PENDAHULUAN
Selama ini sistem pemidanaan yang digunakan Indonesia menggunakan pendekatan Retributive Justice yaitu sistem pemidanaan yang umum digunakan oleh negara-negara barat dengan memberikan penekanan berupa penghukuman kepada pelaku tindak pidana.1 Meskipun begitu faktanya dalam beberapa kasus pendekatan ini justru tidak mampu memulihkan keadaan korban dan di saat yang bersamaan tidak menunjukan adanya bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, hal ini yang kemudian melahirkan pendekatan Restorative Justice dalam pemidanaan termasuk di Indonesia.2

Keseriusan pemerintah Indonesia dalam menerapkan pendekatan Restorative Justice di lingkungan Mahkamah Agung salah satunya tercerminkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif (“Perma 1/2024”). Peraturan yang ditetapkan pada tanggal 2 Mei 2024 dan berlaku sejak tanggal 7 Mei 2024 ini secara umum mengatur asas, tujuan, ruang lingkup, tata cara mengadili dan tata cara kelola administrasi perkara pidana yang diadili berdasarkan Restorative Justice.

PEMBAHASAN

  1. Definisi Restorative Justice (Pasal 1)
    Menurut peraturan ini, Restorative Justice adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.

  2. Ruang Lingkup (Pasal 4)
    Dibandingkan dengan pedoman sebelumnya yaitu Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (“Keputusan MA 1691/2020”).3 Peraturan ini memiliki cakupan perkara pidana yang lebih luas antara lain berlaku untuk perkara pidana termasuk jinayat (hukum pidana islam), militer, anak, dan harus diterapkan oleh seluruh pengadilan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku.
  3. Tata Cara Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Restorative Justice (Pasal 6-18)
    Syarat-Syarat Mengadili dengan Restorative Justice (Pasal 6)
    Peraturan ini mengatur syarat mengadili dengan Restorative Justice apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana sebagai berikut:

    1. merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat;
    2. tindak pidana delik aduan;
    3. tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;
    4. tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil; atau
    5. tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.

    Hakim tidak berwenang menerapkan pedoman mengadili perkara pidana dengan Restorative Justice apabila:

    1. Korban atau Terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian;
    2. terdapat Relasi Kuasa; atau
    3. Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

    Dibandingkan dengan KDJBPU MA RI 1691 yang membedakan setiap syarat penerapan Restorative Justice sesuai dengan jenis tindak pidananya seperti Tindak Pidana Ringan, Perkara Anak, Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum dan Perkara Narkotika. Persyaratan mengadili dengan Restorative Justice menurut Perma ini berlaku untuk semua ruang lingkup sebagaimana termuat dalam Pasal 4.

Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dalam Tindak Pidana yang Menimbulkan Korban (Pasal 7-8)
Menurut peraturan ini, pada sidang pertama setelah pembacaan berita acara pemeriksaan atau catatan dakwaan atau surat dakwaan dan Terdakwa sudah menyatakan mengerti atas hal tersebut, maka hakim akan memberikan kesempatan kepada Terdakwa untuk membenarkan atau tidak membenarkan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Apabila Terdakwa membenarkan seluruh perbuatannya maka hal tersebut juga disertai dengan tidak mengajukan nota keberatan oleh Terdakwa sehingga proses persidangan dapat dilanjutkan dengan mekanisme Restorative Justice. Sedangkan apabila Terdakwa tidak membenarkan perbuatannya baik hanya sebagian, seluruhnya dan/atau mengajukan nota keberatan atas dakwaannya maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan hukum acara.

Lebih lanjut menurut peraturan ini, hakim akan menanyakan kepada penuntut umum kehadiran korban dalam persidangan. Apabila korban tidak hadir maka hakim menunda persidangan untuk paling lama 7 (tujuh) hari dan memerintahkan Penuntut umum untuk menghadirkan Korban. Dalam hal korban meninggal dunia maka kepentingan korban dalam persidangan akan diwakili ahli waris korban.

Dalam Hal Telah Terjadi Perdamaian antara Korban dengan Terdakwa (Pasal 9-10)
Menurut peraturan ini apabila korban menerangkan di dalam persidangan bahwa telah terjadi perdamaian sebelum persidangan maka Hakim berwenang memeriksa kesepakatan yang telah dibuat antara Terdakwa dan Korban. Lebih lanjut jika perdamaian tersebut sudah dilaksanakan hakim dapat menjadikan hal tersebut sebagai pertimbangan dalam putusan dan melanjutkan proses pemeriksaan.

Lebih lanjut menurut peraturan ini apabila telah terjadi perdamaian sebelum persidangan namun sebagian atau seluruh kesepakatan belum dilaksanakan oleh Terdakwa, hakim menanyakan alasan tidak dilaksanakannya kesepakatan tersebut. Jika Terdakwa menyatakan tidak sanggup melaksanakan kesepakatan maka Hakim menanyakan kesediaan Korban untuk membuat kesepakatan baru. Apabila hal kesepakatan baru terjadi maka Hakim mengupayakan kesepakatan baru yang disanggupi oleh Terdakwa dan Korban.

