Hukum Properti

Rangkuman Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

Definisitanahterlantar

Definisi tanah terlantar tidak diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (“PP No.11/2010”), tetapi diatur di dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Obyektanahterlantar

Dalam Pasal 2 PP No.11/2010, yang termasuk sebagai obyek tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Tanah yang tidak termasuk sebagai obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP No.11/2010 adalah tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakansesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya,dan tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.

Indentifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar

Identifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar dilaksanakan oleh panitia yang terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia (“BPN”). Dalam Pasal 7 PP No.11/2010, kegiatan identifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar meliputi:

verifikasi data fisik dan data yuridis;
mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;
meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, dan pemegang hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan;
melaksanakan pemeriksaan fisik;
melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan;
membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;
melaksanakan sidang Panitia; dan
membuat Berita Acara.

Peringatan

Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian disimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar dalam jangkawaktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya suratperingatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.

Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan tertulis pertama, Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama. Apabila Pemegang Hak juga tidak melaksanakan peringatan tertulis kedua, Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis ketiga atau peringatan terakhir dengan jangka waktuyang sama dengan peringatan kedua.

Di dalam surat peringatan perlu disebutkan hal-hal yangsecara konkret harus dilakukan oleh pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan yang dimaksud.

Penetapan tanah terlantar

Apabila pemegang hak tetap tidak melaksanakan peringatan tertulis yang diberikan oleh Kepala Kator Wilayah, maka Kepala Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala BPN untuk menetapkan tanah yangbersangkutan sebagai tanah terlantar. Kemudian,Kepala BPN menetapkan tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagai tanah terlantar. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah hak, penetapan tanah terlantar memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasar penguasaan, penetapan tanah terlantar memuat juga pemutusan hubungan hukum serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar

Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya. Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar dilaksanakan oleh Kepala BPN.

Maria Amanda

read more

Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan/atauBenda-benda yang ada di atasnya (“UU No.20/1961”), Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan/atau benda-benda yang ada diatasnya. Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang berada diatasnya dapat dilakukan apabila tanah dan/atau benda-benda yang berada diatasnya dibutuhkan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula untuk kepentingan pembangunan.

Pengajuan permintaan pencabutan hak-hak atas tanah

Dalam pasal 2 UU No.20/1961, permintaan pencabutan hak-hak atas tanah dan/atau benda-benda yang berada diatasnya diajukan oleh pihak yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria (sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia), melalui Kepala Inspeksi Agraria(sekarang Kantor wilayah BPN Provinsi) disertai dengan:

rencana peruntukannya dan alasan-alasannya
keterangan mengenai nama yang berhak, beserta letak, luas, dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya
rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut.
Proses pencabutan hak-hak atas tanah

Setelah menerima pengajuan permintaan pencabutan hak atas tanah,Kantor wilayah BPN Provinsi meminta pertimbangan kepada Kepala Daerah untuk memberikan pertimbangan mengenai permintaan pencabutan hak atas tanah. Selain itu,Kantor wilayah BPN Provinsi juga meminta pertimbangan kepada panitia penaksir untuk menaksiran biaya ganti rugi.
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan, Kepala Derah harus sudah menyampaikan pertimbangannya dan panitia penaksir sudah harus menyampaikan taksiran besar ganti kerugian kepada Kantor wilayah BPN Provinsi. Setelah mendapat pertimbangan dan tafsiran ganti kerugian Kantor wilayah BPN Provinsi menyampaikan permintaan pencabutan hak atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan Kepala Daerah dan panitia peaksir belum menyampaikan pertimbangannya, maka Kantor wilayah BPN Provinsi dapat menyampaikan permintaan pencabutan hak atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tanpa menunggu pertimbangan Kepala Daerah dan panitia penaksir.
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mengajukan permintaan pencabutan hak atas tanah tersebut kepada Presiden disertai dengan pertimbangan Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan. Pengajuan pencabutan hak atas tanah harus segera dilaksanakan untuk mendapatkan keputusan Presiden mengenai pencabutan hak atas tanah.
Pencabutan hak atas tanah dalam keadaan yang sangat mendesak

Dalam pasal 6 UU No.20/1961, diatur bahwa dalam keadaan yang sangat mendesak, Kantor wilayah BPN Provinsisetelah menerima permintaan pencabutan hak atas tanah dapat langsung mengajukan permintaan pencabutan hak atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tanpa meminta pertimbangan dari kepala daerah dan taksiran ganti kerugian dari panitia penaksir.

