Dr. Eddy M. Leks

Pertanyaan seputar integritas putusan arbitrase tetap menjadi krusial, khususnya ketika ketidakakuratan fakta atau manipulasi fakta muncul dalam pertimbangan majelis arbitrase. Artikel ini mengkaji bagaimana manipulasi fakta dalam suatu putusan arbitrase dapat dikualifikasikan sebagai penipuan dan menjadi dasar pembatalan berdasarkan Undang-Undang Arbitrase Indonesia, sebagaimana ditegaskan oleh yurisprudensi pengadilan Indonesia.

Tipu Muslihat sebagai Alasan untuk Pembatalan Putusan Arbitrase

Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 (“UU Arbitrase dan APS”) secara pokok mengatur bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan jika mengandung unsur, salah satunya, putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut harus diajukan kepada pengadilan negeri dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase terkait.

Baca Juga: Pembatalan Putusan Arbitrase karena Ultra Petita dalam Yurisprudensi

Sebagai salah satu dari tiga unsur yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, maka suatu putusan arbitrase yang diduga yang diambil dari tipu muslihat dapat dilakukan pembatalan. Namun, yang disayangkan adalah bagaimana, dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pembatalan putusan arbitrase, tidak ada penjelasan yang memadai mengenai apa yang dimaksud tipu muslihat dalam putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam UU Arbitrase dan APS. Akibatnya, terkadang menjadi tidak jelas ketika membuktikan keberadaan tipu muslihat dalam suatu putusan arbitrase, terkait sejauh mana putusan arbitrase dapat dikatakan mengandung unsur-unsur tipu muslihat.

Ketika merujuk pada unsur tipu muslihat dalam konteks hukum pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), pada hakikatnya, tindakan tipu muslihat dapat dipahami sebagai suatu tindakan yang dilakukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Sehingga dengan ketiadaan unsur spesifik yang harus dipenuhi dalam permohonan pembatalan putusan arbitrase, dapat mengacu pada unsur-unsur yang ada dalam KUHP tersebut untuk membuktikan keberadaan tipu muslihat dalam suatu putusan arbitrase terkait.

Terkait hal ini, sehingga, dapat disimpulkan bahwa tipu muslihat secara umum ditafsirkan sebagai suatu bentuk tindakan. Namun, dalam konteks pembatalan putusan arbitrase, bagaimana jika tipu muslihat atau manipulasi tersebut tidak sebagai akibat tindakan salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa, tetapi terdapat kekeliruan yang menyimpang dari fakta dan kekeliruan tersebut tercantum di dalam putusan arbitrase?

 

Suatu putusan arbitrase yang diduga yang diambil dari tipu muslihat dapat dilakukan pembatalan.

unsur tipu muslihat

Pemenuhan Unsur Tipu Muslihat tidak Timbul dari Suatu Tindakan

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu dipahami bahwa suatu putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap, serta mengikat para pihaknya yang terlibat. Akibatnya, meskipun memang dapat dilakukan upaya hukum berupa pembatalan, namun pemeriksaan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap unsur-unsur yang sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS. Sehingga, pemeriksaan pembatalan hanya seputar penilaian keabsahan putusan arbitrase yang dikeluarkan dalam lingkup aspek formalitasnya. Pengadilan tidak memiliki wewenang untuk menilai secara substansial dari perkara yang telah diadili melalui arbitrase tersebut.

Baca Juga: Pembatalan Putusan Arbitrase: Permasalahan Kewenangan dalam Hukum Arbitrase

Ketika memahami konsep tipu muslihat secara umum, maka salah satu unsurnya, adalah keberadaan “tindakan dari suatu pihak”. Sehingga pada umumnya, ketika permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan atas dasar tipu muslihat, maka pemohon harus dapat menunjukkan atau membuktikan adanya tindakan tipu muslihat yang diduga telah dilakukan oleh pihak lainnya. Namun dalam praktiknya, penilaian terhadap putusan arbitrase yang diduga diambil dari hasil tipu muslihat, terkadang tidak selalu mengharuskan adanya suatu tindakan dari salah satu pihak yang bersengketa.

Membuktikan keberadaan tipu muslihat yang tidak bertumpu pada suatu tindakan tertentu yang disengaja, tentu akan berbeda. Hal ini dikarenakan, keberadaan tipu muslihat dalam putusan arbitrase mungkin saja dinilai dari pendekatan yang berbeda. Seperti halnya, suatu putusan arbitrase mungkin saja mengandung kesalahan, di mana pertimbangan hukum ataupun putusan yang di keluarkan mungkin tidak sesuai dengan fakta yang ada di dalam persidangan arbitrase.

Kemudian, ketika terjadi hal di mana suatu putusan arbitrase diajukan pembatalan kepada pengadilan negeri atas dasar tipu muslihat, karena putusan tersebut diduga terdapat fakta yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi dalam persidangan, bagaimana akibatnya dan bagaimana pengadilan menilai permohonan tersebut? Lebih lanjut, apakah salah catat atau tulisan yang menyimpang dari fakta, baik sengaja atau tidak sengaja, yang tercantum di dalam putusan arbitrase, dapat menjadi alasan untuk pembatalannya?

