Raja Salomo Putra

Aset Kripto dan aset virtual semakin berkembang di Indonesia, sehingga memunculkan pertanyaan penting mengenai kedudukannya dalam hukum perjanjian di Indonesia. Artikel ini mengkaji keabsahan perjanjian jual beli Aset Kripto dan kerangka regulasi yang mengatur legalitas aset kripto.

Kerangka Regulasi

Perjanjian Jual Beli

Secara umum, perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.  Secara teoritis, perjanjian dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yakni perjanjian obligatoir dan perjanjian non-obligatoir. Perjanjian obligatoir merupakan sebuah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu. Salah satu jenis perjanjian obligatoir adalah perjanjian bernama, yang artinya perjanjian tersebut secara khusus diatur dalam undang-undang. Salah satu perjanjian yang merupakan perjanjian bernama adalah perjanjian jual beli.

Jual beli diatur dalam 1457 KUHPerdata. Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dengan demikian, perjanjian jual beli adalah perjanjian timbal balik dimana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak lain (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

Baca Juga: Peralihan Rezim: Menavigasi Pergeseran Otoritas Regulasi Kripto di Indonesia

Berdasarkan pengaturan di atas, unsur esensalia dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana barang dan harga dalam perjanjian jual beli harus jelas. Kedua hal tersebut menjadi hal yang harus disepakati oleh kedua belah pihak agar suatu perjanjian jual beli terjadi. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 1458 KUHPerdata bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara para pihak, seketika setelah kedua pihak ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. Dalam suatu perjanjian jual beli, terdapat kewajiban penjual dan pembeli. Kewajiban utama penjual diatur dalam 1474 KUHPerdata, yaitu:

  • Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan; dan
  • Menanggungnya, yaitu menjamin penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tentram serta tidak adanya cacat-cacat tersembunyi pada barang tersebut.

Sedangkan, kewajiban utama pembeli diatur dalam Pasal 1513 KUHPerdata, yaitu membayar harga pembelian, pada waktu dan tempat yang ditetapkan menurut perjanjian.

Mengenai kebendaan, hal ini diatur dalam Buku II KUHPerdata. Pasal 499 KUHPerdata mengatur bahwa menurut paham undang-undang, yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Pasal 503 KUHPerdataenjelaskan bahwa ada barang yang bertubuh, dan ada barang yang tak bertubuh. Selain KUHPerdata, Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tetang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”) mengatur bahwa benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki atau dialihkan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik. Berdasarkan pengaturan di atas, dapat disimpulkan bahwa benda sebagai objek perjanjian jual beli juga dapat berupa barang tidak berwujud.

Barang Virtual Aset Kripto

 

“Aset kripto adalah barang virtual yang memiliki nilai ekonomi, dapat diperdagangkan, dan dimiliki secara sah meski tidak berwujud.”

Pengertian mengenai aset kripto diatur dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Badan Pengawas perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka (“Peraturan Bappebti 5/2019”) bahwa Aset  Kripto adalah komoditi  tidak  berwujud yang berbentuk   digital   aset,   menggunakan   kriptografi, jaringan peer-to-peer,     dan     buku     besar     yang terdistribusi,  untuk  mengatur    penciptaan  unit  baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksitanpa campur tangan pihak lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa aset kripto merupakan komoditi tidak berwujud.

Pengertian Komoditi dijelaskan pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (“UU Perdagangan Berjangka”) yaitu, semua barang, jasa, hak dan kepentingan lainnya, dan setiap derivatif dari komoditi, yang dapat diperdagangkan dan menjadi subjek kontrak berjangka, kontrak derivatif syariah, dan/atau kontrak derivatif lainnya. Dapat dimengerti dari penjelasan diatas, bahwa salah satu jenis komoditi dalam pedagangan berjangka adalah barang. Merujuk pada Peraturan Bappebti 5/2019 dan pengertian barang dalam KUHPerdata sebagaimana kami uraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa kripto merupakan merupakan barang yang tidak bertubuh atau tidak berwujud.

