
Peraturan Perizinan Berbasis Risiko yang baru diterbitkan menjanjikan proses yang lebih cepat, jelas, dan dapat diprediksi untuk izin-izin penting seperti KKPR, Persetujuan Lingkungan, dan Persetujuan Bangunan—izin-izin yang diketahui oleh pengembang properti dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan jadwal proyek. Namun, perkembangan baru ini tidak datang tanpa tantangan baru.
Kerangka Hukum bagi Perizinan Berusaha: 2021 versus 2025
Pada tanggal 5 Juni 2025 lalu, Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko”) yang mencabut pendahulunya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko 2021”). Sistem Online Single Submission (“OSS”) serta Sistem Indonesia National Single Window yang ada wajib disesuaikan dengan ketentuan PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko paling lama 4 (empat) bulan sejak PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko diundangkan, yakni 4 bulan sejak 5 Juni 2025.
Baca Juga: Location Permit based on Business Licensing Application Through Online Single Submission
Dalam bagian umum penjelasan PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, dikatakan bahwa terdapat perubahan besar yang dilakukan pada PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yaitu adanya Service Level Agreement (“SLA”) dan pengaturan fiktif positif. Adapun yang dimaksud SLA adalah kepastian hukum mengenai jangka waktu pada setiap proses perizinan berusaha berbasis risiko, terutama pada bagian persyaratan dasar yang mencakup Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (“KKPR”), Persetujuan Lingkungan (“PL”), Persetujuan Bangunan Gedung (“PBG”), dan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung (“SLF”).
Pengaturan fiktif positif dalam hukum administrasi Indonesia sebenarnya telah ada sejak Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”) yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”). Pasal 53 ayat (4) UU Administrasi Pemerintahan yang diubah dengan UU Cipta Kerja mengatur sebagai berikut:
“Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.”
Rumusan tersebut memberikan 3 unsur ketentuan fiktif positif, yaitu adanya batas watu (SLA), tidak adanya tindakan dalam batas waktu, dan permohonan dianggap dikabulkan secara hukum. PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, khususnya pada bagian persyaratan dasar, mengatur SLA dan dianggap dipenuhinya tindakan pada tahapan tertentu dari keseluruhan permohonan perizinan ketika SLA terlampaui. Hal inilah yang akan kita telusuri dengan detail pada bagian selanjutnya.
Baca Juga: Risk-Based Criteria Business Licensing
Dalam memulai usaha dan menjalankan usaha, penting bagi perusahaan-perusahaan properti untuk memenuhi persyaratan dasar berupa KKPR, PL, PBG, dan SLF. Berbeda dengan sektor usaha lainnya yang tidak selalu perlu memperoleh PBG dan yang PL-nya tidak rumit, sektor properti dapat dikatakan sektor kelas berat yang harus memenuhi seluruh persyaratan dasar ini dengan standar yang tinggi pula. Oleh karena itu, peningkatan efektivitas layanan untuk memperoleh persyaratan dasar tentunya akan sangat berpengaruh pada keseluruhan proses perizinan yang harus dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan properti. Artikel ini akan membahas apakah benar pengaturan fiktif positif dalam PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko merupakan sebuah harapan segar bagi sektor properti dalam mengurus perizinan. Artikel ini akan membatasi pembahasannya pada persyaratan dasar berupa KKPR, PL, dan PBG. Adapun SLF tidak akan dibahas karena dalam PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko tidak terdapat pengaturan fiktif positif apapun dalam pengurusan SLF.

Persyaratan Dasar untuk Perusahaan Real Estat
Bagian ini akan membahas masing-masing persyaratan dasar satu persatu secara mendalam.
