
Table of Contents
Kerangka Regulasi tentang Sanksi Administratif dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam rangka memperkuat sistem penegakan hukum di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (“Menteri LHK”) telah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pengawasan dan Sanksi Administratif Bidang Lingkungan Hidup (“PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024”). Peraturan ini merupakan bagian dari penguatan penegakan hukum administratif lingkungan dan diterbitkan sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“PP Perlindungan Lingkungan”). PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 juga hadir sebagai peraturan pengganti dari (i) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2013”); (ii) Keputusan Menteri Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pengawas Daerah; (iii) Keputusan Menteri Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup bagi Pengawas; (iv) Keputusan Menteri Nomor 57 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Bagi Pengawas di Kementerian Lingkungan Hidup; dan (v) Keputusan Menteri Nomor 58 Tahun 2002 tentang Tata Cara Bagi Pengawas di Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Pengawasan Usaha dan/atau Kegiatan
Ketentuan mengenai pengawasan terhadap ketaatan usaha dan/atau kegiatan yang ditetapkan dalam perizinan berusaha dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2013 masih diatur sama dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024, yaitu dilaksanakan oleh Menteri LHK, gubernur, atau bupati/wali kota, sesuai dengan wilayah hukumnya masing-masing. Berdasarkan Pasal 493 PP Perlindungan Lingkungan, kewenangan pengawasan disesuaikan dengan penerbitan persetujuan lingkungan. Menteri LHK mengawasi persetujuan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat, gubernur dari pemerintah daerah provinsi, dan bupati/wali kota dari pemerintah daerah kabupaten/kota.
PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 mengatur secara lebih spesifik mengenai tata cara pengawasan, di mana pengawasan dapat dilaksanakan secara reguler dan insidental. Lebih lanjut, pengawasan reguler dapat dilaksanakan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengawasan reguler secara langsung dilaksanakan terhadap usaha dan/atau kegiatan sebagai berikut:
- merupakan objek vital nasional atau objek pengawasan yang menjadi prioritas daerah;
- menjadi perhatian masyarakat;
- menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan serta ancaman terhadap ekosistem dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia;
- memiliki Sertifikat Kelayakan Operasi (SLO) lebih dari 1 (satu) tahun sejak tanggal penerbitan (i.e., bagi usaha dan/atau kegiatan yang melakukan kegiatan pembuangan emisi, pembuangan limbah, dan/atau pengelolaan limbah B3);
- telah beroperasi lebih dari 2 (dua) tahun; dan/atau
- melakukan pelanggaran berulang dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.
Pengawasan reguler secara langsung dilaksanakan dengan cara (i) verifikasi lapangan; (ii) pemasangan alat pemantauan secara kontinu; dan/atau (iii) interoperabilitas informasi pemantauan secara kontinu.
Pengawasan reguler secara tidak langsung dilaksanakan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang: (i) memiliki SLO paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal penerbitan; atau (ii) baru beroperasi paling lama 2 (dua) tahun dan berturut-turut berstatus taat berdasarkan hasil penilaian kinerja. Pengawasan reguler secara tidak langsung dilakukan melalui penelaahan data dan informasi laporan yang diberikan oleh penanggung jawab dari usaha dan/atau kegiatan.
“Pengawasan insidental dilakukan sebagai respons cepat terhadap pengaduan masyarakat atau keadaan darurat yang dilaporkan oleh pelaku usaha”
Pengawasan insidental dilakukan terhadap usaha dan/atau kegiatan sebagai tanggapan atas (i) aduan masyarakat yang menduga adanya ketidakpatuhan oleh usaha dan/atau kegiatan (ii) laporan dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terkait keadaan darurat; dan/atau (iii) aduan masyarakat mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang belum diketahui sumber dan penanggung jawabnya.