Joshua A.T Fairfield, ahli hukum teknologi, menjelaskan bahwa benda virtual adalah sebuah kode yang dibuat menggunakan sistem komputer dan internet yang berada di dunia siber, dibentuk sedemikian rupa dan diperlakukan sama dengan benda-benda yang ada di dunia nyata. Lebih lanjut, Fairfield menjelaskan contoh-cintoh virtual property seperti akun e-mail, website, Uniform Resource Locator (URL), Chat Room atau ruang obrolan virtual, akun bank, akun media online. Selanjutnya, Dr. Richard A. Bartle mengatakan bahwa virtual property adalah benda-benda virtual, karakter, mata uang virtual, virtual estate, akun dan hal-hal lainnya yang meliputi: perizinan, keanggotaan, peta, dan lain sebagainya.

Penjelasan perihal barang virtual diperjelas oleh Peter Brown dan Richard Raysman yang merupakan ahli dalam hukum teknologi menjelaskan bahwa barang virtual adalah aset dalam berupa barang yang memiliki kepemilikan yang bernilai. Bernilai berarti memiliki nilai ekonomi, jadi dapat ditukarkan dengan uang nyata atau melalui perjanjian tukar menukar sesama objek virtual.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa aset kripto adalah sebuah barang virtual karena tidak berwujud, memiliki nilai ekonomi yang dapat ditukar dengan uang asli, dapat diberikan hak milik.

Legalitas Perdagangan Aset Kripto di Indonesia

Legalitas Perdagangan Aset Kripto di Indonesia

Perdagangan Aset Kripto telah diakui di Indonesia sebagaimana hal ini telah diatur dalam Peraturan Bappepti Nomor 5/2019, Peraturan Bappepti Nomor 11 Tahun 2022 Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto Yang Diperdagangkan Di Pasar Fisik Aset Kripto (“Peraturan Bappepti 11/2022”), dan Peraturan Bappebti Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 11 Tahun 2022 Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto Yang Diperdagangkan Di Pasar Fisik Aset Kripto (“Peraturan Bappepti 1/2025”).

Peraturan Bappepti 5/2019 mengatur mengenai syarat aset kripto yang diizinkan untuk diperdagangkan di Indonesia. Persyaratan tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Bappepti 5/2019, yaitu:

  • berbasis distributed ledger technology;
  • berupa Aset Kripto utilitas (utilty crypto) atau Aset Kripto beragun aset (Crypto Backed Asset);
  • nilai kapitalisasi pasar (market cap) masuk ke dalam peringkat 500 (lima ratus) besar kapitalisasi pasar Aset Kripto (coin market cap) untuk Kripto Aset utilitas;
  • masuk dalam transaksi bursa Aset Kripto terbesar di dunia;
  • memiliki manfaat ekonomi, seperti perpajakan, menumbuhkan industri informatika dan kompetensi tenaga ahli dibidang informatika (digital talent); dan
  • telah dilakukan penilaian risikonya, termasuk risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal.

Persyaratan dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Bappepti 5/2019 tersebut harus terpenuhi secara kumulatif.  Selain memenuhi persyaratan sebagaimana telah diuraikan di atas, aset kripto dinyatakan legal ketika telah ditetapkan oleh Kepala Bappebti dalam daftar Aset Kripto yang diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.

Daftar Aset Kripto tersebut diatur juga dalam Lampiran A Bappepti 1/2025 sebanyak 545 Aset Kripto yang merupakan hasil evaluasi yang telah ditetapkan. Selain itu, terdapat sebanyak 851 Aset Kripto yang masih dalam proses usulan penambahan maupun pengurangan oleh Pedagang Fisik Aset Kripto kepada Bappebti melalui Bursa Berjangka Aset Kripto agar aset kripto tersebut ditetapkan atau dikurangkan dalam daftar Aset Kripto yang diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.

Keabsahan Perjanjian Jual Beli Crypto Currency menurut Pasal 1320 KUHPerdata

 

“Perjanjian jual beli aset kripto sah apabila memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 46 ayat (2) PP No. 71/2019 tentang syarat sah perjanjian elektronik”

Suatu perjanjian sah dan mengikat jika memenuhi 1320 KUHPerdata, yaitu:

  • Kesepakatan para pihak;
  • Kecakapan para pihak;
  • Suatu hal tertentu; dan
  • Sebab yang halal.

Pasal 1 angka 6 Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka (“Peraturan Bappepti 8/2021”), Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka, yang selanjutnya disebut Pasar Fisik Aset Kripto adalah pasar fisik Aset Kripto yang dilaksanakan menggunakan sarana elektronik yang difasilitasi oleh Bursa Berjangka atau sarana elektronik yang dimiliki oleh Pedagang Fisik Aset Kripto untuk jual atau beli Aset Kripto. Berdasarkan pengaturan tersebut, jual beli kripto merupakan perjanjian jual beli secara elekronik.

