Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tahun 2004 (UU Kepailitan) didasarkan pada uji non-insolvensi, yang berarti bahwa pengujian bukan untuk mengecek apakah debitor sanggup membayar atau tidak, melainkan apakah utang tersebut sudah jatuh tempo dan harus dibayar dan debitor belum melunasinya. Proses pembuktian yang diperlukan untuk permohonan kepailitan atau PKPU hanyalah untuk membuktikan fakta bahwa debitor memiliki dua atau lebih kreditor, dan debitor belum melunasi setidaknya satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Penjelasan UU Kepailitan menjelaskan bahwa perbedaan jumlah utang tidak penting, dan itu tidak akan menghalangi penentuan status pailit.

Proses pembuktian terdiri dari berbagai unsur. Unsur-unsur tersebut adalah kreditor, debitor, utang, utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, serta pembuktian sederhana. Kreditor adalah pihak yang memiliki piutang berdasarkan perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Sementara itu, debitor adalah kebalikannya, yaitu pihak yang memiliki utang berdasarkan perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, dalam mata uang Indonesia atau asing, baik secara langsung maupun di kemudian hari atau kontinjen yang mungkin timbul dari perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor, dan jika tidak dipenuhi, memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasannya dari harta kekayaan debitor. Dari sudut pandang kewajiban kontraktual, istilah yang didefinisikan ini bermakna luas dan dapat mencakup semua jenis kewajiban kontraktual dalam sebuah perjanjian.

Selanjutnya, utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih berarti kewajiban yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, baik itu yang telah disepakati, dipercepat sesuai kesepakatan, denda atau sanksi oleh instansi yang berwenang, putusan pengadilan, putusan arbitrator, atau putusan majelis arbitrase. Kemudian, makna “sederhana” tidak dijelaskan. Menurut Black’s Law Dictionary, simpliciter (Latin) berarti cara yang sederhana atau ringkas; mutlak; tanpa syarat; per se (dengan sendirinya, tanpa merujuk pada fakta tambahan; sebagai suatu masalah hukum).1 Berbagai yurisprudensi menunjukkan bahwa utang yang dipersengketakan (baik yang diajukan melalui suatu gugatan atau tidak), syarat yang belum terpenuhi, non adimpleti contractus, biasanya dinilai sebagai tidak sederhana.

Secara singkat, kreditor yang mengajukan permohonan kepailitan atau PKPU terhadap debitor harus membuktikan dengan cara yang sederhana, tanpa merujuk pada fakta tambahan, dan tanpa perselisihan atau syarat yang belum terpenuhi, bahwa ada dua pihak atau lebih yang memiliki piutang terhadap debitor yang pada saat bersamaan memiliki kewajiban terhadap kedua kreditor ini berdasarkan perjanjian atau undang-undang, baik secara langsung, timbul di kemudian hari, atau kontinjen, yang salah satunya sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, baik itu karena tanggal yang telah disepakati, percepatan waktu berdasarkan kesepakatan, denda, sanksi, putusan pengadilan, atau arbitrase, dan bahwa kewajiban tersebut dapat ditagih di muka pengadilan.

Read Also  Gadai Saham

Dari pengertian “utang,” dapat dilihat bahwa utang didefinisikan secara luas. Seorang kreditor dapat menuntut bahwa ia memiliki piutang terhadap debitor yang setuju untuk melakukan suatu kewajiban kontraktual tertentu di masa yang akan datang, meskipun kewajiban kontraktual tersebut tunduk pada syarat-syarat. Oleh karena itu, tidak sulit untuk membuktikan adanya utang berdasarkan suatu perjanjian. Seseorang hanya perlu membuktikan bahwa ada janji untuk melakukan sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang, dan janji tersebut merupakan kewajiban kontraktual dalam suatu kontrak.

Pasal 1253 KUHPerdata mengatur bahwa suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang belum tentu terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa tersegbut atau membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa itu. Pasal 1263 KUHPerdata mengatur lebih lanjut menyatakan bahwa perikatan dengan syarat tangguh adalah perikatan yang bergantung pada suatu peristiwa masa depan yang belum tentu terjadi. Ketika peristiwa masa depan tersebut belum terjadi, maka kewajiban tersebut tidak dapat dipaksakan. Mengacu arti “utang” dalam UU Kepailitan, suatu perikatan bersyarat dapat dianggap sebagai perikatan (utang) meskipun hanya dapat dilaksanakan setelah suatu syarat yang disepakati (sebagai contoh peristiwa masa depan) terjadi. Hal ini akan segera melibatkan hubungan antara perikatan bersyarat dan keadaan jatuh tempo dan dapat ditagih.

