Pemerintah telah menyusun draft RUU Omnibus Law yang terdiri dari RUU Cipta Kerja, RUU Fasilitas Pajak dan RUU Ibu Kota Negara. Pada 12 Februari 2020 pimpinan DPR telah menerima naskah akademik dan draft RUU Cipta Kerja untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut. Draft RUU Cipta Kerja ini terdiri dari 174 pasal dan 79 undang-undang terdampak dan salah satu undang-undang terdampak tersebut adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU No. 32/2009”). Pasal 23 RUU Cipta Kerja mengatur mengenai perubahan UU No. 32/2009 yaitu tekait Persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha, Amdal dan UKL-UPL, perubahan wewenang serta sanksi.

Artikel ini akan fokus membahas dampak RUU Cipta Kerja terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha
RUU Cipta Kerja merubah Pasal 1 angka 35 UU No. 32/2009 terkait Izin Lingkungan. Di dalam RUU Cipta Kerja, terminologi Izin Usaha diubah menjadi Perizinan Berusaha dan Izin Lingkungan diubah menjadi Persetujuan Lingkungan. Persetujuan Lingkungan adalah keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Keputusan kelayakan lingkungan hidup merupakan keputusan untuk kegiatan usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan sementara pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup adalah keputusan untuk kegiatan usaha yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan.

RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 40 UU No. 32/3009 yang mewajibkan Izin Lingkungan sebagai syarat Izin Usaha, namun demikian RUU Cipta Kerja tetap mewajibkan Persetujuan Lingkungan sebagai syarat penerbitan Perizinan Berusaha. Beberapa pasal yang mengakomodir kewajiban tersebut terdapat di dalam perubahan Pasal 24 dan perubahan Pasal 34 UU No. 32/2009. Selanjutnya skema penerbitan Persetujuan Lingkungan juga diubah di dalam RUU Cipta Kerja. Jika di UU No. 32/2009 amdal menjadi dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup maka di dalam RUU Cipta Kerja amdal hanya dijadikan sebagai dasar uji kelayakan lingkungan hidup. Uji kelayakan lingkungan hidup ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan dari hasil uji kelayakan tersebut Pemerintah Pusat akan menetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup, yang merupakan syarat penerbitan Perizinan Berusaha. Hal yang sama juga berlaku untuk penerbitan Perizinan Berusaha untuk kegiatan dan/atau usaha yang wajib memiliki UKL-UPL. Penerbitan Perizinan Berusaha diterbitkan berdasarkan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Lebih lanjut wewenang di dalam prosedur terkait Persetujuan Lingkungan dari tahap uji kelayakan sampai penerbitan Persetujuan Lingkungan yang sebelumnya dapat dilaksanakan secara bertingkat mulai dari Pemerintah Daerah, Komisi Penilai Amdal sampai dengan Menteri akan diubah sehingga seluruh wewenang tersebut berada di Pemerintah Pusat. Perubahan wewenang ini juga diterapkan untuk penerbitan perizinan terkait seperti izin pengelolaan limbah B3 dan izin dumping.

Read Also  Podcast on Real Estate Law – Pemasaran Suatu Rumah Susun

Amdal dan UKL-UPL
Jika di UU No. 32/2009 jenis perijinan lingkungan terbagi menjadi 3 kategori yaitu amdal, UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, maka di dalam RUU Cipta Kerja hanya terdapat 2 kategori yaitu i) kegiatan dan/atau usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup dan ii) kegiatan dan/atau usaha yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Kegiatan dan/atau usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup akan diwajibkan untuk memiliki amdal sementara kegiatan dan/atau usaha yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup akan diwajibkan untuk memenuhi standar UKL-UPL yang kemudian dinyatakan dalam pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup.

Lebih lanjut terdapat beberapa pasal terkait amdal di dalam UU No. 32/2009 yang diubah oleh RUU Cipta Kerja. Kriteria kegiatan dan/atau usaha yang wajib memiliki amdal yang sebelumnya dirinci secara jelas di dalam Pasal 23 UU No. 32/2009 diubah. Kriteria tersebut tidak lagi dirinci di dalam RUU Cipta Kerja melainkan di dalam Peraturan Pemerintah. Kemudian RUU Cipta Kerja juga menghapus Pasal 29 sampai Pasal 31 UU No. 32/3009 yang mengatur mengenai Komisi Penilai Amdal. Di dalam RUU Cipta Kerja wewenang untuk menilai amdal hanya dikuasai oleh Pemerintah Pusat sehingga keberadaan Komisi Penilai Amdal dihilangkan. Pasal 26 UU No. 32/2009 juga diubah sehingga pemerhati lingkungan dan/atau pihak lain yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan proses amdal tidak lagi dapat terlibat dalam penyusunan dokumen amdal. Di dalam RUU Cipta Kerja pihak yang dapat terlibat di dalam penyusunan dokumen amdal hanya penanggung jawab kegiatan dan/atau usaha beserta masyarakat yang terkena dampak.