Atas permintaan tersebut, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan yang memberikan perkenaan kepada yang berkepentingan untuk menguasai tanah dan benda yang berada diatasnya. Surat keputusan tersebut akan segera diikuti dengan keputusan Presiden mengenai dikabulkanatau ditolaknya permintaan pencabutan hak atas tanah. Apabila permintaan ditolak maka yang berkepentingan harus mengembalikan tanah dan/atau benda yang bersangkutan dalam keadaan semula, dan/atau memberikan ganti kerugian yang sepadan kepada yang mempunyai hak.

Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang pencabutan hak atas tanah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan turunannya disampaikan kepadayang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu. Isi surat keputusan juga diumumkan melalui surat-surat kabar.Biaya pengumuman tersebut ditanggung oleh pihak yangberkepentingan.

Ganti kerugian

Dalam pasal 8 UU No.20/1961,apabila pihak yang berhak atas hak atas tanah yang akan dicabut tidak bersedia menerima uang ganti kerugian karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka ia dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi yang daerah kekuasaannya meliputi tempat letak tanah dan/atau benda tersebut. Pengadilan yang akan menetapkan besarnya jumlah ganti kerugian.

Setelah ditetapkannya surat keputusan pencabutan hak atas tanah dan setelah dilakukan pembayaran ganti kerugian, maka tanah yang haknya dicabut tersebut menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

Maria Amanda

read more

Persyaratan dan Tata Cara untuk memperoleh Keterangan mengenai Data Fisik dan Data Yuridis Bidang Tanah

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”), data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya.

Sedangkan, menurut Pasal 1 angka 7 PP No. 24/ 1997, data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag/Ka.BPN No. 3/1997”).

Berdasarkan Pasal 187 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997, informasi mengenai data fisik dan data yuridis yang ada pada peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah adalah terbuka untuk umum. Persyaratan untuk memperoleh informasi mengenai data fisik dan atau data yuridis bidang tanah adalah adanya permohonan tertulis dengan menyebutkan keperluannya, kecuali dalam hal SKPT yang diberikan untuk pemeriksaan sertifikat oleh PPAT tidak diperlukan permohonan tertulis. Informasi tersebut juga dapat diberikan kepada pihak yang berkepentingan secara visual atau secara tertulis. Apabila informasi diberikan secara tertulis, maka akan diberikan dalam bentuk Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (“SKPT”).

Berdasarkan Pasal 191 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam daftar nama hanya dapat diberikan kepada Instansi Pemerintah yang memerlukan untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. Tata cara permohonannya adalah dengan mengajukan permintaan yang menyebutkan keperluan tersebut. Permintaan tersebut dipenuhi setelah disetujui oleh Kepala Kantor Pertanahan.

Alsha Alexandra Kartika

read more

Sanksi Hukum yang dapat Timbul karena Penggunaan Bangunan sebelum Memperoleh Sertifikat Laik Fungsi

Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung (“Perda No. 7/2010”), sertifikat laik fungsi (“SLF”) adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah terhadap bangunan gedung yang telah selesai dibangun dan telah memenuhi persyaratan kelaikan fungsi berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagai syarat untuk dapat dimanfaatkan.

Berdasarkan Pasal 237 ayat (1) Perda No. 7/2010, setiap orang sebelum pemanfaatan bangunan gedung wajib memiliki SLF. SLF diberikan kepada bangunan gedung yang telah selesai dibangun, memenuhi persyaratan keandalan bangunan gedung dan kelaikan fungsi, serta fungsi penggunaannya sesuai dengan izin mendirikan bangunan (“IMB”).