Pengawasan Lapis Kedua
“Pengawasan lapis kedua oleh Menteri LHK dilakukan jika ditemukan pelanggaran serius di bidang lingkungan hidup atau jika pemerintah daerah tidak menjalankan fungsinya”
Ketentuan mengenai pengawasan lapis kedua ini sebelumnya sudah diatur dalam Pasal 8 PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2013, yaitu Menteri LHK dapat menerapkan sanksi administratif terhadap persetujuan lingkungan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Menteri LHK menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 memperjelas wewenang pengawasan lapis kedua oleh Menteri LHK untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap kepatuhan persetujuan lingkungan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah jika (i) dianggap telah terjadi pelanggaran serius di bidang lingkungan hidup; dan (ii) pemerintah daerah tidak melaksanakan pengawasan. Berdasarkan Pasal 29 PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024, yang dimaksudkan sebagai pelanggaran yang serius adalah sebagai berikut:
- Tindakan melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dengan kriteria (i) pelanggaran yang menjadi isu nasional dan merupakan kebijakan nasional; (ii) terindikasi menimbulkan dampak kepada kesehatan dan keselamatan manusia dan lingkungan; dan/atau (iii) terindikasi dampak pencemaran luas dan/atau melintasi batas wilayah; atau
- Pelanggaran tersebut menimbulkan keresahan masyarakat yang bersumber baik dari media pengaduan, media massa, dan/atau media sosial.
Selain dari alasan tersebut, gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan wilayah hukumnya juga dapat mengajukan permohonan kepada Menteri LHK untuk melakukan pengawasan terhadap perizinan berusaha atau persetujuan lingkungan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah jika:
- Telah dilakukan upaya penegakan hukum, pelanggaran tetap dilakukan; dan/atau
- Terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang tidak dapat ditangani oleh pemerintah daerah.
Bentuk Sanksi Administratif pada Sektor Lingkungan
Bentuk sanksi administratif yang diatur dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2013 dan PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 pada dasarnya tetap sama, yaitu (i) teguran tertulis; (ii) paksaan pemerintah; (iii) denda administratif; (iv) pembekuan perizinan berusaha; (v) pencabutan perizinan berusaha.
- Teguran Tertulis
Dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 teguran tertulis diberikan atas pelanggaran ringan sebagaimana tercantum dalam Lampiran XV PP Perlindungan Lingkungan (e.g., tidak melakukan pemantauan pada air permukaan/air tanah/tanah, tidak memiliki sistem tanggap darurat pencemaran air, dan lainnya). Pihak yang diberikan teguran tertulis wajib menindaklanjuti teguran tertulis yang diberikan dalam waktu paling lama 30 hari kalender sejak diterimanya teguran tertulis. Pada PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2013, teguran tertulis diberikan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran terhadap persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam persetujuan lingkungan, tetapi tidak belum menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2013 juga tidak mengatur terkait batas waktu untuk menindaklanjuti teguran tertulis bagi pihak yang diberikan sanksi tersebut. - Paksaan Pemerintah
Paksaan pemerintah dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 dikenakan sebagai tindaklanjut dari ketidakpatuhan pihak yang tidak melaksanakan perintah dalam teguran tertulis dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Paksaan pemerintah juga dapat dikenakan tanpa didahului teguran tertulis apabila (i) ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan; (ii) dampak yang lebih besar dan luas dapat terjadi jika tidak segera dihentikan; dan/atau (iii) kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan. Paksaan pemerintah tersebut dapat berbentuk penghentian sementara suatu kegiatan, penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi, penyitaan terhadap barang atau alat tertentu, dan tindakan lainnya yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. Sedangkan dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2013, paksaan pemerintah diterapkan dalam hal pelanggaran terhadap persetujuan lingkungan mengakibatkan kerusakan lingkungan.