Ketika suatu syarat dari suatu perikatan telah terjadi, secara sederhana itu berarti bahwa perikatan bersyarat tersebut tidak lagi bersyarat, melainkan hanya suatu perikatan (kewajiban) yang langsung jatuh tempo dan dapat ditagih. Namun, selain perikatan bersyarat, sebuah kontrak juga dapat menetapkan suatu jangka waktu yang disepakati. Sebagai contoh, kewajiban seseorang untuk membayar bergantung pada pemenuhan suatu syarat tertentu. Ketika syarat ini telah terpenuhi, kewajiban tersebut tidak akan segera jatuh tempo, melainkan hanya akan jatuh tempo 14 hari setelah pemenuhan syarat tersebut. Ketentuan semacam ini normal dalam suatu kontrak.

Jangka waktu yang disepakati tersebut merujuk pada ketentuan lain dalam KUHPerdata. Pasal 1268 KUHPerdata mengatur bahwa suatu ketetapan waktu yang disepakati tidak menunda suatu perikatan tetapi hanya pelaksanaannya. Selanjutnya, Pasal 1269 KUHPerdata mengatur bahwa apa yang harus dibayar pada suatu waktu yang ditentukan tidak dapat ditagih sebelum jangka waktu tersebut berakhir. Oleh karena itu, kita memiliki dua jenis perikatan dalam suatu permohonan, yaitu perikatan bersyarat dan perikatan dengan ketetpan waktu yang disepakati.

Read Also  Daily tips: Pengecekan Fisik Rumah Atas Spesifikasi Perjanjian Pengikatan Jual – Beli (PPJB)

Sekarang, suatu “syarat” dalam suatu perikatan bersyarat dapat dipersengketakan antara kreditor yang mengajukan permohonan kepailitan dan debitor. Sebagai contoh, dalam suatu perjanjian jasa konstruksi, mungkin terjadi perselisihan antara kontraktor yang mengklaim bahwa telah melakukan pekerjaannya sesuai dengan kontrak, di sisi lain, pemilik proyek mengklaim bahwa kontraktor tidak melakukan pekerjaan dengan baik sesuai dengan syarat dan ketentuan. Kontraktor berkewajiban untuk melakukan pekerjaannya. Sebaliknya, pemilik proyek berkewajiban untuk membayar kepada kontraktor. Dalam perjanjian tersebut, kewajiban pemilik proyek untuk membayar bergantung atas penerbitan sertifikat pembayaran (SP) yang berarti bahwa jumlah pekerjaan yang secara aktual telah dilakukan oleh kontraktor harus disetujui terlebih dahulu secara tertulis oleh pemilik proyek. Selain itu, terdapat syarat tambahan, yaitu tagihan, faktur pajak, dan batas pembayaran 28 hari sebagai jangka waktu yang disepakati. Tanpa persetujuan SP, dan tanpa penerbitan dokumen tambahan lebih lanjut, apakah kreditor dapat mengajukan permohonan kepailitan?

Keberadaan utang mungkin sudah dapat dibuktikan meskipun bersifat bersyarat. Unsur berikutnya, yaitu jatuh tempo dan dapat ditagih, belum terjadi (yaitu, tidak ada penerbitan SP dan dokumen-dokumen tambahan). Seseorang juga perlu memperhatikan jangka waktu yang disepakati, yaitu 28 hari. Unsur lainnya adalah membuktikan secara sederhana (simpliciter) utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih. Unsur ini memerlukan bukti yang dianggap sebagai mutlak (unconditional) dan tanpa keraguan bahwa utang tersebut sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Fakta dalam kasus ini menunjukkan bahwa pemilik proyek mempersengketakan pelaksanaan pekerjaan (sebagai alasan tidak diterbitkannya SP). Argumen lawan ini mungkin mendorong kontraktor untuk mengajukan begitu banyak dokumen yang berbeda (selain membuktikan pemenuhan syarat dalam perjanjian) ke pengadilan untuk meyakinkan pengadilan bahwa pekerjaannya telah dilakukan dengan baik meskipun dipersengketakan. Tindakan ini akan merugikan kontraktor dengan menunjukkan ke pengadilan bahwa utang yang diklaim jatuh tempo dan dapat ditagih tidak terbukti secara sederhana. Sebaliknya, tindakan tersebut malah membuktikan ke pengadilan bahwa utang yang diklaim sebagai telah jatuh tempo dan dapat ditagih sesungguhnya tidak jelas.

Eddy M. Leks

Sources

  1. Bryan A Garner (ed), Black’s Law Dictionary, hlm. 1257 dan 1510.