Pendahuluan
Eksistensi Hutan Adat sebagai salah satu bentuk hak ulayat Masyarakat Hukum Adat (“MHA”) merupakan pengejawantahan dari jaminan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI”.

Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat.1 Hutan Adat termasuk kedalam kategori hutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan  Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Kehutanan”). Kategorisasi ini ditegaskan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (“Putusan MK 35/2012”) yang menentukan bahwa Hutan Adat merupakan hutan hak, dan bukan merupakan hutan negara. the Regulation of the Minister of Environment and Forestry Number 9 of 2021 on the Management of Social Forestry.

Putusan MK 35/2012 membawa suatu perubahan radikal terhadap “konsepsi” Hutan Adat di Indonesia. Sebelumnya,  UU Kehutanan mengkategorikan Hutan Adat sebagai hutan negara. Dalam konsepsi ini, Hutan Adat adalah hutan negara (hutan yang tidak dibebani hak atas tanah) yang diserahkan pengelolaannya kepada Masyarakat Hukum Adat. Dengan demikian, posisi Masyarakat Hukum Adat hanyalah sebagai “kuasa dari negara” yang sekedar memperoleh hak untuk “mengelola” Hutan Adat.

Pasca Putusan MK 35/2012 yang menentukan bahwa hutan adalah adalah hutan hak dan bukan hutan negara, maka Masyarakat Hukum Adat diakui sebagai pemilik dari Hutan Adat dan bukan sekedar pengelola dari wilayah Hutan Adat terkait.2 Hal ini tentu berarti besar bagi pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan penghormatan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang kini memiliki posisi yang lebih kuat atas Hutan Adat mereka.

Pengakuan atas Hutan Adat merupakan bagian dari Sistem Pengelolaan Perhutanan Sosial dimana masyarakat bertindak sebagai pelaku utama atau mitra utama dalam pengelolaan hutan untuk mencapai kesejahteraan dan kelestarian hutan tanpa merubah status dan fungsi hutan. Dalam konteks Hutan Adat, MHA diposisikan sebagai pelaku utama, karena mereka bertindak sebagai pemilik sekaligus pengelola areal Hutan Adat.

Hutan Adat dapat berasal dari hutan negara dan/atau bukan hutan negara.3 Sebagaimana fungsi pokok hutan secara umum yang tertuang dalam UU Kehutanan, Hutan Adat memiliki fungsi pokok serupa yaitu:

a.       Fungsi konservasi;
b.       Fungsi lindung; dan/atau
c.       Fungsi produksi.

Pengakuan Hutan Adat
Hutan Adat “dimiliki” dan “dikelola” oleh Masyarakat Hukum Adat melalui suatu Penetapan Pengakuan Hutan Adat. Perlu digarisbawahi bahwa Pengakuan Hutan Adat adalah suatu tindakan accesoir/tindakan lanjutan yang harus didahului oleh tindakan pendahuluan yaitu “pengakuan atas Masyarakat Hukum Adat”. Dengan demikian pengakuan atas Masyarakat Hukum Adat adalah syarat pendahuluan yang harus dipenuhi sebelum Permohonan Pengakuan Hutan Adat dapat diajukan.

1.       Permohonan Pengakuan Hutan Adat
Pengakuan Hutan Adat diajukan melalui permohonan yang diajukan oleh Pemangku Adat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (“Menteri LHK) dengan memenuhi syarat sebagai berikut:4

a.       Syarat Mutlak

1)      Identitas MHA yang memuat:

a)       Nama MHA;
b)      Nama ketua MHA;
c)       Alamat domisili ketua MHA.

Read Also  Leks&Co will participate as facilitator in a workshop on Thoroughly Review the Legal Aspect of Real Estate Development by Kontan Academy on 2 December 2015 at Hotel Santika Premiere - Jakarta

2)      Peta Wilayah Adat yang ditandatangani ketua MHA;

3)      Surat Pernyataan yang ditandatangani ketua MHA dan memuat:

a)       Penegasan bahwa areal yang diusulkan berada dalam wilayah adat;
b)      Persetujuan penetapan fungsi Hutan Adat yang diusulkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

b.      Syarat Toleransi

4)      Perda dan/atau keputusan gubernur/bupati/walikota tentang pengukuhan MHA.