Keabsahan perjanjian elektronik diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP No. 71/2019”). Dalam Pasal 46 ayat (2) PP No. 71/2019, dijelaskan bahwa kontrak elektronik dianggap sah apabila:

  • terdapat kesepakatan para pihak;
  • dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • terdapat hal tertentu; dan
  • objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,. kesusilaan, dan ketertiban umum.

Merujuk pada pengaturan dalam Pasal 46 ayat (2) PP No. 71/2019 di atas, syarat sah perjanjian elektronik sama dengan syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan demikian, perjanjian dalam jual beli aset kripto dinyatakan sah jika memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 46 ayat (2) PP No. 71/2019. Kami akan menganalisis apakah jual beli aset kripto memenuhi syarat sah perjanjian.

Transaksi Kripto

Kesepakatan Para Pihak

Pembelian aset kripto ini menggunakan konsep yang mirip dengan saham, dimana harga yang fluktuatif, tergantung dari supply and demand. Dari hal tersebut, dapat dimengerti bahwa terdapat penjual dan terdapat pembeli, dimana dalam Peraturan Bappepti, penjual dan pembeli diganti diksinya menjadi pedagang fisik aset kripto dan pelanggan aset kripto. Dalam Pasal 1 angka 8 Bappepti 5/2019 mendefinisikan pengertian mengenai pedagang fisik aset kripto adalah pihak yang telah memperoleh persetujuan dari Kepala Bappebti untuk melakukan transaksi Aset Kripto baik atas nama diri sendiri dan/atau memfasilitasi transaksi Pelanggan Aset Kripto. Kemudian di Pasal 1 angka 9 dijelaskan definisi pelanggan Aset Kripto yakni  pihak yang menggunakan jasa Pedagang Aset Kripto untuk membeli atau menjual Aset Kripto yang diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.

Kata sepakat sendiri memiliki pengertian sebuah pernyataan kehendak yang disetujui atau overeenstemende wilsverklaring dari para pihak. Perlu dimengerti juga bahwa dari pernyataan sepakat terdapat tawaran oleh pihak yang menawarkan atau offerte dan penerimaan tawaran dari pihak lainnya atau acceptatie. Selain itu, sepakat juga memiliki pengertian bahwa para pihak setuju mengenai hal-hal yang tertuang dalam perjanjian yang diadakan, dimana dalam hal ini apa yang satu pihak kehendaki harus disetujui atau dikehendaki oleh pihak lainnya.

Perjanjian jual beli aset kripto merupakan sebuah perjanjian yang sesuai dengan syarat pertama yaitu kesepakatan. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian jual beli aset kripto antara pelanggan dan pedagang aset kripto wajib menyetujui dan menyepakati terlebih dahulu sebelum adanya transaksi kripto. Lebih lanjut, pembelian bisa terjadi ketika pelanggan sudah menentukan jumlah aset kripto yang ingin dibeli, lalu melakukan konfirmasi transaksi. Setelah itu aset kripto akan masuk ke wallet pelanggan sesuai dengan nominal yang dibeli. Dalam hal ini, kesepakatan terjadi setelah dilakukannya konfirmasi transaksi. Dalam hal ini semua berada pada tangan pelanggan, dalam artian pedagang aset kripto hanya menyodorkan jumlah beserta harga yang harus dibayar jika ingin membeli aset kripto. Oleh sebab itu, kesepakatan terjadi ketika offerte diterima dan disetujui oleh pelanggan, sehingga terjadinya transaksi kripto.

Kecakapan Para Pihak

 

“Terdapat perbedaan batas umur kecakapan hukum antara Pasal 330 KUHPerdata, yang menetapkan dewasa pada 21 tahun, dengan Pasal 35 ayat (6) Peraturan Bappepti 8/2021, yang menetapkan 17 tahun.”