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
“Apabila pertimbangan teknis pertanahan tidak tercakup dalam hasil penilaian dalam jangka waktu 20 hari kerja…, maka persetujuan KKPR diterbitkan tanpa memerlukan pertimbangan teknis pertanahan”
Pasal 1 angka 27 PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko mendefinisikan KKPR sebagai “…kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang”. KKPR termasuk dalam subtahapan pemenuhan persyaratan dasar yang harus dipenuhi dalam memulai usaha. Dalam PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, KKPR dibedakan menjadi KKPR dengan lokasi usaha di darat dan/atau di laut, tapi yang akan dibahas pada bagian ini hanya KKPR dengan lokasi usaha di darat. Seperti dalam PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko 2021, PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko juga membedakan mekanisme KKPR menjadi konfirmasi KKPR atau persetujuan KKPR berdasarkan telah ada atau tidaknya Rencana Detail Tata Ruang (“RDTR”).
Mekanisme konfirmasi KKPR jauh lebih sederhana dibandingkan persetujuan KKPR karena hanya perlu memeriksa kesesuaian rencana lokasi kegiatan pemanfaatan ruang yang dilakukan secara otomatis melalui sistem OSS. Apabila rencana lokasi kegiatan sesuai dengan RDTR maka konfirmasi akan diterbitkan secara otomatis, dan apabila tidak sesuai maka akan ditolak secara otomatis.
Baca Juga: Key Changes and Additions on the Association of the Owner and Tenant of Condominium Unit
PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko mengatur SLA untuk tahapan-tahapan persetujuan KKPR serta adanya pengaturan fiktif positif di bagian akhir menjelang penerbitan persetujuan KKPR. Mekanisme persetujuan KKPR dilakukan dengan tahapan pendaftaran, pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang, penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang, dan penerbitan persetujuan KKPR. Pertama-tama pelaku usaha melakukan pendaftaran persetujuan KKPR melalui sistem OSS dengan melengkapi dokumen dan membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (“PNBP”). Proses dilanjutkan ke pemeriksaan kebenaran dokumen paling lama 5 hari kerja sejak pembayaran PNBP terpenuhi. Dokumen usulan yang tidak benar akan dikembalikan dan pelaku usaha memiliki kesempatan untuk memperbaiki sebanyak dua kali. Apabila setelah dua kali memperbaiki, dokumen usulan masih tidak benar, maka persetujuan KKPR akan ditolak. Dokumen usulan yang dinyatakan benar dalam pemeriksaan akan lanjut ke tahap penilaian.
Pada tahap penilaian, dokumen usulan dikaji dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer berdasarkan Rencana Tata Ruang (“RTR”) wilayah kabupaten/kota, provinsi, kawasan strategis nasional, pulau/kepulauan, dan/atau nasional. Penilaian dokumen usulan yang termasuk juga pertimbangan teknis pertanahan dilakukan paling lama 20 hari kerja sejak dokumen usulan dinyatakan benar. Jika hasil penilaian telah sesuai dengan RTR dan terbit pertimbangan teknis pertanahan, maka persetujuan KKPR diterbitkan melalui sistem OSS dan demikian pula sebaliknya dalam hal penolakan permohonan persetujuan KKPR. Apabila pertimbangan teknis pertanahan tidak tercakup dalam hasil penilaian dalam jangka waktu 20 hari kerja tersebut, maka persetujuan KKPR diterbitkan tanpa memerlukan pertimbangan teknis pertanahan. Bagian inilah yang menunjukkan pengaturan dengan prinsip fiktif positif dalam pengurusan persyaratan dasar KKPR.
Baca Juga: Business Licensing Application through Online Single Submission in Indonesia
Pengaturan fiktif positif ini sekilas terlihat sudah diatur dalam Pasal 180 ayat (4) PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko 2021 yang juga menyatakan bahwa apabila jangka waktu 20 hari kerja terlampaui maka persetujuan KKPR diterbitkan secara otomatis oleh sistem OSS. Akan tetapi, berdasarkan penjelasan pihak OSS pengaturan lama ini tidak dapat diartikan bahwa persetujuan KKPR dapat diterbitkan tanpa adanya pertimbangan teknis pertanahan. Pasal 32 ayat (5) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang (“Permen Agraria Pemanfaatan Ruang”) yang mengatur bahwa pertimbangan teknis pertanahan dianggap telah diberikan jika melewati jangka waktu 10 hari kerja, juga pada kenyataannya tidak berarti bahwa persetujuan KKPR dapat diterbitkan tanpa pertimbangan teknis pertanahan. Memang kedua pengaturan ini tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa persetujuan KKPR dapat diterbitkan tanpa pertimbangan teknis seperti dalam PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, tetapi kedua pengaturan ini tidak pula mengatur sebaliknya dan prinsip fiktif positifnya juga jelas sekali terlihat. Sebenarnya saat ini pun, pihak OSS sudah dapat menerbitkan persetujuan KKPR secara fiktif positif ketika sistem Gistaru mengirimkan notifikasi fiktif positif tersebut pada sistem OSS. Akan tetapi, entah mengapa hal tersebut tidak pernah dilakukan dan peraturan yang ada hanya sebatas hitam di atas putih.