Sanksi hukum yang dapat timbul apabila menggunakan bangunan sebelum memperoleh SLF diatur dalam Pasal 283 ayat (2) Perda No. 7/2010, sebagai berikut:
“Setiap pemilik bangunan gedung, pengguna bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung yang melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (3), Pasal 15 ayat (1), Pasal 124 ayat (3), 183 ayat (1), Pasal 186 ayat (4), Pasal 188 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 195, Pasal 231 ayat (1), Pasal 237 ayat (1), dan Pasal 245 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).”

Dalam ketentuan pidana tersebut, terdapat pasal yang berkaitan dengan SLF, yaitu pasal 237 ayat (1). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa setiap pemilik bangunan gedung, pengguna bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung yang tidak memiliki SLF pada saat memanfaatkan bangunan gedung, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta Rupiah).

Alsha Alexandra Kartika

read more

Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman Dengan Hunian Berimbang

Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (“UU Perumahan”) telah diatur secara umum mengenai hunian berimbang. Dalam Pasal 34, setiap badan hukum yang melakukan pembangunan harus mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang. Maka, untuk mengatur lebih lanjut mengenai hunian berimbang, terbitlah Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman Dengan Hunian Berimbang (“Permen Hunian Berimbang”)

Pengertian Hunian Berimbang

Menurut Pasal 1 Permen Hunian Berimbang, pengertian Hunian Berimbang adalah perumahan dan kawasan pemukiman yang dibangun secara berimbang dengan komposisi tertentu dalam bentuk rumah tunggal dan rumah deret antara rumah sederhana, rumah menegah dan rumah mewah atau dalam bentuk rumah susun antara rumah susun umum dan rumah susun komersial.

Tujuan Hunian Berimbang

Menurut Pasal 3 Permen Hunian Berimbang, tujuan dari Hunian Berimbang adalah untuk:

Menjamin tersedianya rumah mewah, rumah menegah dan rumah sederhana bagi masyarakat yang dibangun dalam satu hamparan atau tidak dalam satu hamparan untuk rumah sederhana;
Mewujudkan kerukunan antar berbagai golongan masyarakat dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial dalam perumahan, pemukiman, lingkungan hunian dan kawasan pemukiman;
Mewujudkan subsidi silang untuk penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum serta pembiayaan pembangunan perumahan;
Menciptakan keserasian tempat bermukim baik secara sosial dan ekonomi; dan
Mendayagunakan penggunaan lahan yang diperuntukkan bagi perumahan dan kawasan pemukiman.

Lokasi Hunian Berimbang

Setiap orang yang membangun perumahan dan kawasan pemukiman wajib melakukan Hunian Berimbang, kecuali seluruhnya diperuntukkan bagi rumah sederhana dan/atau rumah susun umum. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman selanjutnya harus memenuhi persyaratan lokasi Hunian Berimbang.

Penyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman dengan Hunian Berimbang dilaksanakan di perumahan, pemukiman, lingkungan hunian dan kawasan pemukiman dengan skala sebagai berikut:

Perumahan dengan jumlah rumah sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) sampai dengan 1000 (seribu) rumah;
Pemukiman dengan jumlah rumah sekurang-kurangnya 1000 (seribu) sampai dengan 3000 (tiga ribu) rumah;
Lingkungan hunian dengan jumlah rumah sekurang-kurangnya 3000 (tiga ribu) sampai dengan 10000 (sepuluh ribu) rumah; dan
Kawasan pemukiman dengan jumlah rumah lebih dari 10000 (sepuluh ribu) rumah.
Lokasi untuk hunian berimbang dapat dilaksanakan dalam satu kabupaten/kota pada:

Satu hamparan; atau
Tidak dalam satu hamparan.

Lokasi Hunian Berimbang dalam satu hamparan sekurang-kurangnya menampung 1000 (seribu) rumah dan untuk lokasi yang tidak dalam satu hamparan sekurang-kurangnya menampung 50 (lima puluh) rumah.

Komposisi Hunian Berimbang

Selanjutnya, persyaratan komposisi atas Hunian Berimbang adalah berdasarkan:

Jumlah rumah; atau
Luasan lahan.

