
- Berkembangnya Unjust Enrichment
- Pengertian Unjust Enrichment
- Praktik Unjust Enrichment Secara Umum
- Unjust Enrichment di Indonesia Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Yurisprudensi Pasal 1359 KUH Perdata
- Unjust Enrichment: Kaidah yang Tidak Tertulis namun Hidup secara Terbatas
Berkembangnya Unjust Enrichment
Perdebatan hukum perikatan, sebagai salah satu bagian dari hukum perdata, dalam beberapa dekade terakhir berfokus pada upaya untuk menemukan dasar baru terkait metode pengembalian atau ganti rugi atas kerugian yang timbul dari situasi dimana tidak terdapat hubungan kontraktual di antara para pihak. Selama ini, upaya tuntutan pengembalian atau ganti rugi dalam hukum perdata, termasuk di Indonesia, didominasi oleh dua dasar gugatan, yakni gugatan berdasarkan hubungan kontraktual dan gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum (Rosa Agustina, et. al, 2018: 3).
Akan tetapi, oleh sebagian besar ahli hukum di dunia, kedua dasar gugatan beserta perkembangannya tersebut dianggap masih belum memenuhi tuntutan kemajuan zaman dan perkembangan hukum di dunia.
Tuntutan terhadap adanya suatu dasar baru untuk mengajukan gugatan pengembalian tersebut demi terciptanya tujuan keadilan hukum telah melahirkan suatu konsep yang dikenal dengan unjust enrichment (Faizal Kurniawan, et.al, 2016: 21). Dalam keadaan tertentu, dimana tidak terdapat hubungan kontraktual di antara para pihak dan tidak terdapat pula kesalahan dari pihak yang diuntungkan dari suatu keadaan tersebut, maka gugatan berdasarkan hubungan kontraktual maupun gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum tidak dapat diajukan, sehingga dalam keadaan ini lah unjust enrichment berperan sebagai dasar tuntutan (Richard Stone, 2000: 341).
Pengertian Unjust Enrichment
Konsep unjust enrichment sendiri didasarkan pada asas “one shall not be allowed to unjustly enrich himself at the expense of another” sebagaimana dikemukakan oleh Keener dalam suatu artikel yang dimuat dalam Harvard Law Review 1887.
Lebih lanjut, Black’s Law Dictionary mendefinisikan unjust enrichment sebagai, “The retention of a benefit conferred by another, without offering compensation, in circumstances where compensation is reasonably expected; A benefit obtained from another, not intended as a gift and not legally justifiable, for which the beneficiary must take restitution or recompense”. Dalam terjemahan bebas berarti, penguasaan atas suatu manfaat yang diberikan oleh pihak lain tanpa memberikan kompensasi, dalam keadaan di mana kompensasi secara wajar diharapkan; manfaat yang diperoleh dari pihak lain, yang tidak dimaksudkan sebagai hadiah dan tidak dapat dibenarkan secara hukum, sehingga penerima manfaat wajib mengembalikan atau mengganti kerugian.

Praktik Unjust Enrichment Secara Umum
Doktrin unjust enrichment dalam hukum perdata ini telah dikenal di berbagai negara, baik yang menerapkan common law system maupun civil law system. Sebagai contoh, Belanda telah menormakan konsep unjust enrichment dalam Pasal 212 Buku 6 NBW yang pada pokoknya mengatur bahwa, “a person who has been unjustifiably enriched at the expense of another is obliged, insofar as reasonable, to make good the other’s loss up to the amount of his enrichment”. Dalam terjemahan bebas berarti, “Seseorang yang telah memperoleh pengayaan yang tidak sah atas kerugian orang lain wajib, sejauh yang wajar, mengganti kerugian orang lain tersebut hingga jumlah pengayaan yang diperolehnya”.
“Konsep unjust enrichment didasarkan pada asas one shall not be allowed to unjustly enrich himself at the expense of another”
Kemudian, di Amerika Serikat, dalam Restatement of the Law (Third) Restitution and Unjust Enrichment, telah mengatur kriteria dari unjust enrichment, sebagai berikut: a) a benefit which has been unjustly received (the “enrichment”); b) a loss or detriment suffered, usually by the plaintiff; c) a rule of law which deems the enrichment (or the retention of it) “unjust”; d) a prima facie duty to make restitution; e) absence of a valid legal basis for the payment or transaction (including voluntariness or election); dan f) absence of a defence. Dalam terjemahan bebas berarti, “a) suatu keuntungan yang diperoleh secara tidak adil (yang disebut “pengayaan”); b) kerugian yang diderita, biasanya oleh penggugat; c) suatu aturan hukum yang menganggap pengayaan (atau pemeliharaannya) sebagai “tidak adil”; d) terdapat kewajiban prima facie untuk melakukan restitusi; e) tidak adanya dasar hukum yang sah untuk pembayaran atau transaksi (termasuk sukarela atau pilihan); dan f) tidak adanya pembelaan”.