Dalam prakteknya, selama ini pihak OSS tidak akan menerbitkan persetujuan KKPR sebelum pertimbangan teknis pertanahan selesai. Proses pertimbangan teknis pertanahan bisa memakan waktu yang lama sehingga dapat merugikan para pelaku usaha, termasuk perusahaan-perusahaan properti. Selain memakan waktu yang lama, tantangan sumber daya manusia di lapangan juga terasa sangat nyata, seperti dengan banyaknya pungutan liar. Pengaturan fiktif positif dalam PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang tegas mengenai terbitnya persetujuan KKPR tanpa pertimbangan teknis pertanahan terkesan lebih memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha, tapi apakah ini sekedar janji manis seperti peraturan-peraturan fiktif positif yang telah ada sebelumnya? Lagipula jika tidak ada perbaikan sumber daya manusia di lapangan, maka pengaturan sebaik apapun juga tidak akan ada gunanya. Contohnya adalah pengaturan di tahap pemeriksaan kebenaran dokumen KKPR yang masih membuka celah lebar untuk “dimanfaatkan” oleh oknum tertentu. Dalam pemeriksaan kebenaran dokumen tersebut, apabila masih juga tidak benar setelah dua kali diperbaiki, maka permohonan KKPR akan ditolak. Bisa terjadi bahwa dokumen akan terus dinyatakan tidak benar karena memang saat dikembalikan utuk diperbaiki, pihak tertentu tersebut tidak memberitahu pelaku usaha secara lengkap dan benar soal bagaimana memperbaiki dokumennya. Dengan demikian maka pungutan liar sudah bisa terjadi bahkan sebelum dilakukan penilaian dokumen dan sebelum pertimbangan teknis pertanahan dapat dikesampingkan. Pengaturan fiktif positif menjadi tidak berfungsi karena pelaku usaha bahkan jadi tidak bisa sampai ke garis akhir di mana pengaturan fiktif positif akhirnya bisa berlaku.
Jangan pula terjadi kerugian kepentingan negara karena dokumen penting seperti pertimbangan teknis pertanahan ini dikesampingkan dan pejabat yang berwenang jadi tidak sungguh-sungguh melakukan pertimbangan yang matang dan mengejar SLA yang ada. Pasal 9 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pertimbangan Teknis Pertanahan (“Permen Agraria Pertek Pertanahan”) mengatur bahwa pertimbangan teknis pertanahan untuk persetujuan KKPR harus memuat ketentuan dan syarat penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta ketentuan peroleh tanah dan ketentuan peralihan hak atas tanah. Seluruh komponen yang sangat penting ini bisa terabaikan dengan tidak adanya pertimbangan teknis pertanahan. Dengan wajib adanya pertimbangan teknis pertanahan pun, masih ada kasus pelanggaran tata ruang di mana developer membangun perumahan di kawasan lindung dan resapan air yang penting bagi kota. Lantas bagaimana pengelolaan tata ruang bisa berjalan dengan baik tanpa adanya pertimbangan teknis pertanahan? Pengaturan fiktif positif mungkin dapat menciptakan kepastian hukum pada beberapa aspek, tetapi pemerintah harus menjamin bahwa hal tersebut tidak akan merugikan aspek lainnya seperti kondisi dan penggunaan tanah.

