
Table of Contents
Memahami Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) diartikan sebagai:
- Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
- Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
- Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (“AUPB”);
- Bersifat final dalam arti lebih luas [mencakup Keputusan yang diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang];
- Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
- Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
Mengacu pada pemaknaan yang diatur melalui Pasal 87 Undang-Undang Nomor Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”) tersebut di atas, maka KTUN adalah keputusan yang diterbitkan berdasarkan/atas dasar ketentuan perundang-undangan dan AUPB. Secara khusus, Pasal 9 UU Administrasi Pemerintahan juga menyatakan bahwa setiap KTUN wajib berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB. Peraturan perundang-undangan yang di maksud, yaitu adalah ketentuan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan dan yang menjadi dasar dalam menetapkan KTUN. Ketentuan ini memberikan ruang lingkup cukup yang luas sebagai dasar penerbitan KTUN.
Baca Juga: Unsur Sengketa Kepemilikan Tanah dalam Sengketa Tata Usaha Negara
Selain itu, KTUN merupakan suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat tata usaha negara (“TUN”) berdasarkan diskresi yang dimilikinya. Dalam praktiknya, namun, terdapat keputusan-keputusan, yang meskipun diterbitkan oleh badan dan/atau pejabat TUN dalam kewenangannya, dasar penerbitannya bukan hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan, melainkan juga karena alasan lain, di antaranya yaitu KTUN yang diterbitkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan. Dalam hal ini, meskipun suatu keputusan tersebut tetap diterbitkan oleh badan dan/atau pejabat TUN, namun dasar penerbitannya tidak lagi sepenuhnya bersumber dari kewenangan diskresi yang dimilikinya dan/atau peraturan perundang-undangan terkait, melainkan bentuk pelaksanaan atau tindak lanjut dari suatu hasil pemeriksaan badan peradilan.

Ruang Lingkup Keputusan Tata Usaha Negara
Sebelumnya perlu diketahui bahwa terdapat pembatasan dalam ruang lingkup KTUN. Sehingga, tidak semua KTUN senyatanya dapat serta-merta tergolong sebagai suatu KTUN yang dapat dijadikan objek sengketa pada pengadilan TUN (“PTUN”).
Baca Juga: Telaah Singkat Urgensi Legal Standing dalam Gugatan Tata Usaha Negara
Meskipun memiliki ruang lingkup dasar penerbitan yang luas, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU Peratun”) secara jelas mengatur pembatasan terhadap ruang lingkup KTUN. Ketentuan ini secara khusus mengatur KTUN yang tidak termasuk dalam pengertian KTUN dalam undang-undang, yaitu:
- KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata.
- KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
- KTUN yang masih memerlukan persetujuan.
- KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
- KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- KTUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia (TNI).
- Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
“Tidak dianggap sebagai KTUN: KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

