Reforma agraria merupakan salah satu tujuan pemerintah sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Saat ini, setelah lebih dari enam puluh tahun sejak diundangkannya UUPA reforma agraria tidak lagi hanya mengatur tentang redistribusi lahan pertanian kepada para petani, tetapi juga tanah untuk selain petani. Di kota seperti Jakarta, petani mungkin menjadi subjek yang tidak terlalu penting. Rumah liar dan hunian liar yang juga menyebabkan kawasan kumuh lebih bermasalah. Sebagian masyarakat hidup, dengan membangun rumah di sebidang tanah yang bukan miliknya, atau setidak-tidaknya tidak dapat dibuktikan secara hukum sebagai miliknya. Sengketa hukum yang tidak kunjung usai yang melibatkan banyak pihak yang mengklaim lahan merupakan masalah besar yang harus diselesaikan. Sebagian besar masyarakat yang berpenghasilan rendah tetap hidup di atas tanah sengketa itu, tanpa kepemilikan tanah dan izin bangunan.

Reforma agraria berkaitan dengan penataan aset dan penataan akses. Pengaturan aset tersebut termasuk redistribusi tanah dan legalisasi aset. Bagian dari redistribusi tanah adalah pembagian Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS). Sedangkan, penataan akses merupakan pemberian kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk mengakses permodalan atau bantuan lainnya. Poin utamanya adalah untuk memberdayakan masyarakat.

Berdasarkan Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2020 yang diterbitkan oleh BPS, pada tahun 2020, sebanyak 72,04% rumah tangga menempati bangunan yang merupakan tempat tinggal sendiri di kota. Untuk DKI Jakarta, hanya sebanyak 45,04% rumah tangga menempati bangunan tempat tinggal sendiri pada tahun 2020. Hal ini adalah yang terendah di Indonesia. Lebih dari sepertiga rumah tangga di DKI Jakarta menempati bangunan tempat tinggal dengan cara sewa. Di Indonesia, kurang dari separuh rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal sendiri yang disertai dengan  kepemilikan tanah sendiri, yaitu dengan sertipikat hak milik. Tiga belas dari 100 rumah tangga di Indonesia tidak memiliki kepemilikan tanah atas bangunan tempat tinggalnya. Kemudian, pada tahun 2020, di DKI Jakarta hanya sebanyak 45,04% rumah tangga yang memiliki bangunan tempat tinggal. Dilihat dari kepemilikan tanah, pada tahun 2020 sebanyak 56,47% rumah tangga di DKI Jakarta memiliki sertipikat hak milik, 20,65% memiliki jenis alat bukti lain seperti girik, surat C, dll serta 7,69% tidak memiliki sertipikat hak milik.

Read Also  Pengembalian Pemenuhan Intensitas Melalui Penyerahan Lahan Pengganti

Lalu apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan reforma agraria di kota? Pemerintah telah melakukan pendaftaran tanah secara sistematis di seluruh Indonesia. Program ini harus didukung karena telah diamanatkan sejak 1960. Target penyelesaiannya adalah pada tahun 2025. Ini merupakan bagian dari legalisasi aset. Jika ini dilakukan dengan benar, setidaknya statistik ‘jenis bukti lain’ akan berkurang secara signifikan dan dipindahkan ke sertipikat kepemilikan tanah yang memenuhi syarat. Pemerintah juga dapat membangun lebih banyak perumahan dan rumah susun murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Ini adalah tanggung jawab pemerintah. Di kota-kota besar, perumahan mungkin sudah tidak layak lagi karena keterbatasan lahan. Lantas, opsi apa yang dimiliki pemerintah dalam membangun rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah?

Ada dua model utama untuk membangun rumah susun murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pertama dengan menjadi pengembang. Pemerintah akan membangun rumah susun yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah di atas tanahnya. Dari model pertama ini, setelah pembangunan rumah susun selesai, pemerintah memiliki beberapa opsi lagi. Pertama, memberikan unit kondominium. Kedua, menjual sesuai harga yang ditentukan untuk rumah susun umum. Ketiga, menjual unit rumah susun saja, tanpa mengalihkan tanahnya. Keempat, menyewakan rumah susun tersebut. Setiap opsi memiliki pro dan kontra yang tidak akan dibahas di sini. Selain itu, pemerintah harus mematuhi peraturan yang berlaku saat ini tentang pengalihan dan sewa aset kepada pihak ketiga yaitu kepada masyarakat berpenghasilan rendah.

Opsi kedua, bukan dengan menjadi pengembang, tetapi dengan memberikan asetnya yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang merupakan pengembang yang kredibel. Pihak ketiga tersebut mungkin badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau pihak swasta. Berdasarkan undang-undang rumah susun, pemerintah memiliki dua opsi untuk melakukannya. Pertama, menyewakannya untuk jangka panjang, yaitu 60 tahun. Pengembang sebagai mitra pemerintah akan menyewakan lahan, membangun, dan menjual sertifikat kepemilikan bangunan rumah susun (SKBG). Kedua, melaksanakan kerjasama pemanfaatan (KSP) selama 30 tahun. Di bawah KSP, pengembang akan membangun rumah susun di atas tanah pemerintah (misalnya hak pengelolaan – HPL), meminta hak atas tanah untuk diterbitkan (misalnya HGB atas HPL), mengubah HGB menjadi HMSRS dan kemudian menjualnya kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Sekali lagi, setiap opsi dalam model kedua ini memiliki pro dan kontra yang tidak akan dibahas di sini dan mensyaratkan kepatuhan pemerintah atas aturan sewa jangka panjang dan KSP.

Read Also  Penyediaan Tenaga Listrik untuk Bangunan dalam Kawasan Terbatas

Tentunya redistribusi aset kepada masyarakat berpenghasilan rendah membutuhkan kendali agar tepat sasaran. Undang-undang rumah susun yang diamandemen (melalui UU Cipta Kerja) telah memberikan kewenangan pengendalian ini kepada Badan Pelaksana Percepatan Perumahan (BP3). Meski ada perubahan, seharusnya badan ini sudah berdiri sejak 2011. Kita menunggu komitmen pemerintah soal hal ini. Apakah kali ini akan terwujud ?

Eddy M. Leks