Kecakapan para pihak dalam perjanjian jual beli aset kripto diatur dalam Peraturan Bappepti 8/2021. Kecakapan pelanggan aset kripto diatur dalam Pasal 35 ayat (6) Peraturan Bappepti 8/2021 dengan persyaratan sebagai berikut:

  • Berusia 17 (tujuh belas) tahun;
  • memiliki Kartu Tanda Penduduk bagi warga negara Indonesia, atau passport dan kartu identitas yang diterbitkan oleh Negara asal Pelanggan Aset Kripto (KITAP) atau Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) bagi warga negara asing; dan
  • menggunakan dana atau Aset Kripto milik sendiri dan bukan dana atau Aset Kripto yang bersumber atau milik dari orang lain, atau hasil tindak pidana, pencucian uang, pendanaan terorisme dan/atau sejata pemusnah massal.

Terdapat perbedaan mengenai batas umur kecapakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 330 KUHPerdata diatur secara jelas bahwa seseorang belum dewasa jika belum genap 21 tahun dan yang sebelumnya tidak pernah kawin. Dalam UU Perkawinan Pasal 47 ayat (1), Pasal 39 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diatur bahwa orang yang sudah dewasa adalah yang berumur 18 tahun atau sudah menikah. Dalam konteks ini terjadi perbedaan, yakni 17 tahun yang diatur secara eksplisit dalam Pasal 35 ayat (6) Peraturan Bappepti 8/2021, dan 18 tahun. Berdasarkan penjelasan di atas, dimengerti bahwa adanya perbedaan kecakapan hukum antara pasal 330 KUHPerdata dengan kecakapan hukum menurut Pasal 35 ayat (6) Peraturan Bappepti 8/2021.

Selain itu, kecakapan pedagang kripto diatur dalam Pasal 40 Bappepti 8/2021 dengan persyaratan sebagai berikut:

  • Modal Rp 50 Miliar , dan Ekuitas Rp 40 Miliar ;
  • Berbentuk Perseroan Terbatas;
  • Anggota Bursa dan Kliring;
  • Memiliki Rekening Terpisah;
  • Struktur organisasi minimal (IT, Audit, Legal, Pengaduan Nasabah, Client Support, Accounting;
  • sistem dan sarana perdagangan on-line yang terhubung ke Bursa Berjangka dan Lembaga Kliring Berjangka;
  • Standar operasional prosedur (SOP) minimum mekanisme penyimpanan aset kripto, pengawasan, pengendalian internal dan risk manajemen;
  • Minimum 1 pegawai bersertfikasi Certified Information Systems Security Professional (CISSP); dan
  • Sistem yg terstandarisasi.

Salah satu syarat pedagang kripto adalah harus merupakan anggota bursa dan anggota kliring.[5]  Untuk menjadi anggota bursa berjangka dan kliring juga memiliki persyaratan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Bappepti 8/2021. Untuk persyaratan menjadi bursa berjangka adalah sebagai berikut:

  • Modal awal disetor sebesar Rp 500 Miliar, dan Ekuitas 80% dari modal awal yang disetor;
  • Memiliki Komite Pasar Fisik;
  • Memiliki sarana dan prasarana fasilitas perdagangan;
  • Memiliki Sistem Pengawasan dan pelaporan; dan
  • Minimum 1 pegawai bersertfikasi Certified Information Systems Security Professional (CISSP), 1 pegawai ang bersertifikasi Certified Information Systems Auditor (CISA).

Untuk persyaratan menjadi anggota lembaga kliring berjangka diatur dalam Pasal 9 Peraturan Bappepti 8/2021 sebagai berikut:

  • memiliki modal disetor paling sedikit 500 miliar
  • mempertahankan ekuitas paling sedikit sebesar 80% dari modal yang disetor;
  • memiliki sistem penjaminan dan penyelesaian yang terpercaya yang terkoneksi dengan Bursa Berjangka, Pedagang Fisik Aset Kripto dan Pengelola Tempat Penyimpanan Aset Kripto; dan
  • memiliki peraturan dan tata tertib Pasar Fisik Aset Kripto.

Dalam jual beli aset kripto, baik pedagang dan pelanggan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana kami uraikan di atas. Tidak dipenuhinya persyaratan kecakapan mengakibatkan perjanjian tidak memenuhi syarat sah subjektif sebuah perjanjian, sehingga salah satu pihak dapat meminta pembatalan terhadap perjanjian tersebut.

aset kripto

Suatu Hal Tertentu

Suatu hal tertentu diartikan bahwa pada sebuah perjanjian harus memiliki objek tertentu atau bepaald onderwerp yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Pengaturan hukum benda di Indonesia menggunakan sistem tertutup  yang berarti orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Oleh sebab itu, dari penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa syarat ini berfokus pada objek, dimana objek tersebut merupakan objek yang sesuai dengan perundang-undangan yang sudah ada di Indonesia, dan sifatnya harus dapat ditentukan.