Persetujuan Lingkungan
“…pemeriksaan substansi dokumen lingkungan tetap dapat dilaksanakan tanpa persetujuan teknis.”
Berdasarkan tahapan pemenuhannya, PL dibedakan antara PL yang tidak wajib Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (“Amdal”) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (“UKL-UPL”), dan PL yang wajib Amdal atau UKL-UPL. PL yang tidak wajib Amdal atau UKL-UPL termasuk dalam subtahapan persyaratan dasar dalam memulai usaha yang bentuknya berupa Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (“SPPL”). Sedangkan PL yang wajib Amdal atau UKL-UPL termasuk dalam subtahapan persyaratan dasar dalam persiapan menjalankan usaha. PL yang termasuk dalam kriteria wajib Amdal diberikan dalam bentuk Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, dan PL yang termasuk dalam kriteria wajib UKL-UPL diberikan dalam bentuk Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Permohonan PL dengan Amdal atau UKL-UPL harus disertai dengan persetujuan teknis sebagai salah satu persyaratan administratif. Pada bagian persetujuan teknis untuk PL inilah terdapat pengaturan dengan prinsip fiktif positif yang mirip tapi berbeda dengan fiktif positif pada KKPR terkait pertimbangan teknis pertanahan. Adanya pengaturan fiktif positif dalam persetujuan teknis lingkungan ini sangat relevan dan menarik untuk diketahui oleh pengusaha properti yang usahanya memang tergolong PL wajib Amdal atau UKL-UPL dan perlu mengajukan persetujuan teknis lingkungan.
Persetujuan teknis untuk permohonan PL dengan Amdal atau UKL-UPL terdiri atas pemenuhan baku mutu air limbah, pemenuhan baku mutu emisi, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, dan/atau analisis mengenai dampak lalu lintas. Pertama-tama pelaku usaha melakukan penapisan jenis persetujuan teknis yang perlu dipenuhi, lalu mengajukan permohonan persetujuan teknis yang dibutuhkan kepada instansi yang berwenang. Permohonan persetujuan teknis dapat diajukan dalam bentuk standar teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau dalam bentuk kajian teknis (jika belum ada standar teknis dari Pemerintah Pusat). Pada permohonan persetujuan teknis yang telah memiliki standar teknis dari Pemerintah Pusat, maka persetujuan teknis akan diterbitkan secara otomatis melalui sistem informasi lingkungan hidup (bagi pemenuhan baku mutu air limbah, emisi, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun) dan/atau sistem informasi lalu lintas (bagi analisis mengenai dampak lalu lintas).
Dalam persetujuan teknis dalam bentuk kajian teknis, maka pelaku usaha menyiapkan kajian teknis yang selanjutnya akan diperiksa oleh pejabat yang berwenang. Persetujuan teknis dalam bentuk kajian teknis harus diterbitkan paling lama 30 hari kerja untuk pemenuhan baku mutu air limbah dan emisi, dan 16 hari kerja untuk pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, dihitung sejak permohonan dinyatakan lengkap dan benar. Adapun SLA persetujuan teknis analisis mengenai dampak lalu lintas dibedakan menjadi dua, yakni untuk kegiatan dengan bangkitan lalu lintas tinggi dan sedang paling lama 23 hari kerja, dan untuk bangkitan lalu lintas rendah paling lama 3 hari kerja, dihitung sejak permohonan dinyatakan lengkap dan benar. Apabila persetujuan teknis belum dapat diterbitkan dalam jangka waktu tersebut, maka pelaku usaha dapat langsung mengajukan permohonan PL dengan melampirkan bukti permohonan persetujuan teknis yang telah dinyatakan lengkap dan benar dari pejabat yang berwenang melalui sistem informasi terkait. Persetujuan teknis yang belum terbit saat permohonan PL diajukan oleh pelaku usaha pada prinsipnya masih diharapkan untuk tetap diterbitkan dan tersedia pada saat pemeriksaan substansi dokumen lingkungan hidup dimulai. Penilaian substansi dokumen lingkungan hidup dilakukan dengan menguji dokumen dan juga uji kelayakan yang apabila tidak memenuhi syarat sekalipun telah diperbaiki, maka dikeluarkan surat keputusan ketidaklayakan lingkungan hidup. Apabila telah tiba saatnya dilakukan pemeriksaan substansi dokumen lingkungan hidup dan persetujuan teknis belum juga terbit maka pemeriksaan substansi tetap dapat dilaksanakan tanpa persetujuan teknis. Bagian inilah yang menunjukkan bentuk pengaturan fiktif positif dalam konteks persyaratan dasar PL dalam PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Pada bagian KKPR sebelumnya fiktif positif terlihat lebih nyata karena posisinya yang berada pada tahap akhir dan langsung terbitnya persetujuan KKPR itu sendiri, sedangkan pada bagian ini PL dengan Amdal atau UKL-UPL tidak langsung terbit karena adanya tahapan-tahapan permohonan PL lainnya setelah persetujuan teknis. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“PP Perlindungan Lingkungan”) serta aturan terkait lainnya, dan dalam prakteknya selama ini, persetujuan teknis merupakan hal yang wajib ada dalam pengurusan PL dengan Amdal atau UKL UPL.
