Pendahuluan
Peradilan Tata Usaha Negara menjadi medium warga negara untuk melindungi haknya dalam atas kebijakan atau tindakan pemerintah/pejabat tata usaha negara melalui pengajuan gugatan tata usaha negara. Berdasarkan UU PTUN (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara. Sengketa tata usaha negara didefinisikan sebagai suatu sengketa yang timbul antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Kemudian UU a quo mendefinisikan KTUN sebagai suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dalam proses pengajuan gugatan tata usaha negara dibutuhkan kedudukan hukum sebagai dasar untuk melindungi hak yang terdampak akibat dari berlakunya suatu KTUN. Artikel ini akan membahas mengenai ketentuan kedudukan hukum yang harus dimiliki oleh penggugat sebagai salah satu syarat pengajuan gugatan tata usaha negara.

Pembahasan
Pasal 53 ayat (1) UU PTUN mengatur bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum dalam melakukan gugatan yakni seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN memiliki hak untuk menuntut KTUN yang disengketakan tersebut dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi/rehabilitasi. Adapun, alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan TUN adalah:

  1. KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
  2. KTUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

Keterangan pada Pasal 53 ayat (1) mensyaratkan adanya kepentingan yang dirugikan dalam pengajuan gugatan. Hal ini sejalan dengan asas “point d’interet, point d’ action”. Menurut Sudikno Mertokusumo asas “point d’interet, point d’ action” memiliki arti bahwa barangsiapa yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan tuntutan hak atau gugatan.1 Kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan hukum secara langsung, yaitu kepentingan yang dilandasi dengan adanya hubungan hukum dan dampak yang timbul atas hubungan hukum tersebut.2
Kemudian Indroharto dalam bukunya yang berjudul “Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara” menjelaskan mengenai kepentingan dalam kaitannya dengan pengajuan gugatan TUN, yang menurutnya memiliki dua arti, yakni:

  1. Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum; dan
  2. Kepentingan berproses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan.
Read Also  Permohonan Pailit Kreditor: Utang Bersyarat yang Dipersengketakan

Terkait dengan arti kepentingan yang menunjuk pada nilai yang harus dilindungi oleh hukum, dibagi lagi kedalam dua faktor yaitu kepentingan dalam kaitannya dengan yang berhak menggugat dan kepentingan dalam hubungannya dengan KTUN yang bersangkutan.3 Mengenai kepentingan dalam kaitannya yang berhak menggugat dapat dilihat dari:4

  1. Penggugat harus mempunyai kepentingan sendiri untuk mengajukan gugatan tersebut, ia tidak dapat berbuat atas namanya kalau sesungguhnya hal itu adalah mengenai kepentingan orang lain, sebab kalau ia hendak berproses guna kepentingan orang lain maka ia memerlukan suatu kuasa;
  2. Kepentingan itu harus bersifat pribadi, di mana Penggugat memiliki kepentingan untuk menggugat yang jelas dapat dibedakan dengan kepentingan orang lain;
  3. Kepentingan itu harus bersifat langsung; dan
  4. Kepentingan itu secara objektif dapat ditentukan baik mengenai luas maupun intensitasnya.

Mengenai kepentingan dalam hubungannya dengan KTUN yang bersangkutan, Penggugat harus dapat menunjukkan bahwa KTUN yang digugatnya itu merugikan dirinya secara langsung.5 Sementara terkait dengan kepentingan proses, tujuan yang hendak dicapai dengan berproses adalah terlepas dari kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum.6
Lebih lanjut lagi, terdapat penegasan yang disampaikan oleh Phillipus Hadjon dkk dalam bukunya berjudul “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia” menyatakan bahwa penggugat mempunyai kepentingan apabila ada hubungan kausal antara KTUN dengan kerugian atau kepentingannya, artinya kerugian itu adalah akibat langsung dari terbitnya KTUN.7
Berangkat dari doktrin ahli di atas terdapat beberapa yurisprudensi sebagai contoh implementasi kepentingan yang harus dipunyai oleh Penggugat dalam suatu gugatan TUN, di antaranya:

  1. Putusan Nomor 26/G/2020/PTUN.Mtr
    Dalam kasus ini, Para Penggugat mendalilkan bahwa penerbitan SHM pada suatu bidang tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Lombok Timur (Tergugat) telah merugikan Para Penggugat serta Para Penggugat memiliki kepentingan atas objek sengketa tersebut berdasarkan warisan dari keturunan mereka sebelumnya. Dalam petitum gugatan, Para Penggugat memohonkan untuk mencabut SHM atas objek sengketa dan menyatakan SHM tersebut tidak sah. Seiring jalannya persidangan, ditemukan bukti dan fakta bahwa bidang tanah yang menjadi objek sengketa telah dijual oleh pewaris pada tahun 1984 kemudian Tergugat II Intervensi (pemilik tanah dan SHM) memperoleh hak atas objek sengketa tersebut berdasarkan jual beli secara sah. Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Para Penggugat tidak memiliki kepentingan yang dirugikan dari diterbitkannya objek sengketa, baik dari segi nilai-nilai yang harus dilindungi hukum maupun dari segi kepentingan berproses. Para Penggugat tidak memiliki legal standing pada gugatan tersebut karena tidak adanya hubungan hukum antara Para Penggugat dengan objek sengketa sehingga Para Penggugat tidak memiliki kepentingan yang dirugikan. Ketiadaan legal standing mengakibatkan gugatan para penggugat tidak dapat diterima (NO).
  1. Putusan Nomor 66/G/2021/PTUN.Mdn dan Putusan Nomor 477 K/TUN/2021
    Putusan tingkat pertama dan kasasi ini memiliki kesamaan dalam kaitannya dengan legal standing. Penggugat pada dua putusan tersebut mendalilkan bahwa penerbitan objek sengketa (SHM) telah melanggar hak dan merugikan kepentingan mereka. Mereka mendalilkan objek sengketa telah menyerobot sebagian bidang tanah dengan alas SHM milik mereka. Kemudian pada pemeriksaan di persidangan ditemukan fakta bahwa SHM milik dua penggugat tersebut baru terbit setelah objek sengketa terbit. Majelis Hakim pada dua putusan tersebut berpendapat sama bahwa dengan terbitnya SHM penggugat setelah objek sengketa terbit maka penggugat tidak memiliki kepentingan terhadap objek sengketa yang berimplikasi pada tidak memiliki legal standing dalam pengajuan gugatan. Kedua putusan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (NO) dan ditolak permohonan kasasinya. Dalam hal ini, kedua penggugat tersebut tidak memiliki kepentingan terhadap terbitnya objek sengketa karena tidak ada kerugian langsung yang mereka terima. Hal ini disebabkan dasar hak mereka (SHM) baru terbit setelah objek sengketa terbit.
Read Also  Hapusnya Hak atas Tanah Adat di Negara

Penutup
Posisi legal standing memainkan aspek penting dalam proses pengajuan gugatan TUN. Berdasarkan tiga yurisprudensi di atas, dapat dilihat bahwa tidak terpenuhinya aspek kepentingan menyebabkan tidak adanya legal standing untuk mengajukan gugatan, kemudian ketiadaan legal standing selalu berujung pada tidak diterimanya gugatan TUN. Konsistensi sikap hakim dalam memutus perkara TUN yang tidak memiliki legal standing sudah sewajarnya sebagaimana asas “point d’interet, point d’ action” yang berarti jika tidak ada kepentingan maka tidak ada gugatan.

Irwansyah Dhiaulhaq

Sources

  1. Soedikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, 2006, Yogyakarta: Liberty, Page 21.
  2. Ibid.
  3. Indroharto, “Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara”, 1991, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Page 181.
  4. Ibid, Page 182-183.
  5. Ibid.
  6. Ibid.
  7. Philipus Hadjon, dkk, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”, 1995, Yogyakarta, Page 316.