Kewenangan Hakim untuk Mengupayakan Kesepakatan (Pasal 12)
Menurut peraturan ini kewenangan Hakim untuk mengupayakan Kesepakatan antara Korban dengan Terdakwa antatra lain sebagai berikut:

  1. memberikan kesempatan kepada Terdakwa dan Korban untuk menyampaikan permasalahan dan kebutuhan masing-masing;
  2. menganjurkan komunikasi yang konstruktif antara Terdakwa dan Korban sebagai upaya memulihkan hubungan Terdakwa dan Korban;
  3. memberikan saran kepada Terdakwa dan Korban;
  4. mengizinkan kehadiran tokoh agama, tokoh masyarakat, dan/atau tokoh adat atas usulan atau persetujuan para pihak;
  5. melakukan upaya persuasi kepada Terdakwa dan Korban untuk mencapai kesepakatan yang sanggup dilaksanakan oleh Terdakwa untuk pemenuhan tanggung jawab Terdakwa dan memenuhi kepentingan dan/atau kebutuhan Korban untuk pemulihan Korban;
  6. memerintahkan segala keterangan Terdakwa dan Korban untuk dicatat dalam berita acara persidangan;
  7. memerintahkan Korban dan Terdakwa untuk menyerahkan salinan kesepakatan perdamaian kepada Penuntut Umum dan/atau penasihat hukum;
  8. menyarankan Penuntut Umum untuk mempertimbangkan kesepakatan antara Terdakwa dan Korban sebagai pertimbangan dalam surat tuntutan; dan/atau;
  9. menyarankan penasihat hukum untuk mempertimbangkan kesepakatan antara Terdakwa dan Korban sebagai pertimbangan dalam nota pembelaan.

Bentuk-Bentuk Kesepakatan Perdamaian (Pasal 14 & 18)
Menurut Peraturan ini, bentuk perdamaian dapat berupa:

  1. Terdakwa mengganti kerugian;
  2. Terdakwa melaksanakan suatu perbuatan; dan/atau
  3. Terdakwa tidak melaksanakan suatu perbuatan.

Sedangkan apabila perkara yang terjadi adalah delik aduan maka kesepakatan dapat berupa Terdakwa melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dan korban menarik pengaduanya sepanjang masih dalam tenggang waktu yang ditentukan undang-undang. Kesepakatan ini terlaksana saat perjanjian ditandatangani di depan Hakim sehingga Hakim berwenang menyatakan penuntutan gugur atau tidak dapat diterima.

Dalam Hal Belum Terjadi Perdamaian (Pasal 15)
Menurut peraturan ini apabila di antara Terdakwa dan Korban belum terjadi perdamaian maka Hakim menganjurkan kepada Terdakwa dan Korban untuk menempuh atau membuat kesepakatan perdamaian.

Secara keseluruhan tentang tata cara mengadili perkara pidana berdasarkan Restorative Justice ini merupakan bentuk harmonisasi teknis, dibandingkan dengan KDJBPU MA RI 1691 yang membedakan setiap penerapan Restorative Justice berdasarkan jenis tindak pidananya.

  1. Kesepakatan Perdamaian Menjadi Pertimbangan Majelis Hakim (Pasal 19)
    Menurut peraturan ini Kesepakatan Perdamaian antara Terdakwa dengan Korban dapat menjadi alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

    Penjatuhan Pidana Bersyarat /Pengawasan (Pasal 19)
    Dalam rangka menjatuhkan alternatif pemidanaan selain pidana penjara dan menjamin terpenuhinya kesepakatan antara Terdakwa dan Korban serta memulihkan kerugian korban. Hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat/Pengawasan dengan menerapkan syarat umum dan/atau syarat khusus.

    Syarat umum penjatuhan pidana bersyarat/pengawasan dijatuhkan paling lama 3 (tiga) tahun oleh Hakim dalam hal:

    1. Tindak pidana yang dilakukan dapat diberikan pidana bersyarat/pengawasan dan Terdakwa layak dijatuhi pidana tersebut;
    2. Terdakwa telah melaksanakan kesepakatan yang terjadi sebelum persidangan atau telah melaksanakan kesepakatan yang baru.

    Sedangkan syarat khusus penjatuhan pidana bersyarat/pengawasan oleh Hakim dalam hal Terdakwa telah mencapai kesepakatan namun belum melaksanakan seluruh atau sebagian isi kesepakatan tersebut atau jika Terdakwa dan Korban tidak mencapai kesepakatan.

    Upaya Hukum Terhadap Pelaksanaan Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Restorative Justice (Pasal 22)
    Menurut peraturan ini Ketua Pengadilan tingkat banding berwenang melakukan pembinaan, pemantauan, menerima laporan, dan pengawasan atas pelaksanaan Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif di Wilayah Hukum Pengadilan tingkat banding yang bersangkutan. Adapun peraturan ini merupakan ketentuan baru yang belum diatur dalam pedoman sebelumnya yaitu KDJBPU MA RI 1691.

KESIMPULAN
Perma 1/2024 ini bermaksud untuk memberikan kepastian hukum terhadap tata cara mengadili perkara pidana berdasarkan Restorative Justice di lingkungan Mahkamah Agung. Dengan adanya Perma ini diharapkan mampu memberikan pemulihan kepada Korban, hubungan Korban dengan Terdakwa dan/atau masyarakat, menganjurkan pertanggungjawaban Terdakwa serta menghindarkan setiap orang khususnya anak-anak dari perampasan kemerdekaan.

Daffa Fahrizky Mahardhika

Sources

  1. Alifianissa Puspaningtyas Nugroho, 2023, “Restorative Justice: Terwujudnya Asas Keadilan dan Asas Kepastian Hukum pada Instansi Kepolisian”, Jurnal Recidive, Edisi No. 2. Vol 13, hlm. 218
  2. Konsideran Perma 1/2024
  3. Lampiran KDJBPU MA RI 1691
Read Also  Onroerende Goederen