 

Pada umumnya, ketika permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan atas dasar tipu muslihat, maka pemohon harus dapat menunjukkan atau membuktikan adanya tindakan tipu muslihat yang diduga telah dilakukan oleh pihak lainnya.

pembatalan putusan arbitrase

PT. Republik Energi & Metal v. Zainal Abidinsyah Siregar, Yurisprudensi Nomor 62 B/Pdt.Sus-Arbt/2017 jo. 332/Pdt.G/Arb/2016/PN Jkt. Pst

Dalam kasus hukum ini, permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase diajukan karena ada perbedaan antara fakta yang terjadi dan apa yang tercantum di dalam putusan arbitrase. Perbedaan fakta tersebut adalah, keberadaan affidavit yang disampaikan di dalam persidangan oleh seorang ahli, dan affidavit tersebut hanya dibacakan di dalam persidangan.

Baca Juga: Banding Pembatalan Putusan Arbitrase dalam Yurisprudensi: Analisis Strategis dalam Hukum Arbitrase Indonesia

Pemohon mendasarkan dalil pembatalan tersebut pada Pasal 70 huruf c UU Arbitrase dan APS. Sebagaimana didalilkan bahwa adanya perbedaan fakta tersebut merupakan bentuk adanya tipu muslihat dalam pemeriksaan sengketa pada persidangan arbitrase sebelumnya. Adapun Pemohon lebih lanjut menyatakan bahwa ahli hukum tersebut secara faktual tidak hadir di dalam persidangan. Namun, putusan arbitrase mencantumkan bahwa ahli tersebut memberi keterangan di persidangan. Fakta ini ditegaskan juga oleh ahli hukum tersebut saat hadir di dalam persidangan permohonan pembatalan di pengadilan negeri.

Selain dalil perbedaan fakta tersebut, Pemohon juga sebenarnya mendalilkan bahwa tipu muslihat juga dilakukan pada tindakan Termohon dalam persidangan arbitrase sebelumnya yang menerangkan hubungan hukum antara para pihak adalah hubungan hutang piutang, yang mana kenyataannya adalah hubungan perjanjian akuisisi saham. Terkait hal ini, Judex Facti dalam pertimbangannya selanjutnya menyatakan bahwa hal tersebut jelas menjadikan dalil pemohon yang menyatakan adanya tipu muslihat berdasarkan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS terbukti. Khususnya, Judex Facti selanjutnya menyatakan:

“Menimbang, bahwa hal ini diperkuat dengan keterangan Ahli yang diajukan oleh Termohon… yang di persidangan menerangkan bahwa dirinya ketika di BANI hanya memberikan Avidavid, tetapi di dalam bukti T-5 berupa putusan arbitrase Nomor 606/VIII/ARB-BANI/2014, halaman 60 dinyatakan… memberikan keterangan di persidangan. Sehingga dengan fakta tersebut Majelis Hakim berpendapat telah menjadi manipulasi persidangan di BANI ketika pemeriksaan Arbitrase yang diajukan oleh Termohon.”

Terhadap putusan tingkat pertama tersebut, kemudian diajukan banding kepada Mahkamah Agung, sebagaimana dalam pertimbangan hukumnya, Judex Juris pada Putusan Nomor 62 B/Pdt.Sus-Arbt/2017, mengatakan:

“Bahwa terbukti Putusan Arbitrase… didasarkan dari hasil manipulasi persidangan ketika pemeriksaan dilakukan oleh… sebagai saksi ahli yang memberikan keterangan di persidangan padahal ahli tidak hadir di persidangan yang bersangkutan hanya memberikan affidavit yang dibacakan.”

Sebagaimana,  Judex Juris kemudian menguatkan putusan pengadilan negeri yang telah membatalkan putusan arbitrase tersebut.

 

Keberadaan unsur tipu muslihat dalam putusan arbitrase tidak selalu mengharuskan pembuktian atas niat atau tindakan tertentu dari pihak lainnya.

Manipulasi fakta

Manipulasi Fakta sebagai Pemenuhan Unsur Tipu Muslihat dalam Pembatalan Putusan Arbitrase

Pengadilan tidak memberikan pertimbangan yang jelas mengenai apakah permasalahan yang berkaitan dengan pernyataan ahli tersebut timbul dari suatu tindakan yang disengaja oleh salah satu pihak, atau apakah karena ketidakkonsistenannya merupakan tipu muslihat, yang memungkinkan dilakukan pembatalan. Sementara itu, tampaknya baik Judex Facti maupun Judex Juris dalam putusan pembatalan ini, tidak mensyaratkan adanya “tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak.” Apa yang jelas adalah, baik kesalahan tersebut merupakan suatu tindakan yang disengaja oleh salah satu pihak yang bersengketa atau tidak, pengadilan tetap memutuskan bahwa putusan tersebut mengandung tipu muslihat, dalam bentuk manipulasi fakta, dan oleh karena itu harus dibatalkan.

Pada akhirnya, yurisprudensi di atas menunjukkan bahwa keberadaan unsur tipu muslihat dalam putusan arbitrase tidak selalu mengharuskan pembuktian atas niat atau tindakan tertentu dari pihak lainnya. Artinya, pengadilan telah memutuskan bahwa ketidaksesuaian antara apa yang terjadi pada persidangan arbitrase dan apa yang tercantum dalam putusan arbitrase, terlepas dari apakah hal tersebut benar-benar disebabkan oleh tergugat, telah cukup bagi pengadilan untuk mempertimbangkan bahwa putusan tersebut mengandung tipu muslihat sebagaimana dimaksud dalam UU Arbitrase dan APS.


Author

Dr. Eddy Marek Leks

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of  BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.


Co-authored

Miskah Banafsaj is an associate at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Reference