Pendahuluan

Eigendom merupakan istilah untuk hak milik yang digunakan pada masa kolonial Belanda. Dasar hukum mengenai eigendom tertuang dalam Pasal 570 KUH Perdata, yang mendefinisikan eigendom sebagai hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum. Masih dalam era yang sama, eigendom sejatinya hanya dapat dimiliki oleh orang Eropa dan Timur Asing berdasarkan penggolongan penduduk dan penundukkannya pada hukum yang berlaku sebagaimana diatur oleh pemerintah kolonial melalui Pasal 131 jo. 163 Indische Staatsregeling (IS). Kemudian berdasarkan Staatsblad 1917 No. 12, Orang Indonesia Asli dapat menundukkan diri pada Hukum Perdata Eropa, baik secara keseluruhan, sebagian, secara khusus untuk perbuatan hukum tertentu, atau secara diam-diam.1 Pada masa tersebut, eigendom dapat menjadi bukti kepemilikan seseorang atas suatu bidang tanah, biasanya dalam bentuk Akta Eigendom (Acte van Eigendom).

Berlakunya  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mencabut ketentuan eigendom dalam Pasal 570 KUH Perdata. Dicabutnya ketentuan mengenai eigendom dalam KUH Perdata mengakibatkan kepemilikan berdasarkan hak eigendom sudah tidak berlaku lagi. Untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan terhadap pemegang hak eigendom, maka dalam Pasal I ayat (1) Ketentuan Konversi UUPA (KK UUPA) ditentukan bahwa hak eigendom dapat dikonversi menjadi hak milik. Menurut AP Parlindungan dalam bukunya berjudul “Konversi Hak-Hak Atas Tanah”, yang dimaksud dengan konversi hak atas tanah adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam sistem UUPA. Artikel ini akan membahas mengenai ketentuan konversi hak eigendom pasca berlakunya UUPA.

Pembahasan

  1. Ketentuan dalam UUPA

    Pasal I ayat (1) Ketentuan Konversi UUPA (“KK UUPA”) menetapkan bahwa sejak tanggal berlakunya UUPA, 24 September 1960, hak eigendom dikonversi menjadi hak milik dengan syarat pemiliknya harus Warga Negara Indonesia (“WNI”). Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 21 UUPA yang mengatur bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik.

    Selanjutnya, Pasal I ayat (3) KK UUPA mengatur bahwa jika pemegang hak eigendom adalah orang asing, warga negara yang berkewarganegaraan selain Indonesia, dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah, maka hak eigendom tersebut menjadi Hak Guna Bangunan (“HGB”) dengan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980. Pasal VIII KK UUPA menetapkan bahwa Pasal 36 UUPA berlaku terhadap HGB sebagaimana dimaksud dalam Pasal I ayat (3) KK UUPA. Pasal 36 ayat (1) UUPA mensyaratkan bahwa yang dapat mempunyai HGB adalah WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

  1. Ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan Ketentuan UUPA (“PMA 2/1960”) (Telah Dicabut)

    Pasal 2 – 4 PMA 2/1960 menekankan bahwa hanya WNI yang berkewarganegaraan tunggal yang dapat mengkonversi hak eigendom mereka menjadi hak milik. PMA 2/1960 memberikan batas waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal berlakunya UUPA, yaitu 24 September 1960, untuk mendaftarkan konversi tersebut di kantor pertanahan. Jika batas waktu tersebut telah terlewati, maka hak eigendom WNI yang belum mengkonversi hak eigendomnya, atau pemilik yang tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah WNI berkewarganegaraan tunggal, akan dikonversi oleh kantor pertanahan menjadi HGB dengan jangka waktu 20 tahun sampai dengan tanggal 24 September 1980.

    Sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUPA, Pasal 9 PMA No. 2/1960 menetapkan bahwa hak eigendom yang dipunyai oleh orang asing, WNI keturunan asing, dan badan-badan hukum yang tidak termasuk badan-badan yang ditunjuk oleh pemerintah menjadi HGB, kecuali jika hak tersebut dialihkan kepada WNI yang berkewarganegaraan tunggal, maka hak tersebut menjadi hak milik.

  1. Ketentuan dalam Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak Barat (“Keppres 32/1979”)

    Pada Pasal 1, berkaitan dengan hak eigendom selain milik WNI berkewarganegaraan tunggal yang terkonversi menjadi HGB jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Kemudian pada Pasal 2 dan 3 diatur bahwa bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan mengusahakan atau menggarap sendiri tanah/bangunan, akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali apabila tanah-tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan bagi penyelenggaraan kepentingan umum. Bagi  yang tidak diberikan hak baru karena tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan, akan diberikan ganti rugi oleh pemerintah.

  1. Ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak Barat (“PMDN 3/1979”)

    Sejalan dengan Keppres 32/1979, Pasal 12 PMDN 3/1979 mengatur bahwa tanah bekas HGB dapat diberikan dengan suatu hak baru kepada bekas pemegang haknya jika:

    1. memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 2 dan 3 (mengenai orang atau badan hukum yang memiliki HGB dapat mengajukan hak baru, tetapi akan ditentukan kembali peruntukan dan penggunaan tanahnya oleh Menteri Dalam Negeri);
    2. tanah yang bersangkutan dikuasai dan digunakan sendiri oleh bekas pemegang haknya;
    3. tidak seluruhnya diperlukan untuk proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum;
    4. di atasnya berdiri suatu bangunan milik bekas pemegang hak yang didiami/digunakan sendiri;
    5. di atasnya berdiri suatu bangunan milik bekas pemegang hak, yang didiami/digunakan oleh pihak lain dengan persetujuan pemilik bangunan/bekas pemegang hak.

Kemudian pada Pasal 13 ayat (1) diatur bahwa tanah bekas HGB dapat diberikan suatu hak yang baru kepada pihak yang pada berlakunya peraturan ini nyata-nyata menguasai dan menggunakan tanah tersebut secara sah.

  1. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”)

    Dalam peraturan ini, hak eigendom serta hak-hak atas tanah lain yang berasal dari peraturan sebelum UUPA disebut sebagai hak lama. Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997 menentukan bahwa untuk keperluan pendaftaran hak, hak-hak atas tanah yang berasal dari hak-hak lama dibuktikan dengan alat pembuktian tertulis mengenai keberadaannya berupa surat-surat atau keterangan-keterangan yang oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik dianggap cukup untuk mendaftarkan haknya, pemegang haknya, dan hak-hak lain yang membebaninya.

    Penjelasan Pasal 24 ayat (1) lebih lanjut menguraikan bahwa bukti kepemilikan tersebut pada pokoknya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada saat UUPA diundangkan. Bukti tertulis tersebut dapat berupa, grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnatie (Staatsblad 1834-27) dengan catatan bahwa hak eigendom tersebut sudah dikonversi menjadi hak milik, atau grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnatie (Staatsblad 1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai dengan saat pendaftaran tanah yang dilakukan menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 di wilayah yang bersangkutan.

  1. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (“PP 18/2021”)

    Dalam peraturan ini terdapat pembaharuan mengenai ketentuan pendaftaran tanah bekas hak barat. Pasal 95 ayat (1) PP 18/2021 menyatakan bahwa alat bukti tertulis2 tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Pendaftaran tanah bekas hak barat harus didasarkan pada surat pernyataan kepemilikan fisik yang diakui oleh 2 (dua) orang saksi yang bertanggung jawab secara pribadi dan pidana, yang menguraikan bahwa:

    1. tanah tersebut tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan statusnya adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara bukan tanah bekas milik hak adat;
    2. tanah dikuasai secara fisik;
    3. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah; dan
    4. penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.