Baca Juga: Environmental Permit based on Business Licensing Application Through Online Single Submission
Selama ini banyak pengusaha yang mengeluhkan tidak adanya kepastian waktu terbitnya persetujuan teknis lingkungan yang mengganggu jadwal usaha ini. PP Perlindungan Lingkungan telah mengatur SLA dalam proses PL, namun memang belum secara spesifik memiliki pengaturan dengan prinsip fiktif positif. Oleh karena itu, hadirnya pengaturan fiktif positif terkait persetujuan teknis lingkungan ini mungkin dapat menjawab kebutuhan para pengusaha akan kepastian waktu pengurusan PL jika dilaksanakan dengan baik dan benar.
Di sisi lain, pengaturan yang menguntungkan pelaku usaha ini juga tidak boleh merugikan negara dan menjadikan lingkungan terbengkalai. Dalam hal persetujuan teknis tidak ada, maka kajian teknis yang dibuat oleh pelaku usaha menjadi tidak dinilai dengan baik, padahal dokumen kajian teknis memuat hal-hal yang sangat penting seperti contohnya dalam konteks persetujuan teknis limbah bahan berbahaya dan beracun. Pasal 394 PP Perlindungan Lingkungan mengatur dokumen kajian teknis pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun paling sedikit memuat antara lain lokasi pembuangan limbah, alur proses pengolahan limbah yang akan dibuang, dan hasil uji laboratorium setidaknya terkait toksikologi dan konsentrasi logam berat, dan lainnya. Tanpa persetujuan teknis yang merupakan penilaian terhadap hal-hal penting yang termuat dalam kajian teknis tersebut, maka bisa fatal akibatnya pada lingkungan. Limbah bahan berbahaya dan beracun bisa saja dibuang sembarangan, dengan cara yang tidak benar, sehingga meracuni lingkungan kita dan diri kita sendiri.

Persetujuan Bangunan Gedung
“Pada bagian penetapan nilai retribusi daerah secara otomatis itulah terlihat karakter fiktif positif dalam keseluruhan proses PBG.”
Pemenuhan PBG termasuk dalam subtahapan persyaratan dasar dalam persiapan menjalankan usaha, terkhusus bagi pihak yang hendak melakukan pembangunan bangunan gedung. Bagi industri usaha lainnya, PBG bisa jadi sama sekali tidak diperlukan, tetapi bagi perusahaan properti, persyaratan dasar yang satu ini adalah hal yang wajib dimiliki. Sebelum melaksanakan konstruksi, pelaku usaha harus memperoleh PBG. Sebagaimana telah disinggung dalam seri artikel CCRE sebelumnya yang berjudul Mereformasi Sanksi dan Pengawasan Lingkungan Hidup: Poin-Poin Penting dan Ketidakselarasan apakah Persetujuan Lingkungan Disyaratkan oleh Persetujuan Bangunan Gedung, PL tidak lagi menjadi syarat diterbitkannya PBG. Hal ini karena dalam PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, PL dan PBG didudukkan sejajar sebagai persyaratan dasar tersendiri. Namun demikian, Pasal 11 ayat (3) PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko jelas mengatur bahwa untuk melakukan pembangunan gedung, PL dan PBG keduanya tetap harus dipenuhi oleh pelaku usaha.
