Sistem arbitrase di Indonesia, sebagai bagian integral penyelesaian sengketa komersial, telah memberikan alternatif efektif dan efisien di luar peradilan konvensional dengan penerapannya selama ini. Perkembangan sistem arbitrase di Indonesia semakin diperkuat sejak Mahkamah Agung (“MA”) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase (“Perma 3/2023”) yang diundangkan pada 17 Oktober 2023. MA mengesahkan Perma 3/2023 dengan latar belakang untuk mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”), terutama pada Bab III, Bab VI, dan Bab VII.

  1. Kompetensi (Pasal 2-3) Pada Perma ini, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah ditetapkan memiliki kewenangan dalam menangani permohonan pembatalan dan pelaksanaan putusan arbitrase syariah, setelah sebelumnya UU Arbitrase dan APS hanya mengatur mengenai kewenangan Pengadilan Negeri.
  1. Penunjukan Arbiter dan Hak Ingkar (Pasal 4-5) Penunjukan Arbiter (Pasal 4) Dalam kasus ketidaksepakatan pada penunjukan arbiter, para pihak/salah satu pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk menunjuk arbiter/majelis arbitrase. Ketua Pengadilan wajib menunjuk arbiter/majelis arbitrase paling lambat dalam waktu 14 hari setelah permohonan diajukan dalam bentuk penetapan. Terhadap penetapan Ketua Pengadilan tersebut, dapat diajukan hak ingkar paling lambat dalam 14 hari sejak penetapan jika terdapat alasan yang memadai dan bukti autentik yang menimbulkan keraguan terkait independensi arbiter. Hak ingkar dapat diakui jika terbukti adanya hubungan: (i) kekeluargaan, (ii) keuangan, atau (iii) pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya. Ketua Pengadilan akan memeriksa hak ingkar tersebut dengan mendengarkan para pihak, dan akan memberikan penetapan atas permohonan hak ingkar tersebut maksimal 14 hari setelah permohonan diterima.

Hak Ingkar (Pasal 5)

Dalam keadaan lain, ketentuan hak ingkar juga diatur seperti yang terdapat pada UU Arbitrase dan ADR. Apabila tuntutan hak ingkar oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan. Ketua pengadilan akan mendengar para pihak disertai dengan alasan ketidaksetujuannya.

Ketua Pengadilan akan memberikan putusan atas permohonan tersebut paling lambat dalam waktu 14 hari setelah menerima permohonan tanpa adanya upaya hukum terhadapnya. Dalam hal Ketua Pengadilan menyetujui, arbiter pengganti harus diangkat yang tata caranya diatur pada UU Arbitrase dan APS. Apabila ditolak, arbiter tetap melanjutkan tugasnya.

  1. Pendaftaran dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 6-23) Pendaftaran Putusan Arbitrase (Pasal 6-7) Ketentuan baru mengenai pendaftaran secara elektronik putusan arbitrase dikenalkan oleh Perma ini. Dalam 30 hari sejak putusan arbitrase diucapkan, putusan arbitrase nasional/arbitrase syariah nasional harus diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera. Pendaftaran ini dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Pengadilan (“SIP”). Jika arbiter ditunjuk oleh lembaga arbitrase/arbitrase syariah, pendaftaran putusan dilakukan oleh pengurus lembaga tersebut atau kuasanya. Jika lewat batas waktu 30 hari akan menyebabkan putusan tidak dapat didaftarkan di pengadilan. Sementara itu, untuk putusan arbitrase internasional/putusan arbitrase syariah internasional harus diserahkan dan didaftarkan arbiter atau kuasanya pada Panitera Pengadilan Negeri (“PN”)/Panitera Pengadilan Agama (“PA”) Jakarta Pusat. Proses pendaftaran harus disertai dengan:
    1. lembar asli/salinan autentik putusan arbitrase internasional/arbitrase syariah internasional;
    2. lembar asli/salinan autentik perjanjian dasar putusan arbitrase internasional/putusan arbitrase syariah internasional; dan
    3. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat putusan tersebut ditetapkan, yang menyatakan Indonesia terikat perjanjian bilateral/multilateral dengan Negara Pemohon.