Penutup

Ketentuan terkait konversi hak eigendom pada dasarnya telah diatur dalam UUPA. Pasal I ayat (1) KK UUPA mengatur bahwa sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, hak eigendom dikonversi menjadi hak milik, dengan ketentuan bahwa pemiliknya adalah WNI yang berkewarganegaraan tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UUPA. Jika hak eigendom dipegang oleh orang asing, WNI berkewarganegaraan ganda, atau badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah, maka hak eigendom tersebut menjadi HGB yang berlaku sampai dengan tanggal 24 September 1980, dan dengan berakhirnya jangka waktu hak tersebut, maka dengan sendirinya hak eigendom tersebut menjadi tanah negara sesuai dengan ketentuan Pasal 4 PMA No. 2/1960, Keppres No. 32/1979, dan PMDN No. 3/1979.

Saat ini, pendaftaran tanah dengan menggunakan akta eigendom sebagai alas hak tidak dapat dilakukan lagi karena bukti tertulis tersebut dinyatakan tidak berlaku dan tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara. Selanjutnya, jika seseorang ingin mendaftarkan tanahnya yang merupakan bekas hak barat, maka harus disertai dengan keterangan fisik bahwa tanah tersebut telah dikuasai selama 20 tahun atau lebih secara terus menerus, sebagaimana diatur dalam PP 18/2021.

Beberapa yurisprudensi pada umumnya tetap konsisten mengacu pada peraturan perundang-undangan di atas mengenai konversi hak eigendom, bahwa hak eigendom yang belum dikonversi menurut UUPA adalah tidak sah atau dianggap sebagai tanah negara. Antara lain: (i) Putusan Mahkamah Agung No. 576K/Pdt/2017 mengandung kaidah hukum yang menyatakan bahwa tanah sengketa sampai dengan tanggal 24 September 1980 belum dikonversi dan sebagai konsekuensinya tanah tersebut menjadi tanah negara; (ii) Putusan Mahkamah Agung No. 1715K/Pdt/2018 dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan bahwa oleh karena penggugat tidak melakukan konversi hak atas tanah objek sengketa sampai dengan batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu tanggal 24 September 1980, maka hak-hak penggugat atas objek sengketa menjadi gugur; dan (iii) Putusan MA No. 95K/Pdt/2020 juga memuat kaidah hukum yang menyatakan bahwa terbukti tanah hak eigendom para penggugat (objek sengketa) belum dikonversi sesuai dengan UUPA, sehingga para penggugat dinyatakan bukan pemilik objek sengketa.

Irwansyah Dhiaulhaq Mahendra

Referensi:

  • Indonesian Civil Code
  • Law No. 5/1960 on Basic Agrarian Principles
  • Regulation of the Minister of Agrarian Affairs No. 2 of 1960 on the Implementation of the Provisions of the UUPA
  • Presidential Decree No. 32 of 1979 on Principal Discretion in Granting New Land Rights from the Conversion of Western Rights
  • Regulation of the Minister of Home Affairs 9 No. 3 of 1979 concerning Provisions on the Application and Grant of New Rights to Land from the Conversion of Western Rights
  • Government Regulation No. 24 of 1997 on Land Registration
  • Government Regulation No. 18 of 2021 on Management Rights, Land Rights, Flats, and Land Registration
  • Supreme Court Decision No. 576K/Pdt/2017
  • Supreme Court Decision No. 1715K/Pdt/2018
  • Supreme Court Decision No. 95K/Pdt/2020
  • Indische Staatsregeling
  • Staatsblad 1917 No. 12

Sources

  1. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada undang-undang yang mencabut Staatsblad 1917 No. 12, namun karena UUPA telah mencabut semua hak-hak atas tanah yang berasal dari Peraturan sebelum UUPA, maka Staatsblad 1917 No. 12 ini sudah tidak relevan lagi.
  2. Lihat pembahasan sebelumnya mengenai ketentuan dalam PP 24/1997
Read Also  Aspek Bangunan Gedung Dalam RUU Cipta Kerja