PBG diproses melalui konsultasi perencanaan dan penerbitan. Konsultasi perencanaan terdiri dari proses pendaftaran, pemeriksaan pemenuhan standar teknis, dan pernyataan pemenuhan standar teknis. Pertama-tama pelaku usaha melakukan pendaftaran dengan menyampaikan pula data pemohon atau pemilik, data bangunan gedung, dan dokumen rencana teknis yang selanjutnya akan diperiksa kelengkapan dan kebenarannya. Apabila dokumen dinyatakan tidak benar, maka dokumen akan dikembalikan kepada pelaku usaha untuk dilakukan perbaikan satu kali dalam jangka waktu 5 hari kerja yang apabila waktu tersebut terlampaui atau dokumen masih saja tidak benar maka permohonan PBG akan ditolak. Setelah dokumen dinyatakan benar, maka dilakukan pemeriksaan pemenuhan standar teknis paling banyak 5 kali dalam jangka waktu paling lama 26 hari kerja. Hasil dari pemeriksaan pemenuhan standar teknis ini dituangkan ke dalam suatu berita acara yang dilengkapi dengan pertimbangan teknis, serta kesimpulannya. Kesimpulan tersebut dapat berisikan rekomendasi penerbitan surat pernyataan pemenuhan standar teknis yang dilanjutkan dengan penerbitan surat tersebut yang dilengkapi dengan perhitungan teknis untuk retribusi. Apabila tidak memenuhi standar teknis maka kesimpulan akan berisikan rekomendasi pendaftaran ulang PBG.
Proses PBG selanjutnya, yakni penerbitan, terdiri dari penetapan nilai retribusi daerah, pembayaran retribusi daerah, dan penerbitan PBG. Adapun penetapan nilai retribusi pada proses ini dilakukan berdasarkan perhitungan teknis untuk retribusi yang dihasilkan dari proses sebelumnya. Penetapan nilai retribusi harus disampaikan kepada pelaku usaha paling lama 1 hari kerja melalui sistem OSS sejak diterimanya surat pernyataan pemenuhan standar teknis. Apabila nilai retribusi tidak dapat ditetapkan dalam waktu tersebut, maka penetapan nilai retribusi dilakukan melalui sistem OSS secara otomatis. Setelah nilai retribusi ditetapkan, proses dilanjutkan dengan pembayaran nilai retribusi dan terbitlah PBG bagi pelaku usaha.
Pada bagian penetapan nilai retribusi daerah secara otomatis itulah terlihat pengaturan dengan prinsip fiktif positif dari keseluruhan proses PBG. Dalam persyaratan dasar yang satu ini tidak ada ketentuan bahwa PBG dapat diterbitkan tanpa kelengkapan dokumen tertentu seperti pada KKPR dan PL. Padahal dalam prakteknya permasalahan PBG yang lama terbit tidak hanya karena proses penetapan nilai retribusi saja, tetapi juga proses pemeriksaan/verifikasi dokumen yang berlarut-larut dan permasalahan sumber daya manusia di lapangan. Dari hal ini saja telah terlihat bahwa pengaturan fiktif positif untuk proses penetapan nilai retribusi tidak benar-benar menjawab seluruh permasalahan yang ada. Selain itu, penetapan nilai retribusi secara otomatis oleh sistem OSS juga berpotensi menimbulkan permasalahan lebih lanjut mengingat tidak adanya jaminan apakah nilai retribusi yang ditetapkan secara otomatis adalah nilai yang tepat karena kesalahan sistem dalam menghitung indeks terintegrasi dan harga satuan retribusi. Terlebih lagi, tidak ada mekanisme yang dapat mengantisipasi apabila terjadi kesalahan penetapan nilai retribusi secara otomatis. Selain fiktif positif terkait penetapan nilai retribusi, PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang dikatakan membawa harapan segar dari segi SLA juga patut dipertanyakan. Sekalipun dalam PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko mengatur SLA untuk proses PBG, hal ini tidak akan menimbulkan dampak yang signifikan mengingat telah adanya pengaturan SLA sejak Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“PP Bangunan Gedung”). Jauh sebelum PP Bangunan Gedung pun, telah ada SLA di Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan. Penetapan SLA bukanlah hal yang baru dan nyatanya SLA tersebut selama ini juga tidak sungguh-sungguh ditaati. Sehingga timbullah pertanyaan apa yang membuat kali ini akan berbeda dari yang sebelumnya telah ada selama ini.