Ketentuan mengenai pendaftaran secara elektronik dan pendaftaran oleh lembaga arbitrase/arbitrase syariah pada putusan arbitrase/arbitrase syariah nasional juga berlaku pada putusan arbitrase internasional/putusan arbitrase syariah internasional. Penting juga untuk dicatat bahwa batas waktu pendaftaran putusan arbitrase nasional/arbitrase syariah nasional tidak berlaku untuk pendaftaran putusan arbitrase internasional/syariah internasional di pengadilan.

Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 8-23)

Putusan Arbitrase/Arbitrase Syariah Nasional (Pasal 8-15)

Permohonan pelaksanaan putusan arbitrase, baik nasional maupun internasional, dapat diajukan secara langsung/elektronik. Permohonan juga dapat diajukan untuk seluruh atau hanya untuk sebagian dari putusan arbitrase tersebut.

Ketua Pengadilan mempertimbangkan permohonan tersebut asalkan putusan arbitrase memenuhi syarat Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Arbitrase dan APS serta tidak melanggar kesusilaan/ketertiban umum. Perma ini juga mendefinisikan lebih lanjut ketertiban umum, yaitu segala sesuatu sendi-sendi asasi yang diperlukan untuk keberlangsungan sistem hukum, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat dan bangsa Indonesia.

Jika permohonan ditolak, Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan penolakan yang bersifat final, tanpa dapat diajukan upaya hukum. Perintah Ketua Pengadilan harus ditulis pada lembar asli dan salinan autentik putusan arbitrase/arbitrase syariah nasional. Dalam situasi di mana ada permohonan pembatalan dan pelaksanaan yang diajukan bersamaan, pelaksanaan putusan arbitrase ditunda hingga diterbitkannya putusan pengadilan tingkat pertama atas permohonan pembatalan yang menyatakan menolak/tidak dapat diterima.

Putusan Arbitrase/Arbitrase Syariah Internasional (Pasal 16-23)

Berlaku juga untuk putusan arbitrase internasional, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pelaksanaan kepada Ketua PN/PA Jakarta Pusat baik secara langsung atau melalui SIP. Permohonan pelaksanaan dapat diajukan untuk seluruh atau sebagian putusan.

Ketua Pengadilan memeriksa dan memutuskan permohonan pelaksanaan arbitrase dalam 14 hari setelah pendaftaran. Ketua Pengadilan dalam memutuskan menilai dan berpedoman pada ketentuan Pasal 66 UU Arbitrase dan APS

Lebih lanjut, dalam hal Ketua Pengadilan menilai putusan arbitrase tidak memenuhi syarat yang disebutkan di atas, penolakan Ketua Pengadilan ditetapkan melalui suatu putusan. Jika permohonan disetujui, eksekuatur dicantumkan pada lembar asli dan salinan autentik putusan arbitrase, sedangkan untuk penolakan eksekuatur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat diajukan kasasi.

Sebagai tambahan, putusan arbitrase internasional terkait sengketa yang melibatkan Negara Republik Indonesia hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur MA. MA memutuskan dalam waktu 14 hari setelah permohonan diterima, baik itu menolak atau mengabulkan dengan memberikan eksekuatur, dengan menilai dan berpedoman pada ketentuan Pasal 66 UU Arbitrase dan APS. Ketua Pengadilan akan melaksanakan putusan arbitrase internasional sesuai tata cara perdata.

Putusan pengadilan yang mengabulkan pengakuan dan pelaksanaan perjanjian arbitrase internasional bersifat final tanpa upaya hukum yang dapat dilakukan. Namun, jika permohonan ditolak, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan kasasi. Pemberian Putusan MA harus dilakukan dalam batas waktu 30 hari

  1. Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase/Arbitrase Syariah (Pasal 24-28) Pendaftaran Permohonan (Pasal 24) Permohonan pembatalan putusan arbitrase/arbitrase syariah harus diajukan secara tertulis, baik langsung maupun elektronik paling lambat 30 hari sejak penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase. Permohonan yang melebihi batas waktu tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat formal. Setelah pendaftaran, permohonan harus segera diberitahukan kepada para pihak yang bersengketa dalam waktu maksimal 3 hari. Permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan apabila diduga:
    1. surat/dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
    2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
    3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Unsur-unsur ini harus dimuat dalam permohonan dengan melampirkan dokumen/surat bukti terkait.

