas yang menghendaki adanya stabilitas hukum, dalam arti bahwa suatu keputusan yang dikeluarkan harus mengandung kepastian dan tidak akan dicabut kembali. Bahkan sekalipun keputusan tersebut mengandung kekurangan, karena pencabutan atas keputusan yang sudah dikeluarkan dapat menimbulkan kesan negative dan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat. Asas Kepastian Hukum juga menghendaki bahwa suatu keputusan tidak boleh berlaku surut.6

Selanjutnya, Indroharto, S.H., lebih spesifik membagi Asas Kepastian Hukum menjadi 2 bagian, Asas Kepatian Hukum Formal dan Asas Kepastian Hukum Material. Asas Kepatian Hukum Formal adalah asas yang menghendaki bahwa keputusan yang dikeluarkan itu harus jelas bagi yang bersangkutan, sebagai contoh: pemberian tenggang waktu yang samar-samar kapan akan dilakukan penertiban, akan dianggap bertentangan dengan asas ini. Sedangkan Asas Kepastian Hukum Material adalah asas yang menghendaki bahwa suatu keputusan yang bersifat membebani itu tidak boleh diberlakukan mundur (secara surut). contoh: suatu subsidi dicabut dengan berlaku surut, padahal uangnya yang sudah diterima telah habis digunakan.7

Sejalan dengan pendapat Indroharto, S.H., ahli tata negara Philipus M Hadjon berpendapat bahwa asas kepastian hukum memiliki 2 (dua) aspek, yaitu aspek materiil dan formil. Aspek hukum materiil berhubungan erat dengan asas kepercayaan. Dalam banyak keadaan, asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali suatu ketetapan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan. Sedangkan aspek hukum formil dimaknai bahwa ketetapan yang muatan materinya memberatkan atau menguntungkan pihak tertentu, maka rumusan ketetapan harus disusun dengan kata-kata yang jelas atau tidak boleh multitafsir serta memberi hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki dari padanya.8 Perlu diketahui, bahwa doktrin hukum dari SF. Marbun, Indroharto, S.H., dan Philipus M Hadjon terkait Asas Kepastian Hukum telah dipakai menjadi dasar pertimbangan para hakim-hakim dalam memutuskan perkara tata usaha negara, khususnya perkara mengenai keputusan tata usaha negara yang bertentangan dengan kaidah Asas Kepastian Hukum.

Pada prinsipnya, Asas Kepastian Hukum ini ada untuk memberikan rasa keteraturan, kepastian, keamanan dan kepercayaan serta keadilan yang proporsional kepada masyarakat atas keputusan tata usaha negara yang diterbitkan oleh pejabat tata usaha negara, lebih lanjut mengharuskan setiap kebijakan berlandaskan peraturan yang berlaku dengan menghendaki adanya stabilitas hukum agar hak-hak yang telah diperoleh seyogyanya diberikan penghormatan, dan tidak mudah dicabut. Penghormatan terhadap hak seseorang dipertimbangkan di dalam putusan No. 04/G.TUN/2001/PTUN.YK jo. No. 10/B/TUN/PT.TUN SBY jo. No. 373 K/TUN/2002, Majelis Hakim pada pokoknya menekankan Asas Kepastian Hukum sebagai penghormatan hak seseorang yang telah diperoleh secara benar menurut undang-undang.9

Read Also  Hak Prioritas dalam Hukum Pertanahan di Indonesia

Penghormatan yang layak ini juga selaras dengan Asas Pengharapan Yang Layak, dimana asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh administrasi negara harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Oleh karena itu, jika suatu harapan sudah diberikan kepada warga negara, harapan tersebut tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak menguntungkan pemerintah. Selanjutnya, jika terjadi kekhilafan atau kekeliruan dalam tindakan administrasi negara yang merugikan kepentingan warga negara, maka kerugian itu tidak boleh dibebankan kepada warga negara melainkan ditanggung secara konsekuen oleh pemerintah yang telah menimbulkan kepercayaan atau harapan itu. 10

Penerapan Asas Kepastian Hukum Material kasus sengketa tata usaha negara

Penerapan Asas Kepastian Hukum dapat lebih dipahami dengan membaca dan menganalisis sengketa tata usaha negara. Dalam perkara ini, pejabat tata usaha negara selaku Tergugat I (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jepara) menerbitkan keputusan administratif berupa tanah adat Hak Yasan atas nama Tergugat II Intervensi (Pemerintah Kabupaten Jepara) atas bekas tanah Hak Yasan atas nama Tuan A selaku pewaris dari Penggugat. Mari kita bahas bagaimana Majelis Hakim menilai sengketa tata usaha negara berdasarkan Putusan Nomor 029/G/2014/PTUN.SMG jo. Nomor 240/B/2014/PT.TUN.SBY jo. Nomor 380 K/TUN/2015 jo. Nomor 141/PK/TUN/2016.