Komposisi berdasarkan jumlah rumah merupakan perbandingan jumlah rumah sederhana, jumlah rumah menengah dan jumlah rumah mewah. Perbandingan yang dimaksud adalah dalam skala 3:2:1, yaitu 3 (tiga) atau lebih rumah sederhana berbanding 2 (dua) rumah menengah berbanding 1 (satu) rumah mewah.

Permen Hunian Berimbang mengartikan rumah komersil sebagai rumah yang diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan. Rumah mewah mempunyai arti sebagai rumah komersial yang diselenggarakan dengan harga jual lebih besar dari 4 (empat) kali harga jual rumah sederhana. Sedangkan rumah sederhana adalah rumah umum yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 60 m2 sampai dengan 200m2 dengan luas lantai bangunan paling sedikit 36 m2 dengan harga jual sesuai ketentuan pemerintah. Selanjutnya, rumah menengah adalah rumah komersial dengan harga jual lebih besar dari 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) kali harga jual rumah sederhana.

Komposisi berdasarkan luasan lahan merupakan perbandingan luas lahan untuk rumah sederhana, terhadap luas lahan keseluruhan. Luasan lahan tersebut minimal 25% dari luas lahan keseluruhan dengan jumlah sederhana sekurang-kurangnya sama dengan jumlah rumah mewah ditambah jumlah menengah.

Hunian Berimbang Rumah Susun

Hunian Berimbang rumah susun merupakan perumahan atau lingkungan hunian yang dibangun secara berimbang antara rumah susun komersial dan rumah susun umum. Hunian Berimbang yang dimaksud tersebut minimal 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun. Rumah susun umum tersebut dapat dibangun pada bangunan terpisah bangunan rumah susun komersial atau dibangun dalam satu hamparan dengan rumah susun komersial.

Perencanaan, Pembangunan dan Pengendalian

Perencanaan perumahan dan kawasan pemukiman dengan Hunian Berimbang dapat dilaksanakan dalam satu hamparan atau tidak dalam satu hamparan. Perencanaan tidak dalam satu hamparan wajib dilakukan oleh setiap orang yang sama dan perencanaan tersebut tertuang dalam dokumen-dokumen berupa:

Rencana tapak
Desain rumah
Spesifikasi teknis rumah
Rencana kerja perwujudan hunian berimbang
Rencana kerjasama

Dokumen tersebut harus mendapat pengesahan dari pemerintah daerah kabupaten/kota, khusus DKI Jakarta oleh pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta.

Selanjutnya, pembangunan pemukiman, lingkungan hunian dan kawasan pemukiman dengan hunian berimbang hanya dilakukan oleh badan hukum bidang perumahan dan kawasan pemukiman. Badan hukum tersebut dapat berupa badan hukum yang berdiri sendiri maupun badan hukum dalam bentuk kerjasama. Kerjasama yang dimaksud dapat berbentuk:

Konsorsium
Kerjasama operasional; atau
Bentuk kerjasama lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Pengendalian atas perumahan dan kawasan pemukiman dengan Hunian Berimbang dilakukan melalui:

Pemberian peringatan tertulis
Penyegelan lokasi dan penghentian sementara kegiatan pembangunan
Pembatalan izin mendirikan bangunan
Pembatalan izin mendirikan bangunan
Pembongkaran bangunan dan/atau
Pemberian sanksi
Pemberian sanksi dimaksud dalam Peraturan ini dapat berupa sanksi administratif atau sanksi pidana dimana ketentuan mengenai sanksi tersebut akan dinyatakan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, khusus DKI Jakarta diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi. Namun, dalam Pasal 150 Undang-Undang Perumahan, sanksi administratif atas pelanggaran terhadap Hunian Berimbang dapat berupa:

Peringatan tertulis
Pembatasan kegiatan pembangunan
Penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan
Penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan perumahan
Penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel)
Kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu
Pembatasan kegiatan usaha
Pembekuan izin mendirikan bangunan
Pencabutan izin mendirikan bangunan
Pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan rumah
Perintah pembongkaran bangunan rumah
Pembekuan izin usaha
Pencabutan izin usaha
Pengawasan
Pembatalan izin
Kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu
Pencabutan insentif
Pengenaan denda administratif dan/atau
Penutupan lokasi.