2.       Kriteria Hutan yang Dapat Ditetapkan sebagai Hutan Adat

a.       Berada di dalam Wilayah Adat;
b.       Merupakan areal berhutan dengan batas yang jelas dan dikelola sesuai kearifan lokal MHA yang bersangkutan;
c.       Berasal dari kawasan hutan negara dan/atau diluar kawasan hutan negara; dan
d.       Masih ada kegiatan pemungutan hasil hutan oleh MHA di sekitar wilayah hutan disekitarnya untuk pemenuhan hidup sehari-hari.

3.       Validasi dan Verifikasi Permohonan

a.       Validasi Administrasi
Terhadap permohonan mengenai pengakuan Hutan Adat yang diajukan oleh pemangku adat, Menteri LHK menugaskan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan (“Dirjen PSK”) untuk melakukan validasi dan verifikasi terhadap kelengkapan persyaratan dan kebenaran dokumen permohonan.

Hasil validasi dapat berupa:

1)      Persyaratan lengkap dan benar; atau
2)      Persyaratan tidak lengkap dan/atau tidak benar (baik syarat mutlak maupun syarat toleransi)

Dalam hal persyaratan tidak lengkap dan/atau tidak benar, Dirjen mengembalikan permohonan kepada pemohon untuk dilengkapi. Jika dalam jangka waktu 180 hari persyaratan gagal dilengkapi, maka permohonan ditolak.
Permohonan diterima dan ditindaklanjuti oleh Dirjen PSK dengan melakukan verifikasi lapangan dalam hal hasil validasi menyatakan bahwa:

1)      Persyaratan lengkap dan benar; atau
2)   Persyaratan mutlak telah lengkap, akan tetapi persyaratan toleransi berupa Perda pengukuhan eksistensi MHA dan/atau keputusan gubernur/bupati/walikota tentang pengukuhan MHA belum terpenuhi, namun Wilayah Adat telah ditetapkan oleh bupati/walikota.

Aturan ini menunjukan suatu keunikan karena mengindikasikan dimungkinkan adanya suatu kondisi, “dimana eksistensi MHA belum diakui, akan tetapi eksistensi Wilayah Adatnya telah diakui lebih dulu”.

Dapat ditarik kesimpualan bahwa permohonan ditolak jika permohonan tidak memenuhi syarat mutlak dan syarat toleransi, tetapi tetap dapat ditindaklanjuti jika permohonan masih memenuhi syarat mutlak meskipun belum memenuhi syarat toleransi.

b.      Verifikasi Lapangan
Verifikasi lapangan dilakukan untuk memastikan kesesuaian antara data dengan fakta lapangan dan dilaksanakan oleh tim terpadu yang dibentuk dan ditetapkan oleh Dirjen PSK.5 Tim tersebut bertugas untuk memastikan:

1)      Keberadaan pemohon dan keabsahan dokumen permohonan penetapan status Hutan Adat;
2)      Letak dan fungsi calon Hutan Adat;
3)      Kondisi tutupan lahan calon Hutan Adat;
4)      Keberadaan calon Hutan Adat dalam rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota;
5)      Kelayakan areal yang dimohon untuk ditetapkan statusnya menjadi Hutan Adat.

Hasil verifikasi lapangan dituangkan dalam berita acara dan laporan hasil verifikasi Hutan Adat.6

4.       Penetapan Hutan Adat
Berdasarkan berita acara dan laporan hasil verifikasi lapangan, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja, Dirjen PSK atas nama Menteri LHK menerbitkan keputusan penetapan status Hutan Adat.7

5.       Ketentuan Toleransi
Seringkali terjadi kondisi dimana, secara nyata eksistensi suatu Masyarakat Hukum Adat memang benar adanya, tetapi mereka tidak dapat memperoleh hak-haknya dikarenakan belum adanya pengakuan secara hukum atas eksistensi mereka. Belum semua MHA mendapatkan pengakuan dari pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah atau Penetapan Kepala Daerah sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Read Also  Pengaturan Izin Prinsip dan Izin Investasi Terbaru Tahun 2015

