UU Cipta Kerja mengubah, menetapkan baru, menghapus beberapa ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang perumahan dan kawasan permukiman, undang-undan tentang rumah susun, undang-undang jasa konstruksi, dan undang-undang tentang sumber daya air. Keempat undang-undang ini adalah paket yang masuk dalam sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat. UU Cipta Kerja mengatur bahwa perubahan terhadap paket undang-undang dimaksudkan untuk memberi kemudahan bagi masyarakat khususnya pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha dan kemudahan persyaratan investasi. Jadi, apa saja poin penting perubahan undang-undang perumahan dan permukiman pasca UU Cipta Kerja?

Pertama, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan mengenai syarat teknis, administratif, tata ruang, dan ekologis yang ada dalam ketentuan sebelumnya menjadi berdasarkan standar. Apa yang harus memenuhi standar? Hasil perencanaan dan perancangan rumah. Di dalam peraturan pemerintah, standar tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian yang tidak akan dibahas di sini. Namun, dalam penjelasan umum peraturan pemerintah, dijelaskan bahwa ‘standar’ tersebut dilakukan melalui penyesuaian nomenklatur, yaitu nomenklatur izin mendirikan bangunan menjadi persetujuan bangunan gedung (PBG) dan perubahan nomenklatur persyaratan menjadi standar. Apa yang sebelumnya disebut sebagai syarat, misalnya syarat administratif, syarat teknis dll sekarang diubah menjadi ‘standar’. Dengan kata lain, esensinya sama dengan aturan sebelumnya, selain mengenai perubahan nomenklatur. Namun, penghapusan ‘syarat ‘dan diganti menjadi ‘standar’ dapat menimbulkan membingungkan. Syarat administratif sama sekali hilang di dalam aturan. Apa betul dengan demikian tidak ada syarat administratif sama sekali seperti hak atas tanah, pemilik tanah, dll? Rasanya tidak mungkin. Dimana pengaturan syarat administratif jika begitu? Ini tampaknya akan diatur ketika pengajuan permohonan secara daring melalui sistem informasi manajemen bangunan gedung.

Read Also  UU Penanaman Modal pasca UU Cipta Kerja

Kedua, kesempatan pelaku pembangunan untuk mengonversi kewajiban pembangunan rumah sederhana menjadi bentuk dana untuk pembangunan rumah umum. Pengelolaan dana tersebut akan dilaksanakan oleh badan percepatan penyelenggaran perumahan. Namun, konversi ke rumah susun umum juga tetap tersedia. Jadi, pelaku pembangunan punya dua pilihan jika rumah sederhana tidak dapat dibangun dalam bentuk rumah tunggal atau deret, yaitu dikonversi menjadi rumah susun umum atau dana untuk pembangunan rumah umum. Ini positif dan mungkin lebih baik mengingat pengembang sering kali mendapat kesulitan untuk membangun rumah umum. Jika pengembang berskala kecil dan hanya fokus ke rumah mewah atau setidaknya menengah, dengan jumlah rumah yang tidak banyak, aturan ini akan menyulitkan pengembang tersebut. Meski demikian, jika dikonversi ke dana rumah umum, itu juga berarti pembangunan rumah umum atau rumah susun umum menjadi tanggung jawab pemerintah. Dana tersebut tidak dimaksudkan untuk diam dalam tabungan, tapi harus digunakan untuk kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah.

Ketiga, perubahan terminologi izin lokasi menjadi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Istilah ‘penetapan lokasi’ yang masih masuk dalam undang-undang tidak merujuk pada ‘izin lokasi’ melainkan pada tahap pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur dalam undang-undang berlainan. Yang akan menarik untuk dicermati, jika izin lokasi sudah tidak ada dan menjadi KKPR, apakah masih diperlukan izin peruntukkan tanah yang umumnya diterbitkan oleh pemerintah daerah ataukah sama sekali hilang? KKPR akan merujuk pada rencana detail tata ruang yang sudah ada dalam suatu daerah. Persetujuan KKPR bahkan mencakup koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan dan persyaratan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang.[1] Oleh karena itu, seharusnya tidak lagi diperlukan izin terpisah dari daerah setempat. Persetujuan KKPT perlu diperoleh oleh pelaku pembangunan sebelum dapat melakukan pembebasan tanah melalui peralihan atau pelepasan hak atas tanah.

Read Also  Hukum Pertanahan Nasional - Analisa Pertimbangan Hukum Hakim

Keempat, dibentuknya badan percepatan penyelenggaran perumahan (BP3) untuk mewujudkan penyediaan rumah umum bagi masyarakat berpenghasilan rendah. BP3 ini dibentuk oleh pemerintah pusat.

Kelima, pelaku pembangunan yang menyelenggarakan lingkungan hunian atau kawasan siap bangunan yang tidak memisahkan lingkungan hunian atau kasiba tersebut menjadi satuan lingkungan perumahan atau lingkungan siap bangun dikenai sanksi administratif. Ketentuan ini sebelumnya adalah ketentuan pidana dengan ancaman pidana denda paling banyak Rp 5 miliar.

Perubahan substansial tampaknya hanya pada kewajiban pembangunan rumah umum yang dapat dikonversi dalam bentuk dana dan perubahan ketentuan pidana menjadi sanksi administratif. Perubahan lain lebih bersifat non esensial karena substansinya sama dengan sebelum perubahan dilakukan. Perubahan tersebut juga sebetulnya hanya mengikuti perubahan yang telah terjadi pada undang-undang penataan ruang dan undang-undang bangunan gedung.

[1] Pasal 108 ayat (8) PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Eddy Leks