Jeany Tabita

read more

Pemecahan, Pemisahan, dan Penggabungan Bidang Tanah

Latar Belakang

Pengaturan mengenai pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”) dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag/Ka.BPN No. 3/1997”).

I. Pemecahan Bidang Tanah
Pemecahan bidang tanah secara rinci diatur dalam Pasal 48 PP No. 24/1997 dan Pasal 133 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997.

PP No. 24/1997 maupun Permenag/Ka.BPN No. 3/1997 tidak menyebutkan secara jelas pengertian dari pemecahan bidang tanah. Namun, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 48 ayat (1) PP No. 24/1997, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemecahan bidang tanah adalah pemecahan satu bidang tanah yang sudah didaftar menjadi beberapa bagian atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 PP No. 24/1997, bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang terbatas.

Syarat-syarat Pemecahan Bidang Tanah, yaitu:

Harus sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku serta tidak boleh mengakibatkan tidak terlaksananya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk pendaftarannya, masing-masing bidang tanah diberi nomor hak baru dan dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertifikat baru, sebagai pengganti nomor hak, surat ukur, buku tanah dan sertifikat asalnya. Surat ukur, buku tanah, dan sertifikat hak atas tanah semula dinyatakan tidak berlaku lagi.
Jika hak atas tanah yang bersangkutan dibebani dengan hak tanggungan, dan/atau beban-beban lain yang terdaftar, pemecahan bidang tanah baru boleh dilaksanakan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaan pemecahan bidang tanah, sepanjang mengenai tanah pertanian, wajib memperhatikan ketentuan mengenai batas minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permohonan pemecahan bidang tanah yang telah didaftar, diajukan oleh pemegang hak atau kuasanya dengan menyebutkan untuk kepentingan apa pemecahan tersebut dilakukan dan melampirkan:
Sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan
Identitas pemohon
Persetujuan tertulis pemegang Hak Tanggungan, apabila hak atas tanah yang bersangkutan dibebani Hak Tanggungan.

Akibat Hukum Pemecahan Bidang Tanah

Akibat hukum dari pemecahan bidang tanah adalah masing-masing bagian tanah merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula.

II. Pemisahan Bidang Tanah
Pemisahan bidang tanah secara rinci diatur dalam Pasal 49 PP No. 24/1997 dan Pasal 134 Permenag/ Ka.BPN No. 3/1997.

PP No. 24/1997 maupun Permenag/Ka.BPN No. 3/1997 tidak menyebutkan secara jelas pengertian dari pemisahan bidang tanah. Namun, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) PP No. 24/1997, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemisahan bidang tanah adalah pemisahan satu bidang tanah yang sudah didaftar menjadi sebagian atau beberapa bagian atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan.

Syarat-syarat Pemisahan Bidang Tanah, yaitu:

Untuk pendaftarannya, diberi nomor hak dan dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertifikat tersendiri.
Pada peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan sertifikat bidang tanah semula dibubuhkan catatan mengenai telah diadakannya pemisahan bidang tanah.
Catatan mengenai adanya hak tanggungan dan beban lain yang ada pada buku tanah dan sertifikat hak atas bidang tanah induk, dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak atas bidang tanah yang dipisahkan.
Lampiran yang harus dibuat dalam pemisahan bidang tanah adalah:
Sertifikat hak atas tanah induk,
Identitas pemohon,
Persetujuan tertulis pemegang Hak Tanggungan, apabila hak atas tanah yang bersangkutan dibebani hak tanggungan.
Surat kuasa tertulis apabila permohonan diajukan bukan oleh pemegang hak.

Akibat Hukum Pemisahan Bidang Tanah

Persamaan status hukum antara bidang atau bidang-bidang tanah yang dipisahkan dengan status bidang tanah induknya.
Dalam hal pemisahan terhadap bidang tanah yang luas, yang diambil sebagian tanahnya dan menjadi satuan bidang tanah baru, bidang tanah induknya masih ada dan tidak berubah identitasnya, kecuali mengenai luas dan batasnya.

III. Penggabungan Bidang Tanah
Penggabungan bidang tanah secara rinci diatur dalam Pasal 50 PP No. 24/1997 dan Pasal 135 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997.

PP No. 24/1997 maupun Permenag/Ka.BPN No. 3/1997 tidak menyebutkan secara jelas pengertian dari penggabungan bidang tanah. Namun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 50 ayat (1) PP No. 24/1997, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggabungan bidang tanah adalah penggabungan dua bidang tanah atau lebih yang sudah didaftar dan letaknya berbatasan, dan kesemuanya merupakan atas nama pemilik yang sama, sehingga menjadi satu satuan bidang baru atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan.

Syarat-syarat Penggabungan Bidang Tanah, yaitu:

Semua bidang tanah dimiliki dengan hak yang sama dan bersisa jangka waktu yang sama.
Untuk pendaftarannya, diberi nomor hak dan dibuatkan surat ukur, buku tanah, dan sertifikat baru.
Pendaftaran dilakukan dengan menyatakan tidak berlaku lagi surat ukur, buku tanah, dan sertifikat hak atas bidang-bidang tanah yang digabung.
Membuat surat ukur, buku tanah dan sertifikat baru untuk bidang tanah hasil penggabungan.
Lampiran yang harus dibuat dalam penggabungan bidang tanah adalah:
Sertifikat-sertifikat hak atas bidang-bidang tanah yang akan digabung,
Identitas pemohon.
Dapat dilakukan apabila tidak ada catatan mengenai beban Hak Tanggungan atau beban lainnya pada hak atas bidang-bidang tanah yang akan digabung.

Akibat Hukum Penggabungan Bidang Tanah

Akibat hukum dari penggabungan bidang tanah adalah persamaan status hukum bidang tanah hasil penggabungan dengan status bidang-bidang tanah yang digabung.

Alsha Alexandra Kartika

read more

Hak dan Kewajiban Pemilik dan Pengguna Gedung

Sesuai Pasal 40 Ayat 1 UU 28/2002, dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik bangunan gedung mepunyai hak-hak sebagai berikut:
Mendapatkan pengesahan dari pemerintah daerah atas rencana teknis bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan;
Melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan perijinan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah;
Mendapat surat ketetapan bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan dari pemerintah daerah;
Mendapatkan intensif sesuai dengan peraturan perundang-undangan dari pemerintah daerah karena bangunannya ditetapkan sebagai bangunan yang harus dilindungi dan dilestarikan;
Mengubah fungsi bangunan setelah mendapat izin tertulis dari pemerintah daerah;
Mendapatkan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan apabila bangunannya dibongkar oleh pemerintah daerah atau pihak lain yang bukan diakibatkan oleh kesalahannya.

Sesuai Pasal 40 Ayat 2 UU 28/2002, dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik bangunan gedung mepunyai hak-hak sebagai berikut:

Menyediakan rencana teknis bangunan gedung yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan fungsinya;
Memiliki izin mendirikan banugnan (IMB);
Melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan rencana teknis yang telah disahkan dan dilakukan dalam batas waktu berlakunya IMB;
Meminta pengesahan dari pemerintah daerah atas perubahan rencana teknis bangunan gedung yang terjadi pada tahap pelaksanaan bangunan.

read more

Summary Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung

Latar Belakang

Provinsi DKI Jakarta adalah salah satu kota terbesar di Indonesia. Sebagai ibukota Indonesia, DKI Jakarta memberikan berbagai macam pelayanan bagi masyarakat. Salah satu pelayanannya adalah perizinan yang berkaitan dengan pembangunan gedung. Sebagai upaya pelayanan, penataan, pengawasan, dan penertiban kegiatan fisik dan administrasi penyelenggaraan bangunan gedung dan bangunan di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Daerah telah menetapkan Peraturan tentang Bangunan dalam Wilayah DKI Jakarta, dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1991 (“Perda No. 7/1991”).

Seiring perkembangan zaman, Pemerintah Indonesia membentuk peraturan yang berkaitan dengan Bangunan Gedung, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU No. 28/2002”). Keberlakuan UU Bangunan Gedung membuat Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta perlu untuk menyesuaikan kembali Perda No. 7/1991. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta membentuk Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung (“Perda No. 7/2010”) yang mulai berlaku sejak tanggal 5 November 2010.

Klasifikasi Bangunan Gedung

Fungsi bangunan gedung diklasifikasikan berdasarkan:

a. tingkat kompleksitas, yang meliputi bangunan gedung sederhana, bangunan gedung tidak sederhana, dan bangunan gedung khusus.

b. tingkat permanensi, yang meliputi bangunan gedung permanen, bangunan gedung semi permanen, dan bangunan gedung darurat atau sementara.

c. tingkat risiko kebakaran, yang meliputi bangunan gedung dengan tingkat risiko kebakaran tinggi, tingkat risiko kebakaran sedang, dan tingkat risiko kebakaran rendah.

d. tingkat zonasi gempa yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

e. lokasi, yang meliputi bangunan gedung di lokasi padat, bangunan gedung di lokasi sedang, dan bangunan gedung di lokasi renggang.

f. ketinggian, yang meliputi bangunan gedung bertingkat tinggi, bangunan gedung bertingkat sedang, dan bangunan gedung bertingkat rendah.

g. kepemilikan, yang meliputi bangunan gedung milik negara, bangunan gedung milik badan usaha, dan bangunan gedung milik perorangan.

Status Hak atas Tanah

Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki tanah yang status kepemilikannya jelas. Bagi bangunan yang dibangun di tanah milik orang lain harus mendapat izin pemanfaatan tanah dari pemegang hak atas tanah, dalam bentuk perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya harus memuat:

a. hak dan kewajiban para pihak;

b. luas, letak dan batas-batas tanah;

c. fungsi bangunan gedung; dan

d. jangka waktu pemanfaatan tanah.

Status Kepemilikan Bangunan Gedung

Setiap orang yang memiliki sebagian atau seluruh bangunan gedung harus memiliki surat bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah. Agar bukti kepemilikan bangunan gedung dapat diterbitkan, maka setiap bangunan gedung harus telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”) dan Sertifikat Laik Fungsi (“SLF”).

Dalam satu bangunan gedung dapat diberikan lebih dari 1 (satu) surat bukti kepemilikan bangunan gedung. Bukti kepemilikan bangunan gedung dapat dimiliki oleh pemilik yang berbeda-beda dan dapat dialihkan kepada pihak lain. Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan pemilik tanah, pengalihan hak harus mendapat persetujuan dari pemilik tanah.

Syarat Penerbitan IMB

Setiap orang yang akan mendirikan bangunan wajib memiliki IMB. IMB dapat bersifat tetap atau sementara dan dapat diberikan secara bertahap. Untuk mendapatkan IMB, setiap orang harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas dengan melampirkan persyaratan yang sekurang-kurangnya memuat:

a. tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian;

b. izin pemanfaatan tanah dari pemilik tanah;

c. identitas/data pemilik bangunan gedung;

d. rencana teknis bangunan gedung; dan

e. hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

IMB diterbitkan dengan jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak persetujuan dokumen rencana teknis diberikan. Permohonan IMB yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis, disetujui dan disahkan oleh Pemerintah Daerah. Kepala Dinas dapat menangguhkan proses penerbitan IMB atau menolak permohonan IMB yang tidak memenuhi persyaratan.

Syarat Penerbitan SLF

SLF diberikan kepada bangunan gedung yang telah selesai dibangun, memenuhi persyaratan keandalan bangunan gedung dan kelaikan fungsi, serta fungsi penggunaannya sesuai dengan IMB. SLF dapat diberikan secara bertahap sesuai dengan tahapan pekerjaan yang telah diselesaikan berdasarkan permohonan tertulis. Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung berdasarkan kesesuaian IMB yang telah diberikan, mencakup:

a. kesesuaian fungsi;

b. persyaratan tata bangunan;

c. keselamatan;

d. kesehatan;

e. kenyamanan; dan

f. kemudahan.

Syarat Penerbitan Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung

Untuk mendapatkan surat bukti kepemilikan bangunan, setiap orang harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas dengan melampirkan persyaratan administratif, yang sekurang-kurangnya terdiri dari:

a. kesepakatan dan/atau persetujuan dari kedua belah pihak dalam bentuk perjanjian tertulis;

b. kepemilikan dokumen IMB;

c. kesesuaian data aktual (terakhir) dengan data dalam dokumen status hak atas tanah; dan

d. kesesuaian data aktual (terakhir) dengan data dalam IMB, dan/atau dokumen status kepemilikan bangunan gedung yang semula telah ada/dimiliki.

Terhadap bangunan gedung yang memiliki lebih dari 1 (satu) bukti kepemilikan bangunan gedung, pemilik harus melampirkan perjanjian tertulis yang berisi sekurang-kurangnya:

a. hak dan kewajiban para pihak;

b. luas, letak dan batas-batas bangunan gedung;

c. fungsi bangunan gedung; dan

d. jangka waktu pemanfaatan banguan gedung.

Surat bukti kepemilikan bangunan diterbitkan dengan jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permohonan dinyatakan memenuhi persyaratan. Masa berlaku bukti kepemilikan bangunan gedung berdasarkan masa berlaku surat tanah dan/atau perjanjian tertulis. Permohonan bukti kepemilikan bangunan gedung dapat ditangguhkan atau ditolak apabila tidak memenuhi persyaratan.

Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan

Setiap perencanaan bangunan gedung yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Perencanaan bangunan gedung yang tidak menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup atau surat pernyataan pengelolaan lingkungan hidup.

Sanksi Administratif

Setiap pemilik bangunan gedung, pengguna bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung, pengelola bangunan gedung yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung dikenai sanksi administratif yang dapat berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pembatasan kegiatan pembangunan;

c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;

d. penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung;

e. pembekuan IMB;

f. pencabutan IMB;

g. pembekuan SLF;

h. pencabutan SLF;

i. pembekuan IPTB;

j. penurunan golongan IPTB (“Izin Pelaku Teknis Bangunan”)

k. pencabutan IPTB;

l. pencabutan persetujuan rencana teknis bongkar;

m. pembekuan persetujuan rencana teknis bongkar;

n. pengenaan denda; atau

o. perintah pembongkaran bangunan gedung.

Jenis pengenaan sanksi ditentukan oleh berat dan ringannya pelanggaran yang dilakukan.

Ketentuan Pidana

Setiap pelaku teknis bangunan gedung yang melanggar kewajiban, tanggung jawab, dan larangannya, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta Rupiah).

Setiap pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki IMB dan SLF sebagai syarat penerbitan bukti kepemilikan bangunan gedung, yang mendirikan bangunan tanpa memiliki IMB, yang tidak memiliki SLF ketika ingin memanfaatkan bangunan gedung, dan yang tidak memiliki surat bukti kepemilikan bangunan, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta Rupiah).

Ketentuan Peralihan

Setelah Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka:

a. permohonan izin yang diajukan dan diterima sebelum tanggal berlakunya Peraturan Daerah ini dan masih dalam proses penyelesaian, diproses berdasarkan ketentuan yang lama;

b. IMB yang sudah diterbitkan berdasarkan ketentuan yang lama tetapi izin penggunaannya belum diterbitkan, berlaku ketentuan yang lama;

c. Bangunan gedung yang telah berdiri, tetapi belum memiliki IMB pada saat peraturan daerah ini diberlakukan, untuk memperoleh IMB terlebih dahulu harus mendapatkan SLF; dan

d. selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini, maka peraturan pelaksanaan yang ada tetap masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

Alsha Alexandra Kartika

read more

Persyaratan Teknis dan Administratif Bangunan Gedung

Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan teknis dan administratif.

Persyaratan teknis meliputi bangunan gedung meliputi:

Persyaratan tata bangunan.
Persyaratan kendala bangunan gedung.

Sedangkan persyaratan administratif meliputi:

Persyaratan status hak atas tanah.
Status kepemilikan bangunan gedung.
Izin mendirikan bangunan gedung (IMB).

Sesuai ketentuan peraturan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 pasal 8 ayat 1

read more