PT. Lubuk Naga, dkk. v. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yurisprudensi Nomor 250 K/TUN/2020 jo. 314/B/2019/PT.TUN.JKT jo. 40/G/2019/PTUN.JKT.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka suatu KTUN yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan badan peradilan, pada dasarnya tidak tergolong sebagai KTUN dalam pengertian undang-undang tersebut. Akibatnya, hal ini menandakan bahwa KTUN tersebut tidak dapat menjadi objek sengketa dalam hal timbul sengketa TUN yang berasal dari keputusan tersebut. Akan tetapi, bagaimana apabila suatu KTUN tersebut kemudian menjadi objek sengketa? Apakah suatu KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan dapat digugat melalui PTUN? Sehingga untuk memahami permasalahan ini lebih lanjut, penulis akan membahas Putusan Nomor 250 K/TUN/2020 jo. 314/B/2019/PT.TUN.JKT jo. 40/G/2019/PTUN.JKT.
Dalam kasus ini, Penggugat menuntut pernyataan tidak sah atau pembatalan suatu objek sengketa berupa Keputusan Menteri Kehutanan. KTUN tersebut ternyata terbit atas dasar perintah Mahkamah Agung dan karenanya dinyatakan tidak dapat digugat di PTUN.
Baca Juga: Kekuatan Diskresi: Menelusuri Yurisprudensi Administrasi Negara di Sektor Lingkungan Hidup
Terdapat dua objek sengketa dalam perkara ini. Gugatan mengenai Objek Sengketa 2, yang mana tidak akan dibahas di sini, ditolak. Sedangkan gugatan terkait Objek Sengketa 1 dinyatakan tidak diterima. Judex Facti pada pengadilan tingkat pertama menerima salah satu dalil eksepsi Tergugat yang pada pokoknya menyatakan bahwa Objek Sengketa 1 diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan badan peradilan sehingga tidak termasuk sebagai KTUN yang dapat diajukan gugatan di PTUN, dengan mengacu pada ketentuan dalam Pasal 2 huruf e Peratun.
Adapun Objek Sengketa 1 di maksud, yaitu berupa Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.579/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara, yang meskipun diterbitkan oleh Tergugat dalam kewenangannya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun ternyata diketahui yang menjadi dasar penerbitannya adalah putusan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 47 P/HUM/2011.
“Objek Sengketa 1 diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan badan peradilan sehingga tidak termasuk sebagai KTUN yang dapat diajukan gugatan di PTUN.”
Judex Facti pada pengadilan tingkat pertama, melalui Putusan Nomor 40/G/2019/PTUN.JKT menyatakan:
“… substansi objek sengketa 1 adalah mencabut SK.44/Menhut-II/2005 dan menetapkan Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara yang baru hal demikian sejalan dengan perintah yang diamanatkan oleh putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 37 P/HUM/2011…”
Putusan pada tingkat pertama tersebut kemudian dikuatkan pada tingkat banding melalui Putusan Nomor 314/B/2019/PT.TUN.JKT, dan juga pada tingkat kasasi. Sebagaimana Judex Juris dalam pertimbangan hukumnya pada Putusan No. 250 K/TUN/2020 mengatakan:
“Bahwa objek sengketa ke-1 merupakan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 47 P/HUM/2011, tanggal 2 Mei 2012, sehingga berdasarkan Pasal 2 huruf e Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, tidak dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.”
Putusan Mahkamah Agung No. 47 P/HUM/2011 adalah putusan uji materiil oleh Mahkamah Agung yang memerintahkan Menteri Kehutanan untuk mencabut Surat Keputusan No. SK/44/Menhut-II/2005 dan memerintahkan Menteri Kehutanan untuk menerbitkan KTUN yang baru sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dengan memperhatikan RTRW Kabupaten/Kota yang baru sebagai akibat terjadinya pemekaran-pemekaran beberapa wilayah Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara.
Untuk lebih memahami contoh-contoh mengenai KTUN yang dimaksud dalam Pasal 2 huruf e, Penjelasan pasal tersebut telah menjelaskan berikut ini:
- Keputusan Badan Pertanahan Nasional yang mengeluarkan sertifikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang menjelaskan bahwa tanah sengketa tersebut merupakan tanah negara dan tidak berstatus tanah warisan yang diperebutkan oleh para pihak.
- Keputusan serupa pada poin a di atas, tetapi didasarkan atas amar putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Keputusan pemecatan seorang notaris oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris, setelah menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar kewenangannya menurut ketentuan Undang-Undang Peradilan Umum.
Author

Miskah Banafsaj is an associate at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.
Editor

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Sources:
- Law Number 30 of 2014 on Government Administrative.
- Law Number 9 of 2004 on the Amendment of Law Number 5 of 1986 on State Administrative Court.
- Supreme Court Decision Number 250 K/TUN/2020
- Jakarta State Administrative High Court Decision Number 314/B/2019/PT.TUN.JKT
- Jakarta State Administrative Decision Number 40/G/2019/PTUN.JKT

