Dr. Eddy M. Leks and Miskah Banafsaj

Sertipikat Tanah

Apakah artinya jika memiliki sertipikat tanah? Melalui Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997) beserta Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), sertipikat dinyatakan sebagai surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan

Meskipun sebagai tanda bukti yang jelas, sengketa kepemilikan tanah masih terjadi. Sengketa kepemilikan tanah dapat timbul karena berbagai sebab, di antaranya, ketika terdapat pihak lain yang mengaku kepemilikan atas suatu tanah, dan terkadang terdapat lebih dari satu pihak dan bahkan, sengketa antar beberapa pihak.

Baca Juga: Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak Kepemilikan Tanah Serta Jangka Waktu Pengajuan Keberatan Bagi Pemegang Sertifikat

Element of Land Ownership Disputes

Yurisprudensi terkait Unsur Sengketa Tanah dalam Gugatan Keputusan Tata Usaha Negara

Sertipikat tanah pada hakikatnya merupakan suatu bentuk keputusan tertulis berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), sehingga merupakan objek sengketa yang sah untuk digunakan di ranah PTUN. Sebagaimana, sifat dari sertipikat tanah yang pada dasarnya memenuhi unsur dari KTUN itu sendiri.

Terkait hal ini, juga sejalan dengan pertimbangan hakim di tingkat pertama dalam Putusan Nomor 333 K/TUN/2021 yang akan di bahas selanjutnya dalam penulisan ini. Melalui Putusan Nomor 13/G/2020/PTUN.BKL, Judex Facti menyatakan bahwa objek  sengketa, yaitu yang berupa sertipikat tanah, memenuhi kriteria sebagai KTUN sebagaimana di maksud dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU Peratun”), karena memenuhi unsur berupa:

  • Penetapan tertulis yang di dalamnya mencangkup tindakan faktual;
  • Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
  • Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik;
  • Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, dan/atau;
  • Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.

Namun, dalam praktiknya, masih sering menjadi permasalahan dan terkadang mungkin sulit dinilai, apakah suatu sengketa Tata Usaha Negara (TUN) yang mengandung sengketa kepemilikan tanah, memang benar harus diselesaikan di PTUN atau seharusnya diselesaikan terlebih dulu melalui sengketa perdata?

Baca Juga: Implikasi Hukum Tumpang Tindih Sertipikat Hak atas Tanah di Indonesia

Untuk membahas permasalahan ini, maka dapat dilihat pembahasan pertimbangan hakim melalui yurisprudensi-yurisprudensi berikut ini.

State Administrative Dispute in Indonesia

Yurisprudensi Nomor 333 K/TUN/2021

Dalam putusan ini, Penggugat menggugat kantor pertanahan untuk membatalkan suatu sertipikat tanah hak milik atas dasar akta jual beli. Pemegang sertipikat hak milik masuk sebagai Tergugat II Intervensi. Gugatan ditolak di tingkat pertama dan dikuatkan di tingkat banding. Namun, Judex Juris mengubah putusan pengadilan tingkat sebelumnya menjadi tidak dapat diterima.

Pertimbangan hukum Judex Juris dalam Putusan Nomor 333 K/TUN/2021:

“Bahwa walaupun sertipikat objek sengketa memenuhi kriteria sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara, akan tetapi untuk menguji keabsahannya di Pengadilan Tata Usaha Negara, terlebih dahulu harus diuji kebenaran kepemilikan atas tanah a quo di Peradilan Umum, karena pada pokoknya Pemohon Kasasi/Penggugat menyatakan memiliki tanah a quo berdasarkan Akta Jual Beli … tanggal 12 Juni 1990, akan tetapi Termohon Kasasi II/Tergugat II Intervensi menyatakan memperoleh tanah a quo berdasarkan Akta Jual Beli … tanggal 11-6-1998.”

 

Apabila satu-satunya penentu apakah Hakim dapat menguji keabsahan KTUN sebagai objek sengketa adalah substansi hak, maka menjadi kewenangan peradilan perdata.

Jurisprudence Element of Land Ownership Disputes

Yurisprudensi Nomor 425 K/TUN/2019

Pada perkara ini, Para Penggugat mengajukan gugatan kepada kantor pertanahan melalui PTUN, yang pada pokoknya meminta pembatalan serta pencabutan atas penerbitan sertipikat tanah hak milik. Sebagaimana pemegang sertipikat hak milik selanjutnya masuk sebagai Tergugat II Intervensi. Gugatan tersebut dinyatakan tidak diterima, yang kemudian juga dikuatkan pada tingkat banding dan kasasi.

Adapun pertimbangan hukum Judex Juris dalam Putusan Nomor 425 K/TUN/2019:

“Bahwa substansi yang dipermasalahkan dalam sengketa a quo menyangkut masalah keperdataan (letak, luas tanah, dan adanya pokok persoalan keabsahan keterangan waris), oleh karenanya objek sengketa dalam perkara ini belum dapat diuji sebelum sengketa haknya lebih dahulu diuji di Peradilan Umum. Dengan demikian Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa a quo.”