“Denda administratif dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 dapat dikenakan hingga maksimal Rp3 miliar untuk setiap pelanggaran”
- Denda Administratif
Dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2013 denda administratif dikenakan sebagai akibat dari keterlambatan pelaksanaan paksaan pemerintah. Sedangkan dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024, denda administratif dapat dikenakan bersamaan dengan sanksi paksaan pemerintah. Selain itu PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2013 juga tidak mengatur mengenai jumlah denda administratif yang dapat dikenakan. Namun, saat ini melalui PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024, saat ini pemerintah telah menetapkan denda administratif paling banyak adalah Rp3.000.000.000 (tiga miliar Rupiah) untuk setiap pelanggaran. PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 juga mengatur secara spesifik mengenai tata cara perhitungan denda administratif yang sebelumnya tidak diatur dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2013, sebagai berikut:
- tidak memiliki persetujuan lingkungan namun memiliki perizinan berusaha sebesar 2.5% dari nilai investasi usaha dan/atau kegiatan atau tidak memiliki persetujuan lingkungan dan perizinan berusaha sebesar 5% dari nilai investasi usaha dan/atau kegiatan;
- terlampauinya baku mutu air limbah atau baku mutu emisi ditentukan sesuai dengan Lampiran VII PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024;
- tidak melaksanakan kewajiban dalam perizinan berusaha sehubungan dengan persetujuan lingkungan yang ditetapkan dalam PP Perlindungan Lingkungan (e.g., tidak melakukan pengelolaan air limbah, menyampaikan data palsu, dan lainnya), ditentukan sesuai dengan Lampiran VIII PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024;
- penyusunan Amdal tanpa sertifikat kompetensi penyusunan Amdal, sebesar 10% dari biaya penyusunan Amdal; dan/atau
- keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah ditentukan sesuai dengan Lampiran X PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024.
- Pembekuan Perizinan Usaha
Baik dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2013 dan PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024, pembekuan perizinan berusaha sama-sama dapat dikenakan terhadap pihak yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Namun dalam, PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 juga memuat ketentuan bawha pembekuan perizinan berusaha juga dapat dikenakan terhadap pihak yang (i) tidak melunasi pembayaran denda administratif; dan/atau (ii) tidak melunasi pembayaran denda atas keterlambatan pelaksanaan paksaan pemerintah. - Pencabutan Perizinan Berusaha
Dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2013 dan PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024, pencabutan perizinan berusaha dapat dikenakan terhadap pelaku usaha yang tidak melaksanakan kewajiban dalam pembekuan perizinan berusaha. Selain itu dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024, pencabutan perizinan berusaha juga dikenakan terhadap kegiatan dan/atau usaha yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang tidak dapat ditanggulangi atau sulit dipulihkan.

Penerapan Sanksi Administratif terhadap Kewajiban Persetujuan Lingkungan atas Kegiatan Pembangunan Gedung
Berdasarkan Pasal 36A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, pelaksanaan pembangunan gedung wajib dilakukan setelah mendapatkan Persetujuan Bangunan Gedung (“PBG”). Sebelum tahun 2020, permohonan izin mendirikan bangunan, yang saat ini dikenal sebagai PBG, mensyaratkan terlebih dahulu adanya persetujuan lingkungan melalui penyusunan dokumen lingkungan berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (“Amdal”) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (“UKL-UPL”). Ketentuan mengenai wajibnya Amdal atau UKL-UPL yang diatur dalam Pasal 32 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 05/PRT/M/2016 Tahun 2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan sebagaimana diubah oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 06/PRT/M/2017, saat ini telah dihapuskan melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan Gedung (“PermenPUPR tentang Izin Mendirikan Gedung”). Dengan dihapusnya ketentuan tersebut, timbul keraguan apakah penerbitan PBG akan tetap akan didahului oleh persetujuan. Namun demikian, meskipun ketentuan tersebut telah dicabut, Pasal 3 ayat (1) PP Perlindungan Lingkungan mengatur bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting atau tidak penting terhadap lingkungan wajib memiliki persetujuan lingkungan.