Perubahan Wewenang
Sebagaimana telah dijelaskan di dalam paragraf-paragraf di atas, di dalam RUU Cipta Kerja seluruh kewenangan terkait Persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha dialihkan kepada Pemerintah Pusat. Kewenangan ini dilaksanakan dari tahap penilaian, penetapan syarat sampai dengan penerbitan Persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha termasuk perizinan turunannya seperti izin untuk mengelola limbah B3 dan izin untuk dumping. Selain itu RUU Cipta Kerja juga mengalihkan kewenangan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat dalam i) perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, ii) pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan, iii) pemberian sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan serta iv) kewenangan untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Sanksi
RUU Cipta Kerja merubah sanksi untuk pelanggaran terhadap ketentuan lingkungan hidup termasuk pelanggaran terhadap pengelolaan limbah B3, kegiatan dumping limbah dan kegiatan dan/atau usaha yang tidak memiliki Persetujuan Lingkungan. Bila di UU No. 32/2009 sanksi yang diberikan berupa pidana dengan masa tahanan 3 tahun sampai 10 tahun disertai dengan denda Rp 3.000.000.000,- sampai Rp 10.000.000.000,-, maka di dalam RUU Cipta Kerja pengenaan sanksi pidana baru akan diberlakukan apabila sanksi denda tidak dijalankan.

Read Also  Gugurnya Suatu Gugatan

Kesimpulan
Dinyatakan secara terang di dalam Pasal 22 RUU Cipta Kerja bahwa tujuan utama perubahan UU No. 32/2009 adalah untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memperoleh Persetujuan Lingkungan. Maka dari itu dilakukan beberapa penyesuaian termasuk simplifikasi Persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha.

Secara garis besar Persetujuan Lingkungan (sebelumnya disebut sebagai Izin Lingkungan) masih merupakan syarat penerbitan Perizinan Berusaha (sebelumnya disebut sebagai Izin Usaha). Di dalam RUU Cipta Kerja klasifikasi Persetujuan Lingkungan dibuat lebih sederhana yaitu wajib memiliki amdal untuk kegiatan dan/atau usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup dan wajib memiliki UKL-UPL untuk kegiatan dan/atau usaha yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Adapun bentuk formal dari masing-masing Persetujuan Lingkungan tersebut adalah dokumen amdal dan dokumen pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Persetujuan Lingkungan tersebut merupakan syarat bagi Pemerintah Pusat untuk menerbitkan Perizinan Berusaha bagi pelaku usaha.

Kemudahan lainnya yg diberikan kepada pelaku usaha adalah mengenai pihak yang terlibat di dalam penyusunan dokumen amdal. Jika sebelumnya penyusunan dokumen amdal dilakukan oleh pelaku usaha dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan dan/atau pihak yang tepengaruh terhadap keputusan proses amdal maka di dalam RUU Cipta Kerja pihak yang terlibat hanya sebatas masyarakat yang terkena dampak. Hal ini tentu saja memudahkan pelaku usaha dalam mengurus Persetujuan Lingkungan karena menghindarkan para pelaku usaha dari penolakan atau perlawanan dari banyak pihak.

Selain itu dengan adanya pemusatan kewenangan di Pemerintah Pusat untuk seluruh tahap pengurusan Persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha sampai dengan pengawasan dan pemberian sanksi membuat proses pengajuan perijinan menjadi lebih mudah. Terlebih dengan adanya keringanan sanksi terhadap pelanggaran perlindungan dan pengelolaan lingkungan menjadi indikasi bahwa Pemerintah ingin mendorong pelaku usaha untuk lebih mematuhi peraturan dibanding memberikan hukuman.

Namun di sisi lain dengan dihilangkannya kewenangan Pemerintah Daerah dan dihilangkannya keterlibatan pemerhati lingkungan di dalam proses Persetujuan Lingkungan dapat menimbulkan persepsi yang keliru terhadap Pemerintah Pusat sebagai pemegang kuasa, bahwa Pemerintah Pusat menggunakan kekuasaannya untuk mengutamakan kepentingan pelaku usaha saja. Maka dari itu perlu diolah lebih jauh kebijakan-kebijakan terkait sehingga pelaksanaannya kelak tidak hanya mengakomodir kepentingan pihak tertentu.

Herdiasti Anggitya