Penting untuk dicatat bahwa arbiter dan/atau lembaga arbitrase/syariah tidak termasuk dalam pihak yang dapat diajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Kesalahan ini sering terjadi dan ketentuan ini patut diapresiasi. Keikutsertaan lembaga arbitrase dapat mengakibatkan permohonan pembatalan ditolak.

Pemeriksaan Permohonan Pembatalan Putusan (Pasal 25-26)

Putusan permohonan pembatalan diucapkan paling lambat 30 hari sejak permohonan dibacakan dalam persidangan. Terhadap ketidakhadiran para pihak, berlaku ketentuan berikut:

  1. Jika pemohon tidak hadir pada sidang pertama tanpa alasan yang sah, permohonan gugur;
  2. Jika termohon tidak hadir pada sidang pertama tanpa alasan sah, sidang tetap berlanjut dengan pembacaan permohonan;
  3. Jika termohon tidak hadir pada sidang kedua, dianggap tidak menggunakan haknya untuk memberikan tanggapan.

Dalam proses pembuktian, setiap pihak diberi satu kesempatan untuk mengajukan alat bukti, tetapi jika tak ada alat bukti, dianggap tidak menggunakan haknya dalam proses pembuktian.

Upaya Hukum Pembatalan Putusan (Pasal 27-28)

Terhadap putusan pengadilan yang mengabulkan pembatalan putusan arbitrase/arbitrase syariah, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan banding, baik secara langsung maupun elektronik ke MA pada tingkat pertama dan terakhir. Namun, terhadap putusan yang menolak pembatalan putusan arbitrase/arbitrase syariah, tidak ada upaya hukum yang dapat diajukan.

Permohonan banding harus disampaikan secara tertulis dalam waktu 14 hari sejak putusan diucapkan/diberitahukan kepada para pihak. MA kemudian akan mempertimbangkan dan memutuskan permohonan banding paling lambat 30 hari setelah diregistrasi. Putusan MA bersifat final, dan tidak ada upaya hukum apapun.

  1. Penyitaan (Pasal 29) Salah satu ketentuan yang paling baru yang diatur pada Perma ini adalah mengenai ketentuan penyitaan yang diatur pada Pasal 29. Lebih lanjut, dalam hal arbiter menerbitkan penetapan sita jaminan, arbiter/majelis arbitrase harus mendaftarkan penetapan tersebut ke pengadilan melalui permohonan. Pemohon sita dapat meminta pengadilan untuk melaksanakan penyitaan yang telah didaftarkan kepada pihak termohon sita. Prosedur dan tata cara pelaksanaan penyitaan mengikuti ketentuan hukum acara perdata yang berlaku, dan semua biaya yang timbul akibat penyitaan dibebankan kepada pemohon sita.

Penutup

Sebagai penutup, Perma 3/2023 semakin mengokohkan fondasi hukum arbitrase di Indonesia yang telah dimulai dengan adanya UU Arbitrase dan APS. Peraturan MA tersebut memperjelas terkait pendaftaran, pelaksanaan serta pembatalan putusan arbitrase. Ketentuan mengenai sistem elektronik dalam proses arbitrase pada pengadilan serta ketentuan penyitaan juga merupakan salah satu kebaruan yang memperkuat hubungan arbitrase dan proses beracara dalam pengadilan di Indonesia. Dengan adanya perubahan ini, diharapkan Indonesia dapat menciptakan sistem hukum yang lebih responsif dalam penyelesaian sengketa, utamanya di bidang perdagangan.

Sang Rafi Syuja
Read Also  Podcast on Real Estate Law - Jika Penyewa Lalai Dalam Perjanjian