“Pemerintah harus memperjelas dan mengatur bahwa persetujuan lingkungan merupakan prasyarat untuk mengajukan persetujuan bangunan gedung”
Pasal 3 ayat (3) PP Perlindungan Lingkungan menyebutkan bahwa persetujuan lingkungan merupakan prasyarat penerbitan perizinan berusaha. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 juga telah mengatur mengenai sanksi bagi usaha dan/atau kegiatan yang memiliki perizinan berusaha namun tidak memiliki persetujuan lingkungan dikenakan denda sebesar 2.5%. Berdasarkan ketentuan tersebut, muncul pertanyaan apakah PBG merupakan perizinan berusaha sebagaimana dimaksudkan dalam PP Perlindungan Lingkungan dan PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024, sehingga berlaku ketentuan bahwa persetujuan lingkungan merupakan prasyarat sebelum terbitnya PBG dan kegiatan pembangunan gedung yang telah memperoleh PBG namun tidak memiliki persetujuan lingkungan dapat dikenakan denda administratif sebesar 2.5%.
Baca Juga: Persetujuan Bangunan Gedung
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 PP Perlindungan Lingkungan, perizinan berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya (i.e., segala bentuk aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan terhadap lingkungan hidup serta menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup). Meskipun PP Perlindungan Lingkungan mendefinisikan perizinan berusaha secara luas, namun ketentuan yang berlaku sehubungan dengan perizinan berusaha saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP Perizinan Berusaha”). Dalam PP Perizinan Berusaha dijelaskan bahwa penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko terdiri atas (i) persyaratan dasar; (ii) perizinan berusaha; (iii) perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha. Persyaratan dasar sendiri terdiri atas kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, PBG, dan Sertifikat Laik Fungsi. Sedangkan perizinan berusaha terdiri atas Nomor Induk Berusaha, Sertifikat Standar, dan/atau Izin. Melihat dari pembagian tersebut maka secara jelas tergambar bahwa PP Perizinan Berusaha membedakan persyaratan dasar dan perizinan berusaha, sehingga dapat dikatakan bahwa PBG bukanlah perizinan berusaha.
Dengan tidak masuknya PBG sebagai perizinan berusaha, maka ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP Perlindungan Lingkungan yang menjadikan persetujuan lingkungan sebagai prasyarat penerbitan perizinan berusaha tidak berlaku terhadap penerbitan PBG. Lebih lagi PermenPUPR tentang Izin Mendirikan Gedung tidak mewajibkan agar persetujuan lingkungan diperoleh terlebih dahulu sebelum permohonan PBG. Pengenaan denda administratif yang diatur dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 sebesar 2.5% bagi kegiatan yang telah memiliki perizinan berusaha namun belum memiliki persetujuan lingkungan, juga menjadi tidak tepat terhadap kegiatan pembangunan bangunan gedung yang telah memiliki PBG tetapi tidak memiliki persetujuan lingkungan, dikarenakan PBG bukanlah salah satu perizinan berusaha.
Situasi ini menciptakan ketidakkonsistenan regulasi dan perbedaan pemaknaan antara apa yang dianggap sebagai perizinan berusaha dalam PP Perlindungan Lingkungan, yaitu, dapat mencakup PBG, dengan apa yang dianggap sebagai perizinan berusaha berdasarkan PP Perizinan Berusaha yang mengecualikan PBG sebagai perizinan berusaha. Meskipun Pasal 3 ayat (1) PP Perlindungan Lingkungan mewajibkan segala kegiatan untuk memiliki persetujuan lingkungan. Namun, di sisi lain tidak ada ketentuan yang secara spesifik mewajibkan persetujuan lingkungan untuk diperoleh terlebih dahulu sebelum diterbitkannya PBG. Terdapat kewajiban untuk memperoleh Amdal atau UKL-UPL untuk pengembangan properti dengan skala tertentu. Namun, kewajiban tersebut mungkin tidak dianggap sebagai prasyarat untuk mengajukan PBG. Terlebih lagi pengenaan denda administratif sebesar 2.5% yang diatur dalam PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 menjadi tidak relevan untuk diterapkan dikarenakan berdasarkan PP Perizinan Berusaha PBG bukanlah suatu perizinan berusaha. Ketidakharmonisan ini menunjukkan perlunya sinkronisasi lebih lanjut antara regulasi di sektor lingkungan hidup dan sektor perizinan berusaha saat ini.