A. Latar Belakang Kasus

  1. Penggugat adalah ahli waris dari Tuan A berdasarkan surat keterangan waris.
  2. Tergugat I adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jepara, dan Tergugat II Intervensi adalah Pemerintah Kabupaten Jepara.
  3. Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat I (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jepara) menerbitkan Sertipikat Hak Pakai Nomor 14 yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Desa Demaan, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, diterbitkan pada tanggal 11 Mei 1988, Gambar Situasi Nomor 1106/1988 tanggal 14 Maret 1988, seluas 20.000 M² (“Obyek Sengketa”) atas nama Tergugat II Intervensi (Pemerintah Kabupaten Jepara) di atas tanah adat hak Yasan atas nama Tuan A, berdasarkan pada Letter C, Hak Yasan adalah hak tanah yang tunduk pada hukum adat. Selanjutnya di Obyek Sengketa tersebut dibangun stadion sepak bola.
  4. Penggugat mendalilkan bahwa penerbitan Obyek Sengketa bertentangan dengan AUPB, yaitu asas kepastian hukum dan asas kecermatan formil.

B. Pertimbangan Hukum Hakim

Majelis Hakim dalam mempertimbangkan perkara tersebut memfokuskan pada dua pokok permasalahan, yaitu:

  1. Apakah Tergugat I berwenang menerbitkan Objek Sengketa?
  2. Apakah prosedur dan substansinya sudah sesuai dengan AUPB pada saat Tergugat menerbitkan Obyek Sengketa?

Berdasarkan 2 hal pokok tersebut, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:

  1. Pertimbangan poin pertama terkait kewenangan. Majelis Hakim menimbang bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, mengatur bahwa pendaftaran tanah ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk daerah masing-masing, sehingga Tergugat I merupakan perpanjangan tangan dari Badan Pertanahan Nasional yang berwenang melaksanakan urusan bidang pertanahan. Oleh karena itu, Tergugat I berwenang secara atributif untuk menerbitkan Objek Sengketa.
  2. Pertimbangan poin kedua, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:

a) Majelis Hakim menemukan fakta hukum bahwa penerbitan Obyek Sengketa didasarkan pada Tanah Negara yang diberikan oleh Gubernur Jawa Tengah kepada Tergugat II-Intervenor, dimana sebaliknya bahwa tanah yang di atasnya terdapat Obyek Sengketa bukanlah berasal dari Tanah Negara melainkan bekas tanah ulayat yang masih terdaftar dalam Letter C atas nama Tuan A yang belum tercatat dialihkan atau diperdagangkan kepada pihak lain atau kepada Tergugat II-Perantara.

b) Selain itu, baik Tergugat I maupun Tergugat II-Interventor tidak dapat menunjukkan surat-surat (warkah) yang berkaitan dengan pendaftaran, baik tanah dari Tanah Negara maupun dari jual beli dari tanah ulayat pada Letter C atas nama Tuan A untuk menjadi Objek Sengketa.

c) Berdasarkan fakta hukum Majelis Hakim menilai bahwa tanah yang di atasnya terdapat Objek Sengketa dan telah didirikan stadion adalah tanah adat Hak Yasan yang masih terdaftar dalam Letter C atas nama Tuan A bukan Tanah Negara. Dengan demikian seharusnya Tergugat I menolak Pendaftaran Hak Pakai yang dimintakan oleh Tergugat II Intervensi, karena tanah yang dimohonkan itu tidak jelas dasar perolehan haknya dan seharusnya Tergugat I terlebih dahulu menyelidiki data fisik dan data yuridis atas permohonan hak yang diminta oleh Tergugat II-Intervensi.