Aset kripto merupakan benda yang diakui menurut perundang-undangan di Indonesia. Perdagangan aset kripto diatur dalam beberapa perundang-undangan, yakni UU Perdagangan Berjangka Komoditi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Komoditi, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset), Peraturan Bappebti 5/2019 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bappebti Nomor 9 Tahun 2019, Peraturan Bappebti Nomor 2 Tahun 2020, Peraturan Bappebti Nomor 3 Tahun 2020, Peraturan Bappebti 2/2019, Bappebti 7/2020, dan Bappebti 1/2025.

Akan tetapi, perlu dipahami bahwa tidak semua aset kripto dapat diperdagangkan. Aset kripto yang dapat diperdagangkan hanya aset kripto yang terdaftar dalam Bappebti yang mana pada saat ini berlaku adalah Peraturan Bappebti 1/2025. Selain aset kripto yang terdaftar, aset kripto lainnya tidak memiliki legalitas untuk diperdagangkan di Indonesia, karena tidak memenuhi persyaratan aset kripto berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Tidak dipenuhinya persyaratan keabsahan perjanjian mengenai suatu hal tertentu, membuat tidak dipenuhinya syarat objektif suatu perjanjian. Hal ini mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum dan karenanya dianggap bahwa sejak semula tidak pernah dilahirkan.

Suatu Sebab yang Halal

Suatu sebab yang halal diatur di dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Pasal 1337 KUHPerdata mengatur bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dengan diaturnya secara jelas dalam beberapa peraturan Bappepti sebagaimana kami uraikan di atas, jual-beli aset kripto tidak melanggar perundang-undangan, ketertiban umum, serta kesusilaan. Namun, dalam hal ini harus dipastikan bahwa penjualan aset kripto adalah aset kripto yang legal, dan sudah diakui oleh Kepala Bappepti. Bukan hanya aset kriptonya saja, namun untuk pedagang dan pelanggan yang melakukan pembelian serta bursa pasar berjangka wajib tunduk dengan persyaratan sesuai dengan Peraturan Bappepti 5/2019.

Oleh karena itu, seluruh penjualan kripto yang tidak sesuai merupakan penjualan kripto yang tidak legal dan karenanya tidak memenuhi persyaratan suatu sebab yang halal, yang dimana perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif.

perjanjian pembelian kripto

Analisis Kasus

Putusan Mahkamah Agung Nomor 2723 K/Pdt/2010 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 460 PK/Pdt/2013

Kasus antara perusahaan pialang perdagangan berjangka komoditi sebagai Penggugat dengan Tn. Njo Winyoto Gunawan dan Ny, Tjan Intan Megawati selaku Tergugat I dan Tergugat II. Tergugat I dan Tergugat II sepakat dengan Penggugat untuk melakukan kegiatan jual beli komoditi perdagangan berjangka melalui Kontrak Berjangka dan mengikatkan diri dalam Perjanjian Permberian Amanat Nasabah. Dengan telah dilakukannya perjanjian pembukaan akun sebagai pelaksanaan perjanjian transaksi perdagangan kontrak berjangka dan Perjanjian Permberian Amanat Nasabah, Tergugat I dan Tergugat II telah menempatkan dananya sebesar 10.000 USD pada masing-masing akun. Investasi yang ingin dijalankan adalah investasi kontrak berjangka dalam komoditi loco (emas).

Penggugat kemudian diketahui mentransaksikan investasi dari Tergugat I dan Tergugat II di bursa berjangka luar negeri yaitu Loco London Gold yang tidak termasuk dalam Daftar Bursa yang ditetapkan oleh Bappepti. Sedangkan, Pasal 13 UU Perdagangan Berjangka mengatur bahwa penyaluran amanat nasabah ke bursa berjangka luar negeri hanya dapat dilakukan ke bursa berjangka yang daftarnya ditetapkan oleh Bappebti.

Dasar gugatan dari Penggugat adalah karena Penggugat merasa dirugikan dalam transaksi kontrak berjangka tersebut karena sisa equity dari Tergugat I dan Tergugat II minus karena Tergugat I dan Tergugat II tidak mampu melakukan penambahan dana karena adanya kenaikan harga komoditi yang cukup besar untuk memenuhi intial margin pada masing-masing akun.