Sebagaimana terlihat dalam pertimbangan-pertimbangan hukum pada yurisprudensi-yurisprudensi di atas,  bahwa meskipun sertipikat tanah yang menjadi objek sengketa benar merupakan KTUN, sehingga layak memenuhi kriteria untuk menjadi objek sengketa di PTUN, Putusan tersebut menunjukkan bahwa tidak semua sengketa kepemilikan sertipikat hak atas tanah diselesaikan langsung di PTUN. Ada kalanya sengketa kepemilikan tanah harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme peradilan perdata.  Bahwa pilihan penyelesaian sengketa juga harus mempertimbangkan konteks dan substansi perkara yang disengketakan.

Baca Juga: Akibat dari Adanya Sengketa Keperdataan dalam Gugatan Tata Usaha Negara

Merujuk pada permasalahan ini, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 (Rumusan Kamar TUN) menyebutkan jika sudah kelihatan tanda-tanda ada sengketa keperdataan, tidak perlu dilakukan pengujian secara keseluruhan tentang kewenangan, prosedur dan substansi suatu KTUN.

Lebih lanjut, SEMA Nomor 7 Tahun 2012 telah menentukan kriteria untuk menentukan apakah suatu sengketa termasuk dalam ranah sengketa TUN atau perdata (kepemilikan), yaitu:

  • Apabila yang menjadi objek sengketa (objectum litis) tentang keabsahan KTUN, maka merupakan sengketa TUN;
  • Apabila dalam posita gugatan mempermasalahkan kewenangan, keabsahan Prosedur penerbitan KTUN, maka termasuk sengketa TUN; atau
  • Apabila satu-satunya penentu apakah Hakim dapat menguji keabsahan KTUN objek sengketa adalah substansi hak karena tentang hal tersebut menjadi kewenangan peradilan perdata; atau
  • Apabila norma (kaidah) hukum TUN (hukum publik) dapat menyelesaikan sengketanya, maka dapat digolongkan sebagai sengketa TUN.

Ketika suatu sengketa terkait kepemilikan sertifikat hak atas tanah diajukan dalam gugatan perdata, meskipun UU Peratun mengatur bahwa tenggang waktu pengajuan gugatan PTUN adalah 90 (sembilan puluh) hari, namun upaya mengajukan gugatan melalui PTUN tetap dapat dilakukan meskipun telah melewati tenggang waktu tersebut setalah mendapatkan putusan pengadilan perdata. SEMA Nomor 5 Tahun 2021 (Rumusan Kamar TUN), menyatakan bahwa:

“Tenggang waktu pengajuan gugatan terhadap sertipikat hak atas tanah yang sudah dipastikan pemiliknya oleh putusan Hakim Perdata yang berkekuatan hukum tetap, apabila diajukan gugatan tata usaha negara tidak lagi dibatasi oleh tenggang waktu pengajuan gugatan.”

 

Apabila telah terdapat indikasi sengketa perdata, maka tidak perlu dilakukan pengujian menyeluruh terhadap kewenangan, prosedur, dan substansi dari suatu KTUN.

Membaca SEMA dan yurisprudensi-yurisprudensi di atas, gugatan terhadap sertipikat tanah yang merupakan KTUN dapat menghadapi berbagai tantangan. Beberapa gugatan mungkin dinyatakan tidak dapat diterima ketika terdapat indikasi sengketa kepemilikan tanah, dan bukan karena persyaratan kewenangan, prosedural, dan substansi dari KTUN itu sendiri. Hal ini mungkin tidak mudah untuk dinilai. Namun, pihak penggugat harus cermat dalam memisahkan antara permasalahan kepemilikan tanah dan pelanggaran TUN. Ketika permasalahan terkait pelanggaran TUN hanya dapat diselesaikan setelah adanya kepastian atas kepemilikan tanah (setelah penyelesaian sengketa perdata, yang menentukan siapa pemilik yang sah), maka akan lebih bijaksana jika hal ini dideklarasikan terlebih dahulu. Kemudian, setelah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, barulah gugatan pembatalan sertipikat tanah melalui PTUN dapat dilakukan.


Author

Dr. Eddy Marek Leks

Dr. Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 15 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration CentreAsia Pacific International Arbitration Chamber Indonesia Boardand Singapore Institute of Arbitrators (SIArb) . Aside to his practice, the editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023, ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review and Leading Partner in Real Estate and Construction by Legal500 Asia Pacific 2025.


Co-authored by

Miskah Banafsaj

Miskah Banafsaj is an intern at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Sources:

  • Law Number 5 of 1960 on Basic Regulations on Agrarian Principles.
  • Government Regulation Number 24 of 1997 on Land Registration.
  • Supreme Court Circular Letter Number 7 of 2012.
  • Supreme Court Circular Letter Number 4 of 2014.
  • Supreme Court Circular Letter Number 5 of 2021.
  • Supreme Court Decision Number 425 K/TUN/2019.
  • Supreme Court Decision Number 333 K/TUN/2021.
  • Bengkulu District Court Decision Number 13/G/2020/PTUN.BKL.