Pengaturan Fiktif Positif: Manfaat dan Tantangan
Pengaturan fiktif positif persyaratan dasar KKPR, PL, dan PBG pada prinsipnya tidak menghilangkan suatu bagian tahapan sama sekali. Dalam KKPR, pelaku usaha tetap harus mengajukan permohonan KKPR dan pejabat yang berwenang tetap harus berusaha mengurusnya (termasuk pertimbangan teknis pertanahan) dengan benar sesuai SLA. Dalam PL, persetujuan teknis juga harus dimohonkan terlebih dahulu oleh pelaku usaha. Kemudian dalam PBG, seluruh proses konsultasi perencanaan harus terpenuhi lebih dulu sebelum nilai retribusi dapat ditetapkan secara otomatis. Seluruh upaya pengurusan tersebut tidak hanya harus ditempuh lebih dulu, tapi juga harus ditempuh dengan tepat dan benar dari sisi perusahaan properti. Pengaturan fiktif positif hanya hadir di titik-titik tertentu ketika proses telah ditempuh dengan baik dan benar tapi masih juga timbul kendala dalam penerbitan atau kelanjutan ke tahap berikutnya.
Apakah pengaturan fiktif positif ini benar dapat dirasakan sebagai harapan segar tentu perlu dibuktikan dalam efektivitas pelaksanaannya ketika PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko telah terintegrasi dengan sistem yang saat ini berjalan. Jika kita melihat sejarah pengaturan fiktif positif yang ada sejak UU Administrasi Pemerintahan, agaknya pengaturan fiktif positif dalam PP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko kali ini tidak bisa benar-benar diharapkan. Pada mulanya pengaturan fiktif positif yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan memiliki mekanisme permohonan fiktif positif kepada pengadilan tata usaha negara. Akan tetapi, permohonan fiktif positif ini ditiadakan oleh UU Cipta Kerja dan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2021 ditetapkan bahwa lembaga fiktif positif bukan lagi kewenangan dari pengadilan tata usaha negara. Pasal 53 ayat (5) UU Administrasi Pemerintahan yang diubah dengan UU Cipta Kerja mengamanatkan bahwa pengaturan fiktif positif lebih lanjut diatur dalam peraturan presiden, yang nyatanya hingga saat ini belum ada sehingga menggantungkan masyarakat dalam ketidakpastian. Sementara menunggu terbitnya peraturan presiden mengenai fiktif positif tersebut, salah satu cara yang masyarakat dapat lakukan adalah mengajukan gugatan atas Tindakan Administrasi Pemerintahan yang berupa tidak melakukan perbuatan konkret seperti dalam Putusan Nomor 1/G/TF/2024/PTUN.JBI. Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan batal tindakan tergugat yang tidak melakukan (omission) perbuatan penarikan, pemusnahan sertipikat, dan mewajibkan tergugat untuk melakukan tindakan menarik dan memusnahkan sertipikat tersebut.