Dalam kasus ini, diketahui bahwa Tergugat I telah menerima keuntungan dari transaksi loco (emas) ini sebesar kurang lebih Rp80.000.000 (delapan puluh juta Rupiah). Dalam memori kasasinya, Penggugat mendalilkan bahwa meskipun Loco London Gold belum terdaftar di Bappebti, namun Tergugat I dan Tergugat II sudah sepakat terhadap perjanjian tersebut secara sukarela dan telah menikmati hasil dari transaksi tersebut. 

Dalam putusannya, Majelis Hakim Kasasi menimbang sebagai berikut:

“Penggugat telah melaksanakan amanah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 dan 14 Ayat (2) UU Perdagangan Berjangka yaitu mentransaksikannya di bursa berjangka luar negeri yaitu Loco London Gold yang tidak termasuk yang ditetapkan oleh BAPPEBTI sebagaimana ternyata dalam Keputusan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi No. 32/BAPPEBTI.KP/XI/2001 tentang Penetapan Daftar Bursa dan Kontrak Berjangka Luar Negeri dan jika dihubungkan dengan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian antara Penggugat Konvensi dengan para Tergugat Konvensi telah melanggar hukum, sehingga perjanjian tersebut melanggar syarat obyektif harus dinyatakan batal demi hukum.”

Pada kasus di atas, Penggugat melanggar unsur ke 4 (empat), yaitu sebab yang halal. Perdagangan yang dilakukan Penggugat melanggar Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 sehingga melanggar syarat objektif dan karenanya dinyatakan batal demi hukum. Majelis hakim pada kasus ini secara tegas mempertimbangkan bahwa terlepas dari adanya kesepakatan para pihak dan salah satu pihak telah menerima keuntungan, jika perjanjian tersebut melanggar unsur ke-4 syarat sah perjanjian, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.

Kesimpulan

Aset kripto merupakan sebuah komoditi yang dapat disebutkan juga sebagai barang virtual atau barang tidak berwujud. Sebagai sebuah barang, aset kripto dapat juga untuk sebagai objek untuk diperjualbelikan. Oleh karena itu, maka munculah sebuah perjanjian. Perjanjian jual beli aset kripto secara normatif merupakan sebuah perjanjian yang sah dan absah, jika sesuai dan memenuhi syarat sah perjanjian 1320 KUHPerdata dan syarat sah perjanjian elektronik dalam Pasal 46 ayat (2) PP No. 71/2019, yakni:

  • memenuhi syarat kesepakatan yang dimana, kesepakatan terjadi ketika pelanggan sudah menentukan jumlah aset kripto yang ingin dibeli, lalu melakukan konfirmasi transaksi. Setelah itu aset kripto akan masuk ke wallet pelanggan sesuai dengan nominal yang dibeli;
  • subjek hukum yang melaksanakan perjanjian harus cakap berasarkan peraturan Bappepti 5/2019;
  • Memenuhi syarat suatu hal tertentu, yakni aset kripto merupakan sebuah barang yang jelas dan memang dapat untuk diperjualbelikan serta merupakan barang yang sesuai dengan perundang-undangan di Indonesia; dan
  • memenuhi syarat suatu sebab yang halal, dimana perjanjian jual beli aset kripto tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, serta kesusilaan.

Perjanjian jual beli aset kritpo dapat dikatakan perjanjian yang sah dan mengikat, namun perlu dimengerti bahwa banyak kemungkinan serta celah untuk terjadinya transaksi kripto secara ilegal. Oleh sebab itu, perlu dicermati dan dimengerti untuk seluruh pelanggan aset kripto terkait peraturan Bappepti perihal kripto sebelum melakukan transaksi kripto.


Author

Raja Salomo Putra

Raja Salomo is an intern at Leks&Co. He completed his Bachelor of Laws degree at Universitas Gadjah Mada. During his studies, he was active in student organizations, participated in several research and writing programs conducted by the university, and also undertook internships. At Leks&Co, he is assigned to perform legal writing, conduct legal research, and assist with ongoing matters.


Editor

Fitri Nabilla Aulia

Fitri is an Associate at Leks&Co. She started her career as an intern at Leks&Co and was then promoted to Associate in 2022. At Leks&Co Fitri contributed to real estate, general corporate/commerical, commercial dispute resolution, and construction.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Sources: