- Unsur-Unsur Kesahan atas Keputusan Tata Usaha Negara
- Cacat Substansi dalam UU Administasi Pemerintahan
- Pentingnya Unsur Substantif pada Keputusan Tata Usaha Negara
Unsur-Unsur Kesahan atas Keputusan Tata Usaha Negara
Sebagai salah satu syarat sah, pemenuhan aspek substansi dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan elemen yang penting untuk diperhatikan. Sebagaimana hal ini diatur melalui Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (โUU Administrasi Pemerintahanโ) bahwa syarat sah dari KTUN, meliputi:
- Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
- Dibuat sesuai prosedur; dan
- Substansi yang sesuai dengan objek KTUN.
Dalam konteks pemenuhan aspek substansi, artinya isi dari KTUN yang diterbitkan harus berkesesuaian dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Namun dalam praktiknya, tidak jarang KTUN menghadapi permasalahan hukum akibat ketidaksesuaiannya dengan syarat keabsahan ini, antara lain, syarat substansi.
Ketika terdapat cacat substansi, maka suatu KTUN akan berhadapan dengan akibat hukumnya, yaitu berupa pencabutan ataupun pembatalan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 66 UU Administrasi Pemerintahan. Akibat hukum yang diatur ketika terdapat cacat substansi dalam suatu KTUN ini, menjadikan permasalahan terkait pencabutan dan/atau pembatalan KTUN kerap dipersengketakan.
Baca Juga: Cacat Wewenang dalam Yurisprudensi Tata Usaha Negara
Cacat Substansi dalam UU Administasi Pemerintahan
Merujuk pada Penjelasan Pasal 64 ayat (1) huruf c UU Administrasi Pemerintahan, yang di maksud sebagai cacat substansi, yaitu:
- Keputusan tidak dilaksanakan oleh penerima Keputusan sampai batas waktu yang ditentukan;
- Fakta-fakta dan syarat-syarat hukum yang menjadi dasar Keputusan telah berubah;
- Keputusan dapat membahayakan dan merugikan kepentingan umum; atau
- Keputusan tidak digunakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam isi Keputusan.
โKetika terdapat cacat substansi, maka suatu KTUN akan berhadapan dengan akibat hukumnya, yaitu berupa pencabutan ataupun pembatalan.โ
Lebih lanjut, Pasal 71 UU Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa KTUN dapat dibatalkan jika terdapat kesalahan substansi. Penjelasan UU tersebut menjelaskan bahwa โkesalahan substansiโ adalah kesalahan dalam hal tidak sesuainya materi yang dikehendaki dengan rumusan dalam KTUN yang dibuat, misal terdapat konflik kepentingan, cacat yuridis, dibuat dengan paksaan fisik atau psikis, maupun dibuat dengan tipuan.
Sebagai akibat hukumnya, melalui Pasal 64 dan Pasal 66 UU Administrasi Pemerintahan, telah mengatur bahwa keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan atau pembatalan apabila terdapat cacat wewenang, prosedur, dan/atau substansi. Jika suatu keputusan (KTUN) dicabut atau dibatalkan harus diterbitkan KTUN baru dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Selanjutnya, untuk memahami lebih lanjut, permasalahan ini akan dibahas pertimbangan hukum melalui yurisprudensi-yurisprudensi berikut ini, untuk memahami kondisi KTUN seperti apa yang dapat dikategorikan terdapat cacat substansi di dalamnya.
Yurisprudensi terhadap Cacat Substansi pada Keputusan Tata Usaha Negara 616 K/TUN/2015
Dalam kasus yang akan diuraikan di sini, Kepala Desa dipecat melalui suatu KTUN atas dasar tindak pidana sebelum adanya suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bahwa yang bersangkutan terbukti secara sah melakukan tindak pidana.
Pertimbangan hukum Judex Facti dalam Putusan Nomor 57/G/2014/PTUN-PLG:
โโฆmaka Tergugat semestinya harus terlebih dahulu menunggu keputusan lembaga yang berwenang menyatakan bahwa pemalsuan data tersebut benar terbukti sesuai instrumen hukum yang mengaturnyaโฆโ
โโฆTergugat dalam menerbitkan objek sengketa telah tidak mempertimbangkan hal-hal yang relevan untuk dijadikan alasan dan dasar suatu keputusan sehingga antara alasan, dasar dan petitum tidak mempunyai korelasi, berakibat pada keputusan demikian tidak jelas dan merugikan Penggugatโฆโ
Putusan Judex Facti kemudian dikuatkan oleh Judex Juris dalam pertimbangannya pada Putusan Nomor 616 K/TUN/2015:
โโฆKeputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa mengandung cacat substansi yaitu tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 Peraturan Daerah โฆโ
Yurisprudensi terhadap Cacat Substansi pada Keputusan Tata Usaha Negara 532 K/TUN/2015
Selanjutnya, dalam yurisprudensi berikut ini, pokok permasalahan yang dibahas adalah apakah pelanggaran sumpah jabatan yang secara hukum memerlukan pembuktian berupa putusan pengadilan dapat dinilai tanpa menunggu putusan pengadilan?
Mari kita melihat pertimbangan hukum Judex Facti dan Judex Juris dalam kasus hukum pemecatan Kepala Desa yang dianggap telah melanggar sumpah jabatan padahal, sesuai peraturan daerah terkait, diatur bahwa pernyataan melanggar sumpah/janji jabatan ditetapkan dengan suatu putusan pengadilan.
Dalam Putusan Nomor 02/G/2014/PTUN.PL, Judex Facti mempertimbangkan:
โโฆPenggugat diberhentikan dengan alasan melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Desa tanpa disertai oleh keputusan pengadilan yang berwenang untuk itu, oleh karenanya penerbitan objek sengketa terkait pemberhentian Penggugat dari jabatan Kepala Desa Betaua secara substansial bertentangan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desaโฆโ
Putusan Judex Facti dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 532 K/TUN/2015 di mana Judex Juris mempertimbangkan:
โโฆbahwa Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa a quo diterbitkan oleh Tergugat, secara substansial telah bertentangan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005โฆโ
Pentingnya Unsur Substantif pada Keputusan Tata Usaha Negara
Kedua yurisprudensi di atas telah memberikan gambaran mengenai akibat dari KTUN yang diterbitkan dengan cacat substansi. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, terkait cacat substansi ini, dan sebagaimana tercermin dalam pertimbangan hukum kedua yurisprudensi, KTUN yang dinyatakan terdapat cacat substansi karena adanya ketidaksesuaian materi yang dikehendaki dengan rumusan dalam KTUN yang dibuat, serta terdapat ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Author

Dr. Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 15 years and is a registered arbitrator of BANI Arbitration Centre, Asia Pacific International Arbitration Chamber Indonesia Board, and Singapore Institute of Arbitrators (SIArb) . Aside to his practice, the editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023, ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review and Leading Partner in Real Estate and Construction by Legal500 Asia Pacific 2025.
Co-authored by

Miskah Banafsaj is an intern at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.
Contact Us for Inquiries
If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com
Sources:
- Law Number 51 of 2009 on the Second Amendment of Law Number 5 of 1986 on State Administrative Court.
- Law Number 30 of 2014 on Government Administration.
- Supreme Court Decision Number 616 K/TUN/2015.
- Supreme Court Decision Number 532 K/TUN/2015.
- Palembang Administrative Court Decision Number 57/G/2014/PTUN-PLG.
- Palu Administrative Court Decision Number 02/G/2014/PL.