Dalam kasus Everhart v. Miles ditegaskan dalam pertimbangan hakim bahwa terdapat tiga unsur atau elemen untuk menentukan terjadinya unjust enrichment, yaitu a) ada suatu manfaat atau keuntungan yang diberikan atau diperbuat oleh penggugat kepada tergugat; b) manfaat atau keuntungan ini adalah berharga atau dimengerti oleh tergugat; c) tergugat menerima atau menahan manfaat itu adalah merupakan hal yang tidak patut bila tidak disertai dengan pembayarannya. Kriteria tersebut serupa dengan kriteria yang digunakan oleh hakim pada pengadilan tinggi di Australia dalam kasus Pavey & Matthew, yakni: a) tergugat memperoleh pengayaan; b) pengayaan tergugat berasal dari biaya penggugat; dan c) pengayaan tersebut tidak adil (unjust) (Eddy Neuman: 2018).
Hal yang membedakan gugatan atas dasar kontrak, perbuatan melanggar hukum dan unjust enrichment dapat diamati dari petitum gugatan tersebut. Petitum gugatan yang didasarkan atas suatu kontrak berupa kompensasi atas kegagalan pelaksanaan prestasi. Sedangkan petitum gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum berupa kompensasi atas kerugian yang timbul dari adanya pelanggaran hukum, baik hukum positif, kepatutan, kesusilaan maupun pelanggaran prinsip ketidakhati-hatian. Petitum gugatan yang didasarkan atas unjust enrichment tidak dilaksanakan dalam bentuk kompensasi atau ganti rugi, melainkan restitusi atau pemulihan manfaat yang diperoleh secara tidak sah (Gunawan Widjaja, et.al, 2018: 257).
”Perbedaan antara gugatan atas dasar perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan unjust enrichment dapat diamati dari petitum gugatan tersebut.”
Perlu ditekankan bahwa unjust enrichment mensyaratkan ketiadaan kewajiban dalam konteks pemberian manfaat sehingga unjust enrichment tidak dapat berlaku apabila terdapat perjanjian di antara para pihak, kecuali perjanjian tersebut telah selesai atau batal demi hukum (Burrows: 1997, 108). Lebih lanjut, pendapat yang sama dijelaskan dalam Putusan House of Lords dalam kasus Westdeutsche Landesbank Girozentrale v. Islington LBC, House of Lords menyatakan bahwa gugatan unjust enrichment akan berhasil jika tidak menyiratkan sebuah kontrak di antara para pihak, sebab unjust enrichment terjadi dengan tidak membutuhkan sebuah kontrak (Graham Virgo: 2015, 90).
Dalam pendekatan negara-negara common law, suatu perbuatan pengayaan (enrichment) dinyatakan tidak adil (unjust) secara hukum berdasarkan faktor-faktor yang disebut sebagai unjust factors. Hal ini berimplikasi kepada penggugat harus memberikan dan membuktikan bahwa terdapat unjust factor untuk dapat membenarkan gugatannya atas restitusi. Di Inggris, suatu tindakan merupakan tindakan yang unjust jika tindakan tersebut setidak-tidaknya memenuhi salah satu elemen di bawah ini:
- Mistake of fact;
- Mistake of law;
- Duress;
- Undue influence;
- Total failure of consideration;
- Miscellaneous policy-based unjust factors;
- Ignorance/powerlessness;
- Unconscionability;
- Partial failure of consideration;
- Absence of consideration.
(Faizal Kurniawan, 2025: 175)
Krebs menjelaskan jika penggugat melakukan pembayaran karena kesalahan, seperti dalam kasus Barclays Bank v Simms, di mana bank mencairkan cek yang telah dibatalkan, atau dalam kasus Chase Manhattan Bank v Israel-British Bank, di mana pembayaran dilakukan dua kali karena kesalahan, jelas bahwa pengayaan tergugat tidak adil dan harus dikembalikan. Kemudian dalam hal penggugat dipaksa menyerahkan uangnya karena tekanan yang tidak sah dari tergugat, pengayaan tergugat akan dianggap tidak adil oleh hukum – dalam keadaan tersebut unjust factor-nya adalah “duress/paksaan” (Krebs, 2000).