Dalam konteks KKPR, pengaturan fiktif positif terkait pertimbangan teknis pertanahan juga selama ini ternyata sudah ada, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Selain itu, pengesampingan pertimbangan teknis pertanahan yang merupakan dokumen sangat penting juga justru bisa merugikan kepentingan negara. Dalam konteks PL, pengesampingan persetujuan teknis lingkungan merupakan hal yang baru yang dapat menguntungkan pelaku usaha. Namun demikian, kondisi lingkungan dan kepentingan negara justru bisa dirugikan. Dalam konteks PBG, penetapan nilai retribusi oleh sistem OSS tidak memberikan efek yang signifikan dan justru mengandung kelemahan karena kemungkinan adanya kesalahan penetapan nilai retribusi. Kemudian berbicara mengenai SLA persyaratan dasar dalam PP Berizinan Berusaha Berbasis Risiko, sebenarnya ini pun bukanlah hal yang baru dan tidak ada jaminan bahwa kali ini akan berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Di sisi pemerintah, adanya pengaturan fiktif positif ini tentunya juga diharapkan tidak menjadi alasan untuk tidak bekerja dengan benar dan menaati SLA yang ada.
Author

Yosefin started her professional career as a litigation Lawyer at Kantor Hukum Tirta & mitra, and SKY & Partners Law Office. She expanded her experience to PT Sarana Pactindo and PAC Group, an IT banking company group, as Corporate IT Legal. Yosefin joined Leks&Co as Mid-Level Associate in 2024 after obtaining a Master’s degree from University of Groningen, The Netherlands.
Editor

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Referensi:
Peraturan
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
- Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
- Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
- Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
- Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pertimbangan Teknis Pertanahan.
- Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang.
Putusan
- Putusan Nomor 1/G/TF/2024/PTUN.JBI.
Lain-lain
- Fraksi Golkar DPR RI. Menteri ATR/BPN: Isu Pokok Pertanahan soal Lama Pelayanan dan Pungli. <https://fraksigolkar.com/read/717/menteri-atr-bpn-isu-pokok-pertanahan-soal-lama-pelayanan-dan-pungli>, diakses 25 Juli 2025.
- Gunawan, Depi. Konsumen Tuntut Penegak Hukum Usut Penipuan Proyek Perumahan Elit di Lembang. < https://mediaindonesia.com/jabar/berita/785773/konsumen-tuntut-penegak-hukum-usut-penipuan-proyek-perumahan-elit-di-lembang>, diakses 31 Juli 2025.
- Ignatius, Ardelia. Reforming Environmental Supervision and Sanctions: Key Points and Discrepancy whether Environmental Approval is Required for Building Approval. <https://www.linkedin.com/pulse/reforming-environmental-supervision-sanctions-key-points-discrepancy-cewoc/?trackingId=lqp98ufITIy3yGX8sLItkA%3D%3D>, diakses 30 Juli 2025.
- Laporgub Provinsi Jawa Tengah. Detail Aduan. < https://laporgub.jatengprov.go.id/detail/LGWP73444187.html>, diakses 28 Juli 2025.
- OSS. Mengenal Fiktif Positif (FIKPOS) dalam Perizinan Berusaha. <https://oss.go.id/informasi/pengumuman/mengenal-fiktif-positif-(fikpos)-dalam-perizinan-berusaha>, diakses 23 Juli 2025.
- Redaksi Sapos. Kepengurusan PBG Dianggap Ribet, Wali Kota Samarinda Akan Sederhanakan Lewat Perwali. < https://www.sapos.co.id/metropolis/2455558860/kepengurusan-pbg-dianggap-ribet-wali-kota-samarinda-akan-sederhanakan-lewat-perwali>, diakses 28 Juli 2025.
- Seprihadi, Hengki. Ribuan Pengusaha Mengeluh Akibat Ketidakpastian Waktu Persetujuan Lingkungan di Kementerian LHK. < https://www.cerinews.id/2024/09/15/ribuan-pengusaha-mengeluh-akibat-ketidakpastian-waktu-persetujuan-lingkungan-di-kementerian-lhk/>, diakses 25 Juli 2025.
- Zulkarnaen, Aziz. Perizinan Berusaha Pengelolaan Limbah B3 Dikeluhkan Banyak Pengusaha. < https://www.rri.co.id/hukum/965254/perizinan-berusaha-pengelolaan-limbah-b3-dikeluhkan-banyak-pengusaha>, diakses 25 Juli 2025.
- Konsultasi dengan pihak BKPM (OSS) pada tanggal 24 Juli 2025 melalui telepon.