Kondisi ini dilatarbelakangi fakta belum semua pemerintah daerah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap MHA, ditambah lagi dengan minimnya advokasi yang diperoleh MHA untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Tentu saja kondisi ini menjadi rintangan bagi agenda pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat, khususnya terhadap Pengakuan Hutan Adat. Mengingat, pengakuan atas MHA adalah syarat pendahuluan yang wajib dipenuhi terlebih dahulu sebelum MHA terkait dapat mengajukan Permohonan Pengakuan atas Hutan Adat mereka.

Menanggapi hal ini, Permen LHK 9/2021 memberikan toleransi dan kebijaksanaannya. Pasal 71 Permen LHK 9/2021 menentukan bahwa, dalam hal suatu permohonan pengakuan atas Hutan Adat diajukan oleh MHA yang belum mendapatkan pengakuan atas eksistensinya melalui Perda/Keputusan Kepala Daerah, namun Wilayah Adatnya telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota, terhadap permohonan itu Dirjen PSK atas nama Menteri LHK menerbitkan Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat. Wilayah Indikatif Hutan Adat ini dapat ditetapkan statusnya menjadi Hutan Adat setelah Perda/Keputusan Kepala daerah yang mengakui MHA terkait dikeluarkan.

6.       Beberapa Isu Penting terkait Permohonan Pengakuan Status Hutan Adat

a.       Terkait Peta Wilayah Adat sebagai Syarat Mutlak
Pada prinsipnya, Peta Wilyah Adat sebagai salah satu syarat yang wajib dipenuhi dalam proses Pengakuan Hutan Adat dibuat dan diajukan oleh anggota MHA terkait. MHA adat sendirilah yang secara aktif mengidentifikasi dan melakukan pemetaan terhadap wilayah adat yang secara nyata mereka tempati sebagai ruang hidup. Dalam pelaksanaannya, Menteri LHK berperan untuk memfasilitasi pelaksanaan identifikasi dan pemetaan Wilayah Hukum Adat.

Hasil identifikasi dan pemetaan Wilayah Adat tersebut kemudian disampaikan kepada gubernur/bupati/wali kota sebagai dasar penerbitan keputusan pengakuan MHA sebagai syarat dan dasar diterbitkannya Penetapan Pengakuan Hutan Adat.

b.      Terkait Hutan Adat yang berasal dari Hutan Negara
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Hutan Adat dapat berasal dari Hutan Negara dan/atau Non Hutan Negara. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah,8 ini berarti bahwa Hutan Negara adalah hutan langsung dikuasai oleh negara.

Putusan MK 35/2012 menentukan bahwa Hutan Adat masuk kedalam kategori hutan hak. Dengan demikian, status hutan negara suatu areal hutan berakhir ketika Penetapan Pengakuan Status Hutan Adat diterbitkan.

Penutup
Perlindungan terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat atas Hutan Adat mereka merupakan amanah Konstitusi yang wajib ditaati. Dalam pelaksanannya, suatu Pengakuan Hutan Adat harus terlebih dahulu didahului dengan tindakan Pengakuan atas Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat. Proses pengakuan didahului dengan Permohonan yang diajukan oleh Pemangku Adat kepada Menteri LHK. Penetapan Pengakuan Hutan Adat diterbitkan jika proses validasi dan verifikasi menunjukan bahwa permohonan yang diajukan telah dilengkapi dengan syarat dan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

Avaya Ruzha Avicenna

Sources

  1. Article 1 point 8 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial (Permen LHK 9/2021)
  2. Pasal 1 angka 70 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (PP 23/2021), Pasal 1 angka 23 Permen LHK 9/2021
  3. Pasal 62 ayat (1) Permen LHK 9/2021
  4. Pasal 66 Permen LHK 9/2021
  5. Pasal 68 Permen LHK 9/2021
  6. Pasal 69 ayat (6) Permen LHK 9/2021
  7. Pasal 70 Permen LHK 9/2021
  8. Pasal 1 huruf d UU Kehutanan