Berbeda hal dengan civil law, secara umum pendekatan unjust enrichment pada negara civil law secara umum bertumpu pada pertanyaan: apakah terdapat dasar hukum yang sah dari diperkayanya suatu pihak? Dasar hukum tersebut dapat berupa perjanjian atau dalam hal diberikan sebagai hadiah. Jadi jika tidak terdapat dasar hukum yang sah, maka pengayaan tersebut merupakan suatu bentuk unjust enrichment. Pendekatan inilah yang disebut sebagai pendekatan absence of basis (Smith, 2009: 208).
Namun terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa doktrin unjust enrichment hanya menambahkan sedikit variasi dari Hukum Perdata pada umumnya; bahwa gagasan unjust enrichment sebagian berada pada posisi yang tidak dapat dipisahkan dengan dasar tanggung gugat lain yang telah ada (Ernest J. Weinrib, 2013).

Unjust Enrichment di Indonesia Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam hukum perdata Indonesia, unjust enrichment sejatinya belum secara expressive verbis tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Terkait dengan praktik hukum di Indonesia, doktrin unjust enrichment sejatinya perkembangannya belum masif sebagaimana yang terjadi di Belanda dan Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan di Indonesia pemahaman mengenai doktrin yang “sejenis” dengan doktrin unjust enrichment sejatinya baru terdapat dalam kajian hukum pidana korupsi yang berkaitan dengan adanya kekayaan berlebih yang bersifat illegal yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan uang negara, yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan “illicit enrichment” (Faizal Kurniawan, et.al, 2018: 26).
“Dalam hukum perdata Indonesia, unjust enrichment tidak tercantum secara expressive verbis dalam KUH Perdata”
Beberapa literatur menyatakan bahwa doktrin unjust enrichment dapat dipersamakan dengan ketentuan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi, ”Tiap pembayaran mengandalkan adanya suatu utang; apa yang telah dibayar tanpa diwajibkan untuk itu, dapat dituntut kembali” (Faizal Kurniawan, et.al, 2018: 29).
Menurut Faizal Kurniawan dalam bukunya berjudul “Doktrin Unjust Enrichment: Karakteristik dan Penerapannya dalam Tuntutan Ganti Rugi”, Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata tidak dapat disamakan dengan unjust enrichment. Merujuk pada Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata, terdapat beberapa unsur yang dapat diamati, yakni: a) adanya pembayaran;
- b) pembayaran tersebut didasarkan atas persangkaan dari pihak yang melakukan pembayaran bahwa dirinya memiliki suatu utang;
- c) senyatanya utang tersebut tidak ada (tidak ada kewajiban); dan
- d) pembayaran yang dilakukan dapat dituntut Kembali.
Merujuk pada praktik di Belanda berdasarkan NBW (Nieuw Burgerlijk Wetboek), pembayaran yang tidak diwajibkan sebagaimana diatur dalam Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata dikenal sebagai performance not due (Pasal 203-211 Buku 6 NBW). NBW Belanda mengatur unjust enrichment sebagai aturan yang terpisah dengan performance not due, yakni diatur dalam Pasal 212 Buku 6 NBW sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya (Faizal, 2025: 254).
Kemudian Faizal menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata seolah-olah membatasi bahwa pembayaran yang dilakukan secara tidak terutang hanya didasarkan atas adanya kesalahan fakta (mistake of fact) saja, yakni karena adanya persangkaan bahwa pihak yang membayar memiliki suatu utang, senyatanya tidak. Hal tersebut jelas mempersempit kriteria dari unjust enrichment yang juga dapat didasarkan atas adanya mistake of law, duress, dan faktor lainnya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata tidak dapat dipersamakan dengan unjust enrichment, melainkan hanya sebagian kecil dari ruang lingkup konsep unjust enrichment saja (Faizal, 2025: 253). Dalam kata lain, berdasarkan pendapat Faizal, Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata dapat dianggap sebagai unjust enrichment, namun dalam pandangan yang sempit atau terbatas. Hal ini dapat dikatakan sebagai konsep unjust enrichment yang bersifat terbatas.
Yurisprudensi Pasal 1359 KUH Perdata
Beberapa putusan berikut merupakan contoh putusan berdasarkan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata.