Read Also  Ulayat

d) Majelis Hakim menimbang bahwa Tergugat I melanggar Asas Kepastian Hukum, dimana Tergugat I dalam menerbitkan Obyek Sengketa tidak berpedoman dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Tergugat II-Intervensi sebagai pemegang sertifikat Hak Pakai, karena diterbitkannya sertipikat Hak Pakai oleh Tergugat I tidak didasarkan pada data yuridis atas tanah tersebut. Selain itu, Majelis Hakim juga menimbang bahwa Tergugat I melanggar Asas Tertib Penyelenggaraan Negara karena tindakan Tergugat I seharusnya berpedoman pada landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian negara, namun faktanya sebakilnya Tergugat I tidak cermat dan hati-hati dalam menerbitkan Objek Sengketa menimbulkan permasalahan hukum di masyarakat. Oleh karena itu, Majelis Hakim menilai bahwa perbuatan Tergugat I yang mengeluarkan Obyek Sengketa dapat dikualifikasikan melanggar AUPB, yaitu Asas Kepastian Hukum dan Asas Tertib Penyelenggaraan Negara.

C. Putusan

Majelis Hakim mengabulkan gugatan untuk seluruhnya. Majelis Hakim menyatakan Obyek Sengketa batal dan mewajibkan Tergugat untuk mencabut Obyek Sengketa tersebut.11 Selanjutnya, pada tingkat banding, Majelis Hakim memutuskan menguatkan tingkat pertama. 12 Selanjutnya, pada tingkat kasasi, Majelis Hakim menyatakan bahwa Judex Facti tingkat pertama dan tingkat banding sudah benar dan tidak ada kesalahan dalam penerapan hukum, karena Objek Sengketa cacat hukum dari segi materiil yang substansial, karena Objek Sengketa adalah tidak diterbitkan atas Tanah Negara, melainkan atas tanah adat yang masih terdaftar pada Letter C atas nama Tuan A.13 Perkara berlanjut pada tingkat peninjauan kembali, dimana Majelis Hakim menyatakan bahwa dalam putusan Judex Facti dan Judex Juris tidak terdapat kesalahan maupun kekhilafan yang nyata. Penerbitan Objek Sengketa oleh Tergugat I tidak sesuai antara data fisik dan data yuridis, karena (i) terdapat cacat yuridis baik prosedural maupun substansial karena tanah yang dimohonkan tidak didasarkan atas alas hak yang jelas perolehannya dan tidak sesuai antara data fisik dan data yuridis, karena tanah tersebut bukan tanah negara akan tetapi tanah milik adat Hak Yasan atas nama Mr. A, dan (ii) seharusnya Tergugat I melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap data fisik dan data yuridis yang benar.14

Penutup

Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa Asas Kepastian Hukum sangatlah erat hubungannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Majelis Hakimpada kasus di atas, pada pertimbangannya secara langsung merujuk pada Asas Kepastian Hukum berdasarkan UU Penyelenggaraan Negara, Majelis Hakim menilai bahwa Tergugat I melanggar Asas Kepastian Hukum karena tidak berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menerbitkan Objek Sengketa. Hal ini berbeda dengan doktrin-doktrin mengenai Asas Kepastian Hukum, dimana pada doktrin-doktrin tersebut tidak secara langsung membahas bahwa Asas Kepastian Hukum yang mengharuskan untuk berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun berfokus pada tujuan Asas Kepastian Hukum menghendaki adanya stabilitas hukum. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila keputusan bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum, maka sudah pasti keputusan tersebut juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan begitu juga sebaliknya, apabila keputusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka sudah pasti keputusan tersebut juga bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum.

Tubagus Wahyu Ryan Wardhana

Sources

  1. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Administrasi Pemerintahan
  2. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Penyelenggaraan Negara
  3. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Administrasi Pemerintahan
  4. Pasal 9 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan
  5. Pasal 1 angka (17) UU Administrasi Pemerintahan
  6. SF Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, hal. 148-149
  7. Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku 2 Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, hlm. 181
  8. Cekli Setya Pratiwi, Christina Yulita, Fauzi, dan Shinta Ayu Purnamawati., Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independesi Peradilan, hlm. 81-82
  9. Cekli Setya Pratiwi, Christina Yulita, Fauzi, dan Shinta Ayu Purnamawati., Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independesi Peradilan, hlm. 15.
  10. S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 1997, hlm. 375
  11. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No. 029/G/2014/PTUN.SMG, hlm. 71-72
  12. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 380/K/TUN2015, hlm. 14
  13. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 380/K/TUN2015, hlm. 33
  14. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 141/PK/TUN2016, hlm. 30