Pendahuluan
Hukum yang berlaku di Indonesia mengakomodasi warga negara yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain, untuk menggugat pihak yang merugikannya tersebut dan meminta ganti rugi. Berangkat dari hal tersebut, dalam gugatan perdata dikenal gugatan wanprestasi dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Namun demikian, tidak jarang terjadi dimana Penggugat mengajukan gugatan bukan untuk meminta ganti rugi, dan hanya untuk mengganggu si Tergugat. Gugatan semacam ini dapat disebut sebagai vexatious litigation.

Istilah vexatious litigation dalam praktik peradilan perdata di Indonesia dikenal sebagai gugatan dengan itikad tidak baik. Kemudian Black’s Law Dictionary mendefinisikan vexatious litigation sebagai, “gugatan yang diajukan dengan niat jahat dan tanpa dasar yang kuat, yang dimaksudkan untuk menimbulkan kesulitan dan kerugian bagi pihak yang digugat”.1 Singkatnya, gugatan tersebut diajukan dengan itikad tidak baik. Artikel ini akan meninjau secara singkat mengenai vexatious litigation dalam praktik peradilan perdata di Indonesia.

Pembahasan
HIR dan RBG, sebagai pedoman hukum acara perdata di Indonesia, tidak mengatur mengenai vexatious litigation dalam perkara perdata di Indonesia. Namun, dalam perkara pidana, terdapat konsekuensi mengenai laporan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 220 KUHP. Namun demikian, terdapat sebuah putusan yang menormakan vexatious litigation dalam peradilan perdata di Indonesia. Dalam kaidah hukum Putusan Nomor 1228/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel, para hakim mendefinisikan vexatious litigation sebagai gugatan yang bertentangan dengan hak-hak subyektif orang lain dan juga bertentangan dengan prinsip-prinsip kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki oleh seseorang dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Hak subyektif yang dimaksud adalah kewenangan khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk digunakan demi kepentingannya, seperti hak-hak perorangan (kebebasan, kehormatan, dan reputasi), hak milik, dan hak-hak absolut lainnya.2

Read Also  Analisis Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023: Uji Materi terhadap UU Cipta Kerja dan Implikasinya pada Perlindungan Buruh

Setelah kaidah hukum di atas, terdapat dua kasus lain yang mempertimbangkan kaidah vexatious litigation dalam putusannya. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 769/K/2015, penggugat menggugat sebuah bank nasional (tergugat) karena kartu kreditnya diterbitkan tanpa persetujuannya dan dilaporkan ke Sistem Informasi Debitur (SID) sebagai debitur bermasalah. Hal ini menyebabkan penggugat tidak dapat mengajukan pinjaman bank untuk pekerjaannya dan mengalami kerugian. Penggugat menuntut ganti rugi dengan nilai yang cukup besar, permintaan maaf secara terbuka di 55 media nasional dan internasional, serta larangan bagi bank untuk menerbitkan kartu kredit kepada nasabahnya. Pihak bank memberikan pembelaan dengan bukti bahwa penerbitan kartu kredit penggugat telah dikonfirmasi dan diverifikasi oleh penggugat sendiri. Majelis Hakim menyatakan bahwa penerbitan kartu kredit tersebut bukanlah perbuatan melawan hukum dan tergugat telah berusaha membantu penggugat dengan menghapus tagihan penggugat. Kemudian Majelis Hakim menyatakan bahwa penggugat mengajukan gugatan dengan itikad tidak baik karena penggugat memanfaatkan bantuan tergugat untuk mengajukan gugatan yang tidak masuk akal. Poin-poin penting di sini adalah bahwa klaim tersebut dibuat oleh penggugat, klaim tersebut didasarkan pada kebaikan tergugat sebelumnya, dan tuntutan yang diajukan penggugat tidak masuk akal.

Lebih lanjut, dalam Putusan Nomor 19/Pdt.G/2020/PN.Jmb, tergugat mendalilkan bahwa penggugat mengajukan gugatan dengan itikad tidak baik (vexatious litigation) untuk menghalang-halangi hak-hak tergugat. Majelis hakim menyatakan bahwa terlepas dari dalil vexatious litigation, hakim berperan sebagai wasit untuk memutuskan dalil mana yang lebih kuat (antara penggugat atau tergugat) melalui proses pembuktian. Untuk itu, majelis hakim menolak eksepsi tergugat atas gugatan vexatious litigation. Dalam kasus hukum ini, majelis hakim tidak mengesampingkan adanya vexatious litigation, namun demikian majelis hakim tidak akan menolak gugatan hanya karena adanya vexatious litigation tanpa memperhatikan pembuktian.

Read Also  Klaim Kontraktor dalam Kontrak FIDIC: Batas Waktu Kontraktual v Daluwarsa

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa meskipun vexatious litigation tidak diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun kaidah vexatious litigation dikenal serta diakui dalam peradilan perdata Indonesia.

Irwansyah Dhiaulhaq Mahendra

References:

  • Decision Number 19/Pdt.G/2020/PN.Jmb.
  • Supreme Court Decision Number 769/K/2015.

Sources

  1. Black’s Law Dictionary (9th Edition), 2009, USA: Thomson Reuters
  2. Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, 2003, Jakarta, hal. 38.