Putusan No. 1749 K/Pdt/2010
Wawan Gunawan dan Mamay Gunawan (“Para Penggugat/Termohon Kasasi”) membeli suatu barang yang diiklankan di koran Kompas, yakni ekskavator dengan merek Becho dan telah membayar uang muka sebesar Rp205.000.000 yang ditransfer ke nomor rekening yang diberikan oleh pengiklan. Saat barang tersebut tidak pernah sampai kepada Para Penggugat, ternyata diketahui bahwa nomor rekening tersebut adalah milik Sutan Suryajaya (”Tergugat/Pemohon Kasasi”) dan bukan merupakan milik pengiklan. Tergugat berdalil bahwa tidak mengetahui transaksi pembelian barang antara Para Penggugat dengan pengiklan yang menggunakan nomor rekening milik Tergugat dan berdalil bahwa nominal yang Ia terima merupakan hasil dari penjualan usahanya, yakni toko emas.
Para Penggugat menggugat Tergugat dengan dasar bahwa Para Penggugat telah melakukan pembayaran yang tidak diwajibkan kepada Tergugat, sebagaimana ketentuan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata.
Majelis Hakim menolak permohonan kasasi dari Tergugat dengan pertimbangan bahwa sesuai faktur terbukti Penggugat telah mengirim uang miliknya kepada Tergugat melalui rekeningnya di Bank BCA sebesar Rp205.000.000,00. Kemudian dari iklan harian kompas (bukti Penggugat) alasan pengiriman uang tersebut jelas terlihat untuk pembelian excavator (becho) tetapi ternyata tidak ada (bohong) oleh karenanya uang harus dikembalikan kepada Penggugat.
“Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata dapat dianggap sebagai unjust enrichment, namun dalam pandangan yang sempit atau terbatas.”
Kasus ini menunjukkan bahwa terjadi kesalahan transfer karena nomor rekening bank ditulis dengan salah. Hal ini dapat dikategorikan sebagai kasus “kesalahan fakta (mistake of fact)” yang merupakan bagian dari ”unjust factor” dalam doktrin unjust enrichment. Seperti yang telah dijelaskan di atas dan sebagaimana dijelaskan oleh Faizal, Pasal 1359 KUH Perdata hanya berkaitan dengan “mistake of fact” dan tidak mengatur ”unjust factor” lainnya yang mungkin terjadi dalam doktrin unjust enrichment. Oleh karena itu, meskipun Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata tidak mengatur doktrin unjust enrichment, namun dapat dilihat bahwa pasal tersebut memberikan konsep unjust enrichment yang terbatas dalam kerangka KUH Perdata.,

Penetapan No. 253/Pdt.P/2014/PN Skt
Berbeda dengan kasus sebelumnya, dalam kasus ini bukan merupakan gugatan yang melibatkan pihak tergugat, melainkan hanya penetapan berdasarkan permohonan pemohon ke pengadilan. Kasus bermula saat Roy Widodo Santoso (“Pemohon”), seorang nasabah Bank BCA secara tidak sengaja melakukan transfer dana sebesar Rp12.500.000 ke rekening yang salah atas nama AP, padahal seharusnya dikirimkan ke rekening atas nama PK. Kesalahan tersebut terjadi pada 29 Oktober 2014 melalui layanan internet banking. Setelah menyadari kesalahan, Pemohon segera melaporkannya ke pihak bank dan meminta pembatalan serta pengembalian dana. Bank BCA menanggapi laporan tersebut dan melakukan pemblokiran terhadap rekening penerima yang keliru, namun tidak dapat memproses pengembalian dana secara langsung tanpa adanya persetujuan dari pemilik rekening atau penetapan pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Karena pihak penerima atas nama AP tidak dapat ditemukan, Pemohon mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan hukum agar dana dapat ditarik kembali.
Hakim mengabulkan permohonan Pemohon dengan pertimbangan yaitu Pemohon telah melakukan langkah dan prosedur pembatalan transfer sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana sehingga Hakim menetapkan bahwa transfer tersebut adalah kesalahan dan memerintahkan PT Bank Central Asia Tbk untuk mendebet kembali dana sebesar Rp12.500.000 dari rekening AP dan mengembalikannya ke rekening Roy Widodo Santoso.
Dalam hal ini, secara tersirat Hakim mengakui bahwa penerimaan dana oleh AP berasal dari kekeliruan Pemohon, dan karenanya harus dikembalikan. Meskipun tidak ada pembahasan mengenai Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata oleh hakim, situasi ini sangat mirip dengan kasus hukum pertama di mana terdapat kesalahan transfer yang dilakukan oleh pemohon. Ini sekali lagi merupakan kasus “mistake of fact” yang dapat terjadi dan termasuk dalam ketentuan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata.