Panduan yang Komprehensif tetapi Kurang Harmonis
PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 hadir sebagai pembaruan terhadap kebijakan pengawasan dan sanksi administratif di bidang lingkungan hidup yang memperkuat penegakan hukum administratif lingkungan sebagai tindak lanjut dari PP Perlindungan Lingkungan. PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 juga mengatur secara lebih rinci mekanisme pengawasan, mempertegas kewenangan pengawasan lapis kedua oleh Menteri LHK, serta mengatur lebih spesifik bentuk sanksi administratif. Meski PermenLHK tentang Sanksi Administratif 2024 sudah cukup rinci dalam mengatur penerapan pengenaan sanksi administratif dan pengawasan pada sektor lingkungan, tetapi dalam konteks penerapan kewajiban persetujuan lingkungan dan pengenaan sanksi khususnya pada sektor pembangunan gedung masih belum jelas. Ketentuan yang kurang jelas ini tidak hanya membingungkan pelaku usaha, tetapi juga berpotensi melemahkan perlindungan lingkungan hidup. Perlu ada evaluasi menyeluruh dan penyelarasan antar regulasi agar sistem perizinan benar-benar mendukung kepastian hukum dan keberlanjutan lingkungan. Lebih baik untuk mewajibkan perolehan persetujuan lingkungan, baik Amdal atau UKL-UPL, sebelum penerbitan PBG. Ketika proses ini dipisahkan, kerusakan lingkungan dapat terjadi dan mengembalikannya ke kondisi semula, jika memungkinkan, akan memakan biaya yang lebih besar daripada mencegah kerusakan tersebut sejak awal.
Author

Ardelia Ignatius is an Associate in Leks&Co. She obtained a law degree from Atma Jaya Catholic University of Indonesia. She joined Leks&Co as an intern and then later on promoted as an Associate. Her practice area covers real estate, general corporate/commercial, commercial dispute resolution, and construction. She has been actively in corporate and commercial matters, with experience in legal due diligence for land acquisition. She has contributed to the Indonesia Chapter of Global Arbitration Review – Construction Arbitration 2024, sharing insights on arbitration in the construction sector.
Editor

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Sources:
- Law Number 28 of 2002 on Building;
- Law Number 6 of 2023 on Enactment of Regulation of the Government In Lieu of Law Number 2 of 2022 On Job Creation into Law;
- Government Regulation Number 22 of 2021 on the Implementation of Environmental Protection and Management;
- Government Regulation Number 28 of 2025 on the Implementation of Risk-Based Business Licensing;
- Minister of Environment and Forestry Regulation Number 14 of 2024 on the Implementation of Supervision and Administrative Sanctions in the Environmental Sector;
- Minister of Environment and Forestry Regulation Number 2 of 2013 on Guidelines for the Imposition of Administrative Sanction in the Environmental Protection and Management Sector;
- Minister of Public Works and Public Housing Regulation Number 05/PRT/M/2016 on Building Construction Permits;
- Minister of Public Works and Public Housing Regulation Number 06/PRT/M/2017 on the Amendment to Minister of Public Works and Public Housing Regulation Number 05/PRT/M/2016 on Building Construction Permits; and
- Minister of Public Works and Public Housing Regulation Number 2 of 2020 on the Second Amendment to Minister of Public Works and Public Housing Regulation Number 05/PRT/M/2016 on Building Construction Permit.