Unjust Enrichment: Kaidah yang Tidak Tertulis namun Hidup secara Terbatas
Doktrin unjust enrichment atau secara singkat diartikan sebagai pengayaan diri secara tidak adil pada awalnya ditujukan sebagai dasar gugatan perdata yang baru untuk memenuhi tuntutan perkembangan dasar gugatan perdata, di mana tuntutan atas dasar kontraktual dan perbuatan melawan hukum dinilai tidak dapat memenuhi perkembangan masalah keperdataan. Sampai saat ini belum ada pengaturan atau penormaan spesifik mengenai unjust enrichment dalam hukum perdata Indonesia.
Namun demikian, beberapa literatur menyatakan bahwa doktrin unjust enrichment dapat dipersamakan dengan ketentuan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata, yang mana mengatur bahwa “Tiap pembayaran mengandalkan adanya suatu utang; apa yang telah dibayar tanpa diwajibkan untuk itu, dapat dituntut Kembali”. Namun ternyata Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata tidak dapat dipersamakan dengan konsep unjust enrichment, karena ketentuan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata hanya mencakup “mistake of fact” sebagai unjust factor-nya saja, Hal tersebut jelas mempersempit kriteria dari unjust enrichment yang juga dapat didasarkan atas adanya mistake of law, duress, dan faktor lainnya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata tidak dapat dipersamakan dengan unjust enrichment, melainkan hanya sebagian kecil dari ruang lingkup konsep unjust enrichment saja.
Meskipun demikian, prinsip unjust enrichment ditemukan hidup secara terbatas dalam Putusan No. 1749 K/Pdt/2010 dan Penetapan No. 253/Pdt.P/2014/PN Skt yang memenuhi “mistake of fact” sebagai unjust factor di dalamnya.
Author

Irwansyah Dhiaulhaq Mahendra is an Associate in Leks&Co. He obtained a law degree from Diponegoro University. He joined Leks&Co as an intern and then later on promoted as an Associate. At the firm, he is involved in real estate, general corporate/commercial, commercial dispute resolution, and construction.
Editor

Dr. Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 15 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Asia Pacific International Arbitration Chamber Indonesia Board, and Singapore Institute of Arbitrators (SIArb) . Aside to his practice, the editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023, ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review and Leading Partner in Real Estate and Construction by Legal500 Asia Pacific 2025.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Sources:
Law and Jurisprudence
- Indonesian Civil Code.
- Nieuw Burgerlijk Wetboek.
- Restatement of the Law (Third) Restitution and Unjust Enrichment.
- Decision No. 1749 K/Pdt/2010.
- Judgment No. 253/Pdt.P/2014/PN Skt.
- Everhart v. Miles, 47 Md. App. 131, 422 A.2d 28 (Md. Ct. Spec. App. 1980).
Others
- Agustina, Rosa, et. al. 2012. Hukum Perikatan, Bali: Pustaka Larasan.
- Burrows. 1997. Contract, Tort, and Restitution-A satisfactory or not?, 99 L.Q.R.
- Cornish, et. al. 1998. Restitution: Past, Present and Future, Oxford: Hart Publishing.
- Campbell, Henry. 1990. Black’s Law Dictionary, West Publishing Co.
- Gunawan Widjaja, et. al. 2018. Unjust Enrichment, Cross-Border: Volume 1 No. 1.
- Krebs, Thomas. 2000. In Defence of Unjust Factors. Oxford U Comparative L Forum 3 at ouclf.law.ox.ac.uk.
- Kurniawan, Faizal, et. al. 2018. Unsur Kerugian dalam Unjustified Enrichment untuk Mewujudkan Keadilan Korektif (Corrective Justice), Jurnal Yuridika: Volume 33 No. 1.
- Kurniawan, Faizal. 2025. Doktrin Unjust Enrichment: Karakteristik dan Penerapannya dalam Tuntutan Ganti Rugi. Jakarta: Kencana.
- Neumann, Eddy. 2018. Equity and Trust-Unjust Enrichment.
- Smith, Stephen A. 2009. Unjust Enrichment: Nearer to Tort than Contract. Oxford University Press.
- Stone, Richard. 2000. Principles of Contractual Law, Cavendish Publishing Limited.
- Virgo, Graham. 2015. The Principles of Law and Restitution, United Kingdom: Oxford University Press.
- Weirnib, Ernest J. 2013. Unjust Enrichment Corrective Justice.